NovelToon NovelToon

Reborn To Revenge

Bab 1 - HARI PERTAMA MASUK SEKOLAH

Suara riuh tawa dan teriakan menggema di dalam kelas 8H SMP Wereld. Para siswa asyik bermain sepak bola di dalam kelas, meskipun jelas itu bukan tempat yang tepat. Di antara mereka, seorang anak laki-laki duduk diam di bangkunya, tenggelam dalam dunia komik yang dipegangnya. Judulnya The Lost Soul, komik yang tidak terlalu populer di kalangan teman-temannya. Anak itu bernama Revan.

Tanpa sengaja, sebuah bola meluncur ke arahnya dengan kencang dan menghantam kepalanya.

"Duk!"

Revan terhuyung sedikit, lalu memegang kepalanya. Beberapa siswa yang menendang bola itu langsung mendekatinya.

"Eh, sorry Rev! Tadi gue nggak sengaja," ucap salah satu dari mereka, meski terdengar lebih seperti basa-basi daripada permintaan maaf yang tulus.

Revan tersenyum kecil, mencoba menahan rasa sakit. "Ah... nggak apa-apa kok..."

Namun, bukannya kembali bermain, beberapa dari mereka justru saling berbisik sambil melirik ke arahnya, lalu tertawa.

"Mereka lagi ngetawain siapa...?" batin Revan, meski dalam hati ia tahu jawabannya.

Hari-hari berikutnya berjalan semakin buruk. Mereka mulai memanfaatkan sikap lembut dan pendiam Revan sebagai celah untuk merundungnya. Awalnya hanya candaan kecil-menyembunyikan bukunya, menjegalnya saat berjalan-tapi lama-lama mereka mulai memukulinya dan memalak uang sakunya.

Tahun berganti. Revan naik ke kelas 9H, dan perundungan itu semakin menjadi-jadi. Ia menjadi sasaran empuk, seseorang yang bisa mereka hina dan sakiti tanpa khawatir akan melawan. Namun, meskipun tubuhnya penuh luka, Revan tidak pernah mengeluh. Ia hanya menahan semuanya dalam diam, berharap semuanya akan berakhir begitu ia lulus.

Saat akhirnya kelulusan tiba, Revan merasa lega. SMP Wereld telah menjadi mimpi buruk baginya, dan ia berpikir bahwa memasuki SMA baru akan menjadi awal yang lebih baik. Dengan harapan itu, ia mendaftarkan diri di SMA KSTRASIA. Sayangnya, ia salah besar.

...***...

Koridor SMA KSTRASIA, sekolah swasta yang dipenuhi dengan siswa-siswi yang sibuk dengan dunianya sendiri. Beberapa berkumpul dalam kelompok kecil, tertawa dan berbicara, sementara yang lain sibuk dengan ponsel mereka. Namun, perhatian Revan justru tertuju pada pemandangan di sudut koridor-seorang siswa yang lebih kecil dipojokkan oleh beberapa siswa lain, dipalak dan dipermalukan di depan banyak orang.

Di sisi lain, beberapa siswi sibuk memoles wajah mereka dengan make-up berlebihan, seolah-olah sekolah ini adalah panggung fashion show.

"Ini bukan sekolah yang gue harapkan..." pikir Revan sambil menghela napas.

Ia pernah membayangkan SMA sebagai tempat yang lebih baik, tempat ia bisa memulai hidup baru. Tapi kenyataannya, sekolah ini tidak jauh berbeda dari SMP-nya. Bedanya, di sini semuanya lebih terselubung. Kepala sekolah menutupi semua kasus perundungan dan pemalakan dengan menyuap pihak yang berwenang.

Revan terus melangkah, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa membantunya melupakan semua ini. Di ujung lorong, ia melihat sebuah kelas dengan pintu yang sedikit terbuka. Kosen pintunya tampak miring, mungkin akibat didobrak oleh senior tahun lalu.

