NovelToon NovelToon

MENGABDI

1 : Kamu Nggak Berniat Melayani Saya?

Karakter Perempuan :

...[sifat yang tertulis di atas adalah deskripsi yang dibuat oleh mereka sendiri (Meera) bukan pandangan orang lain]...

* bahasa yang Meera gunakan saat berkomunikasi dengan Abhimana — selaku Tuannya adalah formal.

Karakter Laki-laki :

...[sifat yang tertulis di atas adalah deskripsi yang dibuat oleh mereka sendiri (Abhimana) bukan pandangan orang lain]...

* bahasa yang Abhimana gunakan saat berkomunikasi dengan Meera — selaku pelayan dan mantan adik kelasnya di UHS adalah semi-formal.

Hunian :

...(Milik pribadi. Tempat yang sama dimana dulu Mardiyah [karakter di Beda Tiga Tahun] di sekap)...

* Batu dan Malang adalah Kota terpisah dan berbeda yang sama-sama berada di Provinsi Jawa Timur. Perjalanan Batu - Malang memakan waktu 30 menitan. Perjalanan Batu/Malang - Surabaya hampir sama memakan waktu 2 jam.

Penjelasan yang harus diingat : Setiap karakter yang saya tulis di bagian keluarga Adiwangsa adalah muslim (yang tidak taat). Meskipun di area ini bukan termasuk cerita religi, karakter yang saya ciptakan adalah seorang beragama — yang mana disini Meera saya buat sebagai seseorang gadis yang taat, tetapi masih belum memahami kaidah keagamaan dengan benar. Jadi ... tolong untuk tidak dipermasalahkan jika sewaktu-waktu pun terselip nasihat/dialog berisi agama.

1 : Kamu Nggak Berniat Melayani Saya?

Villa Catra Paraduta di Batu, Jawa Timur.

Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Villa ini menjadi pusat kehidupan gadis yang mulai beranjak dewasa. Orang-orang memanggil dirinya — Meera. Semenjak usia 16 tahun ia telah putus sekolah, disebabkan pencabutan beasiswa oleh pihak tertentu. Sebenarnya ia tidak pernah mau lagi bergumul dengan orang kalangan atas. Namun siapa yang menyadari bahwa tempat ia bernaung selama ini adalah milik dari keluarga konglomerat?

Adiwangsa.

Lebih tepatnya adalah milik Gautama Adiwangsa.

Beliau adalah putra pertama yang terlahir kembar dari pasangan Manggala Adiwangsa dan Sasmita Danayaksa. Dirinya tidak tahu pasti berapa aset kekayaan yang dimilik keluarga beliau. Tetapi yang ia tahu pasti Villa ini adalah milik pribadi.

Dan ia masih ingat dengan jelas, beberapa tahun yang lalu. Saat usianya menginjak 18 tahun. Ada kejadian besar yang membuatnya cukup ketakutan. Dimana Bapak Manggala dan Bapak Gautama mengurung seorang wanita — yang ternyata adalah anak tidak sah. Entah bagaimana cara hidup keluarga ini. Seorang wanita tertutup dari atas hingga bawah, bisa menjadi anak tidak sah dari keluarga Adiwangsa? Sedikit tak masuk akal. Namun benar adanya. Ternyata di masa lampau, Bapak Gautama melakukan tindakan tak beradab pada sekertaris pribadinya dan menghasilkan anak yang ditinggalkan di Panti Asuhan.

Entahlah rumit. Sangat rumit. Orang-orang kalangan atas hidup dengan dosa besar yang sengaja mereka buat secara berdampingan. Rasanya sudah cukup, ia melihat penderitaan keluarga Upasama, yang menariknya masuk ke dalam sebagai saksi hidup atas tindakan keji itu.

Dan sekarang … tujuan hidup adalah damai.

Villa ini hampir tidak pernah dikunjungi lagi. Namun memasuki awal tahun. Dimana usianya telah genap 20 tahun. Abhimana — ah, seharusnya Kak Abhimana. Namun karena dirinya adalah seorang pelayan, bukan lagi seorang siswa dan siswi akan sangat sopan bila memanggil beliau dengan sebutan, Tuan Abhimana.

Tuan Muda itu, lebih sering berkunjung. Bukan sering lagi. Villa ini bagai tempat tinggal sekarang. Dan tugasnya dulu yang hanya membersihkan lantai 1 penuh, kini berganti tugas sebagai penyedia masakan khusus dan pembersih ruangan serta kamar tidur Tuan Abhimana saja.

