Malam itu, seharusnya menjadi makan malam romantis antara Jae Hyun dan Riin. Moment yang seharusnya hanya menjadi milik mereka berdua. Namun, alih-alih menikmati sisa malam bersama, kehadiran Youn Jung telah mengusik ketenangan itu.
Jae Hyun berdiri di dekat pintu, masih mengenakan kemeja hitam dengan dua kancing atas yang terbuka, menunjukkan lehernya yang tegang.
Youn Jung berdiri di depannya dengan mata memerah, tangannya masih erat mencengkeram lengan kemeja pria itu, seolah takut jika ia melepaskannya maka dirinya akan kehilangan pria itu selamanya.
Dalam waktu singkat, Jae Hyun terjebak dalam situasi sulit. Otaknya harus berpikir cepat untuk menyelesaikan masalah ini tanpa menyakiti pihak mana pun_baik Riin maupun Youn Jung.
Jae Hyun mundur selangkah, memberi jarak antara dirinya dan Youn Jung. "Jung~a, aku tidak bisa dan tidak seharusnya terlibat dalam hubunganmu dengan Jung Won. Tapi besok, aku akan mencoba berbicara dengannya untukmu. Sekarang, lebih baik kau pulang dulu. Aku akan memanggil taksi untukmu," ucapnya dengan nada tegas namun lembut.
"Oppa... aku tak memiliki siapa pun," lirihnya, suaranya bergetar. "Apa gunanya aku kembali ke rumah? Aku hanya akan teringat kenangan bersama Jung Won Oppa..."
Rengekannya membuat suasana semakin menyesakkan. Jae Hyun menghela napas panjang, rahangnya mengencang. Ia tak menyukai situasi ini. Namun, sebelum ia bisa menjawab, sebuah tangan lain datang menepis genggaman Youn Jung.
"Apa kau ini anak kecil?!" Riin menyentakkan tangan Youn Jung dengan nada penuh kejengkelan. Matanya menyala marah, kedua tangannya bersedekap di dada, tubuhnya menegaskan rasa frustrasi. "Kau sudah dewasa, seharusnya bisa menyelesaikan masalahmu sendiri! Berhentilah mengganggu suamiku!" ujarnya tanpa ragu.
Tatapan Youn Jung melembut sejenak, lalu berubah penuh kepedihan. Ia menoleh pada Jae Hyun, berharap ada pembelaan. Namun, pria itu justru menatap Riin dengan pandangan berbeda_bukan kemarahan, bukan pula ketidaksukaan. Ada sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang tidak bisa diabaikan.
Jae Hyun menghela napas dalam. Ia tahu, istrinya kesal bukan tanpa alasan. Sejak mereka memutuskan untuk memulai kehidupan mereka sebagai suami istri yang sesungguhnya, ia sudah berjanji untuk tidak membiarkan siapa pun mengusik kehidupan rumah tangga mereka_dan malam ini, ia telah membiarkan Youn Jung mengusik kedamaian yang seharusnya menjadi milik Riin.
Jae Hyun melangkah mendekat ke arah Riin, meletakkan tangan di punggung istrinya dengan lembut. "Riin~a, ayo kita bicara sebentar."
Riin mendesah frustrasi, tetapi mengikuti Jae Hyun masuk ke ruang tengah. Ia melipat tangan di dada, menunggu penjelasan. "Kenapa? Apa kau ingin membela wanita itu?"
Jae Hyun tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, ia menarik Riin ke dalam pelukannya. Gerakannya tenang, penuh kontrol, namun jelas terasa sebagai bentuk kepemilikan. Dada bidangnya yang hangat memberikan sedikit ketenangan bagi istrinya yang masih mendidih dalam amarah.
"Bisakah kau tenangkan dirimu lebih dulu dan memberiku kesempatan untuk menjelaskan?" pintanya lembut.
Riin menggigit bibir, mencoba menahan emosinya. Akhirnya, ia mengangguk pelan.
