NovelToon NovelToon

MENJADI WANITA SIMPANAN

Part 1

Namaku Rania Nazmira Prawesti. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Aku punya kakak namanya Arga Azmi Prakarsa. Aku seseorang yang segala ingin tahu apa yang dilarang orang tuaku. Aku ingin tahu mengapa mereka melarangku ini dan itu. Sudah pasti aku sering membangkang kedua orang tuaku.

Karena pergaulan yang salah aku terjebak ke dalam lingkaran hitam perzinahan bersama pacarku yang tidak mau bertanggung jawab atas anak yang aku kandung. Pergi begitu saja tanpa ada sepatah kata.

Selepas meninggalkan anakku di rumah bidan, aku pergi ke kota besar untuk bekerja. Aku bekerja sebagai SPG HP di sebuah toko selular. Maksud ingin mengubah hidupku. Namun, ku terjebak lagi dalam lingkaran hitam itu. Seakan tidak memikirkan akan dosa, aku terus menerus terjerumus ke dalamnya.

Dua tahun aku bekerja di kota besar aku berpacaran dengan Mas Herdi yang sebelumnya aku tidak mengetahui kalau dia sudah berkeluarga. Satu tahun aku menjalani hubungan dengannya tanpa rasa curiga. Hingga pada suatu hari istrinya datang ke rumah kontrakan ku. Istrinya memaki dan menjambak rambutku tanpa ampun. Aku yang tidak tahu apa-apa malah semakin di siksanya. Sampai akhirnya ia mengakui kalau dia istri sah Mas Herdi.

Tentu aku sakit hati saat itu. Aku merasa telah di tipu oleh Mas Herdi. Rasa kesal dan marahku ku lampiaskan saat Mas Herdi mengunjungi ku. Dan akhirnya kami pun putus saat itu.

"Kau menipuku. Kau bilang masih lajang tapi ternyata kau sudah berkeluarga. Kita akhiri hubungan kita. Demi keutuhan rumah tanggamu. Jangan pernah lagi menghubungiku." Aku sangat marah ketika itu.

"Baik. Maafkan aku," hanya itu yang diucapkan Mas Herdi.

Setelah putus dengan Mas Herdi, dua bulan kemudian aku mengenal seorang Arifin Hadiwijaya. Dia orangnya baik, royal dan perhatian padaku. Setelah berkenalan kurang lebih empat bulan. Mas Arif menyatakan perasaannya padaku dan aku menerimanya. Tapi dia jujur kalau dia sudah mempunyai istri. Entah mengapa merasa nyaman bersamanya, merasa terlindungi, dan merasa mempunyai tempat bertukar cerita.

Hubunganku dengan Mas Arif berjalan cukup lama. Mas Arif memberikanku sebuah apartemen, biaya hidupku terjamin dengan adanya Mas Arif.

"Terimakasih, Mas. Kau sudah memberikanku segalanya. Apartemen, mobil dengan supirnya, kartu kredit, dan semua biaya hidupku kamu yang tanggung," ucapku sembari merangkulnya manja

"Sama-sama, Rania. Mas senang jika kau senang," ucapnya balas merangkul ku.

Pandangan kita saling beradu, wajahnya semakin mendekat ke wajahku. Aku memejamkan mata bersiap menerima apa yang ia akan lakukan padaku. Terasa lembut dan sedikit lembab di keningku. Ya, Mas Arif mencium keningku beberapa detik. Bibir itu terlepas dari keningku dan aku membuka mata. Mas Arif tersenyum lalu memelukku dengan erat.

Jangan berharap aku akan menceritakan hubungan kami di ranjang. Karena kami tidak pernah melakukannya. Itulah yang membuatku semakin tak ingin lepas darinya. Mas Arif selalu menjaga yang satu itu. Entahlah aku juga heran. Kebanyakan orang yang seumuran dengannya jika mempunyai hubungan seperti ini pasti akan melakukannya tapi ia tidak.

Mas Arif akan datang ketika akhir pekan atau jika ia akan pergi keluar kota. Ia akan mengajakku untuk menemaninya bertemu koleganya. Setelah itu ia pulang dan aku hanya bisa menunggunya menghubungiku dan datang ke apartemen. Aku tidak bisa menghubunginya lebih dulu. Aku hanya bisa menunggunya lagi sampai ia datang lagi di minggu berikutnya.

Dengan segala kecukupan hidupku, aku masih saja merasa sedih. Sedih karena aku tidak bisa membesarkan anakku sendiri. Dulu ia aku tinggalkan begitu saja di rumah bidan itu.