Dan dirinya, tidak punya pilihan selain menuruti perintah dari sang pemilik rumah.

“Meera!”

“Ya?” Meera menoleh terkejut. “Ada apa?”

“Pulang tuh Tuan Muda.”

Apa? Kok sudah pulang? Meera tergesa-gesa memasuki kamar. Ia mengganti baju seragamnya dengan yang baru, karena saat membantu pelayan lain bajunya terkena genangan air. Setelah benar-benar rapi. Meera memasuki dapur dan membuat kopi yang setiap pulang akan langsung diseduh oleh Tuan Muda.

Deg. Deg. Di depan pintu kamar yang tertutup tak rapat, Meera berhenti disana mengatur napas. Entahlah, setiap kali ingin memasuki kamar Tuan Muda ia selalu merasa was-was dan … sedikit takut. Mengingat insiden yang terjadi di keluarga besar ini, tentang tingkah laku yang semena-mena dan tak beradab, sungguh membuatnya waspada. Namun dilain sisi Meera juga lah sadar bahwa Tuan Muda berselera tinggi, akan sangat tidak mungkin melirik upik abu yang tidak menarik ini. Ya, ia bersyukur. Karena Tuan Muda jelas akan lebih tertarik pada yang lain.

Meskipun teman sebaya dan yang lebih tua disini selalu mengatakan bahwa, kamu punya peluang besar jadi gundik. Meera menolak itu dengan tegas. Simpanan? Apa maksud mereka? Apakah orang miskin seperti kami harus merendahkan diri juga? Bahkan mereka setuju dengan kata simpanan?

Menjijikan. Candaan itu bukan lemparan tawa, namun kenyataan yang mereka berikan — yang ingin mendorongnya masuk sebagai gadis pemuja tak kenal malu, sebelum Tuan Muda Abhimana menemukan istri sah yang setara.

“Kerjamu lambat. Kamu nggak niat melayani saya?”

Kedua tangan Meera yang memegang nampan gemetar. Ia menunduk dan berkata, “Bu-kan begitu, Tuan. Saya minta maaf. Saya tidak tahu kalau Tuan pulang lebih awal. Sa-saya masih membersihkan area bawah —“

“Siapa yang suruh kamu?” Tuan Muda Abhimana yang semula duduk. Kini telah berdiri di depannya. Meera dapat melihat sepatu itu, dan tangan besar yang menyentuh tangan kecilnya. Hingga beliau kembali berkata, “Tugasmu apa? Sebutkan.”

“Sa-ya ditugaskan membenahi ruang pribadi dan menyiapkan makanan untuk Anda, Tuan,” jawab Meera yang berusaha untuk tidak terbata-bata.

Sentuhan Tuan Abhimana pada tangannya terlepas. “Sudah tahu, kan? Tapi kenapa kamu masih mengerjakan pekerjaan yang bukan ranahmu sendiri?”

“Sa-ya minta maaf.”

“Sejak kapan kalimat tanya dijawab dengan permintaan maaf?”

Aku salah. Aku nggak bisa bicara lagi. Nampan itu — Meera letakkan pada meja. Sedetik kemudian ia bersimpuh di bawah, yang dalam pikirannya adalah cara terbaik untuk memohon ampun.

“Sudah gila.” Tuan Abhimana menjeda. “Berdiri, Meera.”

Jantung Meera kian berdebar saat Tuan Abhimana menyebut namanya. Jika seperti ini, Tuan jelas saja marah besar. Ya, sebagai seorang pelayan seharusnya ia sigap. Namun karena ia menganggap bahwa membersihkan kamar Tuan adalah hal sepele, ia membuat itu menjadi pekerjaan sampingan.

“Hanya karena kamu putus sekolah, bukan berarti kamu ini bodoh, kan?”

Pertanyaan itu … bagaimana aku jawabnya? Meera berdiri sesuai dengan permintaan Tuannya. “Ya, saya — tidak bodoh.”

“Bekerja berarti bertanggung jawab. Sekali lagi kamu lalai, kamu jelas tahu apa yang akan dilakukan atasanmu,” tegas Tuan Abhimana.

Meera mencengkeram kuat pakaian maid yang digunakannya. “Baik, Tuan. Saya jelas tahu.” Aku nggak mau dipecat. Tolong berhenti marah! Aku janji bekerja dengan baik, sambung Meera dalam hati.

“Keluar,” titah Tuan Abhimana.

📍Dapur.

“Eh ternyata lagi deket sama Nailah Syakila.”

