PROLOG
Sejarah kuno perlahan tenggelam bersama berjalannya waktu. Bekas reruntuhan kerajaan hanya menyisakan puing-puing misteri yang memancing perdebatan di antara para peneliti dan masyarakat. Namun, ada sesuatu yang tidak banyak diketahui misteri itu sebenarnya disimpan rapi oleh penduduk sekitar. Kisahnya diceritakan turun-temurun, disamarkan sebagai dongeng pengantar tidur untuk anak-anak.
Cerita itu bermula dari sebuah kerajaan kuno yang megah. Di sana, seorang raja yang bijaksana dan dicintai rakyatnya memerintah dengan adil. Namun, kebahagiaan itu direnggut oleh peperangan besar antar kerajaan. Kesengsaraan dan jerit tangis rakyatnya memaksa sang pangeran, pewaris kerajaan, untuk turun ke medan perang. Pangeran bertarung dengan gagah berani, hingga akhirnya peperangan usai. Namun, setelah kemenangan diraih, sang pangeran menghilang tanpa jejak dan tak pernah ditemukan kembali.
Waktu berlalu, dan kisah tentang pangeran yang hilang itu perlahan memudar. Namun, suatu ketika, sebuah ramalan muncul, dibawa oleh seekor burung gagak yang misterius:
"Disaat semua cahaya hilang di abad penuh kejayaan, sang pangeran akan kembali dengan perang yang telah disiapkan oleh takdir."
Ramalan itu menyebar di antara penduduk, menjadi simbol harapan sekaligus ketakutan. Namun, seiring waktu, keyakinan terhadap ramalan mulai pudar. Banyak yang menganggapnya hanya mitos belaka. Akhirnya, ramalan tersebut hanya dicatat dalam sebuah naskah kuno yang terkubur di tanah bekas kerajaan, menunggu untuk ditemukan kembali oleh mereka yang percaya pada takdir yang tersembunyi.
****
Abad 21
Kota yang dijuluki Ibu Negara Indonesia itu, penuh dengan gedung-gedung tinggi yang menghiasi seluruh wilayah pusat. Dari gedung lembaga pemerintahan hingga sekolah penunjang harapan bangsa, salah satunya SMA Filosg.
SMA ini dipenuhi oleh murid teladan dan kebanyakan berasal dari keluarga terpandang. Namun, ada beberapa siswa yang kurang mampu maupun berprestasi masuk dengan beasiswa penuh dari sekolah. Salah satu siswa yang beruntung karena prestasinya adalah Rohan.
Rohan memiliki nilai akademis yang gemilang serta keahlian dalam seni bela diri.
Rohan tinggal di panti asuhan. Diadopsi langsung oleh pemilik panti yang belum dikaruniai seorang anak. Diketahui orang tua kandung Rohan sudah meninggal karena penyakit.
~~~
Sore hari, latihan kepramukaan hari itu berjalan lancar walaupun terlihat banyak orang kecewa lantaran banyak murid yang membolos. Eskul ini wajib untuk semua murid SMA Filosg . Dibimbing langsung oleh tentara membuat kegiatan ini jarang diminati.
"Menyebalkan latihan ini," keluh seorang siswa paling belakang. Hal itu wajar saja, bahkan teman-teman disekelilingnya merespon ucapan itu hingga seorang tentara datang memarahi dan menghukum.Rohan yang berdiri paling depan hanya terdiam dengan tatapan fokus.
Kegiatan akhirnya selesai. Semua siswa menuju ke parkiran mengambil kendaraan masing-masing. Ketika semua sibuk mengantri didepan gerbang sekolah, Rohan hanya berjalan melewati mereka dan berhasil lolos. Jarak antara panti ke sekolah cukup dekat sehingga dia memutuskan berjalan kaki saja.
Tiba-tiba sebuah kendaraan motor model CB berhenti didekatnya. Pemilik motor itu membuka helmnya.
"Ayo, naik! Gue anterin sekarang, cepat naik!"
Rohan melirik mendapati pemilik motor itu adalah Jack, sahabatnya.
Diperjalanan mereka mengobrol sedikit tentang acara perkemahan pramuka di Bukit Sena. "Hei, Han. Lu mau ikut dalam timku?" tawar Jack yang masih fokus terhadap jalanan.
"Bolehlah. Lagipula gue juga belum nemu tim."
"Gitu dong. Kalau perlu apa-apa nanti, bilang aja ke gue."
Rohan hanya tertawa kecil menyikapi temannya itu. Sampai didepan panti, "Thanks, Jack."
"Slow aja. Gue duluan." Jack menarik gas mesin dan pergi menghilang diantara jalan berkelok.
Rohan masuk ke dalam panti disambut anak-anak panti lain. Mereka sangat senang bertemu Rohan yang sudah seperti kakak kandung mereka sendiri.