Setiap bulan aku pergi ke desa itu mencari keberadaan anakku. Terdengar kabar kalau anakku yang di titipkan di rumah bidan di urus oleh Ibu RT di desa itu.

Aku melihat anakku dari kejauhan, ingin sekali memeluknya dan bermain dengannya. Tapi apa daya, aku sudah meninggalkannya begitu saja waktu itu. Mungkin sekarang putriku sudah berusia lima tahun, cantik dan menggemaskan.

Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur empuk di kamar apartemen mewah yang di belikan Mas Arif untukku. Ku pejamkan mata. Teringat senyum bibir mungil anakku yang sedang bermain dengan Bu RT sewaktu aku melihatnya di desa.

“Maafkan ibu, Nak.” Perlahan air mataku pun menetes tanpa permisi.

Sejenak aku tidak berbuat apa-apa selain menjerit dalam hati. Betapa jahatnya diriku pada darah daging ku sendiri. Padahal aku terlahir dari orang tua yang paham agama.

Ayah Ibuku seorang yang rajin ibadah. Namun, aku tidak suka dengan cara mereka yang mendidik ku dengan sangat keras. Aku yang tidak boleh bergaul jadi sangat liar saat berada di luar rumah. Dan semua peraturan yang orang tua berikan, aku melanggarnya.

Teringat jelas sewaktu aku kelas empat sekolah dasar, ayahku kerap kali memukulku karena aku tidak bisa menghafal bacaan ayat suci yang di perintahkannya. Di rumah seperti di neraka. Orang tuaku ingin aku menjadi wanita soleha tapi dengan cara kasar dan aku memberontak dengan caraku yang bertentangan dengan ajaran mereka.

Pikiranku yang masih labil membuatku tak bisa berpikir jernih. Seakan aku menyalahkan orang tuaku yang selalu membuatku tak nyaman berada di rumah. Kalau dibilang anak durhaka, mungkin aku pantas mendapatkannya.

Aku kabur dari rumah setelah lulus sekolah menengah kejuruan. Aku kabur dengan pacarku yang menjanjikan segala hal yang indah. Tapi ternyata dia juga meninggalkanku. Dia meninggalkanku ketika aku hamil besar dan sebentar lagi akan melahirkan. Masa laluku yang pahit untuk dikenang.

Ku buka mata, mencari telepon genggam ku yang berbunyi berkali-kali. Ternyata Mas Arif Meneleponku.

“Halo, Mas?”

“Mas dalam perjalanan ke tempatmu. Mau dibawakan apa?”

“Enggak usah bawa apa-apa. Mas datang saja aku sudah senang. Hati-hati di jalan.”

Ku tutup panggilannya dan segera pergi ke kamar mandi untuk mandi. Selesai mandi aku berdandan cantik, mengenakan baju yang minggu kemarin Mas Arif belikan untukku. Dengan begitu Mas Arif akan sangat senang jika aku memakai baju yang dibelikannya dan berdandan cantik.

Terdengar bunyi bel tiga kali. Ku buka pintu benar saja Mas Arif yang datang. Ia mengenakan kemeja putih dengan jas hitam, dasinya sudah tak berada di lehernya. Semua itu aku yang memilihkan untuknya sewaktu belanja di Singapura bulan lalu. Wangi parfumnya yang maskulin sangat khas. Kadang aku berpikir beberapa tentangnya sangat mirip dengan Gery mantan kekasihku.

Sosok Mas Arif buatku sangatlah idaman bagi para wanita. Ia tampan, usianya yang sudah menginjak empat puluh dua tahun masih terlihat seperti usia tiga puluhan. Lemah lembut, ia tak pernah berkata kasar.

“Bagaimana kabarmu? Kau semakin cantik saja.” Mas Arif memeluk dan mencium pipiku.

“Aku baik-baik saja, Mas,” jawabku.

Mas Arif duduk di sofa, sedangkan aku membuatkan kopi hitam favoritnya.

“Kemarin kau jadi menemui anakmu?” tanya Mas Arif.

Memang aku selalu meminta ijinnya untuk menemui anakku di desa itu.

“Jadi, Mas. Tadi siang baru pulang,” jawabku sambil menyodorkan secangkir kopi yang ku buat.

“Bagaimana keadaannya?” tanyanya lagi.

“Dia sangat cantik. Dia terlihat bahagia dengan orang tua angkatnya,” jawabku dengan memberikan senyuman menyembunyikan kesedihan dalam hati.

