"My life was black and white before I met Sonya. She's the colour." - A Man Called Otto, 2022.
Sebuah rangkaian kata yang paling indah di dunia. Liliane juga ingin merasakannya, dicintai dengan cinta yang sama besarnya. Namun, dengan kehidupan di dunia yang tidak seputih kapas ini, apakah Liliane bisa menemukan sosok lelaki tersebut?
***
Five years ago ...
Calabria, Italy
Sejak awal pertemuannya dengan Kian Marchetti di acara amal yang diselenggarakan oleh yayasan anak milik keluarga Marchetti, Liliane Lakovelli sudah tertarik pada lelaki keturunan terakhir keluarga Marchetti itu. Malam itu Kian Marchetti sungguh memesona dengan tuxedo hitamnya. Tubuhnya yang tinggi semampai dan badan tegap atletis berjalan dengan raut tenang di antara kerumunan tamu yang menghadiri acara tersebut.
Liliane bisa bersumpah saat itu juga bila jatuh cinta pada pandangan pertama memang benar adanya. Semuanya memang terlihat tak masuk akal, namun Liliane benar-benar merasakannya.
Manik hitam legam milik Kian Marchetti menyorotnya dengan tajam ketika lelaki itu berjalan mendekatinya seorang diri setelah ayahnya, John Lakovelli memanggilnya. Sejauh yang Liliane tahu, ayahnya dan ayah Kian Marchetti atau disebut juga Massimo Marchetti telah berteman lama. Namun, sayang sekali Massimo telah meninggalkan dunia dua tahun sebelumnya.
Sepengetahuan Liliane juga, sejak itu Kian Marchetti yang menjadi satu-satunya penerus keluarga Marchetti mau tak mau harus turun tangan menggantikan posisi sang ayah yang menjabat sebagai presiden direktur di perusahaan Marchetti & Co. Fine Wines & Dining—sebuah bisnis yang bergerak di bidang kuliner dan merupakan salah satu pemasok anggur termahal di dunia. Merek anggurnya pun sangat dikenal di kalangan atas dengan nama II Segreto di Marchetti.
Saat itu Kian Marchetti masih berusia 25 tahun, dan baru saja lulus dari gelar S2-nya yang dia ambil di California. Namun, betapa luar biasanya Kian bisa dengan mudah mengendalikan perusahaan tersebut yang hampir goyah setelah kematian Massimo Marchetti.
"Lama tidak berjumpa, Kian," ucap John Lakovelli seraya berjabat tangan dengan Kian usai lelaki itu tiba di hadapannya.
Kian menyambut jabatan tangan itu dengan hangat. "Lama tidak berjumpa, Signore¹ Lakovelli." Balas Kian, wajahnya terlihat sumringah, begitu juga dengan raut John.
"Bagaimana kabarmu, Signore?" tanya Kian setelah jabatan tangan itu terlepas.
John membuka kedua tangannya. "Seperti yang kau lihat. Aku masih sehat bugar meski usiaku sudah termasuk senja," balasnya dengan suara kekehan yang tak bisa dihindari.
Kian ikut tertawa melihatnya. John memang terlihat sangat sehat, sejenak dia hampir mengenang mendiang ayahnya yang meninggal akibat serangan jantung mendadak di ruang kerjanya. Tak ada yang mengetahui kematian Massimo hingga Kian yang saat itu berniat akan memberitahukan kejutan kepulangannya pada Massimo justru dia sendiri yang dikejutkan oleh keadaan ayahnya yang ditemukan tak bernyawa di depan matanya. Dialah yang menemukan jasad ayahnya pertama kali.
Kian masih ingat dengan jelas bagaimana rasa tubuhnya yang seketika melayang seperti tak menapaki tanah. Kesadarannya hampir direnggut penuh karena terlampau shok. Bila saat itu dia sempat melihat wajahnya di cermin, mungkin dia dapat melihat wajahnya yang pucat pasi seperti wajah ayahnya saat itu.