Salah satu anak panti menyodorkan bukunya, "Kak Rohan tolong ajari materi ini, aku belum paham."
"Iya, nanti kakak ajarkan," ucap Rohan dengan membelai kepala anak itu.
"Kakak aku juga"
"Aku juga!"
"Aku juga mau kak"
minta anak-anak disekitarnya,
Rohan mengiyakan semuanya dan bergegas menuju rumah yang berada ditengah panti. Rumah orang tua angkatnya dengan desain rumah perkampungan jawa dihiasi dengan bunga melati di setiap pagarnya. Terdengar kicauan burung murai yang selalu berbunyi ketika ada orang.
***
Pukul 22.00, Rohan mengakhiri belajar malam dan menyuruh adik-adiknya itu untuk tidur. Ibu Darmi, pemilik panti sekaligus ibu angkat Rohan, merasa senang melihat putranya itu membantunya mengurusi kegiatan belajar anak-anak panti.
"Terima kasih ya, Rohan mau membantu anak-anak itu belajar," ucap Ibu Darmi membelai kepala Rohan dengan lembut.
Rohan tersenyum, "Bagaimanapun juga, orang-orang yang tinggal disini adalah keluargaku. Mungkin saat ini aku hanya bisa membantu ini saja."
"Jangan seolah-olah berbalas budi gitu dong. Ibu ini adalah ibu kamu sekarang. Dan Rohan adalah anak ibu. Kita semua keluarga," ujar Ibu Darmi dengan memeluk Rohan seperti anak kandungnya sendiri.
"Tetap fokus dengan sekolahmu, Nak. Pendidikan itu penting untuk mengasah kemampuan berpikir. Ayahmu dulu lulusan S1 pertanian, dan ilmunya cukup membantu memajukan kampung halaman. Ya, meskipun pekerjaan utamanya sekarang jadi guru SMP,” kata Ibu sambil tersenyum lembut, tangannya merapikan buku-buku meja belajar.
“Iya, Bu. Rohan akan rajin belajar. Jangankan S1, Rohan ingin mengejar beasiswa sampai S3 nantinya. Kalau bisa, di Belanda!” jawab Rohan penuh semangat, matanya berbinar membayangkan masa depan.
Ibu tersenyum, menepuk bahu Rohan dengan penuh kasih. “Ibu selalu doakan yang terbaik untukmu. Apa pun keinginan dan cita-citamu, Ayah dan Ibu akan selalu mendukung. Jangan pernah ragu, ya.”
Percakapan itu diakhiri dengan tawa hangat yang memenuhi ruangan kecil mereka. Malam itu, Rohan merasa dikelilingi cinta dan harapan yang tulus.
Keesokan harinya, Rohan pergi ke sekolah seperti biasa. Kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Ada suatu firasat buruk tiba-tiba datang menghampirinya ketika bangun dari mimpi yang aneh. Di mimpinya, dia menerima sebuah benda misterius dari seorang yang berpakaian seperti pangeran. Namun, dia tidak ingat terlalu jelas.
Sesampainya didepan gerbang sekolah, Rohan merasa ada yang mengikutinya. Dia menoleh kebelakang, tapi sosok itu hilang entah kemana. Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk ke dalam sekolah menuju kelas.
'*Siapa tadi? Apa hanya firasatku saja*?'
Rohan membuka pintu kelas yang masih sepi, sebuah bunyi terompet membuatnya terkejut. Matanya melihat Jack sudah ada didalam sendirian.
"Selamat tambah tua ya," ucap Jack dengan tawa.
Rohan terdiam dan mengingat-ingat bahwa hari itu adalah ulang tahunnya yang ketujuhbelas.
Jack memberikan sebuah kotak kepada Rohan, "Apa ini?" tanya Rohan.
"Hadiah untukmu dari sahabat kecilmu."
"Hmm, oke. Terima kasih, ya."
Rohan merasa sangat senang karena sahabatnya mengingat ulang tahunnya. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
\*\*\*
Hari menjelang siang, siswa-siswi semakin banyak yang memasuki ruangan. Bunyi bel terdengar dan seorang guru mulai berdatangan memasuki kelas yang dituju.
Semua siswa memberi salam. Melihat guru membawa sebuah kertas, sepertinya ada sebuah pengumuman yang akan diberitahukan.
"Anak-anak, karena akan ada rapat besar mengenai pendidikan nasional, sekolah kita akan menjadi tuan rumah. Oleh karena itu, kalian akan diliburkan selama tiga hari. Gunakan waktu ini dengan baik untuk mempersiapkan perkemahan mendatang," ujar guru dengan nada santai.
Pemberitahuan itu langsung disambut dengan sorak-sorai kegirangan. Beberapa siswa bahkan melompat dari kursi mereka dengan semangat. Guru hanya tersenyum kecil, melihat tingkah laku anak-anak yang begitu antusias.