Saat ia hendak masuk, tiba-tiba seorang siswa terdorong keluar dan jatuh tepat di hadapannya.

"Erm... lo gapapa kan?" tanya Revan, cemas melihat siswa itu.

Siswa itu, seorang anak berkacamata dengan tubuh kurus, buru-buru merapikan kacamatanya dan mengelap darah yang mengalir dari hidungnya. "Ah... gapapa kok, jangan cemasin gue..."

"Lo yakin? Lo keliatan berantakan sumpah..." Revan memastikan sekali lagi.

Sebelum siswa itu bisa menjawab, suara kasar tiba-tiba menyela.

"Oi, lo murid baru kan? Sini ikut gue," kata seorang siswa yang lebih besar dengan nada kasar.

"Hah? Gue? Kenapa harus gue?" Revan bingung.

"Menurut lo? Apa gue keliatan ngomong sama tembok? Cepetan ikut gue, lama amat sih!"

Revan tidak ingin membuat masalah di hari pertamanya, jadi ia mengikuti siswa itu. Namun, sebelum pergi, siswa berkacamata tadi berbisik, "Hati-hati..."

Mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih besar, tempat beberapa siswa lain sudah berkumpul. Seorang dari mereka, yang tampak seperti pemimpin geng, menyipitkan mata dan menatap Revan dari atas ke bawah.

"Oi, Rafa. Kenapa lo bawain anak culun berkacamata lagi kayak gini?" tanya salah satu dari mereka, tertawa.

Siswa yang membawa Revan, yang ternyata bernama Rafa, menyeringai.

"Bukannya lo pada lagi nyari pecundang baru buat dijadiin bahan mainan?"

Mata Revan melebar. "Jadi ini jebakan?"

Tanpa aba-aba, geng itu mulai mengeroyoknya. Pukulan dan tendangan datang bertubi-tubi. Revan mencoba melindungi dirinya, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Sakit. Sangat sakit. Namun, ia tetap diam, menahan semuanya seperti yang selalu ia lakukan.

Beberapa menit kemudian, semuanya menjadi gelap.

Geng itu terdiam, terkejut melihat Revan pingsan lebih cepat dari yang mereka duga. Satu per satu mereka melarikan diri, meninggalkan tubuhnya yang tak bergerak di lantai.

Hanya Rafa yang masih berdiri di sana, menatap Revan dengan ekspresi penuh kebosanan.

"Apa-apaan ini? Gue kira lo kuat dan cuma pura-pura culun biar nggak keliatan. Tapi ternyata, culun tetaplah culun," gumamnya sebelum pergi.

Sementara itu, di dalam kegelapan pikirannya, Revan mulai merasakan sesuatu yang aneh. Kepalanya terasa seperti ditusuk oleh ribuan jarum, dan matanya tiba-tiba berubah hitam pekat.

"AGHHH!!!"

Jeritan kesakitan keluar dari mulutnya. Dalam pikirannya yang buram, ia melihat sesosok pria.

Pria itu gagah, mengenakan jas hitam formal, dan memiliki wajah yang... mirip dengannya.

"Balas dendam," kata pria itu. Kesadarannya memudar.

Ketika ia membuka mata lagi, ia sudah berada di UKS, dengan kepala yang masih berdenyut nyeri.

"Apa yang baru saja terjadi?"

Revan duduk perlahan, merasakan denyutan tajam di kepalanya. Ruangan UKS terasa sunyi, hanya suara kipas angin tua yang berdecit pelan menemani kesadarannya yang masih kabur. Ia memijat dahinya, mencoba mengingat kembali kejadian sebelum semuanya menjadi gelap. Apa tadi hanya mimpi?

Pukulan, tendangan, lalu suara itu… dan sosok pria yang mirip dengannya.

"Balas dendam."

Kata-kata itu menggema dalam benaknya, meninggalkan jejak samar yang sulit ia pahami. Tubuhnya terasa lebih ringan, seolah ada sesuatu yang baru bangkit dalam dirinya.