Semua itu berlangsung hingga Pietro Bianchi, tangan kanan ayahnya ikut menerobos masuk ke ruang kerja Massimo setelah tak mendengar suara apapun dari dalam. Selanjutnya, teriakan Pietro-lah yang menyadarkan Kian pada kenyataan. Ia menghirup rakus udara di sekitar dan langsung jatuh terduduk dengan Pietro yang membantu menopang tubuhnya.
Ibunya—Georgina Ford telah meninggal tepat sebelum dia berangkat ke California saat dia mengambil kuliah sarjananya. Kian sempat frustasi dan ingin membatalkan penerbangannya, meski demi Tuhan dia harus segera tiba di California secepatnya mengingat dia telah mengulur penerbangannya sejak jauh-jauh hari lantaran tak ingin berpisah dengan ibunya. Namun, Tuhan mengambil ibunya setelah satu jam dia meninggalkan mansion keluarga Marchetti.
Dan ayahnya ternyata menyusul ibunya sesaat setelah kelulusan Kian Marchetti yang resmi menyandang gelar master. Tak ada rasa sakit yang melebihi sayatan di hatinya saat itu. Dia merasa gravitasi seakan berhenti, dunia tampak hancur tepat di hadapannya. Sudah tak ada lagi yang dia miliki di dunia ini. Kian dengan segala kekalutannya hampir ikut mengakhiri hidupnya juga, namun entah bagaimana mulanya sampai Kian menyadari dirinya telah berdiri di hadapan John Lakovelli malam ini. Melihat John yang baik-baik saja meski usianya tak lagi muda membuat Kian teringat semua hal yang terjadi dua tahun belakangan ini. Andai saja ayahnya memiliki fisik yang kuat dan sehat seperti John sekarang.
Kian menarik napasnya perlahan saat mendengar John kembali berbicara. "Dan tampaknya kau selalu seperti biasanya, tuan muda Marchetti. Kau selalu terlihat luar biasa. Aku seperti melihat Massimo muda saat bertemu denganmu."
Suara kekehan terdengar. Suara itu keluar dari mulut Kian. Iya, dia memang mengakui seluruh tubuhnya kecuali warna kulitnya, semuanya mirip dengan sang ayah. Ia teringat betapa ibunya sangat kesal setiap kali melihat dirinya yang nampak seperti duplikasi seorang Massimo Marchetti.
"Mungkin jiwa ayah bersama denganku saat ini, John." Balas Kian dengan ringan.
John menganggukkan kepalanya. "Aku setuju dengan yang satu itu."
"Oh iya," seolah teringat dengan sesuatu, John memekik kecil.
Tangan kiri pria paruh baya itu mendorong pelan punggung seorang gadis di sebelahnya yang sejak tadi kehadirannya tak diketahui oleh Kian. Dia bahkan baru menyadari John datang tak bersama dengan sekretarisnya seperti sebelum-sebelumnya.
"Maafkan Daddy yang hampir melupakanmu, sayang." Suara lirih John masih dapat didengar oleh Kian. Lelaki itu sempat mengernyit sesaat sebelum kembali menormalkan wajahnya.
John mengangkat kepalanya menatap Kian yang saat ini sedang menunggu John berbicara. "Ini putriku satu-satunya. Sungguh hanya dia yang kupunya di dunia ini, sehingga aku selalu menjaganya dengan sangat baik dan berhati-hati."
"Perkenalkan putriku, ini Kian Emilio Marchetti. Pewaris tunggal keluarga Marchetti yang menggelar acara amal ini."
"Dan Kian, ini putriku. Liliane Eleonora Lakovelli." John menjelaskannya dengan baik. Beberapa kali kepalanya menoleh pada Kian dan Liliane secara bergantian.
Kian yang pertama mengulurkan tangannya pada Liliane, sebelum gadis itu menjabat tangan kekar Kian dengan tangan mungilnya yang sangat lembut.
"Kian Marchetti."
"Liliane Lakovelli."