Namun, di tengah riuhnya suasana kelas, Rohan tetap duduk diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, merenungkan kejadian aneh yang dialaminya tadi pagi.
\*\*\*
Sepulang sekolah, seperti biasa, Jack memberi tumpangan kepada Rohan. Namun, kali ini, Jack merasa ada yang berbeda dari sahabatnya itu.
"Lu kenapa, Han? Lagi mikirin soal kemah, ya?" tanya Jack, mencoba memecah keheningan.
"Enggak, gue cuma kurang bersemangat aja," jawab Rohan dengan nada datar.
Jack mengernyit, merasa tidak biasa melihat sahabatnya seperti ini. Dia mulai berpikir keras, mencari cara untuk membuat Rohan kembali ceria seperti biasanya. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya.
"Han, gimana kalau kita jalan-jalan pas hari pertama libur? Biar pikiran lu enggak suntuk terus," usul Jack dengan senyum penuh semangat.
Rohan melirik Jack dan tersenyum tipis. "Kita lihat nanti, ya."
Matahari bahkan belum menampakkan dirinya, tetapi Jack sudah tiba di depan rumah Rohan. Dia tampak sibuk mengatur barang bawaan yang ada di mobilnya. Suara mesin kendaraan yang terdengar di luar rumah membuat Rohan mengintip dari balik jendela kamarnya.
"Ayo, bro! Cepat ambil tasmu!" teriak Jack dengan penuh semangat, berdiri tepat di bawah jendela kamar Rohan.
Rohan yang sedang mengintip, terkejut hingga tersungkur ke belakang. "Kau ini! Ngagetin aja! Pagi-pagi buta sudah di sini. Mau ke mana, weh?" protes Rohan sambil bangkit berdiri.
"Udah, enggak usah banyak tanya! Cepetan turun, gue tunggu di mobil!" balas Jack, lalu menambahkan, "Oh iya, gue tadi udah izin sama emak lu di depan. Katanya langsung aja pergi, soalnya mau pergi bareng bapak lu. Jadi buruan!"
Tanpa menunggu jawaban, Jack berbalik menuju mobil, meninggalkan Rohan yang masih kebingungan di kamarnya.
***
Dalam perjalanan yang cukup panjang, suasana di dalam mobil terasa santai. Jack dan Rohan saling melempar canda, sesekali diselingi tawa kecil. Percakapan mereka pun berlangsung ringan namun menarik.
"Han, nanti kalau sudah sampai, kamu mau coba wahana apa dulu?" tanya Jack sambil fokus mengemudi.
Rohan yang duduk di sampingnya, menatap keluar jendela, menikmati langit biru yang cerah. "Pantai saja. Mungkin bagus," jawabnya pelan.
"Pantai doang? Gak tertarik nyobain flying fox atau dark zone?" goda Jack sambil melirik sahabatnya sekilas.
"Terserah kau saja," jawab Rohan singkat, suaranya terdengar datar. Sebenarnya, dia tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud Jack dengan "dark zone," tetapi dia terlalu malas untuk bertanya.
Di tengah percakapan ringan mereka, pandangan Rohan tiba-tiba tertuju pada sebuah bukit yang mereka lewati. Kabut tebal menyelimuti puncaknya, dan pepohonan lebat tampak menjulang misterius. "Bukit apa itu?" tanyanya, matanya tak lepas dari puncak yang nyaris tersembunyi.
"Itu Bukit Sena," jawab Jack santai, masih memegang kemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegang soda. "Kabutnya hampir selalu ada di sana. Dari jarak tertentu, bukit itu malah kayak hilang."
Rohan mengalihkan pandangannya ke sekitar. Jalanan yang sepi mulai menarik perhatiannya. Melihat ke kanan, kiri, lalu ke belakang melalui kaca spion, dia menyadari sesuatu. "Kenapa wilayah ini kelihatan kosong? Kayaknya cuma kita yang lewat sepanjang jalan ini."
Jack tiba-tiba menghentikan mobil di pinggir jalan, mengerem perlahan. Dia menoleh ke arah Rohan, mendekatkan wajahnya dengan ekspresi serius.
"Ada apa?" Rohan bergeser sedikit, merasa canggung.
"Misteri Bukit Sena... kau pernah dengar?" Jack berkata dengan nada rendah, seolah menyimpan rahasia besar.
"Tidak," Rohan menggeleng. "Jurusanku IPA, bukan IPS. Jadi nggak tahu soal bukit-bukit bersejarah. Dan kenapa muka lu kayak gitu? Bikin ngeri aja."
"Yaelah, muka gue emang kayak gini!" Jack tertawa kecil sebelum melanjutkan. "Oke, dengar. Kalau begitu, gue ceritakan di sini aja. Lagian, tempat ini cukup strategis buat melihat bukit itu lebih jelas." Dia menyesuaikan duduknya, seperti seorang pendongeng yang siap memulai kisahnya.
