NovelToon NovelToon

Endless Legacy

Prolog

“Lari!” teriak seseorang yang mengenakan jubah putih itu seraya meluncurkan anak panahnya lagi.

Sementara temannya yang membawa pedang langsung beralih menghalau makhluk-makhluk jelek lain yang terus berdatangan dari lorong gelap.

“Jangan masuk ke dalam hutan! Kau tidak akan menemukan jalan keluar jika masuk ke dalam sana sendirian! Bersembunyilah di tempat yang menurutmu aman, kami akan menyusul!” katanya seraya melesat ke sisi lain.

Aku pun mengangguk seraya cepat-cepat bangkit berdiri dan bergegas menarik langkah selebar mungkin untuk kabur. Bebatuan di sekitar sini benar-benar licin karena banyak ditumbuhi lumut dan jamur. Aku terpaksa harus melepas heels-ku dan membuangnya, padahal sepatu itu baru kubeli satu minggu yang lalu dengan uang tabunganku sendiri.

It’s crazy!

This is absolutely crazy!

Akal sehatku terus berkecamuk. Seharusnya saat ini aku sedang berada di rumah sembari menikmati pelukan hangat dari selimut dan bantalku, bukan dikejar-kejar oleh makhluk mengerikan penghuni kastil tua!

Sekarang sumber peneranganku hanyalah sekawanan kunang-kunang kecil yang tengah berterbangan ke sana-kemari. Aku mulai kehilangan arah dan tak tahu lagi harus berlari sampai sejauh mana. Napasku tersengal-sengal. Haus dahaga serasa menjerat kerongkonganku. Aku berhenti sejenak, menyeka keningku yang telah dibanjiri oleh peluh sebesar biji jagung.

SRAKKK!

Sebuah tombak panjang tahu-tahu melesat ke arahku. Aku menelan ludah. Nyaliku benar-benar diuji tanpa ada persiapan yang matang. Untung saja tombak mematikan itu meleset dan menancap pada batang pohon yang ada di atas kepalaku.

“Cepat kejar dan tangkap dia!” Suara samar-samar itu terdengar dari hilir sungai.

Sudah kuduga. Tempat mengerikan ini memang dipenuhi oleh para makhluk bertampang iblis itu. Aku lekas kembali berlari sekuat tenaga dan mengurungkan niatku untuk menuju muara sungai. Sungguh! Kedua kakiku terasa sangat perih karena menginjak ranting-ranting tajam yang berduri.

Namun, belum sempat berlari terlalu jauh, dua makhluk berkabut hitam tiba-tiba muncul di depanku. Aku berbalik ke belakang, tapi yang lain juga ternyata sudah menghadang. Di samping kiriku sekarang cuma ada tembok batu setinggi puluhan meter, sedangkan di sebelah kananku terdapat tebing yang sangat curam.

Salah satu dari mereka berjalan mendekat, menyambar leherku lantas mengangkatnya persis seperti yang dilakukannya pada temanku. Aku terbatuk-batuk karena mulai kesulitan bernapas sementara kakiku hanya bisa menendang-nendang udara kosong.

Ia kemudian membawaku ke pinggir tebing. Rona wajahku surut seketika melihat kabut tebal yang menyelimuti pepohonan rimbun berdaun raksasa jauh di bawah sana. Kepakan sayap dari burung-burung yang menakutkan terdengar menggaung di telingaku.

Makhluk itu tertawa angkuh. “Selamat tinggal! Beristirahatlah dengan damai, Gadis manusia yang malang!” ucapnya lalu melepaskan cengkeramannya dari leherku.

01 - Hari yang buruk.

Musim gugur baru saja memasuki minggu ketiga. Namun, entah mengapa sejak dua hari yang lalu udara sudah terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Angin juga bertiup semakin kencang hingga menembus ke permukaan kulit. Meski begitu, rutinitasku tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Aku segera menghabiskan semua makanan yang ada di piringku dengan cepat. Hari ini sekolah kembali dimulai karena liburan musim panas telah berakhir.

“Kathleen, kau masih mau tambah sosisnya?” Mom menghampiriku sembari menawarkan lagi sosis bakar buatannya yang baru matang.