Jae Hyun mengendurkan pelukannya sedikit, cukup untuk menatap wajah Riin dari dekat. "Dengar, pertama... aku tidak bermaksud berpihak padanya. Kedua, mungkin aku harus mengantarnya pulang. Tidak lebih," Jae Hyun menegaskan.
Alis Riin bertaut. Mulutnya terbuka untuk membantah, tetapi sebelum ia sempat berbicara, tangan Jae Hyun sudah menangkup wajahnya dengan hati-hati. Kedua ibu jarinya mengusap lembut pipi istrinya, seolah meminta Riin untuk menelan semua protesnya dan mendengarkan lebih dulu.
"Kita tak mungkin membiarkannya di sini terlalu lama, bukan?" lanjutnya, suaranya tetap tenang tetapi tak memberi ruang untuk perdebatan.
Riin menatap suaminya dengan ekspresi tak percaya, masih tak puas. “Dan kau yakin dia akan melepaskanmu begitu saja?” Suaranya terdengar sinis. “Dan jika dia memintamu untuk tinggal, apa kau juga akan mengabulkan permintaannya?"
Jae Hyun menggeleng pelan, ujung bibirnya sedikit terangkat dalam senyum tipis. "Tidak akan. Aku pasti akan segera kembali. Riin~a, aku sudah menjadi milikmu. Tak akan ada yang bisa mengubah itu." Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya berubah lebih dalam, lebih intens. "Kau masih percaya padaku, kan?"
Riin menatapnya dalam. Ia ingin mempercayai suaminya, tapi bayangan masa lalu Jae Hyun dengan Youn Jung masih menghantui. Mereka sudah terlalu lama bersama. Apakah kehadirannya yang baru sesaat ini cukup kuat untuk mengubah segalanya?
“Kenapa kau masih harus bertanggung jawab atas hidupnya, Jae Hyun~a?” Kali ini suara Riin terdengar lebih lelah daripada marah. “Bukankah dia sudah memilih orang lain?”
Jae Hyun terdiam sejenak. Ia tahu Riin tidak sepenuhnya salah. Youn Jung memang telah memilih pria lain_Jung Won_namun tetap saja\, rasa tanggung jawab yang ia miliki untuk wanita itu tidak bisa hilang begitu saja.
“Ini bukan tentang perasaan,” jawabnya jujur. “Aku hanya tidak ingin meninggalkannya dalam keadaan seperti ini. Aku tidak bisa membiarkannya menangis sendirian di jalanan.”
Riin menundukkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya, mencoba meredam emosinya sendiri. Ia tahu Jae Hyun memang seperti ini. Perhatiannya bukan hanya milik satu orang_dan mungkin, itu yang membuatnya merasa begitu tidak aman.
Jae Hyun menunduk sedikit, mencium kening istrinya dengan lembut. “Aku akan segera pulang. Jika kau tidak percaya, kau boleh mulai berhitung berapa lama aku menghabiskan waktuku bersama Yeon Jung.”
"Baiklah," katanya akhirnya, meski dengan sedikit enggan. "Berjanjilah untuk segera kembali."
Senyum Jae Hyun melebar, seakan puas dengan jawaban itu. "Tentu. Aku akan pulang secepat mungkin."
Dan sebelum Riin sempat menjauh, Jae Hyun menunduk, mengecup bibirnya singkat tetapi cukup dalam untuk menghilangkan sisa-sisa kecemasan di wajah istrinya.
"Aku pergi dulu," bisiknya.
Jae Hyun mengambil ponselnya untuk memesan taksi. Ia meraih jasnya, lalu bergegas menghampiri Youn Jung yang masih berdiri terpaku di ruang tamu, menatap Riin dengan sorot mata sulit diartikan.
"Aku antar kau pulang," ucap Jae Hyun, kali ini dengan nada lebih tegas, seakan menutup semua peluang untuk diskusi lebih lanjut. "Ceritakan masalahmu di perjalanan saja."