"Kau lihat bagian puncak itu, kan? Yang tertutup awan tebal?" Jack menunjuk ke arah bukit dengan dagunya. "Di sana, katanya ada reruntuhan kuno. Reruntuhan itu masih jadi misteri. Para peneliti kesulitan mencapainya karena kabut tebal dan jalan yang penuh jurang berbahaya. Akhirnya, mereka menyerah dan membiarkan reruntuhan itu tetap tersembunyi."
"Lalu kenapa jalan ini sepi banget?" tanya Rohan, matanya menyipit penuh penasaran.
Jack melanjutkan dengan nada yang sedikit lebih rendah, seperti ingin menambah kesan misterius. "Penduduk sekitar percaya kalau reruntuhan itu punya kekuatan magis. Mereka bilang, setiap tahun reruntuhan itu meminta tumbal. Banyak kecelakaan yang terjadi di sekitar sini, dan mereka menghubungkannya dengan kutukan dari bukit itu."
Rohan mengernyitkan alis. Cerita itu aneh, tapi anehnya, dia merasa ada sesuatu yang lebih dalam tentang tempat itu. "Kedengarannya seperti cerita film horor. Tapi... reruntuhan kuno, ya?" gumamnya pelan sambil terus menatap puncak bukit dari kejauhan.
Jack tersenyum lebar, puas telah menarik perhatian sahabatnya. "Ya, begitulah. Kalau kau penasaran, kita bisa kesana. Tapi sekarang, kita harus jalan. Bukit Sena nggak punya fasilitas liburan, bro."
Jack menyalakan mesin mobil, dan mereka melanjutkan perjalanan. Namun, selama sisa perjalanan itu, Rohan terus menoleh ke arah bukit yang perlahan menghilang dari pandangan. Ada rasa penasaran besar yang mulai menggelayuti pikirannya. Bukit Sena, reruntuhan kuno, dan kabut itu, semuanya terasa memanggilnya.
Suara deburan ombak yang menghantam batuan karang terdengar dari bawah pohon kelapa, tak jauh dari sebuah warung kecil di tepi pantai.
"Mau es kelapa muda? Tenang, gue yang traktir," ujar Jack dengan santai sambil membawa tiga buah kelapa di tangannya.
Rohan hanya tersenyum tipis. Dia tahu, meski menolak, Jack pasti akan memaksa hingga dia setuju.
Mereka berdua akhirnya duduk di kursi kayu yang menghadap langsung ke pantai. Di samping mereka, segelas es kelapa muda dan beberapa makanan khas pantai tersaji di meja. Angin laut yang lembut bertiup, sementara Rohan terlihat sibuk menatap langit. Melihat sahabatnya begitu pendiam, Jack mulai merasa penasaran.
Jack meletakkan gelas kelapanya di meja dan langsung memecah keheningan. "Woi, bro. Waktu ulang tahun lu kemarin, gue lihat lu agak aneh, deh. Kayaknya ada sesuatu yang bikin lu gak semangat. Ada apa sih?"
Rohan hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Cuma firasat lewat aja," jawabnya singkat.
Jack makin penasaran. "Firasat apa? Cerita dong."
Rohan menghela napas sebentar sebelum menjawab. "Entahlah, Jack. Kemarin itu gue ngerasa kayak ada yang ngikutin gue dari belakang. Tapi begitu gue sadar, sosok itu tiba-tiba hilang."
Jack menatap Rohan serius, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Tapi, tiba-tiba dia menyunggingkan senyum jahil. "Jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa?" Rohan menoleh cepat, ekspresinya serius.
"Jangan-jangan itu... fans lu, bro. Malu mau ngucapin selamat ulang tahun," ucap Jack sambil tertawa keras.
Rohan hanya menggeleng-gelengkan kepala, tak percaya sahabatnya bisa se-random itu. "Ah, nggak mungkin. Masa sampai segitunya," jawabnya heran.
Jack tak bisa menahan tawanya. "Eh, hey, jangan kira gue gak tahu ya! Gue lihat sendiri waktu istirahat pertama kemarin, ciwi-ciwi pada ngantri kayak wartawan, ngasih hadiah ke lu. Makanya lokermu sampai penuh hiasan!"
Rohan memutar bola matanya, lalu tersenyum tipis. "Lu ini kebanyakan ngamatin orang, bukannya belajar." Keduanya pun tertawa bersama.
Popularitas Rohan di sekolah memang cukup tinggi. Selain wajahnya yang menarik perhatian, prestasinya pun luar biasa. Dia berhasil membawa nama sekolah ke kancah internasional dalam lomba akademik, membuat banyak siswa, bahkan guru, menganggapnya sebagai pahlawan. Hasil dari kemenangan itu sebagian dia sumbangkan ke panti asuhan tempat dia dibesarkan, sementara sisanya dia tabung untuk masa depan.
