Sebuah restoran romantis yang sudah didekorasi penuh dengan lilin dan bunga. Hana berdiri di tengah, mengenakan gaun merah yang dia pilih khusus untuk malam ini.
Tangan kecilnya menggenggam kotak kecil berisi jam tangan yang dia beli dengan tabungan sendiri sebagai hadiah ulang tahun untuk Dion. Matanya berbinar, membayangkan senyuman Dion saat menerima kejutan ini.
."Sebentar lagi dia datang… Aku harap dia suka kejutan ini." Hana tersenyum sambil melihat ke arah pintu
Tapi menit demi menit berlalu, Dion tak kunjung muncul. Hana mulai gelisah. Dia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Dion, tetapi panggilannya tak dijawab.
"Mungkin dia masih di jalan…" Hana bergumam pelan.
Namun, ketika dia hendak menunggu lebih lama, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di sudut restoran.
Dion, kekasihnya.
Tapi yang membuat napasnya tercekat adalah wanita lain yang duduk di dipangkuannya, tangannya menggenggam tangan Dion dengan erat, sesekali mencium wanita di depannya.
Wanita itu tertawa manja, sementara Dion menatapnya dengan tatapan yang dulu hanya dia berikan pada Hana.
"Jijik banget!" Jantung Hana berdetak tak beraturan. Tangannya bergetar, hampir menjatuhkan kotak kecil yang ia genggam. Dengan langkah perlahan, ia mendekat, hatinya masih berusaha menyangkal apa yang baru saja dilihatnya.
"Dion?" panggil Hana dengan suara bergetar.
Dion tersentak, wajahnya seketika memucat saat melihat Hana berdiri di hadapannya. Wanita di depannya pun tampak bingung, namun tetap menggenggam tangan Dion tanpa merasa bersalah.
"H-Hana? Apa yang kamu lakukan di sini?"
Hana tertawa pahit, "Harusnya aku yang tanya, Dion. Apa yang kamu lakukan di sini… dengan dia?"
Dion terdiam, tak bisa menjawab. Matanya melirik wanita di depannya yang tampak enggan melepaskan genggamannya.
Wanita itu tersenyum miring, "Oh, jadi ini Hana? Pacar yang selama ini kamu bilang membosankan itu?"
Darah Hana seakan berhenti mengalir. Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Matanya beralih ke Dion, berharap pria itu menyangkalnya.
Tapi Dion hanya terdiam, tak berani menatap Hana.
"Membosankan? Jadi itu yang kamu pikirkan tentang aku, Dion?" Hana tertawa getir, suaranya bergetar menahan air mata.
Dion mencoba meraih tangan Hana, tapi Hana mundur, menghindar seakan sentuhan itu adalah racun.
*Hana… aku bisa jelaskan." lirih Dion.
"Jelaskan? Jelaskan apa? Bahwa aku hanya pelarian? Bahwa aku hanya seseorang yang selama ini kamu manfaatkan?! Aku menghabiskan waktu, tenaga, bahkan hatiku untukmu! Dan ini balasan yang aku dapatkan?" bentak Hana, tidak terima.
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Hana menggigit bibirnya, tak ingin tampak lebih lemah di depan pria yang telah mengkhianatinya.
Dion berbisik, "Aku… Aku minta maaf."
Hana menatap tajam, "Maaf? Setelah semua ini, kamu pikir maaf bisa memperbaiki semuanya?"
Dengan tangan gemetar, Hana merogoh kotak kecil dalam genggamannya. Ia membuka kotaknya, memperlihatkan jam tangan yang ia beli dengan penuh cinta. Namun, kini benda itu terasa tak berarti lagi.
"Aku bahkan sudah menyiapkan kejutan untuk ulang tahunmu. Tapi ternyata, kejutan yang sebenarnya datang darimu duluan." Hanna tertawa sinis.
Tanpa berkata lagi, Hana meletakkan kotak itu di meja, tepat di depan Dion. Ia menghapus air matanya, lalu berbalik dan berjalan menjauh dengan langkah mantap, meninggalkan Dion yang hanya bisa menatap punggungnya tanpa bisa berbuat apa-apa.
Hana tahu, ini akhir dari segalanya.
Sepanjang jalan, Hana hanya bisa menangisi kebodohannya. Air matanya tak terbendung, mengalir tanpa henti seperti hujan yang turun di hatinya.