Youn Jung menghela napas, akhirnya menyerah dan mengikuti langkah pria itu keluar. Riin hanya bisa menatap kepergian mereka, jari-jarinya meremas tepi pakaian yang ia kenakan.
Di luar, angin malam bertiup lebih kencang, membawa rasa dingin yang menusuk. Tetapi bukan udara dingin itu yang membuat hati Riin terasa sepi. Itu karena punggung Jae Hyun yang semakin menjauh, menuju masa lalunya yang masih menyisakan jejak di hatinya.
***
"Jadi, apa yang terjadi hingga pertunangan kalian batal?" suara Jae Hyun terdengar datar, tetapi matanya tetap fokus ke jalanan di depan alih-alih menatap wanita yang duduk di sebelahnya.
Youn Jung menghela napas sebelum menjawab, seakan mencoba menahan gejolak emosi yang siap meledak. "Akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Hubungan jarak jauh... banyak kesalahpahaman, banyak ketegangan. Aku... aku mengatakan ingin putus saat sedang marah. Tapi..." Suaranya bergetar, dan seketika air matanya kembali jatuh. "Aku tidak menyangka Jung Won Oppa akan menyetujuinya begitu saja."
Jae Hyun melirik sekilas, melihat wajah Youn Jung yang berlinang air mata. Tanpa banyak bicara, ia mengambil saputangan dari sakunya dan menyodorkannya kepadanya. Gerakannya sederhana, tetapi ada ketulusan di dalamnya_sebuah bentuk perhatian yang dulu selalu diberikan pada wanita itu.
"Aku yakin ini hanya emosi sesaat," ujar Jae Hyun pelan. "Kalian hanya perlu waktu untuk menenangkan diri. Aku akan membantumu berbicara dengan Jung Won."
Youn Jung menerima saputangan itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih, Oppa. Kau selalu menjadi satu-satunya orang yang selalu memahami dan mendukungku." Ada harapan samar dalam nada suaranya, seakan-akan ia masih ingin bergantung pada sosok pria di sampingnya.
Namun, harapannya langsung pupus ketika Jae Hyun menegaskan, "Aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang teman... dan juga seorang kakak. Aku harap kau tidak salah paham."
Youn Jung terdiam. Ada sesuatu yang terasa jauh berbeda. Dulu, Jae Hyun selalu menjadi orang pertama yang menenangkannya, orang yang akan berada di sisinya tanpa perlu diminta. Tapi sekarang? Sikapnya jauh lebih formal, lebih berjarak.
Hatinya mencelos. Ia tidak rela kehilangan perhatian itu. "Harusnya... dulu aku memilih Oppa saja."
Ucapan itu mengambang di antara mereka, di dalam taksi yang semakin terasa sempit.
Jae Hyun menoleh, alisnya sedikit berkerut. "Apa maksudmu?"
"Aku tahu, sejak dulu Oppa menyukaiku, kan?"
Jae Hyun diam sejenak. Matanya menelusuri wajah Youn Jung yang tampak rapuh namun sekaligus menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Ia menarik napas pelan sebelum menjawab, "Itu... sudah menjadi bagian dari masa lalu. Lagipula, kau sudah memilih Jung Won."
"Aku memilihnya karena kau tidak pernah menyatakan perasaanmu," ujar Youn Jung, kali ini suaranya lebih lirih. "Dulu aku pikir dia bisa memberikan perhatian yang sama seperti yang selalu Oppa lakukan... tetapi ternyata tidak."
"Jung~a," Jae Hyun menutup matanya sejenak, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. "Sudahlah. Tak ada gunanya membahas masa lalu. Kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku bahagia dengan hidupku saat ini."
"Kau yakin?" Youn Jung menatapnya dalam, mencoba membaca ekspresinya. "Apa semudah itu melupakan perasaanmu padaku demi wanita yang baru saja kau kenal?"
Jae Hyun merasakan darahnya mendidih. Sejak tadi, ia berusaha keras agar tetap tenang, tetapi mendengar nama Riin disebut dengan cara seperti itu, sesuatu dalam dirinya meledak_sebuah batas yang tak bisa lagi ia abaikan.