Hari mulai gelap, dan mereka memutuskan untuk pulang. Namun, Rohan menyadari Jack mengambil jalur yang berbeda dari rute yang mereka lalui pagi tadi.
"Kenapa nggak lewat jalan yang tadi pagi?" tanya Rohan, sedikit bingung dengan pilihan sahabatnya.
Jack tetap fokus mengemudi sambil menjawab, "Jalan tadi kalau malam penerangannya minim, ditambah kabut tebal sering turun di sana. Terlalu berbahaya."
Rohan hanya mengangguk pelan, menerima penjelasan Jack, sementara mobil terus melaju di jalan yang lebih aman.
Setelah sampai di rumah Rohan, Jack menepikan mobil dan berkata, "Oh ya, Han, gue mau kasih tahu. Besok gue bakal ke luar kota untuk beberapa hari. Ada urusan keluarga yang harus gue urus. Makanya hari ini gue mau habisin waktu sama lu dulu."
Rohan mengangguk sambil tersenyum kecil. "Hati-hati di jalan ya. Kalau butuh sesuatu, kabarin gue aja."
Jack membalas dengan anggukan, "Siap, bro. Lu juga jaga diri."
Mereka pun berpisah dengan saling melambaikan tangan. Malam itu terasa tenang, namun di dalam benak Rohan, rasa penasaran tentang sosok yang mengikutinya kemarin mulai mengusik lagi.
Hari itu, Rohan merasa sangat senang meskipun di balik kebahagiaannya, ada rasa penasaran yang terus menggelayut di pikirannya tentang Bukit Sena.
Malam harinya, dia duduk di dekat jendela kamarnya, mengambil selembar kertas dan pena dari meja kecil di sampingnya. Dia mulai menuliskan pengalaman hari itu, liburan bersama Jack di pantai Ancol. Setiap detail kecil dia catat, dari gelak tawa hingga percakapan ringan mereka. Namun, perhatian Rohan kemudian tertuju pada sebuah kertas lama yang terlipat rapi di antara buku-bukunya.
Kertas itu adalah kenangan dari masa kecilnya, saat pertama kali dia bertemu Jack di taman. Saat itu, Rohan berusia sekitar tujuh tahun, duduk sendiri di ayunan, melamun tentang seseorang yang telah lama menghilang dari hidupnya, orang yang bahkan dia tahu tidak akan pernah bisa dia temui lagi.
Tiba-tiba, seorang anak lain menghampirinya, mengajaknya bermain. Penampilannya menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga kaya. Merasa dirinya tidak pantas bermain dengan anak itu, Rohan menjauh, tetapi anak tersebut terus mendekatinya dan memperkenalkan dirinya. Bahkan, dia mengenalkan kedua orang tuanya yang ternyata ramah dan penuh perhatian.
Sejak hari itu, anak itu yang tak lain adalah Jack, selalu menemani dan bermain bersamanya. Keluarga Jack sering membantu panti asuhan tempat Rohan tinggal, memberikan dukungan baik secara moral maupun finansial.
Rohan menyadari bahwa memiliki sahabat seperti Jack adalah anugerah yang langka. Jack tidak pernah memandang status, nama keluarga, atau harta. Dia selalu ada untuk menghibur dan menemani, meskipun terkadang mereka bertengkar kecil, yang tak lebih dari sekadar bumbu persahabatan. Bagi Rohan, Jack lebih dari sekadar sahabat, dia seperti seorang kakak baginya.
Namun, di balik kebersamaan itu, ada satu hal yang terus membuat Rohan bertanya-tanya, siapa sebenarnya dirinya? Ibu panti, yang juga ibu angkatnya, hanya mengatakan bahwa kedua orang tuanya meninggal karena penyakit. Selain itu, tak ada yang tahu tentang asal-usulnya. Rohan diantar ke panti oleh seorang warga yang menemukannya terlantar dan tidak tahu harus membawanya ke mana. Tak ada petunjuk tentang kerabat atau saudara yang mungkin dia miliki.
Semakin hari, rasa penasaran itu semakin membesar. Rohan merasa sudah cukup dewasa dan mandiri untuk mencari tahu sendiri tentang asal-usulnya. Dia memberanikan diri meminta alamat tempat kelahirannya kepada Ibu Darmi. Dengan berat hati, Ibu Darmi memberikan secarik kertas kecil berisi nama sebuah desa.
Desa itu bernama Talakrimbun, sebuah tempat jauh dari hiruk-pikuk Jakarta. Rohan memutuskan untuk mengunjunginya. Untuk pertama kalinya, dia akan menjejakkan kaki di tanah kelahirannya, mencari jawaban atas misteri masa lalunya.