“Cantik tahu! Anaknya Menteri Luar Negeri — Djayanitari itu loh kalau nggak salah namanya.”

“Cocok lah sama Tuan Abhimana. Kapan lagi Adiwangsa dapat menantu anak pejabat, kan?”

“Bening banget ya. Perawatanya pasti mahal.”

“Nggak usah ditanya jelaslah!”

“Kayak Cici-cici PIK!”

"Aku kira tadi etnis Tionghoa malahan!"

Dugh. Meera meletakkan nampan diatas meja dapur. Ia bersadar di kursi sembari mendengar teman sebaya; Lika, Ailin, dan Risa bergosip tentang Tuannya sendiri. Astaghfirullah, bisa-bisanya mereka hidup!

“Meera! Ada info baru tauk!”

Jujur Meera tidak ingin menanggapi. Tapi ponsel itu sudah disodorkan padanya. Dan mau tak mau ia bisa melihat berita itu.

Nailah Syakila? Dia … cantik banget. Meera memberikan ponsel itu lagi. “Yasudah, sih. Biar Tuan Abhimana cepet menikah.”

“Kalau perempuannya Nailah mah aku seratus persen setuju. Cakep banget. Bibit ungul ini.” Ailin menjeda, dan melirik Meera. “Tapi kalau bener, posisi kamu bakalan tersingkir dong.”

Posisi aku? Bisa-bisanya … Meera mencoba tersenyum menanggapi. “Baguslah. Biar aku nggak disuruh-suruh. Kalau udah punya istri kan apa-apa disiapin istrinya, kan?”

“Hei! Tapi kan kita pembantu. Tetap aja pasti ada yang kita siapin,” celetuk Lika.

Meera mengangguk setuju.

Tiba-tiba Risa menyahut, “Maksud Meera itu, hal-hal pribadi tentang Tuan — kitanya nggak perlu nyiapin, karena Tuan Abhimana udah punya istri. Gitu kan, Meera?”

Benar. Lagi pula Tuan Abhimana tidak mungkin menghuni Villa ini, jika sudah menikah. Jelas saja perumahan mewah yang berada di kawasan elite Surabaya Barat, mungkin?

“Ya Risa! Kamu bener!” Meera berbalik. Ia ingin memasuki kamar saja. Peduli apa dengan gosip para putra konglomerat?

Jujur … aku masih takut dimarahi tadi. Tapi aku nggak mau sepanjang hari ini buruk. Karena nanti sore aku harus ke Malang buat les. Jadi Meera — ayo semangat! batin Meera yang mencoba meningkatkan suasana hati.

Dirinya merenung sejenak, sambil menatap jarum jam. Nanti jam 3 aku masak. Buat makan sore Tuan. Habis itu aku berangkat. Pulang ba’da isya. Semoga Tuan nggak nginep Villa, supaya aku nggak perlu siapin makan malam jam 10an. Karena sampai sekarang Meera tidak mengerti. Sejak kapan makam malam dilakukan jam 10? Terlalu larut, bukan?

Lagi pula … apa Tuan tidak hidup sehat? Bukankah makan tengah malam bisa ya … tidak sehat? Iya, kan? Karena proses pencernaan usus setelah makan adalah 3 jam. Jadi apakah Tuan Abhimana kuat untuk begadang?

Srek. Jendela geser kamar Meera dari luar dibuka tiba-tiba. Ya ampun! Mengangetkan saja! Siapa lagi kalau Pak Said — tukang kebun yang sangat amat ramah, bahkan beliau sudah menganggapnya sebagai anak.

“Cah ayu, sini keluar! Gantiin bunganya Tuan di kamar. Cepet! Ditunggu Mah Lilin,” ujar beliau.

Apa? Gantiin … bunga? Meera menghela napas berat. Ia memijat pelipisnya. Haruskah sekarang? Mengapa Mah Lilin tidak mengatakan dari tadi jika harus mengganti bunga di kamar Tuan Abhimana? Mengapa tiba-tiba? Mengapa harus saat ada orangnya?

“Ini lily sama mawar. Kamu susun yang rapih, Nduk. Jangan buat Tuan Abhimana marah,” jelas Mah Lilin.

Ya … mengapa siapa yang suka dimarahi? Dirinya pun juga tidak mau! Aah … baru juga terbebas, sekarang harus masuk lagi? Ya ampun. Deg. Deg. Belum apa-apa jantungnya sudah berdebar hanya karena melihat pintu itu. Dan saat baru saja tangan ini menyentuh ganggang pintu — lantas tiba-tiba saja terbuka.