“Bawa dia bersamamu. Aku akan bertanggung jawab atas kalian berdua. Aku akan menikahi mu,” ucapnya serius.

NEXT>>>>

Like & comment

Klik ❤️ jg yaa biar dpt notif part terbarunya......

Part 2

“Menikah?” tanyaku tak percaya.

“Iya, kita menikah.” Tangan Mas Arif membelai lembut kepalaku, menyisir rambut panjangku dengan jarinya.

“Istrimu bagaimana?” Aku balik menatapnya tak kalah serius.

“Aku sudah bilang berkali-kali, kalau aku sedang bersamamu jangan menanyakan tentangnya.” Selalu saja begitu, dia tidak pernah menceritakan apapun tentang istri dan keluarganya.

“Terus bagaimana bisa menikahiku? Kau harus meminta ijinnya lebih dulu atau bercerai dengannya untuk menikahiku kan?” tanyaku lagi.

“Maaf.” Laki-laki berusia empat puluh dua tahun itu menunduk dihadapanku dan menggenggam tanganku. “Untuk saat ini aku hanya bisa menikahimu secara siri,” ucapnya sambil menatapku.

Aku tersenyum. Aku sendiri tak tahu apa arti senyum itu. Aku dan Mas Arif terpaut usia dua puluh tahun. Usia ku kini masih sangat muda, baru menginjak dua puluh dua tahun.

Aku bahagia akhirnya Mas Arif akan menikahiku. Tapi aku sedih, mengapa orang yang aku cintai adalah milik orang lain. Mas Arif tidak seutuhnya milikku dan aku hanya pelengkap saja baginya.

“Rania, sayang, Mas tidak mau kehilanganmu. Mas juga tidak mau kalau kamu sampai jatuh lagi kepelukan pria lain. Makanya Mas ingin mengesahkan hubungan kita. Mas ingin membahagiakanmu,” ucapnya dengan sungguh-sungguh padaku.

Aku tertawa dalam hati. Bahagia? Inikah kebahagiaanku? Menjadi wanita simpanan lelaki kaya raya, yang entah mengapa dia memperlakukan aku dengan baik sehingga aku sangat sulit melepasnya.

Dua hari Mas Arif bersamaku. Aku dimanjakan sekali olehnya. Dia mengantarku ke salon untuk perawatan, menemaniku belanja dan banyak hal lagi selama dua hari itu. Dia memberikanku limpahan materi. Aku sendiri hanya tahu dia seorang pengusaha entah pengusaha apa. Karena setiap bertanya tentang kehidupannya dia selalu menghindar dan mengatakan itu tak perlu ku ketahui.

Sebagai seorang wanita, aku tak ingin seperti ini. Cinta telah membutakan hatiku. Atas nama cinta aku rela menjadi wanita simpanan. Jika ditanya dosa? Dosaku sudah menggunung. Aku menyakiti hati wanita lain untuk menutupi luka hatiku. Jahat? Iya aku pun marah pada diriku sendiri.

Aku pun tak tahu mengapa aku menerimanya. Karena cinta, harta atau karena memang dia masih terlihat tampan dan berkharisma di usianya yang sudah tidak muda lagi. Entahlah, aku pun tak bisa menjawabnya. Hanya saja jika berada dengannya aku merasa aman dan nyaman. Aku seolah menemukan seseorang yang bisa menjagaku, mengerti aku, dan menyayangiku.

"Mas, aku mau ke supermarket sebentar. Mau belanja buat masak makan malam. Mas, gak perlu mengantarku. Biar aku sama supir saja," kataku.

"Berikan daftar belanjaannya sama supir biar dia yang belanja," balasnya.

"Enggak. Aku ingin belanja sendiri bahan makanan buat masakin makanan kesukaanmu. Nggak akan lama. Mas, tunggu aku sambil nge-gym di bawah ya," pintaku.

"Baiklah. Mas, memang gak bisa membantah keinginanmu."

Malam ini Mas Arif akan pulang, aku memasak makan malam sebelum ia pergi. Itu sudah menjadi kewajiban untukku, sebagai tanda terimakasih untuknya yang telah memberikanku semua yang ada di apartemen ini.

Aku mengisi troli dengan bahan makanan yang dibutuhkan untuk nanti memasak. Setelah kurasa sudah cukup, aku berjalan ke kasir untuk membayarnya. Petugas kasir menghitung semua belanjaan yang ada di troli.