Pusat kota Jakarta cukup ramai pagi itu. Meski awan hitam menggantung di langit, orang-orang tetap beraktivitas, sibuk menuju tujuan masing-masing. Di antara keramaian itu, Rohan berdiri di halte bus dengan pandangan tertuju pada secarik kertas yang diberikan oleh ibu angkatnya. Kertas itu berisi alamat dan nama seseorang yang harus dia cari di Desa Talakrimbun.
Ketika bus tiba, para penumpang mulai naik satu per satu. Rohan mengambil tempat duduk di pojok belakang, memilih untuk menyendiri. Dia menatap keluar jendela, membiarkan pikirannya melayang bersama pemandangan kota yang perlahan berubah. Sesekali, matanya tertuju pada seorang ibu dan anak kecil di kursi sebelahnya. Mereka bercanda dan tertawa kecil, menikmati kebersamaan mereka. Pemandangan itu membuat Rohan bertanya-tanya dalam hati, Seperti apa rupa ibu kandungku? Jika nanti ada foto, apakah aku bisa mengenali wajahnya?
Dalam perjalanan menuju Desa Talakrimbun, pemandangan semakin berubah. Gedung-gedung tinggi berganti dengan perbukitan dan hamparan sawah. Rohan terus memandangi luar jendela, mengamati setiap detail di sepanjang jalan. Hingga akhirnya, sebuah jalur yang sepi dan sunyi menarik perhatiannya. Dia merasa familiar dengan tempat itu.
Tak lama kemudian, pandangannya tertuju pada sebuah bukit yang terlihat dari kejauhan, dikelilingi oleh kabut tebal. Bukit itu... bukankah itu Bukit Sena? pikirnya. Bukit yang misterinya pernah diceritakan Jack tiba-tiba membuat pikirannya penuh tanda tanya.
Bus berhenti di halte kecil bertuliskan Talakrimbun 2. Rohan turun dengan hati-hati, melirik sekeliling yang tampak sunyi. Dari halte itu, dia mulai berjalan mengikuti petunjuk yang ada di kertasnya. Desa Talakrimbun tampak sederhana dan terpencil. Jalan menuju desa itu dikelilingi kebun dan hutan kecil yang menghijau.
Namun, untuk benar-benar mencapai desa, Rohan harus berjalan kaki melewati jalan setapak di tengah kebun dan menaiki bukit yang semakin tinggi. Semakin jauh dia melangkah, suasana menjadi lebih tenang, hanya ditemani suara burung dan angin yang berhembus pelan. Desa Talakrimbun terasa seperti tempat yang terputus dari hiruk-pikuk dunia luar, sebuah wilayah yang menyimpan cerita tersendiri.
Rohan menggenggam kertas itu erat, merasa langkahnya semakin dekat pada jawaban yang telah lama dia cari.
Tidak terasa perjalanan Rohan sudah lebih satu jam lamanya. Terlihat beberapa rumah penduduk yang tersembunyi dibalik pepohonan. Rohan menghampiri salah satu warga yang sedang berada di pinggiran sawah.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak tahu alamat ini?" tanya Rohan sambil menunjukkan kertas di tangannya.
Bapak itu sedang memikul tumpukan padi, memandangi Rohan dengan tatapan ragu. "Sepertinya saya belum pernah melihat Anda sebelumnya. Mengapa Anda mencari alamat ini? Apa hubungan Anda dengan keluarga ini?"
Rohan tersenyum kecil sebelum menjawab. "Nama saya Rohan, Pak. Saya berasal dari panti asuhan di pusat Kota Jakarta. Saya ingin mencari tahu tentang orang tua kandung saya. Ibu angkat saya memberikan alamat ini, katanya seseorang dari desa ini yang membawa saya ke panti."
Bapak itu mengangguk perlahan, lalu menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil di dekat sawah. "Tunggu di sana sebentar. Setelah pekerjaan saya selesai, saya akan mengantar Anda."
Rohan merasa lega. Harapannya untuk mengetahui kebenaran tentang keluarganya tampak semakin dekat.
Setelah sekitar 15 menit, Bapak tadi menghampiri Rohan. Dengan senyuman hangat, dia mengajak Rohan pergi. "Oh iya, Nak. Nama saya Agus," ucapnya sambil memikul tumpukan padi.
"Terima kasih, Pak Agus," balas Rohan dengan sopan.
Di sepanjang perjalanan menuju alamat yang tertera di kertas, Rohan melihat suasana desa yang begitu berbeda dari kota. Penduduk desa menyapa dengan ramah, dan anak-anak kecil berlarian, sesekali mencoba mengajaknya bermain. Sayangnya, Rohan harus melanjutkan perjalanannya.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah besar yang bersih dan rapi. Pak Agus meminta Rohan menunggu sementara dia menemui seseorang di halaman rumah. Tak lama kemudian, seorang pria berpakaian batik dan berpeci hitam berjalan mendekati Rohan bersama Pak Agus.