Suara pintu berderit membuatnya tersadar. Seorang gadis masuk, rambutnya dikuncir tinggi, membawa kantong es di tangannya.

"Oh, lo udah sadar?" tanyanya, menatap Revan dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu.

Revan balas menatapnya, mencoba mengenali wajah gadis itu. Ia bukan salah satu dari geng yang menyerangnya tadi.

“… Iya.”

Tanpa banyak bicara, gadis itu mendekat lalu menempelkan kantong es ke kepalanya.

“Eh, bentar—”

“Diam.”

Revan terdiam ketika kantong es dingin menyentuh dahinya.

“Lo kena pukulan kanan-kiri, pasti pusing, kan?” lanjutnya sambil menekan kantong es itu lebih erat ke kepala Revan.

Revan menatapnya bingung. Gadis ini terlihat percaya diri, meskipun tubuhnya kecil dan sama sekali tidak tampak seperti seseorang yang suka ikut campur urusan orang lain.

“Siapa lo?” tanyanya akhirnya.

“Alisha.”

Nama itu terdengar asing, tapi entah kenapa terasa familiar di telinganya.

“Gue liat lo digebukin di aula belakang,” Alisha melanjutkan santai. “Gue kira lo bakal lawan, tapi ternyata lo pingsan lebih cepat dari yang gue kira.”

Nada suaranya datar, tanpa nada mengejek, hanya sebuah pernyataan fakta.

Revan mengalihkan pandangannya, merasa sedikit malu. “Makasi udah nolongin gue.”

Alisha mengangkat bahu. “Bukan gue yang nolongin.”

Revan menoleh cepat. “Hah?”

Alisha bersandar di kursinya, menatap langit-langit. “Pas gue nyampe, lu udah diangkat sama guru piket. Katanya ada yang manggilin mereka pas lu pingsan. Tapi nggak ada yang tau siapa.”

Revan terdiam.

Siapa yang menolongnya? Apakah itu siswa berkacamata tadi? Atau seseorang yang tidak ingin menunjukkan dirinya?

Alisha meliriknya sekilas. “Gue nggak suka liat orang dipukulin, tapi gue juga nggak bisa nolong semua orang. Lo harus hati-hati di sini. SMA ini jauh lebih busuk dari yang keliatan.”

Revan menggenggam ujung selimut yang menutupi tubuhnya. Ia sudah menyadari itu.

Tapi kali ini… perasaannya berbeda. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak ingin hanya menjadi korban lagi. Ia ingin berubah.

“Alisha,” panggilnya pelan.

Gadis itu menoleh. “Hm?”

Revan mengangkat wajahnya, matanya terlihat lebih tajam dari sebelumnya.

“Gue mau jadi lebih kuat.” Alisha menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil.

“Bagus kalo gitu.”

Ia bangkit dari kursinya, meraih tasnya, lalu melangkah ke pintu.

“Sampai jumpa di kelas, Revan.”

Pintu UKS tertutup, meninggalkan Revan sendirian. Ia masih memegang kantong es di kepalanya, tapi pikirannya sudah jauh melayang dari rasa sakit.

Ia sudah membuat keputusan. Mulai hari ini, semuanya akan berbeda.

Bab 2 - SANG LEGENDA

...***...

Zaine Leonhart adalah Sang Legenda Atlet MMA tahun 2018. Saat umur 16 tahun Zaine pernah mengalahkan Raja MMA dan juga memiliki julukan sebagai “Sang Legenda” atau “Sang tak Terkalahkan”. Sebagaian orang-orang bertanya

“Mengapa Zaine sangat kuat padahal dia hanya cecunguk yang masih SMA”. Dahulu kala Zaine sangat kuat karena ia pernah belajar seni bela diri campuran dengan Emma Beatrice. Emma Beatrice adalah Seorang Wanita yang pernah jadi Atlet MMA ditahun 2018 dan mendapatkan julukan sebagai “The 12 Gauge” atau bisa disebut “12 Senapan” ia umurnya sama dengan Zaine. Zaine selalu belajar seni bela diri campuran lewat Emma namun walaupun ajaran Emma terlalu keras tetapi Zaine tidak pernah menyerah meskipun kesakitan saat diajarkan oleh Emma

...***...