Langkahnya gontai, seakan kehilangan arah. Suara kendaraan di sekitar terdengar samar di telinganya, karena pikirannya hanya dipenuhi satu hal, pengkhianatan Dion.
"Betapa bodohnya aku..." gumamnya pelan, suaranya tercekat di tengah isakan.
Dulu, Marini, sahabatnya, sudah berkali-kali mengingatkan bahwa Dion bukan pria yang baik.
Tapi Hana selalu membela Dion, selalu percaya bahwa pria itu mencintainya seperti dia mencintai Dion. Dan ternyata, hari ini semuanya terjawab.
Dion memang bukan untuknya. Dion memang bukan pria yang pantas ia perjuangkan.
Hana tertawa miris di sela tangisnya, "Marini pasti akan bilang, 'gue sudah bilang, kan?'"
Pikirannya melayang ke semua percakapan mereka. Bagaimana Marini selalu memperingatkannya, bagaimana sahabatnya selalu melihat sesuatu yang Hana pilih untuk abaikan.
—
Marini (beberapa bulan lalu) menatap Hana serius, "Gue nggak yakin sama Dion. Dia terlalu banyak alasan tiap kali lo butuh dia. Gue cuma nggak mau lo tersakiti, Han."
Hana tersenyum kecil, mencoba meyakinkan diri sendiri lebih dari Marini, "Dia sibuk, Mar… Lo harus ngerti dan gue percaya dia."
Marini mendesah, "Gue nggak bilang dia nggak sibuk. Tapi kalau dia beneran sayang, dia pasti selalu nyempatin waktu buat lo. Cinta itu bukan soal ada waktu atau nggak, tapi mau atau nggak, Han."
—
Kata-kata Marini itu kini terasa seperti tamparan keras. Benar, Dion tidak pernah mau berusaha untuknya. Sementara Hana selalu berlari ke Dion, pria itu hanya berdiri di tempat, bahkan melangkah mundur.
Sesak itu semakin menyesakkan. Hana memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan diri, tapi sia-sia. Rasa sakit itu terlalu menusuk.
Tanpa sadar, kakinya membawanya ke depan apartemen Marini. Ia menatap pintu itu ragu, takut mendengar ucapan 'Gue sudah bilang' dari sahabatnya. Tapi lebih dari itu, Hana butuh seseorang. Butuh tempat untuk menangis tanpa merasa sendirian.
Dengan tangan gemetar, ia mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, dan Marini berdiri di sana dengan ekspresi terkejut. Tapi begitu melihat wajah Hana yang basah oleh air mata, ekspresinya berubah menjadi lembut.
"Hana…" lirih Marini.
Tanpa berkata apa-apa, Hana langsung memeluk sahabatnya erat, menangis di pundaknya.
Marini tak bertanya, tak menghakimi. Dia hanya membiarkan Hana menangis sepuasnya. Karena dia tahu, ini bukan saatnya berkata, 'Gue sudah bilang.' Ini saatnya menjadi tempat Hana bersandar.
Hana masih terisak di pelukan Marini, tapi rasa malu mulai menyelinap di hatinya. Ia tak sanggup mengatakan apa yang baru saja terjadi.
Mengakui semuanya hanya akan membuatnya terlihat semakin bodoh di mata sahabatnya. Marini sudah berulang kali memperingatkannya, dan sekarang Hana harus menelan pil pahit akibat kebutaannya sendiri.
Perlahan, ia melepas pelukan itu. Matanya masih basah, tapi ia memaksakan senyum kecil, senyum yang lebih mirip usaha menyembunyikan kepedihan daripada kebahagiaan.
Hana suara lirih, hampir berbisik, "Gue pergi dulu, Mar."
Marini mengernyit, menatap Hana khawatir, "Hana, lo kenapa? Lo nangis… Lo bisa cerita ke gue, apa pun itu."
Hana menggeleng cepat, menundukkan kepala untuk menyembunyikan matanya yang bengkak. Ia tak sanggup membiarkan Marini melihat betapa hancurnya dia sekarang.
Hana memaksakan suara tegar, "Nggak apa-apa. Gue cuma… butuh waktu sendiri."
Marini masih menatapnya ragu, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Hana sudah berbalik dan berjalan pergi dengan langkah cepat. Ia takut jika tetap di sana lebih lama, ia akan hancur lebih dalam di depan sahabatnya.