"Wanita itu adalah istriku," tegasnya, nada suaranya terdengar lebih dingin dan seolah tidak menerima bantahan. "Dan aku mencintainya. Tanpa peduli berapa lama aku telah mengenalnya"
Youn Jung terdiam. Bibirnya sedikit bergetar, tak menyangka akan mendengar jawaban setegas itu.
Taksi pun berhenti tepat di depan sebuah apartemen modern dengan pencahayaan yang lembut. Youn Jung memandang gedung itu dengan pandangan kosong, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata Jae Hyun barusan.
"Pulanglah," ujar Jae Hyun seraya mengalihkan tatapannya. "Fokuslah memperbaiki hubunganmu dengan Jung Won. Jangan libatkan perasaanku padamu di masa lalu."
Youn Jung ingin sekali tetap mendesaknya, mengatakan bahwa perasaan itu tidak bisa hilang begitu saja, tetapi ia tahu Jae Hyun adalah pria yang tidak akan mengubah pendiriannya dengan mudah. Jadi, untuk saat ini, ia memilih diam.
"Terima kasih sudah mengantarku," ucapnya singkat, sebelum turun dari taksi.
Jae Hyun tidak membalas. Ia hanya menyandarkan kepalanya ke kursi, mengusap wajahnya dengan tangan seakan mencoba menghapus kelelahan yang tiba-tiba menghantamnya. Hatinya terasa sesak, bukan karena perasaan lama yang kembali, tetapi karena ada sesuatu yang ia sadari_ia tidak ingin Riin tahu tentang ini.
Saat taksi mulai menjauh, Youn Jung berdiri diam di tempatnya. Matanya menatap ke arah kendaraan yang membawa pria itu pergi.
"Maaf, Oppa," gumamnya pelan. "Sikapmu yang seperti itu justru membuatku semakin ingin membuktikan apakah perasaanmu benar-benar sudah berubah, atau mungkin… belum," lanjutnya, matanya menatap penuh arti, seakan menunggu jawaban yang tak terucap.
Senyumnya samar, tetapi di balik itu semua, ada niat yang tersirat jelas. Jika Jung Won tidak bisa ia dapatkan kembali, mungkin ia masih punya kesempatan dengan Jae Hyun. Bagaimanapun, ia cukup percaya diri bahwa dirinya lebih spesial dibanding wanita yang dinikahi pria itu.
***
Malam itu, rumah yang ditempati Jae Hyun dan Riin terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tengah hanya menyala redup.
Jae Hyun melangkah masuk dengan langkah pelan, matanya langsung tertuju pada sosok istrinya yang tertidur di sofa. Napasnya tercekat sesaat ketika ia melihat sisa air mata yang mengering di pipi Riin. Hatinya mencelos, rasa bersalah menghantamnya dengan keras. Ia berjanji akan pulang cepat, tetapi malah membuat Riin menunggu dan menangis.
Jae Hyun berjongkok di hadapan istrinya, menatap wajah yang belakangan ini telah mengisi ruang kosong dalam hidupnya. Ia mengulurkan tangan, dengan gerakan hati-hati menyapu bekas air mata di pipi Riin. Tapi sentuhannya membuat Riin menggeliat dan membuka mata perlahan. Matanya yang sedikit sembab menatapnya dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan.
"Kau sudah pulang?" suara Riin terdengar lirih, serak saat berbicara.
Jae Hyun mengangguk pelan lalu kemudian tersenyum, berusaha menenangkan istrinya. "Aku berusaha menepati janjiku."
Tanpa menunggu lebih lama, Riin langsung bangkit dan melingkarkan lengannya di leher Jae Hyun, memeluknya erat seolah takut pria itu akan pergi lagi. Gerakan tiba-tiba itu membuat Jae Hyun sedikit terhuyung, tapi ia segera membalas pelukan itu. Tangannya yang besar mengusap punggung Riin dengan lembut, menyalurkan rasa bersalah dan perasaan yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Kenapa kau tidur di sini?" tanyanya pelan, mencium aroma samar vanilla dari rambut Riin.