Liliane tak ingin membohongi hatinya. Saat mata hazelnya bertatapan dengan mata hitam legam milik Kian, seluruh atmosfer di sekitarnya seolah tersedot. Liliane tak dapat mendengar dengan jelas suara para tamu yang berbincang, atau mendengar suara ayahnya yang berulang kali memanggil namanya untuk menyadarkan. Liliane benar-benar jatuh pada pesona seorang Kian Marchetti dan tak membiarkan orang lain mengalihkannya dari pesona memabukkan itu.
Kian juga lah yang pertama menarik tangannya dari jabatan tangan tersebut. Kali ini Liliane tersadar sepenuhnya dan semburat merah langsung menghiasi pipinya. Sungguh yang tadi itu diluar kendali Liliane, bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal konyol yang memalukan.
"Maafkan aku, aku tak sengaja, Signore Marchetti." Ucap Liliane sedikit tergagap karena dia merasa sangat gugup saat ini.
"Bukan masalah, Signorina² Lakovelli." Kian membalas ucapan maaf Liliane dengan nada selembut mungkin.
John menyaksikan semua itu. Sejujurnya rencananya malam ini membawa Liliane ke acara amal untuk pertama kalinya bukan karena ingin mengenalkan Liliane pada Kian Marchetti atau bahkan berniat menjodohkan putri tunggalnya pada anak mendiang sahabatnya itu. Namun, setelah melihat interaksi antara kedua anak manusia itu, John jadi ingin mengenalkan mereka lebih jauh.
"Kalian berdua berbincanglah, aku akan menemui Signore De Luca." Ucap John dan langsung berlalu begitu saja dari hadapan mereka.
Tangan Liliane hampir meraih lengan ayahnya saat suara Kian kembali terdengar di telinganya. "Jika kau tak keberatan, aku akan menemanimu malam ini Signorina Lakovelli. Atau jika kau bosan berada di ruangan ini dalam waktu yang lama, aku akan menemanimu berkeliling mansion."
Liliane menggelengkan kepalanya. Mana berani dia menyita begitu banyak waktu seorang Kian Marchetti yang seharusnya tetap tinggal di tempat ini hingga acara selesai. "Aku tak berani memonopoli keberadaanmu, Signore Marchetti. Sungguh tak apa bila aku harus menunggu ayah hingga ia kembali padaku. Kau bisa menyapa tamu lainnya."
Kian terlihat terperangah sesaat sebelum lelaki itu melemparkan senyum tipis padanya. Liliane melihatnya. Melihat betapa senyuman itu sungguh cocok di wajah tampan Kian dan membuatnya semakin memesona berkali-kali lipat dari sebelumnya. Liliane tahu ini berlebihan, tapi dia sungguh jatuh cinta hanya dengan melihat wajah Kian yang kelewat rupawan. Liliane yakin seluruh perempuan di muka bumi ini pun akan setuju dengan pendapatnya.
"John sudah menitipkanmu padaku. Itu artinya aku harus menjagamu." Balas Kian masih dengan senyumannya.
"Aku akan memberikan sambutan untuk membuka acara. Setelah itu aku akan menemanimu kembali." Kata lelaki itu setelah mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan.
"Mari ikut denganku," lanjut Kian dengan tangan yang menggenggam tangan Liliane hingga membuat gadis itu menghentikan napasnya.[]
***
¹ Signore : seorang pria Italia yang biasanya berpangkat atau bangsawan-digunakan sebagai gelar yang setara dengan Tuan.
² Signorina : seorang wanita Italia yang belum menikah-digunakan sebagai gelar yang setara dengan Nona.
Kian menepati ucapannya. Setelah lelaki itu memberikan sambutan, ia turun dari podium dan menghampiri Liliane yang sudah menunggunya di sebuah meja.
Jangan tanyakan keberadaan John Lakovelli, karena pria paruh baya itu akan mengikuti acara ini sampai selesai. Setelah penyambutan dari Kian Marchetti, acara dilanjutkan dengan pelelangan yang hasilnya akan disumbangkan sebagai amal ke yayasan anak milik keluarga Marchetti.
"Maaf sudah membuatmu menunggu, Signorina Lakovelli." Ucap Kian ketika tiba di hadapan Liliane.
Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan senyum hangat yang terbit di wajahnya. "Tidak, Signore Marchetti. Maksudku, kau bisa memanggilku Liliane."
"Kalau begitu panggil saja aku Kian." Balas Kian dengan senyum tak kalah ramah.
Keduanya kemudian berjalan berdampingan keluar dari hall yang terdapat di tengah-tengah mansion tersebut. Kian berencana membawa Liliane berjalan mengelilingi mansion keluarga Marchetti.
Gaun hitam yang tampak pas di tubuh ramping Liliane semakin mempercantik penampilannya malam ini. Gadis itu terlihat elegan dan murni seperti gadis baik-baik yang tubuhnya tak pernah terjamah laki-laki manapun.
Kian benar-benar membawanya berkeliling mansion. Dia bahkan mencoba mengakrabkan diri dengan Liliane, hingga membuat gadis yang tak gampang berbaur itu kini menjadi nyaman berbincang dengannya.
"Lain kali aku akan membawamu ke suatu tempat yang indah di mansion ini."
Ucapan Kian membuat Liliane tertarik. "Tempat apa itu?"
"Itu adalah labyrinthe de l'amour, sebuah labirin yang dibangun oleh ayahku dan dinamai begitu oleh ibuku."
Ini kisah yang menarik. Liliane berharap bisa mendengar cerita itu lebih banyak lagi. "Mereka sangat romantis. Apa isi dari labirin tersebut?"
"Isinya ..." Kian tampak sengaja menggantung ucapannya untuk melihat wajah Liliane yang hampir frustasi karena rasa ingin tahunya.
Lelaki itu sempat terkekeh dan tawanya semakin keras ketika Liliane akhirnya kesal dengan tingkah Kian. "Cepat beritahu aku, Kian. Kau tak mungkin tega membiarkanku mati penasaran, kan?"
"Oh, itu akan menjadi pilihan terakhirku, Liliane." Balas Kian dengan senyum jahilnya untuk menggoda keturunan Lakovelli itu.
"Maka, beritahu aku sekarang ..."
Kian menggelengkan kepalanya. "Tidak, Signorina. Kau akan mengetahuinya nanti. Jika aku mengatakannya, kau tak akan lagi penasaran dengan isi labirin tersebut."
Liliane mengingat pertemuan pertama mereka dengan baik. Tentang bagaimana mereka akhirnya berteman dekat. Kian yang semakin hari semakin hangat dan membuat Liliane berkali-kali lipat jatuh cinta jauh dari sebelumnya.
Namun, sayangnya setelah liburan musim panas berakhir, Liliane harus kembali ke Cambridge untuk melanjutkan kegiatan kuliahnya. Mereka berpisah, tapi Kian berjanji akan mengajak Liliane berlibur kala gadis itu mendapatkan liburan selanjutnya.
Seperti yang lalu-lalu, Kian berperan sebagai lelaki tampan yang romantis dan ksatria layaknya seorang pangeran berkuda di negeri dongeng. Kian selalu memperlakukan Liliane dengan baik. Dan Liliane sendiri juga berperan seperti seorang cinderella yang lemah lembut dan baik hati. Keduanya terlihat seperti pasangan yang diimpikan oleh banyak orang. Liliane selalu bersyukur dan merasa mengencani seorang Kian Marchetti adalah sebuah kebanggaan.
Liliane yang awalnya tidak pernah menyentuh dapur, menjadi tertarik untuk memasakkan makanan untuk Kian. Masakan pertamanya adalah pasta carbonara, tentu saja membuat pasta adalah hal dasar yang sangat mudah untuk orang-orang Italia, namun, tidak dengan Liliane.
“Apakah rasanya mengecewakan?” tanya Liliane saat tak melihat reaksi apapun dari Kian.
Saat Kian hendak menjawab, Liliane sudah lebih dulu menyuapkan pasta buatannya itu ke dalam mulutnya. Rasa campur aduk yang Liliane tak mengerti datangnya darimana, membuat Liliane merasa mual dan segera berlari ke wastafel untuk memuntahkan makanannya.