Saat kesunyian itu, Revan melihat ada siswa lain itu yang Revan selamatkan dari Rafa.

“Ah... sorry kalo ga sopan...” kata siswa itu sambil menggosokkan ke belakang lehernya dan juga tersenyum malu kecil.

“Nggak papa kok” jawab Revan sambil membalas senyumannya.

“Lo gapapakan? sorry mungkin ini salah gue ngobrol sama lo pas gue kena hukuman sama Rafa jadinya lo kena masalah sama mereka...” tanya siswa itu sambil menundukkan kepalanya untuk meminta maaf.

“Nggak papa kok, lagipula ini juga salah gue karena nggak ngelawan mereka” jawab Revan sambil tertawa kecil namun lembut.

“Kalo gitu, nama gue Farel panggil aja rel” senyum Farel.

Ternyata siswa yang dirundung itu bernama Farel, dia memakai kacamata sama seperti Revan mungkin alasan dia dirundung karena sama seperti Revan, penampilan yang terlihat sangat culun dan lemah namun fisiknya berbeda dengan Revan, fisik Farel tidak kurus dan juga tidak terlalu gemuk dia sedikit pendiam dan juga pemalu.

“Tubuh dia bagus kaya terlatih, dan juga seperti terlihat ada ototnya, apa dia ini nutupin kekuatannya?” gumam Revan.

“Lo gapapa kan? ada masalah?...” tanya Farel sambil malu-malu.

“Ah nggak... nama gue Revan, salken” jawab Revan sambil tersenyum gugup karena hampir ketahuan.

“Revan? Namanya ga nyaman di mulut gue, kalo semisalnya gue panggil lu Epan gimana? Mau kaga?” senyum Farel kearah Revan.

“Wkwk boleh kok, panggil aja Epan kalo lo mau” Revan menjawab senyumannya.

Revan sangat berterimakasih kepada Tuhan karena ia pertama kali mendapatkan teman di masa sekolah SMA-nya namun Revan juga memikirkan sesuatu tentang Pria misterius di pikirannya.

“Dia kaya keliatan mirip sama gue.., namun agak berbeda auranya... siapa dia ya..?” gumam Revan sambil kebingungan.

“Lo ada masalah?,” tanya Farel sambil bingung melihat tingkah laku Revan.

“Ah nggak kok.. hanya aja gue lagi ngelamun” jawab Revan dengan ragu-ragu.

“Kalo gitu gue mau ke kelas dulu ya, get well soon.” senyum kecil Farel.

“Ah iya, makasih..” jawab Revan sambil tersenyum kecil

...***...

Sesaat Revan sendirian di ruangan itu, kepala Revan sangat sakit dan pusing terasa seperti ditusuk oleh kaca yang berkeping-keping itu dan akhirnya Revan pingsan lagi, terasa otak Revan hampir menusuk kaca berkeping-keping itu seperti di mimpi.

Kegelapan yang sangat gelap sekali, disana hanya Revan seorang yang sedang berdiri di atas kegelapan, Revan menatap ada daun yang kering berwarna merah tua namun Revan juga menatap ada bayangan didepannya, Revan langsung berjalan lurus untuk melihat siapa disana. Revan sedang berhadapan dengan Pria yang berumur 23 tahun itu yang sedikit berantakan dan memakai baju pasien rumah sakit.

“Balas dendam.” kata Pria itu sambil menatap ke arah Revan dengan dingin.

“Lo ngomong apaan sih? Lo siapa?” tanya Revan sambil kebingungan.