Byarrrr — Jatuh! Bagaimana mungkin tangan ini menjadi licin? Vas itu — dihargai berapa? Apakah … ia sanggup mengganti?

“Sa-saya –“

“Kamu sepertinya. Memang benar-benar nggak berniat, melayani saya.”

Meera langsung mendongak. Mata tajam itu menatapnya. “Bu-kan begitu, Tuan. Ta-tangan saya —“

“Bicara —“ Tuan Abhimana mendekat. “ — yang jelas, Meera.”

...[TBC]...

1405 kata, Kak. Jangan lupa tekan like. Kasih bunga atau vote juga boleh >.< selamat datang di cerita baruku. Semoga menikmati! 🤍🫂🤏🏻

tidak angst (sad) seperti karyaku yang dulu-dulu. mungkin iya ada sedihnya, tapi tidak berlarut-larut karena seperti deskripsiku di blurb yang aku publish tadi malam di ESMEE, kalau Meera ini orangnya ambisi pada mimpi. jadi jangan harap dia lemah. di WIYATA emang kelihatan lemah karena masih takut terhadap ancaman Djoko, tapi karakter aslinya Meera adalah ini.

2 : Membuat Kesalahan Lagi.

2 : Membuat Kesalahan Lagi.

“Bicara — yang jelas, Meera.”

Ya. Aku juga mau bicara jelas! Tapi — gimana caranya?! Meera menunduk dalam. Tangannya mencengkeram kuat apron yang masih digunakan. Tangan sudah basah, karena ia benar-benar panik. Di otaknya tersusun nominal ratusan dari harga vas bunga itu. Ya ampun, apa gajinya masih tersisa jika mengganti vas itu?

“Kamu mendadak bisu?”

Deg. Astaghfirullah. Bagaimana bisa ia lupa sejenak, bahwa dirinya sedang dihadapkan oleh Tuan Abhimana? “Saya — saya tidak akan minta maaf. Saya tahu, Tuan tidak suka mendengar itu. Maka saya meminta izin untuk digantikan saja dengan hukuman, supaya saya merasa jera.”

“Hukuman?” ulang Tuan Abhimana.

Meera mengangguk. “Ya, Tuan. Hukuman. Ka-rena saya rasa, saya tidak akan sanggup mengganti vas bunga yang tanpa sengaja saya pecahkan.”

“Vas bunga?” desis Tuan Abhimana. Meera pikir, sudah selesai bicara. Tetapi langkah kaki itu kian mendekat. Bahkan apa-apaan? Tuan menginjak serpihan vas yang pecah. Kaki itu, jelas saja akan terluka! “Kamu — ingin dihukum hanya karena vas bunga itu?”

Ya. Lalu apa?

“Kamu benar-benar nggak memikirkan kesalahanmu?”

Meera merasa dirinya sudah mengumpulkan keberanian. Maka ia langsung menatap pada mata Tuannya. “Kesalahan saya. Yang pertama, saya tidak sigap melakukan tugas untuk membersihkan kamar Tuan dan menyambut kepulangan Tuan. Lalu yang kedua, adalah memecahkan vas bunga. Saya … sangat sadar dengan segala kesalahan saya.”

“Bagus. Tapi apa yang kamu pikirkan?”

Pertanyaan macam apa ini? Meera tidak tahu harus menjawab apa?

“Jika vas bunga itu seharga dengan upah kerjamu satu bulan. Bukankah berarti kamu bersedia, dihukum seberapa berat seperti yang kamu pikirkan?” sambung Tuan Abhimana.

A ... pa? Beneran? Vas bunga aja seharga satu kali gajiku? Ya Allah … Meera memberanikan diri menjawab, lagi. Namun kali ini dengan menunduk. “Saya — siap dihukum dengan hukuman apa pun, Tuan. Tapi … untuk upah saya … saya mohon jangan mengambil seluruhnya untuk mengganti vas bunga. Tolong izin saya untuk membayarnya secara bertahap.”

“Bisa gila,” gumam Tuan Abhimana, yang melesat pergi melewati dirinya dengan telapak kaki yang jelas terluka.

“Tuan —“

Tuan Abhimana memotong, “Berhenti bicara. Bereskan itu semua.”

“Tapi kaki Tuan —“

“Peduli apa kamu?”