"Gue bodoh." Hana menggigit bibirnya, menahan tangis yang kembali mengancam di tenggorokannya.
"Gue terlalu bodoh buat dengerin orang yang bener-bener peduli sama gue."
Malam itu, Hana berjalan tanpa tujuan. Tangannya menggenggam dadanya yang terasa sesak, berharap bisa menghapus rasa sakit ini. Tapi tidak peduli seberapa jauh ia melangkah, luka itu tetap ada, mengingatkannya bahwa beberapa cinta memang tak seharusnya diperjuangkan.
"Sendirian? Mau ditemani?"
Bersambung...
Lampu-lampu neon berkedip-kedip di langit-langit klub malam itu, memantulkan cahaya warna-warni di lantai dansa yang dipenuhi orang-orang yang menari tanpa beban.
Musik berdentum keras, mengguncang dada setiap orang yang ada di sana, seolah mengajak mereka melupakan dunia luar dan tenggelam dalam dentuman bass yang menghentak.
Di sudut bar yang sedikit lebih sepi, Hana duduk dengan mata sembab, tangannya menggenggam gelas berisi minuman beralkohol yang bahkan belum disentuhnya. Tangisnya sudah berhenti, tetapi sisa-sisa kesedihan masih jelas tergambar di wajahnya.
Dia bahkan tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini. Langkah kakinya tadi hanya mengikuti arus, tanpa arah, tanpa tujuan. Yang dia tahu, dia ingin melupakan. Walaupun hanya semalam.
Pelayan bar menatapnya sesaat sebelum bertanya, “Mau minum apa, Mbak?”
Hana menatap kosong deretan botol di belakang bartender. Dia tidak tahu harus memilih apa.
"Apa pun yang bisa bikin gue lupa," katanya lirih.
Bartender itu menatapnya sejenak, seakan menilai keadaan Hana, sebelum akhirnya menuangkan whiskey ke dalam gelasnya.
“Ini cukup kuat,” katanya, mendorong gelas itu ke arah Hana.
Hana mengambilnya dengan tangan sedikit gemetar, lalu meneguknya perlahan. Cairan itu menghangatkan tenggorokannya, tetapi tidak cukup untuk menghangatkan hatinya yang terasa beku.
Dia teringat wajah Dion. Wajah pria yang selama ini dia pikir mencintainya, yang ternyata hanya menjadikannya pelarian. Wajah pria yang tanpa ragu menggenggam tangan wanita lain di hadapannya.
Tangannya mencengkeram gelas itu lebih erat.
Bodoh.
Dia bodoh.
Kenapa dia tidak pernah melihat tanda-tandanya? Kenapa dia begitu keras kepala mempertahankan seseorang yang jelas-jelas tidak pernah benar-benar menginginkannya?
Seteguk lagi. Rasa pahit whiskey itu bercampur dengan pahit di hatinya.
Di tengah lamunannya, seseorang duduk di sampingnya. Hana tidak langsung menoleh. Tidak peduli. Siapa pun itu, mereka hanya akan menjadi bayangan di tengah rasa sakitnya.
Tapi suara itu menyapanya.
“Kamu kelihatan seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya.”
Hana terdiam, lalu menoleh perlahan.
Seorang pria. Wajahnya samar di bawah kelap-kelip lampu, tetapi sorot matanya tajam, menelisik, seolah bisa melihat semua luka yang dia sembunyikan.
Hana mendengus pelan. “Dan kamu kelihatan seperti seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain.”
“Minum bukan solusi.” Pria itu tersenyum tipis, lalu melirik gelas di tangan Hana.
“Aku nggak butuh solusi. Aku cuma butuh lupa.” Hana tertawa pahit, meneguk lagi minumannya.
Pria itu tidak segera menjawab. Dia hanya mengamati Hana, seolah sedang menimbang sesuatu.
“Kalau kamu ingin lupa, kamu datang ke tempat yang salah,” katanya akhirnya.
“Maksudnya apa nih?” Hana menoleh padanya dengan alis berkerut.
Pria itu bersandar pada kursinya, menatapnya dalam-dalam sebelum berkata, “Orang yang datang ke tempat ini bukan orang yang ingin lupa. Mereka cuma ingin pura-pura lupa.”