“Bukannya udah jelas? aku adalah kau.” jawab Pria itu menatap lurus ke wajah Revan.

“Apaan sih? Gue ga paham yang lu maksud sumpah” kata Revan sambil tidak percaya dengan perkataan pria itu.

“Kau tahu? kau pasti kebingungan mengapa aku berkata Aku adalah Kau kan? kau tahu siapa aku?” kata Pria itu.

“Nggak, lo siapa emangnya?” tanya Revan sambil menatapnya.

“Aku adalah Zaine Leonhart.” jawab pria itu.

“Zaine apa tadi?” tanya Revan sambil tidak kebingungan

“Zaine Leonhart, Leon-hart.” jawab Pria itu sambil menghela nafas.

“Lo siapa sih? Gue ga kenal yang namanya Zaine apalah itu” kata Revan.

“Kau tahu berita di televisi tentang Presdir MMA Robert Marvolo?” tanya Pria itu sambil menatap ke arah Revan.

“Oh tau gue, itu ada di televisi pas gue masih kecil kalo ga salah” jawab Revan.

“Itu adalah Presdirku, dia membunuhku ditahun 2018, dia sangat kejam dan licik sampai aku ingin membalas dendamku kepadanya.” kata Pria itu dengan dingin.

“Erm... Emangnya lo salah apa sama dia? Sampe lo dibunuh gitu?” tanya Revan.

“Tidak, aku tidak mempunyai masalah dengannya, sudah pasti dia membunuhku memakai Pembunuh Bayarannya karena ia tidak ingin melihatku lagi dan juga tidak ingin melihat aku sukses dalam pekerjaan seorang Atlet MMA.” jawab Pria itu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Wait a second, jadi gue ini atlet MMA dong?” tanya Revan sambil bingung.

“Ya, kau pernah karna aku terhubung denganmu dan saat sebelum aku meninggal, aku memberi sumpah untuk hidup kembali memakai tubuh yang lain dan tubuh itu adalah kau.” jawab Pria itu dengan dingin.

“Jadi gue sebenernya kuat dong?” tanya Revan sambil matanya berbinar-binar.

“Tapi itu aku, bukan kau.” jawab Pria itu.

“Berarti lo ngelakuin Reinkarnasi dan lu adalah gue?” tanya Revan.

Pria itu langsung menghilang setelah Revan memberikan pertanyaan itu.

“WOI! TUNGGU DULU, JAWAB PERTANYAAN GUE!” teriak Revan, namun sudah terlambat karena pria itu menghilang entah kemana.

“Ha... Cepet amat ngilangnya?” tanya Revan sambil menghela nafas, tetapi Revan merasakan kesakitan di kepalanya seperti ditusuk kaca berkeping-keping itu sama seperti yang awal.

“AGHH!!!” Revan kesakitan dan memegang kepalannya yang sakit itu.

...***...

Revan merasakan pusing dan juga kesakitan yang tak tertolongkan, Revan mencoba menjaga keseimbangannya agar tetap berdiri namun tidak bisa karena Revan sudah sedikit melemas, akhirnya Revan menutup matanya perlahan dan juga tubuhnya terjatuh di lantai gelap itu, pengelihatan Revan mulai buram dan akhirnya menutup matanya.

Bab 3 - MASA LALU

Ruangan yang sunyi dan juga sedikit gelap, Revan terbangun di Ruangan itu dan Revan kebingungan saat menatap sekeliling ruangan itu. Revan mencoba berjalan diatas kegelapan ke sekeliling ruangan itu, Revan melihat ada Seorang Pria sedikit tua yang terlihat lengan satunya buntung dan juga diselimuti oleh perban putih.

“Halo? Lo siapa?” tanya Revan namun Pria tua itu tidak mendengar karena Revan terjebak di Masa Lalu Zaine Leonhart Sang Legenda MMA.

Revan pun menatap Pria Tua itu berbicara kepada seseorang Pria lain yang membawa pistol.