"Aku hanya ingin menunggumu," jawab Riin, masih tenggelam dalam pelukan Jae Hyun, "tapi aku justru ketiduran."
Jae Hyun menarik napas panjang, hatinya merasa semakin sesak. "Maaf karena sudah membuatmu menunggu. Dan maaf... sudah membuatmu menangis di hari yang penting ini."
Riin menggeleng kecil, akhirnya melepaskan pelukannya dan menatap suaminya dengan sorot mata yang masih menyimpan sisa kesedihan. "Yang terpenting kau sudah kembali."
Hening sesaat. Riin tampak ragu sebelum akhirnya bertanya dengan nada lebih hati-hati. "Dia tidak akan menemuimu lagi, kan?"
Jae Hyun tahu siapa yang dimaksud istrinya. Ia menghela napas, lalu mengusap rambut Riin lembut. "Entahlah. Tapi aku harap tidak. Aku masih harus menghubungi Jung Won besok agar dia menyelesaikan masalah mereka."
Riin mengangguk kecil, meski sorot matanya jelas terlihat tidak puas. Jae Hyun menyelipkan helaian rambut yang jatuh ke wajah istrinya ke belakang telinga. "Istirahatlah di kamar. Aku akan membereskan sisa makan malam kita tadi."
Namun, Riin menahan suaminya agar tidak beranjak dari sisinya. "Bereskan besok saja. Kau juga butuh istirahat. Lagipula...." Jae Hyun mengangkat alis saat melihat Riin bermain dengan kancing kemejanya. "Aku ingin tidur sambil memelukmu." lanjut Riin.
Tatapan Jae Hyun turun ke jemari Riin yang masih bermain di kemejanya, lalu kembali menatap wajah istrinya. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum penuh makna. "Ny. Cho... jika kau bersikap seperti ini, kau tahu apa akibatnya, kan?"
Alih-alih menjawab, Riin justru mengalungkan lengannya di leher Jae Hyun. Ia mendekat, lalu mengecup bibir suaminya lembut. "Aku sangat mengerti, Tn. Cho. Karena itulah aku memulainya," bisiknya menggoda.
Jae Hyun terkekeh pelan, lalu tanpa ragu meraih tubuh Riin dan menggendongnya dalam posisi saling berhadapan. Riin terkejut sejenak, tapi tidak ada perlawanan dari wanita itu. Tangannya otomatis melingkar di leher Jae Hyun untuk menjaga keseimbangan.
Wajah mereka berhadapan, begitu dekat, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Tatapan mata mereka bertemu, menciptakan percikan hasrat yang tak terucapkan namun terasa begitu dalam.
"Jangan salahkan aku jika kau tidak akan tidur malam ini." Jae Hyun mencium Riin lembut, sekali lagi, sebelum akhirnya melangkah santai menuju kamar mereka. Membawa serta tubuh istrinya dalam dekapannya tanpa berniat melepaskan ciuman mereka yang semakin intens.
***
Di dalam kamar yang temaram dengan cahaya lampu tidur, Jae Hyun menurunkan Riin ke tempat tidur dan langsung memerangkap tubuh istrinya. Nafas mereka bertaut, suasana di antara mereka semakin panas.
Riin sendiri tak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya malam ini, tetapi ada sesuatu yang seolah tengah mempengaruhinya—entah karena hasrat yang menggebu-gebu, atau rasa takut kehilangan atau mungkin keduanya.
"Ada apa denganmu?" tanya Jae Hyun dengan suara berat, serak dan tatapan penuh gairah. "Mungkinkah ini efek dari wine yang kau minum atau... karena kau cemburu?"
"Entahlah... mungkin keduanya," jawab Riin seraya memainkan jemarinya di rambut Jae Hyun yang kini mulai basah oleh peluh. "Kenapa? Kau tidak suka?"