Dari kejauhan aku melihat Bang Arga bersama seorang wanita. Aku melihatnya dengan seksama, benar itu Bang Arga. Sedang apa dia di sini?

Petugas kasir memberitahu nominal yang harus aku bayar. Aku memberikan benda pipih dari dalam dompet. Setelah semuanya selesai aku cepat - cepat berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. Belanjaan sudah dibawa supir dan dimasukkan ke dalam bagasi.

"Pak, cepat kita pergi sekarang!" perintahku.

"Baik, Non."

Aku pulang dengan perasaan was-was. Apakah Bang Arga melihatku atau tidak? Melihat Bang Arga aku jadi teringat ayah dan juga ibu. Sudah lama aku pergi dari rumah. Aku semakin merasa menjadi anak durhaka.

Sampai di apartemen Mas Arif belum kembali dari gym center. Aku mulai meracik bumbu dan mulai memasak. Pikiranku masih memikirkan melihat Bang Arga tadi di supermarket. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa Mas Arif sudah kembali.

"Sayang!" panggilnya membuatku kaget.

"Mas? Sudah pulang?" jawabku terkejut.

"Mas Kira kamu gak ada. Mas bel gak dibuka juga. Ya sudah Mas masuk saja. Tahunya sudah mulai wangi yang enak di mulut," ucapnya.

"Maaf, Mas. Tadi aku terlalu asyik memasak."

"Kamu gak lagi memikirkan yang lain kan?" tanyanya.

"Enggak. Mas ini ada-ada saja. Sudah cepat mandi! Aku mau lanjutkan masak." Aku mendorongnya sampai pintu kamar mandi. Lalu aku menyiapkan baju gantinya.

Mas Arif baru saja keluar dari kamar mandi, dikenakannya baju yang sudah aku siapkan di atas tempat tidur.

“Mas, makan malam sudah siap,” kataku.

“Hmmmm,” jawabnya hanya berdehem sambil mengancingkan kaos kerah warna putih miliknya.

Aku memeluknya dari belakang. "Mas, aku ingin kita selalu bersama," ucapku.

"Banyak-banyaklah berdoa, agar kita cepat bisa bersama," ucapnya berbalik dan memelukku.

"Apa aku gak akan salah berdoa untuk kita bersama?"

"Gak ada yang salah dengan doa. Yuk! Mas sudah lapar," melepaskan pelukannya.

Aku membereskan dan menata rapi bajunya ke dalam koper. Lalu kami berjalan menuju meja makan.

“Aku selalu merindukan masakan mu ini. Rasanya ingin memakannya setiap hari,” ucapnya tersenyum hangat ke arahku.

Ku berikan piring yang sudah ku isi makanan kesukaannya. Mas Arif sangat suka gurame asam manis buatan ku.

“Mas, kapan ke sini lagi?” tanyaku.

“Kamu maunya kapan?” dia balik bertanya.

“Aku ingin setiap hari Mas datang,” rengekku.

Mas Arif hanya menatapku, mungkin berharap aku mengerti posisinya lalu melanjutkan menyantap makanannya dengan lahap.

“Rania, sudah waktunya kamu pulang ke rumah orang tuamu,” ucapnya membuat dadaku nyeri dan tubuhku sedikit gemetar. “Bukan begitu, Mas tidak bermaksud menyinggung mu. Kamu masih boleh tinggal di sini. Maksud Mas, sudah terlalu lama kamu pergi. Apa kamu tidak merindukan mereka?”

Aku terdiam mendengar Mas Arif menyebutkan orang tuaku. Memang sudah lama sekali aku kabur dari rumah. Sudah lama juga aku tidak mencari kabar tentang orang tuaku.

“Ibu, ayah, apa kalian baik-baik saja?” batinku.

Sudah terlalu jauh aku melangkah meninggalkan mereka, meninggalkan orang yang sudah melahirkan dan mengurusku. Tapi jika aku kembali apa mereka akan memaafkan aku?

Kami sudah selesai makan malam, aku mengantarkan Mas Arif sampai depan pintu. Aku memeluknya dan dia mencium keningku.

“Mas pergi dulu, baik-baik ya sampai Mas datang. Oh ya, pikirkan ucapan Mas tadi. Mas akan mengantarmu kalau kamu sudah siap menemui mereka,” ucapnya sebelum pergi.

“Iya, Mas. Akan aku pikirkan. Hati-hati di jalan ya,” jawabku lalu mencium tangannya.