“Kill Zaine Leonhart, I will give you 10,000 USD” ("Bunuh Zaine Leonhart, aku akan memberikanmu 10.000 USD") kata Pria Tua itu sambil memakai bahasa inggris dan juga aksennya terlihat jelas orang British.

“Brengsek...! 10.000 USD berapa Rupiah...? BANYAK AMAT..?!” tanya Revan sambil terkejut.

“Tapi, ini maksudnya apaan...?” tanya Revan sekali lagi ke dirinya sendiri.

“I'm ready to do anything, Presdir.” ("Saya siap melakukan apa saja, Presdir") jawab Pria lain itu sambil berjalan meninggalkan Pria tua itu dan juga Revan.

“Hah? Presdir? Ini Presdirnya yang dibilang Zaine?” gumam Revan sambil kebingungan.

Disaat itu Presdir berjalan ke arah Revan, akhirnya Revan terkejut saat didekati oleh Presdir itu.

“Apa-apaan ini..?!” kata Revan namun Revan mencoba tenang dan tidak panik karena tidak mungkin Presdir itu melihatnya.

Untungnya Revan tidak terlihat karena seperti roh yang kembali ke Masa Lalu, akhirnya Revan menghela nafas lega karena ia tidak terlihat oleh Presdir itu, Revan pun mengikuti Presdir itu akan tetapi Presdir itu menghilang ke hadapan Revan.

“Hah... Kemana dia?” bingung Revan sambil melihat ke sekeliling.

Saat Revan berjalan mencari Presdir itu, Revan melihat ada Seorang Pria yang sedang memukuli Samsak yang ada di depan Pria itu, dan ternyata dia adalah Zaine Leonhart Sang Legenda MMA.

Revan mencoba mendekati Pria itu dan juga mencoba memegang wajah tampan Zaine Leonhart yang terlihat gagah dan juga tampan.

“Andai gue bisa jadi kaya dia,” kata Revan sambil menatap Zaine,

Saat Revan sedang sibuk dengan Zaine, Revan terkejut saat dibelakangnya ada Presdir.

“How long are you going to keep hitting the punching bag, Revan?” ("Mau sampai kapan kau memukuli samsak terus, Revan?") tanya Presdir itu.

“Until I'm satisfied and become stronger.” ("Sampai aku puas dan menjadi lebih kuat.") jawab Zaine sambil terkekeh kecil.

"Hah..? Ngomong apaan sih gue ga paham" gumam Revan sambil kebingungan.

Ekspresi Presdir itu seperti tertawa kecil namun sebenarnya menutupi kebohongan yang sesuatu lebih kejam dan licik.

“Apa-apaan ekspresi Presdir itu? najis amat.” kata Revan sambil menyilangkan kedua tangannya.

Disisi lain, Zaine masih fokus memukuli samsak sampai sedikit rusak tetapi tetap mendengarkan perkataan Presdir itu.

“You should just rest, you're pushing yourself too hard, Zaine.” ("Sebaiknya kau beristirahat saja kau terlalu memaksakan diri, Zaine") tegas Presdir itu sambil menyilangkan kedua lengannya.

“Why should I rest if I am still enthusiastic to practice so that I am satisfied?” ("Mengapa aku harus istirahat jika aku masih bersemangat untuk berlatihan agar aku puas?”) jawab Zaine sambil tersenyum kecil dan memukuli samsak itu dengan tinjunya.

“Hah... You're too stubborn.” (Hah... Kau ini terlalu keras kepala") desah Presdir.

Akhirnya Presdir itu meninggalkan Zaine sendirian berlatih di Gym itu.

...***...

Sore pun tiba, pukul 04.53 PM. Zaine masih memukuli samsak dari jam 01.00 sampai jam 04.53 PM

“Orang gila, mana ada manusia mau memukuli samsak itu sampai 5 jam?,” gumam Revan saat Zaine memukuli samsak dengan sempurna. Saat itu ada seorang perempuan mendekati Zaine sambil membawa sarung tangan tinju hitam, rambutnya pirang dan juga warna matanya biru terang, tinggi nya sekitar 5.57 inci.