“Tidak. Sudah cukup, Mom. Terima kasih.” Aku bangkit berdiri, menaruh piring kotor di dapur dan segera melilitkan syal rajut merah yang kudapatkan dari hadiah perayaan Natal tahun kemarin ke leher. “Di mana Dad? Dia berjanji akan mengantarku ke sekolah pagi ini.”

“Oh, tadi kulihat masih ada di kamar. Mungkin sedang bersiap-siap.” Ia mengulas senyum lembut lalu tiba-tiba menengok ke belakang bahuku. “Nah, itu ayahmu. Pagi, Sayang!” sapanya seraya membantu memakaikan dasi.

Dad membalas sapaan Mom dengan sebuah kecupan manis.

Yeah, harus kuakui. Selama delapan belas tahun hidup di keluarga ini, mereka adalah pasangan paling harmonis yang pernah aku temui. Ibuku sangat penyabar, begitu juga ayahku-meski ia lumayan cerewet dan sering mencurigaiku yang aneh-aneh, seperti masalah cowok contohnya. Ia tidak percaya kalau aku belum pernah berpacaran dengan siapa pun. Serius, aku tidak bohong.

Kenapa? Alasannya karena sebagian besar cowok di sekolahku rata-rata playboy dan badboy. Jadi, aku tidak ingin membuang-buang waktuku yang berharga hanya untuk berurusan dengan cowok semacam itu. Biarpun kehidupan remajaku terbilang biasa-biasa saja, aku tetap bersyukur dapat hidup damai sebagai seorang gadis remaja nan manis menggemaskan bernama Kathleen Watson.

“Kau sudah siap, Kathleen?” tanya ayahku.

Aku menganggukkan kepala. “Ya. Ayo cepat, Dad! Lihat ini sudah jam berapa? Nanti kita bisa terlambat,” ajakku seraya berjalan ke ambang pintu.

“Oke, tunggu sebentar.” Ia menyahut sambil merogoh kedua saku celananya. “Sayang, apa kau melihat kunci mobilku?”

“Entahlah,” balas Mom yang kini tengah membereskan sisa sarapan di meja makan. “Coba periksa di dalam tasmu. Barangkali ada di sana.”

“Tidak ada.”

“Ingat baik-baik. Terakhir kali kau taruh di mana?”

Dad berpikir sejenak sembari menggosok pelan dagunya. “Bukankah kemarin sore kutitipkan padamu?”

“Aku tidak merasa menyimpannya. Habis pulang berkunjung dari rumah ibuku kemarin kau langsung tidur.”

“Benarkah?”

Aku menghela napas panjang. Ternyata benar kata pepatah, jodoh takkan ke mana. Sifat Dad juga sangat mirip dengan Mom yang pelupa. Kalau tahu begini, mendingan tadi aku naik bus saja ke sekolah. Rencanaku buat berangkat pagi malah menjadi sia-sia.

Setelah membongkar seluruh isi laci nakas, akhirnya kami justru menemukan kunci mobil itu di dalam saku mantel kasmir miliknya yang tergantung di hanger ruang tamu. Sudah tidak mengherankan lagi. Kunci mobilnya seperti punya kaki yang dapat berjalan-jalan sendiri.

“Maaf, kau harus bisa maklum. Umurku sudah menginjak kepala empat,” kelitnya. Ia selalu membela diri ketika aku memprotes.

Wah, pagi yang mengesankan! Sepertinya aku bakal dihukum membersihkan toilet gara-gara terlambat.

Dad lekas menyalakan mesin mobilnya dan mengantarku pergi ke sekolah, Wellington High School. Butuh waktu sekitar sepuluh menit berkendara dari kompleks perumahanku yang berada di Cambria Street. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Namun, jika berjalan kaki cukup melelahkan, apalagi belakangan ini cuaca sedang kurang bagus.

Di sepanjang jalan daun-daun Maple yang berwarna kuning keemasan tampak berguguran menghiasi setiap sudut kota. Hewan-hewan mamalia kecil seperti tupai sibuk berlompatan ke sana-kemari di antara ranting pohon demi mengumpulkan cadangan makanan untuk musim dingin nanti.

Sesampainya di depan pintu gerbang sekolahku, aku pun cepat-cepat melepas sabuk pengaman dan turun. “Terima kasih atas tumpangan gratismu, Dad.”