NEXT >>>>>>

like & comment

Part 3

Hari ini aku mulai bekerja kembali. Karena walau kehidupanku sudah tercukupi oleh Mas Arif, aku pun ingin punya kegiatan dan punya tabungan dari hasil keringatku sendiri.

Aku sudah memakai seragam berwarna putih hijau dengan berlogo merk ponsel kenamaan yang sedang hits masa kini. Pukul sembilan pagi toko sudah buka tapi masih sepi pengunjung. Aku menata etalase agar lebih menarik.

Baru sekitar pukul sebelas banyak berdatangan pengunjung ke toko. Dari sekian banyak pengunjung yang datang, mataku tertuju pada sosok lelaki yang sedang melihat fitur ponsel di layar monitor dinding. Dia Gery, lelaki yang tidak mau bertanggung jawab dan lari begitu saja meninggalkanku yang sedang hamil besar mengandung anaknya.

Aku berusaha untuk menghindarinya. Perasaan marah bercampur takut saat melihatnya ada di toko. Aku tak mau bertemu dengannya lagi. Hatiku sudah teramat sakit karenanya. Hidupku sudah hancur lebur karena mengikuti cinta palsu bersamanya.

Namun, takdir mengharuskan aku bertemu dengannya lagi. Aku bergantian istirahat makan siang dengan temanku. Aku makan di sebuah cafe dekat toko bersama salah satu teman kerjaku. Kami duduk menunggu pesanan datang, sibuk dengan ponsel masing-masing.

"Rania," panggil seseorang dan mendekat ke meja kami.

Aku mendongakkan wajah, melihat siapa yang memanggilku dan orang itu adalah Gery. Sia-sia aku menghindarinya sewaktu di toko, jika akhirnya bertemu juga di cafe.

Aku tak menjawab, tersenyum pun tidak. Aku mengabaikannya.

"Rania, kamu masih ingat aku kan?" Gery duduk di sebelahku.

Aku masih tidak bergeming dan mengabaikannya. Untuk apa dia menemuiku setelah apa yang sudah ia lakukan dulu.

Fira, temanku menatap heran.

"Rania, kita harus bicara," katanya lagi.

Aku tak menjawabnya dan memilih sibuk dengan ponselku.

"Ran, kayaknya aku harus pindah meja." Fira merasa tidak enak karena sepertinya Gery nampak serius.

"Enggak perlu, Fir. Biar dia yang pergi dari sini," kataku.

Gery tak berkata apa-apa lagi lalu ia pergi meninggalkan aku dan Fira.

"Siapa dia, Ran?" tanya Fira.

"Buaya darat," jawabku.

"Haha, cowok mana lagi nih? Enggak puas sama si Om Tampan (Mas Arif)," goda Fira.

"Aku sudah punya Om Tampan makanya aku enggak butuh buaya darat macam dia, haha." Aku dan Fira tertawa.

"Sepertinya istri Mas Haris sudah mulai curiga sama aku, Ran," lirih Fira.

"Sebaiknya dari sekarang kamu harus cepat mengambil keputusan, Fir," ujarku.

"Aku gak mau menyerah. Aku mencintai Mas Haris. Salah istrinya sendiri yang gak bisa buat Mas Haris betah ada di rumah." Fira membela diri.

Aku tersenyum pasi. "Aku malah gak pernah tahu kehidupan Mas Arif di rumahnya. Istrinya siapa dan anaknya berapa."

"Masa sih?" Fira mengerutkan keningnya.

Aku mengangguk. "Iya. Mas Arif tak pernah menceritakan apapun tentang keluarganya."

Setelah selesai makan siang dan sedikit berbincang kami pun kembali ke toko.

Pukul sembilan malam toko tutup dan aku baru bisa pulang pukul setengah sepuluh. Aku menunggu Mang Ucup, supir yang selalu mengantar jemputku, tentu saja mobil dan supirnya Mas Arif yang sediakan untukku. Tapi malam ini Mang Ucup telat menjemput, tidak seperti biasanya.

"Ran, mau bareng enggak?" tawar Fira.

"Enggak ah, aku tunggu Mang Ucup saja, sebentar lagi juga datang," tolakku.

"Ya sudah. Aku duluan ya." Fira berlalu masuk ke dalam mobil pacarnya.

Sudah pukul sepuluh malam Mang Ucup belum datang juga. Datang sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku. Dari pintu kemudi keluar seseorang dan ternyata Gery. Aku menghindar berjalan membelakanginya namun Gery lebih dulu meraih tanganku.

"Ran, jangan pergi!" cegahnya.