Tuan Abhimana benar-benar menuruni anak tangga dengan kaki yang terluka. Kenapa sih Tuan bersikap kayak gitu? Meskipun dia marah. Dia kelihatan canggung. Kayak … apa karena kita pernah satu sekolah? Tanda tanya besar memenuhi otak. Dan sebaiknya ia cepat membersihkan pecahan vas ini, lalu menghampiri Tuan demi memastikan bahwa kaki Tuan baik-baik saja.

Masalah dengan vas bunga sudah selesai, Meera tergesa-gesa turun. Saat dari atas ia dapat melihat Tuan Abhimana duduk di kursi kolam dengan kaki yang menggantung. Dan dengan berbekal P3K ditangan, Mesya menghampiri Tuannya, langsung duduk di bawah.

“Siapa yang suruh kamu ke sini?” Pertanyaan itu terlempar. “Saya nggak merasa memanggil kamu.”

“Tuan memang tidak memanggil saya. Tapi — saya tahu bahwa kaki Tuan terluka akibat ulah saya.” Meera dapat melihat jelas luka panjang di telapak kaki Tuan Abhimana.

Dengan cekatan Meera membalut luka sempurna menggunakan perban. Tuan Abhimana sama sekali tidak meringis sakit. Padahal dalam pandangannya, jelas saja ini sakit sekali. Setelah selesai, Meera masih meletakkan P3K di lantai, tetapi ia berdiri dan berkata, “Tuan … saya minta maaf.”

“Kalau kamu minta maaf hanya untuk perkara vas bunga. Pergi dari hadapan saya sekarang,” ungkap Tuan Abhimana.

Meera menggeleng. “Saya … meminta maaf untuk segala kesalahan saya, Tuan. Saya mohon — Anda memaklumi saya. Meskipun dirasa kurang sopan saya meminta seperti ini. Tapi saya rasa ini lebih baik, dibandingkan saya yang terus menerus melakukan kesalahan tanpa kejelasan yang Tuan tahu. Karena ini — masih kali pertama bagi saya, bekerja khusus melayani seseorang."

“Kamu sedang mengajak saya bernegosiasi?”

Meera menatap dengan menggeleng. “Saya tidak berani, Tuan. Saya ... hanya meminta sedikit pengertian saja dari Tuan, bukan bermaksud seperti itu.”

Tuan Abhimana berdiri tiba-tiba. “Negosiasi diterima. Asal kamu nggak melalaikan pekerjaan lagi, saya bisa menerima itu. Atau sebenarnya … tugasmu terlalu sulit sampai berat hati sekali kamu mengerjakan?”

Dengan cepat Meera menggeleng, lagi. “Tidak sama sekali, Tuan. Pekerjaan saya mudah. Namun saya yang lalai.”

Tuan Abhimana berjalan melewati diri ini. Namun belum lima detik berlalu langkah terhenti dan Tuan Abhimana berkata, “Saya dengar, kamu punya kesibukan setiap Minggu?”

Kesibukan? Maksudnya? Aku bingung. Tuan lagi bicara soal apa? Meera menunduk. Otaknya memproses, kesibukan apa yang sedang dibicarakan ini?

“Di Malang,” imbuh Tuan Abhimana.

Ah, Tuan tanya soal les ku? Meera menjawab, “Iya, Tuan. Saya harap Miss Ferdina sudah menjelaskan itu.”

“Sudah.” Tuan Abhimana tiba-tiba berbalik. “Kamu berangkat sore, kan? Sekitar jam lima?”

“Iya, Tuan.”

Langkah itu, terdengar mendekat. “Siapkan makan sore saya sekarang. Dan setelah itu, kamu siap-siap. Jam empat sekalian saya antar kamu ke Malang.”

Meera terkejut. Tidak-tidak. Semua bisa menjadi salah paham. “Tidak usah, Tuan. Saya –“

“Kamu berani menolak?”

Ya ampun. Semua serba salah. “Saya tidak berani, Tuan.”

“Yasudah. Siapkan makan. Dan standby jam 4,” titah Tuan Abhimana.

📍 Kebun Bunga.

Meera mendatangi Mah Lilin untuk meminta kembali bunga yang telah patah akibat kecerobohan diri. Dan ya … apa yang dikatakan Mah Lilin selain menasihati dirinya bahwa berhadapan dengan Tuan Muda Abhimana adalah dengan kesabaran?

Ya, kesabaran.

“Terus gimana, Nduk? Kamu disuruh ganti?”

Kursi pendek kayu itu — Meera gunakan untuk duduk. “Aku harap sih enggak ya, Mah. Soalnya vas itu kelihatan mahal, dari marmer kayaknya.”