“You've been here for 5 hours hitting that damn punching bag, don't you want to go home, Zaine?” ("Kau sudah 5 jam disini sambil memukuli samsak sialan itu, kau tak mau pulang, Zaine?") tanya perempuan cantik itu.

Revan terkejut saat melihat perempuan cantik itu.

“BR*NGS*K! TERNYATA DIA MANIAK CEWEK! CANTIK AMAT YA TUHAN!” mata Revan melotot sedikit saat melihat atas bawah perempuan itu.

“Ah... So it's been that long, huh..?” ("Ah... Ternyata aku sudah se lama itu ya..?") jawab Zaine sambil berhenti memukuli samsak itu dan menatap perempuan itu.

“You are so stupid, you can forget the time.” ("Kau ini bodoh sekali, bisa-bisanya kau lupa waktu.") kata Perempuan itu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Oh yeah sorry, I'm stupid.” ("Ah iya maaf-maaf, aku bodoh") kata Zaine sambil terkekeh melihat Perempuan itu seperti ngambek.

“What about you? Don't you want to go home, Emma?” ("Kalau kau? Kau tidak mau pulang, Emma?") tanya Zaine itu, ternyata perempuan cantik itu bernama Emma Beatrice Sang 12 Senapan atau bisa disebut The 12 Gauge.

“I'll be home soon, do you want to come with me?” ("Sebentar lagi aku akan pulang kok, kau mau barengan?") tanya Emma sambil menatap Zaine.

“Ah, I'll be here for a while to pack up my things, you can go home first.” ("Ah aku akan disini sebentar untuk membereskan barang-barang, kau bisa pulang duluan") jawab Zaine sambil melepaskan sarung tangan tinjunya.

“Alright, I'm going home first, see ya” ("Baiklah, Aku akan pulang duluan, sampai jumpa") kata Emma sambil tersenyum lembut dan meninggalkan Zaine sendirian.

“See ya.” ("Sampai jumpa.") jawab Zaine sambil menatap Emma meninggalkan Revan Abigail sendirian.

Zaine itu sudah sendirian di ruangan Gym itu, dan Zaine membereskan barang-barangnya dan menyapu lantai ruangan itu agar terlihat bersih dan rapi, namun ada seorang Pria asing mengintip dari balik dinding dan menatap Zaine sambil membawa pistol.

Revan menatap Pria asing itu sambil menyilangkan kedua lengannya.

“Lah? Bukannya itu yang sama presdir itu? Kenapa dia ngintip?” Revan bertanya-tanya ke dirinya sendiri.

...***...

Akhirnya beberapa menit kemudian Zaine ditembak oleh Pria itu dan tertembak di bagian dadanya Zaine, Revan terkejut dan dilantai banyak sekali darah dari Zaine.

Zaine terlihat terkejut dimatanya dan dadanya berdarah cukup banyak karena tertembak tepat di jantungnya.

“A-apa apaan...?!” kata Revan sambil terkejut dan lantainya berlumuran darah didepannya.

Revan mundur perlahan dan sedikit terkejut dan matanya melotot karena ini pertama kalinya menatap ada orang yang dibunuh didepan matanya sendiri.

“APA-APAAN..?! APA YANG TERJADI...?!” tanya Revan dan didepannya berlumuran darah dan Revan tidak percaya.

“INI BERCANDA KAN?!” kata Revan itu sambil berteriak.

Revan merasakan dadanya tersedak dan sesak nafasnya meningkat, Revan mencoba mengatur nafas namun tidak bisa dan juga kepalanya sakit seperti tertusuk kaca berkeping-keping seperti di mimpinya.

”T-tolong...” Revan memegang kepalanya dan pengelihatannya buram dan akhirnya Revan terjatuh ke lantai dan menutup matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!