"Selamat pagi, Nak Rohan. Perkenalkan, saya Kepala Desa Talakrimbun," ucap pria itu sambil mengulurkan tangan.
Rohan menyambut uluran tangannya. "Nama saya Rohan, Pak," jawabnya singkat.
"Kata Pak Agus, Anda ingin mencari tahu tentang orang tua kandung Anda. Siapa yang memberikan alamat ini?" tanya Kepala Desa dengan nada lembut.
"Ibu angkat saya, Pak. Karena saya merasa sudah cukup umur untuk bepergian sendiri, saya memutuskan untuk datang ke sini," jawab Rohan, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Kepala Desa mengangguk paham. "Ayo, kita bicara di dalam. Tidak enak berbincang di luar seperti ini," ajaknya sambil tersenyum.
Pak Agus berpamitan sebentar. "Bapak Kepala Desa, silakan berbincang dulu dengan Nak Rohan. Saya akan carikan minuman dingin," katanya sambil berjalan ke arah warung terdekat.
Rohan merasa sedikit tidak enak telah merepotkan Pak Agus, tetapi dia hanya bisa diam sambil mengikuti Kepala Desa masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu, Kepala Desa memulai percakapan dengan hati-hati. "Nak Rohan, bolehkah saya bertanya sesuatu lagi? Hanya untuk memastikan saja."
"Silakan, Pak. Saya akan menjawab sebisa saya," jawab Rohan, masih gugup.
"Baiklah. Kalau boleh tahu, siapa yang mengantar Anda ke panti asuhan dulu?" tanya Kepala Desa sambil memperhatikan wajah Rohan.
Rohan mencoba mengingat cerita yang sering dia dengar. "Ibu Dwi, Pak. Kata ibu angkat saya, Ibu Dwi adalah warga sekitar sini yang merasa kasihan pada saya. Beliau membawa saya yang masih bayi ke panti untuk mendapatkan perawatan dan bantuan."
Kepala Desa tampak berpikir sejenak. Keningnya berkerut, matanya menatap ke atas seolah mencari sesuatu dalam ingatannya. "Nak Rohan," katanya pelan, "Ibu Dwi bukan warga sekitar sini. Beliau adalah adik dari Ibu Sarah, yang merupakan ibu kandung Anda."
Penjelasan itu membuat Rohan terdiam. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang dalam. Bagaimana bisa seseorang yang dianggap warga biasa ternyata memiliki hubungan darah dengannya?
Melihat Rohan mulai kelelahan setelah perjalanan panjang, Kepala Desa memutuskan untuk menghentikan pembicaraan sementara. "Nak Rohan, Anda terlihat lelah. Istirahatlah dulu. Di lantai dua ada kamar kosong, Anda bisa menggunakannya," ujar Kepala Desa dengan nada ramah.
Rohan mengucapkan terima kasih sebelum naik ke kamar. Di dalam, dia duduk di tepi ranjang, pikirannya penuh dengan pertanyaan. Jika Ibu Dwi adalah adik dari ibu kandungnya, mengapa tidak ada yang pernah memberitahunya sebelumnya?
Berusaha mencari jawaban dalam pikirannya sendiri, Rohan akhirnya terbaring di tempat tidur. Namun, semua pertanyaan itu terasa semakin membingungkan. Perlahan, kelelahan menguasai tubuhnya, dan dia pun tertidur dengan pikiran yang masih penuh tanda tanya.
Sore harinya ada seseorang yang datang. Dengan kerudung dan baju daster serta badan yang berisi berlarian kecil menuju kamar Rohan. Dia terlihat senang manatap Rohan dan langsung memeluknya.
"Ternyata ini toh putra Pak Budi. Bagusmen wajahe," ucap orang itu dengan senyuman gembira.
Mereka berdua duduk, "Anu, simbok ki mbiyen akrab karo bapak ibumu. Saiki putrane wes gede. Mbiyen simbok seng rawat Nak Rohan nganti umur setahun."
Rohan tersenyum tidak menyangka kalau dulu dirawat oleh seseorang yang akan tatap muka langsung dengannya. Percakapan yang menggunakan bahasa daerah sekitar membuat Rohan tidak terlalu paham. Itu sebabnya Rohan menjawab dengan bahasa Indonesia.
"Baiklah, simbok..?"
"Simbok Tri. Tapi, Nak Rohan manggil simbok mawon."
"Gih."
Melihat ada kesempatan mengetahui orang tuanya dulu Rohan langsung bertanya, "Simbok, Rohan mau tanya boleh?"
"Tanya apa?"