"Lepas," kataku sambil mencoba melepaskan cengkraman Gery di pergelangan tangan.

"Aku antar kau pulang," ucapnya.

"Enggak mau. Lepaskan!!" Genggaman Gery sangat kuat aku tak bisa melepaskan diri.

Gery menarikku masuk ke dalam mobilnya dan membawaku entah kemana. Aku memberontak namun Gery tetap melajukan mobilnya.

"Kau mau membawaku kemana?"

"Tenanglah! Enggak perlu takut sama aku. Aku enggak akan ngapa-ngapain kamu. Aku hanya ingin bicara sama kamu, Rania." ucapnya.

"Enggak ada yang harus dibicarakan lagi. Aku sudah menutup semuanya rapat-rapat. Jadi jangan coba untuk membukanya lagi," kataku.

Gery membelokkan setirnya ke pinggir jalan dan berhenti di sana. Aku berusaha keluar dari mobil tapi pintunya masih terkunci.

"Buka!" kataku.

Gery menggeleng. Tangannya memegang kedua pundakku. Menatapku serius.

"Aku harus membicarakan ini. Aku minta maaf waktu itu meninggalkanmu. Waktu itu aku masih labil dan belum punya pendirian. Tuntutan dari keluargaku pun kau tahu sendiri, aku harus berprestasi dan harus masuk perguruan tinggi negri. Belum lagi aku harus ikut olimpiade sains waktu itu. Aku tak bisa berpikir. Semenjak itu aku terus memikirkanmu, memikirkan anak kita, dan mencarimu kemana-mana. Aku tak bisa hidup dengan tenang. Ku mohon maafkan aku." Gery terlihat sedih dan terpukul.

"Sudah terlambat. Apa kamu bilang? Anak kita? Hey kamu nggak ingat? Kamu meninggalkanku saat aku hamil besar dan akan melahirkan. Dan kamu bilang anak kita? Haha lucu sekali. Aku sudah bahagia dan jangan pernah ganggu aku. Jangan pernah menampakkan diri lagi di hadapanku. Karena aku sudah tak ingin melihatmu. Aku ingin kau enyah saja dari dunia ini." Emosi ku meluap-luap, ku atur nafasku lalu turun dari mobil dan menyetop taxi yang lewat. Ku tinggalkan Gery yang ku lihat dia menangis. Ah mungkin saja itu air mata buaya.

Bayangan masa lalu yang pahit berputar di kepalaku. Selama ini aku sudah bersusah payah berusaha melupakan semua itu. Mengapa dia harus datang lagi? Mengapa dia harus datang lagi membuka luka lama yang sengaja aku tutup rapat.

Aku turun dari taxi. Aku berjalan seakan melayang tak menapak. Ku buka pintu, betapa leganya ketika ku lihat Mas Arif sedang duduk menungguku. Aku langsung berhambur memeluknya.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Mas Arif sembari mengelus rambutku.

"Aku bertemu dengannya, Mas." Aku menangis menjawabnya.

"Siapa?"

"Gery."

Mas Arif terus membelai rambutku lembut sedang aku terus menangis dalam pelukannya. Memang pelukan Mas Arif selalu membuatku nyaman dan merasa tenang.

"Rania," ucapnya lembut. "Kita tak bisa terus menghindar dari masa lalu. Masa lalu adalah bagian dari hidup kita." Mas Arif melepaskan peluknya lalu mengusap pipiku yang basah.

"Aku benci dia, Mas. Aku gak mau melihatnya lagi. Dia sudah menghancurkan hidupku. Menjadikanku seperti sekarang ini." Aku terus menangis mengeluarkan sesak dalam dada.

"Jika kamu membencinya abaikan dia. Anggap dia tak ada, ketika kamu bertemu dengannya. Itu akan lebih menyakitkan buatnya," ujarnya.

"Iya, Mas." Tangisku mulai mereda. "Mas, tumben kamu ke sini gak ngabarin aku?"

"Aku hanya ingin menemuimu. Aku tak akan lama."

"Mau aku buatkan kopi?"

"Enggak usah sayang. Kamu istirahat saja. Jangan banyak pikiran ya. Ada Mas yang akan selalu menjagamu."

"Iya, Mas."

"Ya sudah. Istirahat. Tidur yang nyenyak. Mas mau pulang dulu."

Aku mengantarnya sampai pintu dan melihat Mas Arif berjalan menjauh dariku. Kadang aku merasakan kasih sayang seorang ayah darinya.

NEXT >>>

like & comment

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!