“Sama-sama,” balasnya antusias. “Selamat belajar ... ingat, jadilah gadis yang baik.”

“Yeah, doakan saja semoga minggu ini tidak ada yang mengajakku pergi berkencan,” ledekku sambil nyengir. Lalu, melompat turun dan berlari masuk ke area pelataran parkir.

Tahun ajaran baru kini telah menanti di depan mata. Begitu tiba di koridor, aku segera menghampiri papan besar yang terlihat sedang dikerumuni oleh banyak siswa. Suasana gaduh bukan karena ada pengumuman hasil nilai ujian semester, melainkan pembagian kelas yang sedikit merepotkan dan menyebalkan.

Metode pembelajaran di sekolahku ini memang agak berbeda dari kebanyakan high school lain yang ada di Kota Boston. Mata pelajaran wajib seperti matematika, sains, ilmu sosial, dan Bahasa Inggris membutuhkan kelas pokok. Sedangkan untuk mata pelajaran pilihan, barulah siswa bersangkutan yang akan pindah mencari kelasnya-sering disebut sistem moving class.

Di kesempatan kali ini, aku cuma berharap bisa sekelas lagi dengan kedua sahabat karibku, Arlene dan Natalie. Kami bertiga sudah berteman cukup lama. Lebih tepatnya, sejak tahun pertama hingga tingkat senior. Mereka adalah gadis yang menyenangkan serta tidak suka terlibat masalah seperti anak-anak lain.

Karena tinggi badanku yang agak pendek-hanya sekitar 160 cm-aku betul-betul kesulitan untuk mencari namaku sendiri. Semua siswa terus berdesak-desakan dan saling berebut ingin melihat, alhasil badanku jadi susah bergerak gara-gara terhimpit.

“Minggir, aku dulu!” teriak salah satu anak dengan suara lantang.

“Hei!” Aku memekik waktu ia tak sengaja menginjak kakiku. Dan apesnya, saat aku ingin kembali mendongak ke atas ada adik kelas bertubuh gempal yang tahu-tahu menyikut wajahku. Sikutannya lumayan kencang hingga membuatku nyaris terjengkang.

Empat cewek tukang gosip yang sedang asyik bergerombol di belakangku malah tertawa. “Uh, pasti sakit!” ejek mereka sambil bisik-bisik.

Aku memutar bola mata sembari memegangi hidungku yang merah. Menyebalkan sekali rasanya.

Seorang cowok berbadan tinggi tegap, mengenakan hoodie dengan paduan celana jeans serba hitam tiba-tiba datang kemudian berdiri di sebelahku. Separuh wajahnya yang tertutup tudung hoodie membuat dirinya tampak misterius. Ia langsung melihat daftar nama yang ada di papan besar itu dengan mudah berkat kaki jenjangnya.

Sebelum ia pergi, aku pun buru-buru menggeser posisi dari tempat semulaku berdiri menuju ke hadapannya.

“Permisi, apa aku boleh meminta bantuanmu sebentar?” tanyaku sambil menghalangi jalan sempit yang akan dilaluinya.

Cowok itu menghentikan langkah lalu sedikit menunduk ketika menengok ke arahku akibat perbedaan tinggi badan yang drastis.

“Apakah kau bisa membantu mencarikan namaku di sana?” pintaku seraya menunjuk ke arah papan.

Ia pun membuka tudung hoodie yang dikenakannya dan bertanya, “Nama?”

“Umm ... Watson. Bukan. Maksudku, Kathleen Watson. Kau bisa mencari namaku di huruf depan K,” jawabku yang mendadak gugup ketika menatapnya. Kugelengkan kepala untuk menyadarkan diriku yang sempat terpana melihat wajah tampan cowok itu.

Matanya berwarna kelabu dan teduh bagaikan langit musim salju. Rambutnya hitam sedikit ikal dengan rahang tegas berikut hidung mancung yang hampir sempurna. Lalu saat ia berbicara tadi, suara lembutnya yang agak berat terdengar mengalun merdu di telingaku.

Aku terlalu sibuk mendeskripsikan ketampanannya sampai tidak fokus dengan apa yang telah ia ucapkan. “Sori, kau tadi bilang apa?”

“Ruang satu lantai tiga.”