“Meskipun kelihatan galak ya, Nduk. Tuan itu ndak tegaan sebenarnya. Cuma ya kamu jangan nguji kesabaran Tuan, bisa marah beneran Tuan,” ujar Mah Lilin.

“Astaghfirullah, Mah. Siapa yang niat nguji? Aku itu kaget, karena tiba-tiba pintunya ke buka. Belum lagi Tuan, dia tiba-tiba jalan nginjak bekas pecahan vas —"

Mah Lilin yang tadinya fokus memotongi daun bunga mawar, kini beralih menatap Meera dengan menyanggah, “Gimana, Nduk? Nginjak pecahan vas? Terus gimana kakinya Tuan? Apa ndak luka?”

“Ya … luka sih. Terus tadi sempat aku obatin, cuma … ya gitu, Mah.”

Keranjang rotan itu, yang dipegang Mah Lilin telah penuh dengan bunga baru. ”Gitu gimana, Nduk?”

“Masa tiba-tiba Tuan maksa antar aku ke tempat les.”

Kening Mah Lilin mengerut. “Maksa? Jangan ngada-ngada kamu. Tuan itu menawarkan, Nduk. Sebagai pelayan, kalau Tuan kita baik itu harusnya kamu bersyukur dan terima, ndak usah berpikir yang jelek-jelek. Mah Lilin ini — juga pernah diantar sama Tuan ke Malang, Nduk. Buat beli biji bunga. Sudah ta kamu terima, lumayan kan hemat ongkos berangkat.”

“Iya deh … yaudah Mah, aku masak dulu,” pamit Meera.

Saat Meera ingin pergi, Mah Lilin menahan. “Nduk - Nduk.”

“Ya, Mah?”

“Jangan lupa Kakakmu dikabarin.”

Ah, iya … Kak Seno. “Nggih, Mah. Nggak lupa kok.”

...[TBC]...

1050 kata, kak. Jangan lupa tekan like, Qaqaq 😭🤍

Nduk/Genduk/Cah Ayu : panggilan sayang ke anak perempuan.

Ndak : tidak.

• Latar cerita adalah Batu/Malang, Jawa Timur. Jadi ada beberapa Bahasa Jawa yang akan sering digunakan.

• Setelah membaca ulang WIYATI aku sudah menemukan nama Meera adalah Meera Pratiwi. Karena menurutku kurang cocok, maka diputuskan untuk mengunakan nama Meera Larasati saja. Tidak papa, kan? Tidak akan mengubah isi cerita, atau bahkan sifat juga perilaku Meera. (Lain kali sebagai penulis aku akan lebih teliti dan mencatat hal-hal penting. Nama panjang Meera di WIYATI juga sudah aku edit ulang diganti Meera Larasati)

3 : Pulang Pergi Bersama Tuan Abhimana.

3 : Pulang Pergi Bersama Tuan Abhimana.

Makanan untuk Tuan Abhimana sudah selesai masak, dan siap untuk disajikan. Meera memilih untuk mandi. Setelah itu, melaksanakan ibadah. Sekarang yang dipikirkan adalah … apakah benar Tuan Abhimana akan memberi tumpangan ke Malang?

Ya sudah lah. Meera secepatnya mengganti baju panjang merah gelap dan membawa sling bag andalan. Lalu menunggu di depan dengan berjalan serta berlari kecil menyusuri taman hijau Villa ini.

Ah, dingin. Apa aku bawa jaket aja, ya? Kayaknya juga mau hujan, batin Meera dengan menengah menatap awan hitam yang menyelimuti matahari.

Tin. Tin. Sudah terlambat. Mobil Tuan Abhimana sudah keluar dari garasi. Meera berpikir, sejak kapan mobil itu disana? Bahkan keluar pun ia tak tahu dan mendengar?

Dan … ya ampun itu — mobil mewah? BMW? Mengapa Tuan harus menggunakan mobil itu? Bukankah ada mobil Nissan? Hyundai? Atau — ya … itu bukan haknya. Lagi pula Tuan Abhimana adalah pecinta mobil dan motor. Koleksi barang mewah itu, jelas atas keinginan Tuan sendiri.

Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang, aku duduk dimana? Disamping Tuan? Meera merasa tidak pantas untuk duduk berdampingan jadi ia masih diam mematung diluar.

“Ini bukan Alphard. Nggak ada kursi belakang. Masuk cepat!” tegur Tuan Abhimana.