"Dulu orang tua Rohan seperti apa?"
Simbok terdiam seperti mengingat masa lalu dimana orang tua Rohan masih hidup. Simbok tersenyum membuat Rohan memiliki firasat yang baik.
"Pak Budi, perwira bangsa gagah, gede, dhuwur lan wajahe bagus seperti Nak Rohan. Sifat becik lan seneng tetulung. Dari iku, warga senantiasa resik-resik omah iki. Mung niki seng iso gawe kenang-kenangan. Oh yo, kayane ono fotone. Sek ya, simbok golekke," Simbok pergi ke kamar sebelah dan mengambil sebuah foto album tersembunyi.
"Iki, album foto keluarga Pak Budi. Iki ibumu rupane ayu koyo kembang melati. Ibumu jenenge Bu Ani Sarah." Simbok memberikan foto itu ke Rohan. Rohan menatap lama foto itu, ternyata wajahnya tidak jauh beda dengan ayah kandung itu.
Setelah lama membahas foto album. Simbok mengajak Rohan berkeliling desa. Simbok tau kalau Rohan kesepian di rumah besar tanpa ditemani siapapun.
Menyusuri jalan kecil yang masih beralas tanah dengan pepohonan yang masih rindang. Tempat yang jauh dari kota bahkan mungkin tidak terlihat di map GPS.
Sepertinya Desa Talakrimbun belum dialiri arus listrik sama sekali. Tidak terlihat kabel apapun yang menggantung dari rumah ke rumah. Rohan merasa prihatin dari hal itu, seandainya ada sedikit bantuan yang datang, desa itu akan lebih mudah mendapat arus listrik.
Anak-anak yang tadi menyambut Rohan berkerumun dan mengajaknya bermain. Para warga tidak heran karena jarang ada orang kota yang datang, selain itu Rohan memiliki rupa tampan menawan hidung mancung dan berkulit putih seperti ayahnya kata simbok, yang menarik perhatian anak-anak.
"Kakak main *sepak sikong* bareng kami ya," Ajak salah satu anak perempuan yang berkerumun.
Rohan tidak tau permainan apa itu, namun dia tetap ikut ke dalamnya. Karena Rohan baru ikut, anak-anak itu memilih Rohan sebagai penjaga sandal yang telah disusun.
"Kakak jaga ini? Tunggu ya, jelaskan dulu permainannya biar kakak paham," tanyanya dengan jongkok didepan gadis kecil itu.
Salah satu anak merangkulnya dari belakang, "Permainannya mudah, kakak jaga sandal itu saja. Lalu nanti kami sembunyi dan kakak mencari kami tapi masih harus menjaga sandal itu tetap tertumpuk. Jika kami berhasil merobohkannya, kakak kalah."
"Oke cukup menarik. Kalau begitu kalian cepat sembunyi." Rohan menutup matanya dan menunggu anak-anak siap pada tempat persembunyian mereka.
"Satu...dua...tiga.......selesai! Siap tidak aku cari!"
Rohan mencari mereka. Walaupun menemukan salah satu anak, anak-anak yang lain berhasil merobohkan sandal yang disusun itu sehingga Rohan yang selalu kalah.
Rohan duduk dengan melihat anak-anak itu berlari. Salah satu anak menghampiri, "Kakak nyerah?" Tanya anak itu.
"Iya, kalian bekerja sama kan buat ngalahin kakak," anak itu hanya tertawa kecil dan memanggil teman-temannya.
"Wah kakak kelelahan, berati kita menang" sorak mereka.
"Kakak ganteng, kakak kan dari kota, kota itu seperti apa?" tanya seorang anak perempuan disampingnya.
"Kota itu banyak gedung tinggi dan kendaraan lalu lalang serta banyak kabel dijalanan," penjelasan singkat Rohan.
"Apa kabel itu dialiri listrik, kak?" tanya salah satu anak.
"Iya, kabel itu dialiri listrik membuat lampu-lampu menyala terang. Selain untuk lampu, bisa untuk alat-alat lain seperti kompor, kipas angin, televisi dan masih banyak lagi," penjelasan singkat Rohan.
"Nanti kalau kami besar mau pergi ke kota saja. Disana banyak listrik mengalir, jadi gak usah pake lilin." sahut salah satu anak. Ucapan anak itu membuat Rohan menjadi prihatin.
Simbok mengajak Rohan pulang karena hari mulai gelap. Anak-anak yang tadi bermain di sekitar rumah pun mulai kembali ke rumah masing-masing.
Rohan memutuskan untuk menginap semalam di rumah besar itu, ditemani oleh Simbok dan suaminya, Pak Agus, yang telah mengantarnya tadi siang. Rumah itu ternyata adalah rumah peninggalan orang tua kandung Rohan, menyimpan banyak kenangan yang kini perlahan menghubungkan masa lalunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!