“Oh, oke. Terima ka—” balasku yang belum selesai mengucapkan kata terima kasih, namun ia sudah pergi melewatiku begitu saja.

Pikiranku langsung bertanya-tanya. Siapa cowok itu? Apakah dia murid baru di sini?

02 - Geng pembuat onar.

Arloji kecil yang melingkar di tangan kiriku sekarang telah menunjukkan pukul delapan kurang lima menit. Aku segera pergi menyusuri lorong lantai tiga gedung utama untuk mencari di mana ruang kelasku. Untung saja masih ada sisa sedikit waktu sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Jadi, bagusnya aku tidak perlu repot-repot membersihkan toilet atau malah disetrap karena terlambat.

Setelah beberapa kali mondar-mandir kebingungan, ruang kelas yang kucari-cari tersebut pun akhirnya kutemukan. Letaknya ternyata berada di depan gimnasium dan agak menyerong dari area perpustakaan.

Aku mampir sebentar ke majalah dinding kecil sebelah pintu masuk untuk melihat siapa saja nama teman-temanku yang terdaftar di ruang nomor satu. Jumlah siswa tahun ini rupanya meningkat dari dua puluh lima menjadi tiga puluh anak per kelas.

“What the—” lontarku yang nyaris keceplosan mengumpat ketika membacanya.

Aku tidak sekelas lagi dengan Arlene maupun Natalie, tapi justru sekelas dengan tiga cewek resek itu-Chloris berikut dua antek-anteknya, Maggie dan Rowena. Sialnya lagi, di sini juga ada James dan Henry, si dua cowok tengil pembuat onar. Semangatku mendadak kandas. Hancur sudah harapanku bisa belajar dengan tenang di sini.

Waktu membuka pintu kelas-hendak melangkah masuk-sebuah remasan bola kertas yang berukuran lumayan besar langsung mendarat di wajahku. Entah mereka sengaja atau tidak, tapi itu benar-benar membuatku kesal di hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang kemarin.

“Ups, sorry!” imbuh Maggie sambil mengibaskan rambut cokelat terangnya dengan gaya sok dramatis. Teman-teman segengnya ikut terkekeh mengejek.

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengambil remasan bola kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Terus terang saja aku terlalu malas berurusan dengan anak-anak yang suka mencari masalah. Percayalah, menanggapi mereka tak akan ada habisnya karena yang ada malah kau bakal ikut terkena masalah juga. Lebih baik, menjaga jarak sejauh mungkin.

Aku terdiam sesaat-masih berusaha bersikap sabar-sambil mengedarkan pandang ke sekeliling untuk mencari tempat duduk.

Tak disangka-sangka, cowok bertubuh semampai yang kutemui di koridor tadi ternyata kami juga satu kelas. Aku duduk di sebelahnya karena kebetulan hanya tersisa satu bangku kosong di sana.

“Hai! Kita ketemu lagi,” sapaku ramah sembari menarik kursi untuk duduk. “Aku Kathleen. Cewek yang tadi bertemu denganmu di koridor. Apa kau masih ingat?”

Ia hanya melirikku sekilas kemudian kembali fokus pada buku yang sedang dibacanya.

Aku mengulum bibir lalu memutuskan untuk melanjutkan ucapan terima kasihku yang belum sempat tersampaikan. “Ah ya, terima kasih karena kau tadi sudah mau membantuku. Ngomong-ngomong, siapa namamu? Semoga kita bisa menjadi teman baik nanti,” kataku seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan.

Namun, sayangnya tidak digubris. Ia tetap cuek. Rasanya seperti berbicara dengan tembok. Aku pun menarik tanganku kembali. Mungkin deretan kalimat dalam buku itu lebih menarik baginya.

Sembari mengeluarkan kotak pensil dari dalam tas, kuamati ekspresi wajahnya yang tetap datar. Ia tidak terlihat tertawa atau bahkan tersenyum sama sekali. Hmm, orang aneh ....

“Kau lihat apa? Memangnya tidak ada pemandangan lain yang bisa kau perhatikan selain wajahku?” tukas cowok itu secara tiba-tiba. Suaranya tidak terlalu keras, tapi nada bicaranya yang ketus membuat orang-orang di sekitar otomatis mendelik ke arahku.