“Saya —“

“Kamu bisa nggak nurut? Saya ini jarang-jarang bersikap baik ke orang.”

Kalau memang jarang. Ngapain Tuan bersikap baiknya ke saya? “Saya tidak bermaksud seperti itu, Tuan.”

“Yasudah. Masuk!”

Perjalanan 20 menit. Lampu merah pada belokan terakhir akan segera sampai ke Sanggar Seni. 15 detik … 14 detik … 13 detik … hitungan mundur terus berjalan. Meera yakin, tidak akan ada pembicaraan. Namun tiba-tiba Tuan Abhimana membuka suara.

“Disana kamu ngapain?” tanya Tuan Abhimana.

Pertanyaan itu buatku? “Les. Belajar, Tuan.”

“Saya tahu kamu kesana belajar. Tapi apa yang kamu pelajari?”

“Itu, Tuan. Saya — akting. Saya belajar seni teater,” jawab Meera dengan jujur.

Tuan Abhimana terlihat mengangguk. Dan mobil kembali berjalan. “Sudah berapa tahun kamu disana?”

“Baru 1 tahun.”

“Sekarang usiamu berapa?”

Kenapa malah ditanya-tanya gini? “20 tahun, Tuan.”

Setelah mempertanyakan usia. Tuan Abhimana sama sekali tidak berbicara apa-apa, sampai pun Tuan hanya diam. Dan Meera tentu saja berterima kasih atas tumpangan gratis.

Memasuki Sanggar Seni — dirinya langsung mendatangi teman sebaya dan senior. Kata mereka di group chat tadi, Sanggar Seni diliburkan sementara. Tetapi tetap harus datang demi menonton pertunjukkan bersama di Gedung Kesenian Malang, yang dibawa langsung oleh adik-adik kecil. Katanya sih, adik-adik kecil itu membawa seni tari.

“Mbak Laras!”

Ya. Nama panggilannya disini adalah Laras, ditambah dengan embel-embel Mbak, karena ya … siapa yang menyangka usianya telah memasuki kepala dua?

“Kesini diantar siapa?”

Meera menjawab, “Itu teman.”

“Teman opo toh? Aku lihat tadi kok kayak turun dari mobil,” goda Ningsih — gadis yang 2 tahun lebih muda darinya.

Meera sungguh tidak ingin menanggapi basa-basi ini. Jadi ia menjawab saja, “Ya berarti temanku yang punya mobil lah. Kamu ini yo aneh!”

Meera pulang dari Gedung Kesenian Malang sekitar pukul 8 malam. Untungnya disana disediakan mushola — meski kecil Meera tetap bisa beribadah isya. Dan jika sudah seperti ini, perjalanan menuju Batu 30 menit, lalu sampai di Villa sekitar pukul 8.30 Malam.

Sisa waktu bersih-bersih sedikit, sebelum menyiapkan makam malam untuk Tuan Abhimana. Ya Allah … capek sih, tapi gimana? Namanya juga kerja.

Kling. Satu notifikasi pesan masuk. Tertera nama Kak Seno disana.

Kak Seno.

Kamu gak mampir ke kontrakan Kakak?

^^^Enggak dulu, Kak.^^^

^^^Udah kemalaman.^^^

^^^Aku otw pulang. Nunggu ojek langganan.^^^

Kak Seno

Yauda ati-ati.

Kalau udah sampe ke Villa kabari.

^^^Siap, Kak.^^^

Siapa yang menyangka bahwa rintik-rintik dari langit akhirnya jatuh? Bahkan tiba-tiba ojek langganan mengiriminya pesan bahwa tidak bisa menjemput diakibatkan motor yang mogok. Sekarang pilihan apa selain memesan kendaraan melalui online?

Dan jika akhirnya hujan turun deras pun ojek motor tidak akan menerima. Maka mau tak mau Meera harus mengeluarkan uang lebih untuk naik ojek mobil.

Namun … siapa yang menduga ada … tidak pengelihatan ini — salah! Tidak mungkin. Mungkin saja mobil itu hanya mirip. Harapan darimana hal semacam ini?

Tin. Tin. Kaca mobil itu terbuka dan ya! Tuan Abhimana? Bagaimana mungkin?!

“Masuk!”

Meera mematung sejenak. Ia ingin menolak, tetapi hujan sudah turun. Dan mau tak mau ia menerima tawaran untuk pulang bersama lagi ke Batu dengan Tuannya.

“Ngapain kamu hujan-hujanan diluar?”