Jae Hyun tersenyum kecil, "Sebaliknya, aku sangat menyukainya." jawabnya, lalu kembali meraup bibir istrinya, rakus.
Malam itu, mereka membiarkan hasrat mereka mengambil alih, seolah menebus waktu yang sempat terganggu oleh kehadiran Youn Jung sebelumnya. Bagi Jae Hyun, tidak ada yang lebih penting dari wanita yang kini berada dalam dekapannya. Riin adalah rumahnya, satu-satunya tempat di mana ia ingin pulang.
***
Jae Hyun bangun lebih dulu pagi itu, seperti biasanya. Cahaya matahari pagi menembus jendela besar kamar mereka, menyinari wajah istrinya yang masih terlelap di bawah selimut tebal. Riin tampak damai, nafasnya teratur, bibirnya sedikit mengerucut seolah sedang bermimpi.
Jae Hyun menghela napas pelan, menatap istrinya dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Ia merasa bersalah atas kejadian semalam karena membiarkan Riin menangis di hari yang seharusnya menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Tapi di sisi lain, ada rasa hangat yang menyelinap ke dalam hatinya setiap kali mengingat bagaimana Riin menunjukkan sisi manja dan ketergantungannya padanya.
Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut lebih tinggi untuk menutupi tubuh telanjang Riin agar tetap hangat. Jae Hyun mengenakan pakaiannya, lalu berjalan ke kamar mandi.
***
Di dapur, Jae Hyun dengan setelan kemeja formalnya tengah menyibukkan diri membuat kopi untuk Riin. Campuran antara espresso, steam milk, dan milk foam sesuai selera istrinya. Ia selalu mengingat detail kecil seperti ini, memastikan Riin mendapatkan apa yang ia sukai. Itu adalah caranya menunjukkan perhatian_bukan dengan kata-kata manis, tetapi dengan tindakan.
Namun, sebelum sempat menyelesaikan pekerjaannya, ia merasakan sesuatu yang hangat melingkari pinggangnya dari belakang.
"Kenapa tidak membangunkanku?" suara Riin terdengar serak, masih dipenuhi kantuk, tapi ada nada manja yang tidak biasa di dalamnya.
Jae Hyun terdiam sesaat sebelum meletakkan gelas kopi yang hampir selesai ia racik. Ia berbalik dan menatap wajah Riin yang sedikit bengkak akibat tidur terlalu lama. Bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. "Aku tahu kau lelah, jadi aku membiarkanmu tidur lebih lama."
Riin mengerucutkan bibirnya. "Selain lelah, ada seseorang yang membuatku tidak bisa tidur."
Jae Hyun menaikkan sebelah alisnya. "Bukankah itu terjadi karena kau menggodaku semalam?"
Pipi Riin langsung memanas. Ia menundukkan kepala, menghindari tatapan suaminya. "Jangan membahasnya, aku malu," gumamnya pelan.
Jae Hyun tertawa kecil melihat reaksi menggemaskan istrinya. "Kau benar-benar berbeda sejak semalam. Bahkan saat ini kau lebih manja dari biasanya. Tapi aku menyukainya," katanya sambil mengusap rambut Riin dengan lembut.
Riin mengangkat bahu, "Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa bereaksi seperti itu," ucap Riin lirih sebelum tiba-tiba wajahnya menegang. Ia merasakan rasa nyeri yang menusuk di perutnya, membuat tubuhnya sedikit meringkuk.
Jae Hyun menatap Riin dengan penuh kekhawatiran. Wajahnya memucat saat melihat istrinya yang tiba-tiba meringis kesakitan. "Ada apa? Kau baik-baik saja?"
"Perutku..." Riin meringis, tangannya menekan perutnya sedikit, berharap hal itu bisa mengurangi rasa sakitnya.
Tanpa ragu, Jae Hyun segera mengangkat tubuh Riin dan membawanya ke sofa di ruang tengah. Dengan gerakan penuh kehati-hatian, ia mendudukkannya perlahan. "Apa perlu ke rumah sakit?" tanyanya dengan wajah cemas.