“Oh, m-maaf.” Aku menggosok hidung dan segera berpaling muka.

Oke, sepertinya ini peringatan pertama buatmu, Kathleen. Dia bukan cowok yang suka beramah-tamah dan bagusnya lagi kau justru sudah mengganggunya.

Selang beberapa saat kemudian, Mrs. Pamela terlihat melangkah masuk ke dalam ruang kelas.

“Attention, please!” teriaknya meminta perhatian para siswa.

Semua anak pun berhenti mengobrol.

“Baik, terima kasih kalian sudah mau mendengarkan. Pertama-tama, aku sebagai wakil dari kelas ini ingin mengucapkan selamat datang dan selamat kembali ke sekolah. Kuharap kita semua dapat bekerja sama dengan baik selama satu tahun ke depan karena tahun ini merupakan tahun terakhir kalian bersekolah di sini,” ujarnya menjelaskan.

“Ugh, apa benaran tidak ada tambahan hari libur?” James menyela dengan santainya. “Aku masih belum sempat menikmati masa-masa liburanku yang sangat berharga ....”

“Yeah, kau benar, Man! Nasib kita berdua sama,” sambung Henry.

“Well, sayangnya tidak ada tambahan hari libur apapun. Kalau kalian memang mau waktu liburan yang lebih panjang, kalian harus berperilaku baik agar tidak perlu mengulang banyak mata pelajaran lagi di kelas musim panas yang membosankan, Mr. Hawkins and Mr. Stuart,” balas guru itu sambil bersedekap. Ia geleng-geleng kepala lalu berjalan mendekati meja seorang cowok yang duduk di sampingku.

“William, tolong bantu aku mengisi daftar kehadiran setiap siswa yang ada di kelas ini. Kalau sudah, kau bisa taruh lagi kertasnya di meja depan.”

“Yes, Ma'am,” balasnya lantas mengisi kertas absen yang diberikan oleh Mrs. Pamela.

Aku mengerutkan kening. Tunggu-tunggu, apa barusan aku tidak salah dengar? William? Ternyata ... dia ini William?! Murid pindahan dari Charleston yang katanya baru bergabung tahun lalu? Berarti, julukan si kulkas dua pintu yang sempat beredar itu adalah dirinya?

Oh, sungguh! Entah apa yang sudah kuperhatikan selama bersekolah di sini. Aku baru ingat kalau dulu aku juga sering berpapasan dengannya saat pergantian kelas. Tapi, aku tidak pernah tahu kalau dia adalah William Anderson. Pantas saja wajahnya tidak asing. Rupanya, dia cowok apatis yang sempat menjadi bahan pembicaraan selama satu semester kemarin!

***

Saat bel jam istirahat makan siang berbunyi, aku cepat-cepat keluar dari kelas yang bising ini untuk mencari Arlene dan Natalie. Kami belum bertemu sejak pagi tadi. Dan kini, di ujung lorong kulihat Arlene sedang berlarian kecil menghampiriku.

“Kathleen!” Ia melambai. Air mukanya berseri-seri.

Natalie sekonyong-konyong muncul dari belakang dan menyenggol lenganku. “Biasalah ... Kevin,” bisiknya penuh arti.

Sudah kuduga. Arlene memang gadis yang sangat beruntung. Selain berparas cantik, sekarang ia pun bisa sekelas dengan pujaan hatinya-Kevin Robinson, cowok tertampan di sekolah ini. Bukan cuma modal tampan, ia juga berbakat, jenius, mudah bersosialisasi, dan memiliki kepribadian yang baik.

Berbeda sekali dengan James dan Henry, mereka berdua juga berpenampilan keren serta tidak kalah modis. Hanya saja, jika melihat dari kelakuan dua cowok tengil itu rasanya kuingin menjambak rambut mereka sampai rontok. Itu pun kalau aku berani. Jadi, lupakan saja.

Sahabat-sahabatku ini-Arlene dan Natalie-aku tidak seberuntung mereka berdua. Arlene sekarang memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati Kevin. Sedangkan Natalie, ia bisa merasa aman damai di kelas barunya karena semua trouble maker sudah berkumpul menjadi satu di kelasku.

Sementara aku? Aku sama sekali tidak mendapat keberuntungan apapun sejak pembagian kelas tadi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!