Kian mengikuti Liliane dan berdiri di belakang gadis itu saat ia sedang berkumur untuk menghilangkan rasa aneh dari pastanya. Liliane menatap Kian dari cermin dengan bersungut. “Kenapa kau tidak jujur saja jika makananku tidak enak? Aku tidak akan membiarkan kau makan tadi.”
Melihat itu, Kian justru merasa gemas dan segera memeluk Liliane dari belakang. Disandarkannya kepala Kian pada pundak Liliane. “Ini masakan pertamamu dan kupikir rasanya tak terlalu buruk. Ayo kembali ke meja makan, aku ingin menyantapnya lagi.” Ajak Kian pada Liliane.
Namun, bukannya bergegas, Liliane justru menahan genggaman tangan Kian. Hal itu membuat Kian menoleh ke arah Liliane yang ternyata sudah berkaca-kaca. “Oh, lihatlah gadis cantikku yang cengeng ini. Bukankah kecantikannya akan menghilang jika ia menangis?” Kian mencoba mencairkan suasana melow yang sedang mendera Liliane.
Bukannya mereda, Liliane justru menangis semakin terisak. “Mengapa kau baik sekali kepadaku?” tanyanya dengan terbata.
Kian tertawa dan menyenggol lembut hidung bangir Liliane dengan telunjuknya. “Karena aku kekasihmu, sayang.”
"Aku mencintaimu," ungkap Liliane sungguh-sungguh.
Kian menatap manik hazel Liliane sembari menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah kekasihnya itu. "Dan aku jauh lebih mencintaimu, Liliane Eleonora Lakovelli." Ungkap Kian dengan tulus.
Mendengar Kian yang selalu siap mendukungnya, Liliane menjadi semangat belajar memasak. Akhirnya ia pun bisa memasak ossobuco alla milanese masakan mendiang ibu Kian yang menjadi favoritnya, margherita pizza masakan Liliane yang menjadi favorit Kian sepanjang masa, dan tiramisu yang selalu dimasak untuk memperingati hari kelahiran Kian di dunia. Kian menyukai semua itu, menyukai segala hal yang berhubungan dengan Liliane, begitupun juga dengan Liliane yang sangat menyukai Kian.
Setelah kelulusan Liliane, Kian begitu semangat mengajak Liliane berkencan ke seluruh penjuru Italia. Tentu saja John tak pernah melarangnya, pria itu merasa amat senang mengetahui ada sosok lain yang membantunya melindungi dan membahagiakan Liliane.
“Kau selalu cantik, Liliane.” Puji Kian saat melihat Liliane yang berjalan menghampirinya.
Mereka akan melakukan road trip ke pedesaan di Tuscany. Kian sudah lama menantikan hal ini, hingga dirinya menemukan tambatan hati dan menyempatkan membawa Liliane berkencan ke sana di tengah kesibukannya.
“Kau juga selalu tampan, Signore Marchetti.” Balas Liliane dengan pipi bersemu merah.
“Oh, aku selalu menyukai rona merah di pipimu … dan senyumanmu,” ujar Kian membuat wajah Liliane semakin memerah karena malu.
“Berhentilah omong kosong, Kian.” Ucap Liliane yang mengundang ledakan tawa dari Kian.
“Aku mengatakannya sungguh-sungguh.” Kian mencoba membela dirinya sendiri.
Tidak hanya kencan ke Tuscany, mereka juga mengunjungi museum atau galeri seni di Florence, menaiki gondola di Venesia, dan sering melakukan makan malam romantis di Roma.
Namun, Liliane tidak tahu bahwa keluarga Marchetti bukanlah keluarga pengusaha biasa melainkan juga sebuah klan mafia yang berpengaruh di Italia—Klan II Fero. Bahkan, John Lakovelli juga terlibat di dalamnya. Mereka bukan pebisnis yang bersih dari dunia bawah, meski mereka berhasil menyembunyikan hal itu dari Liliane selama ini.[]
***
Roma, Italy
"Hari ini aku berusia 21 tahun. Apakah kau akan pulang hari ini?" Liliane berbicara dengan Kian lewat telepon. Gadis itu terdengar antusias dan sangat mengharapkan kehadiran Kian hari ini di acara ulang tahunnya.