Riin menggelengkan kepalanya dengan pelan, mencoba memberikan senyum tipis untuk meyakinkan Jae Hyun bahwa ia memang baik-baik saja. "Tidak apa-apa," katanya lembut. "Mungkin ini hanya kram biasa sebelum datang bulan." Suaranya terdengar tenang meskipun wajahnya sedikit pucat.
Jae Hyun menarik napas panjang, berusaha meredakan kegelisahannya yang belum sepenuhnya sirna. "Apa ini hal yang normal?" ucapnya pelan, dengan sorot mata yang dipenuhi kecemasan.
Riin tersenyum tipis sambil menjawab dengan nada lembut, "Hanya sesekali, mungkin karena aku stres atau kelelahan."
Jae Hyun terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kalau begitu, pagi ini sebaiknya kau tidak minum kopi. Kafein bisa memperburuk kondisimu. Biar aku buatkan cokelat hangat untukmu," ujarnya dengan nada lembut.
Tanpa menunggu persetujuan Riin, Jae Hyun beranjak ke dapur. Ia tahu Riin terkadang cukup keras kepala dan suka menyepelekan kesehatannya sendiri, jadi ia harus lebih tegas dalam hal ini. Tak lama kemudian, ia kembali dengan secangkir coklat hangat. "Ini, minumlah pelan-pelan. Apa kau butuh kompres hangat?"
Riin menggeleng pelan dan tersenyum tipis. "Tidak usah, sebentar lagi juga akan membaik. Lagipula kita harus segera berangkat ke kantor," katanya sambil meraih cangkirnya dengan tenang.
Jae Hyun menghela napas, lalu duduk di samping istrinya. Tanpa banyak bicara, ia meletakkan telapak tangannya di perut Riin, mengusapnya dengan gerakan melingkar yang lembut.
"Jae Hyun~a..." Riin memandang suaminya dengan kagum, seolah tak percaya. "Bagaimana bisa kau selalu tahu apa yang harus dilakukan?"
Jae Hyun tersenyum kecil sambil mengangkat bahunya, "Sederhana, aku hanya ingin kau merasa nyaman."
Namun hal itu tidak berlangsung lama, raut wajah Jae Hyun yang semula tenang berubah serius. Dengan kening berkerut, ia menatap Riin lekat-lekat, seolah mencari jawaban pasti. "Riin~a, apa kau merasa perutmu terasa berbeda akhir-akhir ini?"
"Berbeda seperti apa maksudmu?" tanya Riin bingung, lalu melirik suaminya dengan tatapan setengah curiga. "Jangan-jangan kau sedang mengejekku, ya? Apa sebenarnya kau mau bilang kalau berat badanku naik?"
Jae Hyun menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan lembut. "Bukan itu yang kumaksud. Hanya saja... aku benar-benar merasa ada sesuatu yang berbeda."
Riin melirik perutnya sejenak, lalu mengangkat pandangannya ke arah Jae Hyun. "Menurutku semuanya biasa saja, tidak ada yang berubah."
Jae Hyun tidak segera menjawab. Ia hanya memandang istrinya dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Setelah beberapa saat, ia berbicara dengan nada yang lebih lembut, "Kalau begitu, jangan menyepelekan hal ini. Aku bisa mengantarmu kalau kau ingin memeriksakannya ke dokter."
Riin memandangnya sejenak, lalu tersenyum tipis dengan nada bercanda. "Baiklah, Sajangnim."
Jae Hyun mencubit hidung Riin gemas sambil tersenyum kecil. "Jangan panggil aku seperti itu di rumah, Ny.Cho..."
Riin tertawa kecil, lalu berkata dengan nada menggoda, "Baiklah, suamiku yang selalu penuh perhatian."
Jae Hyun tersenyum kecil, lalu menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala Riin dan membiarkan kehangatan pagi itu menyelimuti mereka berdua.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!