Hana terdiam. Kata-kata itu menamparnya lebih keras daripada kenyataan yang baru saja dia terima hari ini.
Pura-pura lupa.
Bukankah itu yang sedang dia lakukan sekarang?
Bukankah itu yang selama ini dia lakukan dengan Dion, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, padahal tidak?
Tawa getir lolos dari bibirnya. Dia menatap whiskey di tangannya, seolah baru menyadari betapa menyedihkannya dirinya saat ini.
“Jadi, menurut Anda, saya harus gimana?” tanya Hana, menatap pria itu dengan mata yang masih berkilat oleh air mata yang tertahan.
Pria itu mengangkat bahunya. “Saya nggak kenal kamu. Saya nggak tahu cerita kamu. Tapi kalau kamu sampai datang ke sini dengan mata sembab dan air mata yang belum benar-benar kering, berarti ada seseorang yang udah menghancurkan hidup kamu, benar?”
Hana menegang.
Pria itu melanjutkan, “Dan kalau ada seseorang yang menghancurkan kamu, kenapa kamu harus menghancurkan diri kamu sendiri buat dia?”
Hana tercekat. Tangannya gemetar di atas meja.
Kenapa?
Kenapa dia membiarkan dirinya jatuh sejauh ini untuk seseorang yang bahkan tidak pantas mendapat air matanya?
Kenapa dia ada di sini, menyakiti dirinya sendiri, sementara Dion mungkin sedang tertawa di pelukan wanita lain?
Mata Hana terasa panas. Dia ingin menangis lagi, tapi dia sudah lelah.
Lelah menangisi seseorang yang bahkan tidak layak.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menaruh gelasnya di atas meja.
“kamu siapa?” tanyanya akhirnya.
Pria itu tersenyum samar. “Seseorang yang pernah ada di posisi kamu.”
Hana menatapnya lama.
Untuk pertama kalinya malam itu, dia merasa sedikit lebih ringan. Luka itu masih ada, tapi setidaknya, dia tahu bahwa dia bukan satu-satunya orang yang pernah merasakan sakit ini.
Dia menarik napas panjang, lalu menatap whiskey yang sudah hampir habis di hadapannya.
Mungkin pria itu benar.
Mungkin minum bukan solusi.
Mungkin pura-pura lupa hanya akan membuatnya semakin tersesat.
Dan mungkin… ini saatnya dia berhenti menyakiti dirinya sendiri untuk seseorang yang tidak pantas.
Dengan satu gerakan, Hana mendorong gelas itu menjauh.
Hana mengerjapkan mata, tetapi dunia di sekelilingnya mulai berputar.
"Aah!" Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan.
"Kenapa?" tanya pria itu.
Dia mencoba menopang diri dengan memegang meja bar, tetapi tangannya terlalu lemah.
Dalam sekejap, semuanya menjadi buram.
Tubuhnya terhuyung ke samping, nyaris jatuh, sebelum seseorang dengan sigap menangkapnya.
Pria itu: dengan nada khawatir “Hei, kamu nggak apa-apa?”
Hana mencoba menjawab, tetapi bibirnya terasa berat. Kepalanya bersandar di dada pria itu, matanya perlahan terpejam. Ini kali pertama dia minum sebanyak ini, dan efeknya benar-benar lebih buruk dari yang dia kira.
Pria itu menghela napas, lalu menatap bartender, “saya bawa dia keluar.”
Bartender hanya mengangguk, tampaknya tidak terkejut melihat seseorang mabuk sampai nyaris pingsan.
Pria itu kemudian mengangkat Hana dengan hati-hati, mengabaikan beberapa pasang mata yang menoleh ke arah mereka. Dengan langkah cepat, dia membawanya keluar dari klub malam yang penuh sesak.
Udara malam yang dingin langsung menerpa wajah Hana begitu mereka berada di luar. Tetapi itu tidak cukup untuk menyadarkannya.
Pria itu mendesah berat, seakan berat dunia berada di bahunya.
“Kenapa malam ini aku harus jadi penjaga?“ gumamnya dengan nada penuh tanya sambil matanya tak lepas memperhatikan Hana yang terlelap, wajah polosnya masih tercoreng jejak air mata yang telah mengering, napasnya berhembus lemah.
Dia menggeleng dengan penuh iba, “Kamu benar-benar terpuruk, ya?”