Kian menyunggingkan senyumannya, merasa gemas dengan tingkah kekasihnya. Tentu saja jika hari ini tak ada kepentingan, Kian tak akan meninggalkan Liliane di Calabria.
"Tentu, cintaku. Aku akan segera pulang setelah urusan di Roma selesai." Jawaban Kian cukup menenangkan Liliane di sana. Dan obrolan mereka pun berakhir.
Restoran authentic ala Italia milik keluarga Marchetti memiliki banyak cabang di mana-mana. Di Italia sendiri, ada 10 cabang yang tersebar, salah satunya di Roma.
Kian melakukan penerbangan dari kota asalnya—Calabria. Hari ini Presiden Italia mengundangnya ke sebuah forum ekonomi dan investasi yang tentunya dihadiri banyak pengusaha di Italia, termasuk dirinya.
Namun, tentu saja tak hanya itu yang dilakukan Kian. Ia juga mampir ke restorannya untuk melakukan transaksi ilegal bersama dengan seorang pebisnis yang membutuhkan bantuannya.
Kian duduk santai di kursinya, dengan satu tangan menggenggam gelas anggur merah tua yang berkilauan di bawah cahaya redup. Di hadapannya terlihat seorang pria paruh baya dengan setelan mahal—seorang pengusaha yang sedang mencari perlindungan dan 'jalan pintas' untuk bisnisnya.
Pria itu menyesap anggurnya, gugup.
"Kudengar kau bisa menyelesaikan masalah... dengan cara yang tidak bisa dilakukan hukum."
Kian tersenyum tipis, meletakkan gelasnya dengan tenang.
"Tuan Ricci, di dunia ini, ada dua jenis orang, mereka yang mengikuti aturan... dan mereka yang menulisnya."
Kian menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pria itu dengan tatapan tajam.
"Jika kau ingin barang-barangmu melewati pelabuhan tanpa gangguan, aku bisa mengaturnya. Tapi ada harga yang harus dibayar."
Pria itu mengangguk cepat, mengeluarkan dokumen dari dalam jasnya. Sebuah kontrak bisnis yang di permukaannya tampak legal, tapi di dalamnya terselip kesepakatan yang lebih gelap.
"Setengah di muka. Sisanya setelah barang tiba." Ucapnya.
Kian mengambil kontrak itu, mengamati sebentar, lalu menggesernya ke seorang pria berbadan besar di sebelahnya—salah satu orang kepercayaannya, Adam Spencer.
"Kau akan menerima pesan dalam dua hari. Pastikan kau membaca instruksinya dengan baik, Tuan Ricci. Aku tidak suka mengulang perintah."
Kian kembali mengambil gelas anggurnya, menyesapnya perlahan. Tuan Ricci yang masih tampak tegang segera berdiri dan berjabat tangan dengan Kian, meski tangannya sedikit gemetar sebelum pergi. Begitu pintu ruangan VIP tertutup, Kian menoleh ke anak buahnya.
"Kirimkan perintah ke pelabuhan. Jika ada yang mencoba melawan, pastikan mereka mengerti bahwa kita yang mengendalikan permainan."
Anak buahnya mengangguk dan segera pergi. Kian hanya tersenyum kecil, menyesap anggurnya sekali lagi. Bagi dunia luar, restoran ini hanyalah bisnis keluarga yang elegan. Tapi bagi mereka yang tahu, ini adalah jantung dari kekuatan keluarga Marchetti di dunia gelap... dan semua transaksi penting terjadi di balik meja makan yang mahal.
Seorang perempuan berbaju seksi masuk dan membantu Kian menuangkan anggur ke gelasnya. Dia adalah Ashley Smith, istri Adam sekaligus sekretaris Kian dalam mengelola bisnis legalnya.
Ashley terlihat bertatapan dengan Adam, namun hanya sekilas, mereka terlihat sangat profesional karena sudah bertahun-tahun ikut dengan keluarga Marchetti.