“I-itu saya nunggu ojek langganan saya, Tuan. Tapi — Masnya nggak bisa jemput, motornya mogok.”

Tuan Abhimana tiba-tiba mendekat. Astaghfirullah! Ah — iya, seat belt! Tapi Tuan bisa menyuruh diri ini untuk memakai sendiri. Tidak usah dekat-dekat seperti itu! Bagaimana jika tadi ia tidak bisa menahan diri dan memaki? Bisa dipecat di tempat!

“Terus kalau ojek langgananmu nggak bisa jemput. Kamu tetep mau berdiri disana? Hujan-hujanan? Terus habis itu sakit? Dan merepotkan orang-orang Villa?” ucap Tuan Abhimana.

Kok jadi kesana sana-sana sih.“Saya tidak bermaksud untuk sakit, Tuan.”

Sampai di Villa sekitar pukul 9 malam. Karena siapa yang menyangka bahwa akan macet dijalan? Belum lagi, setelah sampai tanggapan teman-teman sebayanya adalah ya … begitulah, selalu berpikir buruk. Tidak bisakah mereka membantu dirinya saja karena sudah kedinginan?

“Sek. Jadi kamu pulang pergi sama Tuan Abhimana dari sore?” Kalimat tanya itu berasal dari Ailin. “Wah! Sumpah?!”

“Iya. Kebetulan aja,” jawab Meera singkat.

Risa yang baru selesai menatah piring mendekat. “Meera … firasatku ya —"

“Apa? Firasat apa?” Meera memotong. “Nggak usah mikir aneh-aneh deh kalian.”

“Loh? Mikir aneh-aneh gimana? Menurut aku – mungkin ya … mungkin Tuan naksir sama kamu,” ujar Risa dengan jelas.

Meera yang tadinya duduk, tiba-tiba berdiri – mengibaskan tangan. “Nggak usah ngada-ngada.”

Ailin berdecak. “Sayang banget, Ra. Aku mah kalau jadi kamu, sudah aku manfaatin rasa naksir itu. Lumayan kan? Siapa tahu dapat bonus? Atau apa ya — dibayarin gitu uang kuliahku?”

Apasih bahasan mereka, batin Meera kesal. Ia pergi meninggalkan area dapur. Dan dimana lagi tujuannya selain daripada ruangan Tuan Abhimana? Karena setelah melihat dirinya yang hampir kehujanan tadi pun, belas kasih si Tuan itu tidak berfungsi! Tetap memintanya untuk menyiapkan makan malam. Namun untung saja ada keringanan, dimana yang memasak adalah pelayan senior sedangkan diri ini datang hanya untuk menyiapkan saja.

“Masuk.”

Meera masuk dengan membawa makanan di nampan. “Silakan, Tuan.”

Setelah menyajikan Meera bermaksud untuk kembali. Setidaknya ke kamar lah, jika bukan ke dapur. Tetapi apa-apaan? Tuan selalu saja memberinya kesibukan.

“Duduk.”

Duduk? Mau apa? Meera tidak menurut untuk duduk. Ia memandang Tuannya dengan keadaan masih berdiri. “Tuan membutuhkan sesuatu?”

“Iya.” Tuan Abhimana menjeda. “Saya butuh kamu.”

Hah?

“Potong-potong steak itu,” imbuh Tuan Abhimana.

Aku bener-bener nggak ngerti. Semanja-manjanya anak orang kaya. Tapi kalau dia sudah besar, apalagi laki-laki. Dia otomatis sudah bisa motong daging sendiri. Sedangkan ini ... jangankan memotong — astaghfirullah ... sabar Meera sabar … “Baik, Tuan.”

Dengan hati-hati Meera memotong-motong daging itu dengan ukuran yang sekali makan. Supaya setidaknya Tuan manja ini tidak menyuruhnya untuk kedua kali. Dan lagi pula, mengapa tidak meminta Bu Lara atau Bu Mira untuk memotong semua sebelum disajikan?

“Kenapa kamu nggak lanjut sekolah?”

Pertanyaan itu … padahal aku sudah sebisa mungkin lupa — kalau kita pernah satu sekolah. Tapi manusia di depanku ini mengungkit-ungkit masa lalu, batin Meera

...[TBC]...

1158 kata, Kak. Jangan lupa tekan like.

tunggu POV 3 dari sudut pandangnya Abhimana ya? Meera ini ga sadar, sebenarnya dia ini ga sabaran. tapi siapa juga yang sabar kalau digituin? 🤏🏻😭

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!