Tanpa tahu siapa gadis itu atau apa yang telah merobek hatinya, matanya yang sebelumnya memancarkan kesakitan mendalam membuatnya yakin, gadis di hadapannya ini baru saja kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya.
Kini, entah bagaimana, tanggung jawab itu beralih ke tangannya.
Dia melihat ke sekelilingnya, larut dalam pemikiran singkat, kemudian menarik napas dalam-dalam, seolah mempersiapkan diri, sebelum akhirnya berbisik pelan, "Baiklah. Aku tidak tahu mengapa aku melakukan ini, tetapi sepertinya kamu membutuhkan tempat yang jauh lebih aman daripada di sini.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia mengangkat Hana ke dalam mobilnya. Malam ini akan jadi malam yang panjang, bukan hanya untuk Hana, tetapi juga untuk pria yang entah kenapa memutuskan untuk peduli pada seseorang yang baru saja dia temui.
Bersambung...
Suara deru mobil terdengar samar di telinga Hana, meski ia masih tenggelam dalam ketidaksadarannya. Kepalanya bersandar di jendela, napasnya teratur, sementara pria yang membawanya duduk di kursi kemudi dengan ekspresi bingung.
"Aduh, pusing banget!"
Dia tidak tahu harus membawanya ke mana.
Saat tadi mencoba mencari kartu identitas di tas kecil Hana, dia tidak menemukan apa pun yang bisa memberi petunjuk ke mana gadis ini harus dipulangkan.
Tidak ada KTP, tidak ada SIM, bahkan tidak ada kontak darurat di ponselnya yang masih terkunci.
“Kamu ini sebenarnya siapa, sih?” gumam pria itu sambil melirik Hana yang masih tertidur lemas.
Dia tidak bisa meninggalkannya begitu saja di pinggir jalan. Klub malam bukan tempat yang aman, apalagi bagi wanita mabuk yang tak sadarkan diri seperti ini. Membawanya ke rumah sakit juga terasa berlebihan, Hana tidak dalam kondisi kritis, hanya mabuk berat.
Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah membawanya ke apartemennya sendiri.
Pria itu menghela napas panjang sebelum akhirnya memutar setir dan melaju ke arah apartemennya.
—
Begitu sampai di apartemen, pria itu dengan hati-hati mengangkat Hana keluar dari mobil.
Tubuh gadis itu terasa ringan di pelukannya, tetapi ada sesuatu dalam ekspresi tidurnya yang membuat pria itu merasa sedikit tidak nyaman, bukan karena Hana mengganggunya, melainkan karena ekspresi itu terlihat terlalu lelah, terlalu hancur.
Seakan beban dunia terlalu berat untuknya.
Saat masuk ke dalam apartemen, dia menutup pintu dengan kakinya, lalu membawa Hana ke sofa. Dengan hati-hati, dia merebahkan tubuh gadis itu di sana.
Pria itu berjongkok, menatap wajah Hana dengan ekspresi campuran antara bingung dan penasaran.
Siapa dia?
Apa yang membuatnya mabuk seperti ini?
Siapa yang sudah menyakitinya?
Dia menggeleng pelan, mencoba menepis rasa ingin tahunya sendiri. Ini bukan urusannya. Dia hanya membantu seseorang yang kebetulan dia temui dalam keadaan buruk. Setelah gadis ini sadar, dia bisa pergi, dan mereka tidak perlu bertemu lagi.
Namun, saat dia hendak berdiri, tiba-tiba tangan Hana bergerak, meraih lengan bajunya dengan lemah.
“Jangan pergi…” Suara itu lirih, hampir tak terdengar, tetapi pria itu bisa menangkap ketakutan di dalamnya.
Hana masih dalam keadaan setengah sadar, mungkin bahkan tidak menyadari apa yang baru saja dia katakan. Namun, genggamannya pada lengan pria itu cukup erat untuk membuatnya terdiam.
Pria itu menatap gadis itu sekali lagi, lalu menghela napas panjang.
“Tenang aja, saya nggak bakal ninggalin kamu,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Dia akhirnya duduk di lantai, bersandar pada sofa tempat Hana terbaring, sementara pikirannya mencoba mencari tahu kenapa dia begitu peduli pada seseorang yang bahkan belum dia kenal namanya.