Adam berdeham rendah, seolah ingin menyampaikan sesuatu tetapi ragu. Kian yang peka, tentu saja mengetahui maksud Adam.
"Ada apa? Bicara saja." Ujar Kian dan kembali menyesap anggurnya.
Adam melangkahkan kakinya dua langkah, hingga ia dapat bertatapan dengan Kian. "CCTV mansion dua tahun lalu berhasil dibobol, Pietro yang membantu mencari orang yang dapat membobolnya. Dan ia mengirimkan rekaman itu padaku." Jelas Adam yang membuat jantung Kian berdetak lebih kencang.
Rekaman CCTV dua tahun lalu adalah kunci dari kematian Massimo yang tiba-tiba. Saat itu Massimo tidak didampingi Pietro di mansion, karena tangan kanan Massimo itu harus pergi menjemput Kian yang tiba di Calabria sepulang dari studinya.
Mereka baru sampai di mansion dan Kian yang menemukan Massimo sudah tak bernyawa di ruang kerjanya membuat tanda tanya besar bagi Pietro sendiri. Para penjaga bilang tak ada satupun penyusup yang memasuki mansion. Kian juga mencoba memeriksa CCTV, namun sayangnya rekaman CCTV hilang di detik-detik kematian Massimo.
Dan setelah melewati proses autopsi, dokter forensik tak mendapati hasil apapun selain mengatakan bahwa Massimo meninggal karena serangan jantung. Rasanya tak ada yang janggal dari kematian Massimo, tetapi Pietro yakin masih bisa menemukan hal lain yang ia rasa ada sangkut pautnya dengan kematian Massimo.
Kian juga mendukung Pietro dalam hal ini, tentu saja bila Massimo mati bukan karena penyakitnya, melainkan ada musuh yang tak terlihat, Kian tak segan-segan untuk memenggal kepalanya dan dia suguhkan di hadapan makam Massimo.
"Ini hasilnya." Adam memperlihatkan sebuah rekaman CCTV berdurasi lima jam yang dipercepat beberapa kali lipat.
"Signore John Lakovelli yang terakhir kali mengunjungi ruang kerja Signore Massimo. Hal itu terjadi dalam waktu setengah jam sebelum Signore dan Pietro menemukan Signore Massimo." Adam yang sudah lebih dulu melihat rekaman tersebut segera menjelaskan pada Kian.
Sementara Kian terlihat meneguk ludahnya dengan susah payah, calon ayah mertuanya kenapa bisa terlibat dalam hal ini. Sebelum itu John tak pernah mengungkit kematian Massimo di depannya dan hal ini juga tak pernah sekalipun melintasi pikirannya.
"Adakah hal lain yang dapat memperkuat bukti? Kita tidak bisa menuduhnya tanpa bukti, John tak mungkin mengkhianati II Fero. Dia tahu konsekuensinya." Ucap Kian masih mencoba berpikir logis dan tak membiarkan emosi buruk mengendalikan hati dan pikirannya.
Adam tampak mengutak-atik tabnya hingga menemukan sesuatu dan memberikannya pada Kian. "Pietro juga menemukan sebuah dokumen transaksi ilegal yang mengarah pada Signore John. Dokumen itu disobek dan diletakkan di tempat tersembunyi."
Tangan Adam menggulir layar tab ke samping. "Ditemukan juga gelas anggur Signore Massimo yang terdapat sidik jadi Signore John dan kandungan racun di dalam gelas tersebut. Meskipun tidak banyak, namun dokter forensik yang melakukan autopsi membenarkan hal itu."
"Terdapat kadar racun dalam tubuh Signore Massimo saat dilakukan autopsi, meskipun racun itu sebenarnya tak akan membahayakan keselamatan Signore Massimo jika tidak ada komplikasi." Lanjut Adam.
Tubuh Kian menegang, dadanya memanas seperti diremas. Beginikah rasanya dikhianati? Emosi yang meluap-luap itu akhirnya membuatnya tak terkendali.
"Kembali ke Calabria dan pergi ke mansion Lakovelli!"[]
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!