Hana menggeliat dalam tidurnya, tubuhnya terasa panas, napasnya sedikit berat. Wajahnya masih terlihat kacau, sisa-sisa air mata yang mengering di pipinya, bibirnya sedikit bergetar, seolah masih tenggelam dalam kepedihan yang belum benar-benar hilang.
Pria itu masih duduk di lantai, bersandar pada sofa, mencoba untuk tidak terlalu memikirkan keadaannya. Dia bukan siapa-siapa bagi gadis ini. Dia bahkan tidak tahu namanya. Tapi melihat Hana dalam kondisi seperti ini, dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
Tiba-tiba, dalam tidurnya, Hana bergerak dan meraih pria itu.
Dengan mata terpejam, dia memeluknya erat, tubuhnya yang panas menempel pada punggung pria itu.
Pria itu terkejut sejenak, tubuhnya menegang.
“Hei, kamu…”
Suara itu tertahan di tenggorokan saat mendengar gumaman lirih dari bibir Hana.
“Jangan pergi…” suaranya terdengar bergetar, seperti angin yang membawa kepedihan.
Pria terdiam, mendengarkan getaran emosinya.
“Ak… aku nggak bisa sendiri…” kata-katanya membuatnya terhenti, seolah waktu ikut membeku bersama nada putus asanya.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam hidup gadis ini? Apa yang dia coba sembunyikan di balik setiap tetes air mata dan wajah lusuhnya?" Matanya menelusuri wajahnya, memerhatikan setiap inci emosi yang terpancar.
Saat ia kembali meracau dalam tidurnya, tubuhnya menggigil, dan ia merasakan suhu tubuhnya yang memanas.
“Kita… kita harusnya… tunangan hari ini…” suaranya perlahan pecah di tengah gumamnya.
Kalimat itu seperti jarum yang menghujam pikiran. Sekarang ia paham, kenapa ia berakhir di klub malam, terjebak di lingkaran mabuk dan kehancuran.
Hari yang seharusnya menjadi awal baru baginya kini berubah menjadi luka yang mungkin akan lama terobati.
Seharusnya dia berbahagia, mengenakan cincin yang menyimbolkan janji dan harapan. Tapi di sini dia berada, sendirian, terluka lebih dalam dari apa yang mampu ia tebak.
Ia menarik napas panjang, membiarkan beban yang tak kasat mata ini menggantung di antara kami.
“Hei…” gumamnya, tapi kata itu tidak cukup untuk meredakan kesedihan yang ia tanggung.
Jadi pria itu memilih diam, memberi bahunya untuk bersandar.
Terkadang, keheningan adalah bahasa yang paling bisa dipahami dalam kepedihan.
Dia hanya bisa menunggu sampai gadis ini bangun, sampai dia bisa menghadapi dunia lagi, entah dengan kekuatan baru, atau dengan luka yang semakin dalam.
"Aku sayang kamu...." Hana semakin erat memeluk pria itu, tubuhnya terasa panas karena demam yang perlahan makin tinggi. Bibirnya terus bergerak, meracau tidak jelas, menyebut-nyebut sesuatu tentang pengkhianatan, kehilangan, dan kebencian yang bercampur dalam suara lirihnya.
Pria itu terdiam, membiarkan Hana tetap dalam posisinya. Napasnya berat, bukan karena lelah, tapi karena sesuatu dalam dirinya berkata bahwa dia seharusnya tidak ada di sini. Dia seharusnya tidak peduli.
Tapi di sisi lain, dia tidak bisa begitu saja melepaskan gadis yang tengah hancur ini.
Hana masih menggenggam erat kausnya, seolah pria itu adalah satu-satunya pegangan yang tersisa dalam hidupnya. Hingga tanpa sadar, pria itu mulai melonggarkan tubuhnya, membiarkan Hana bersandar lebih nyaman.
Sampai akhirnya, tanpa bisa menghindar, kantuk mulai menyerangnya juga.
Dinginnya malam, suara detak jam yang samar, dan kelelahan yang sama-sama mereka rasakan membawa mereka berdua ke dalam tidur yang tak direncanakan.
Hana masih memeluk pria asing itu. Dan tanpa dia sadari, pria itu tetap di sana, tak berniat pergi.
Malam ini, dua orang asing berbagi luka tanpa kata. Tanpa alasan. Hanya ada kesunyian yang memahami mereka lebih dari siapa pun.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!