Hujan deras mengguyur halaman mansion megah yang menyerupai istana, menciptakan suara gemuruh yang menggema di antara dinding batu kuno. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, sementara angin membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kelembapan malam. Petir sesekali menyambar langit kelabu, menerangi siluet bangunan megah yang berdiri kokoh di tengah hujan.
Di depan pintu besar yang menjulang megah, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun berdiri dengan tubuh sedikit gemetar. Jemarinya yang kecil menggenggam erat tangan seorang wanita yang telah dianggapnya sebagai ibu. Matanya yang kebiruan, yang biasanya penuh kehangatan, kini menatap lurus dengan waspada ke arah pria tua berjas hitam yang duduk angkuh di singgasana.
Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, kini berdiri di hadapan kakeknya—sosok yang selama ini ingin ia lupakan. Ingatannya berputar kembali ke hari itu, mengingat bagaimana ia berusaha melarikan diri dari pria yang sangat ia benci ini. Sejak kedua orang tua kandungnya meninggal, ia tidak pernah ingin kembali ke sisi lelaki tua itu. Namun, kini, takdir membawanya kembali ke tempat yang sama, ke hadapan sosok yang menatapnya tajam, seolah menelanjangi masa lalunya yang masih kabur dan penuh luka.
“Kau ingin tetap tinggal bersama mereka?”
Suara sang kakek terdengar dalam, nyaris tanpa emosi, bergema di seluruh ruangan megah yang dipenuhi oleh aura kekuasaan dan keheningan mencekam. Nada bicaranya begitu datar, nyaris seperti perintah daripada pertanyaan. Tatapannya yang tajam seperti ingin menguji keberanian cucunya, menunggu jawaban yang akan menentukan nasib anak itu.
Rei menggigit bibirnya, menunduk sejenak sebelum kembali menatap kakeknya dengan mata yang dipenuhi kebimbangan. Dalam benaknya, pertanyaan itu bukanlah sekadar pilihan, melainkan ujian yang akan menentukan masa depannya. Ia tahu betapa kuatnya kehendak lelaki tua itu, dan betapa sulitnya menolak permintaannya tanpa konsekuensi besar.
Tangannya yang mungil semakin erat menggenggam jemari Adara, seolah mencari kekuatan dari wanita yang telah menjadi tempatnya berlindung selama ini. Hatinya berdebar, tetapi ketika ia menoleh ke arah Adara, tatapan lembut wanita itu menyapanya dengan penuh ketulusan. Tidak ada paksaan, tidak ada tekanan—hanya senyum hangat yang menguatkannya.
Adara perlahan mengusap kepalanya, sentuhannya memberikan ketenangan yang sejenak mengusir keraguannya. Isyarat itu begitu jelas, mengisyaratkan bahwa keputusan ada di tangannya. Rei menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian yang tersisa dalam dirinya.
“Iya…” Suaranya kecil, hampir tenggelam dalam dentuman hujan yang mengguyur atap mansion. Namun, meski lirih, nada suaranya tetap tegas. Ia tidak ragu dengan keputusannya. “Aku ingin bersama Mama dan Papa.”
Kata-kata itu menggema di ruangan, membelah keheningan yang sempat menggantung. Jawaban yang begitu sederhana, namun memiliki makna yang mendalam. Ia tidak peduli dengan darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya, tidak peduli dengan gelar atau warisan yang mungkin akan diberikan kakeknya—satu-satunya yang ia inginkan adalah tetap berada di sisi orang yang telah merawat dan mencintainya tanpa syarat.
Kakeknya, Duke Alastair, terdiam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara banyak—tajam dan penuh perhitungan, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu yang lebih besar daripada sekadar keputusan seorang bocah berusia tujuh tahun. Ia menelusuri sosok Rei dengan tatapan yang dalam, mencoba mencari jejak kebangsawanan dalam dirinya, mencoba melihat apakah cucunya yang telah lama ia tinggalkan ini masih membawa garis keturunan keluarga kerajaan yang selama ini ia banggakan.
Ruangan tetap sunyi, hanya suara hujan deras di luar jendela yang menjadi latar belakang ketegangan yang menggantung di udara. Setelah keheningan panjang yang terasa begitu menyesakkan, pria tua itu akhirnya menghela napas perlahan, seolah telah mengambil keputusan yang tidak bisa diubah.
“Baiklah.” Suaranya tetap dingin, tak menunjukkan tanda-tanda kehangatan seorang kakek kepada cucunya. “Jika itu keputusanmu, maka aku akan mengizinkan.”
Rei merasa dadanya sedikit lebih ringan, tetapi sebelum ia bisa benar-benar bernapas lega, kata-kata berikutnya dari sang kakek membuatnya kembali menegang.
“Tapi ada satu syarat.”
Rei mengangkat wajahnya, alisnya bertaut. Ia menatap kakeknya dengan penuh kewaspadaan, firasat buruk mulai menyelimutinya.
“Syarat apa?” tanyanya hati-hati.
Duke Alastair tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka, sengaja menciptakan ketegangan sebelum akhirnya melanjutkan, “Kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Dan seperti tradisi keluarga kita…” Ia berhenti sejenak, seakan memberi Rei waktu untuk memahami besarnya konsekuensi dari ucapannya. “Saat usiamu 17 tahun, kau harus menikah dengan wanita yang telah dipilih untukmu.”
Rei mengernyit, hatinya mencelos. “Menikah?”
“Ya.” Jawaban itu singkat, tanpa ruang untuk tawar-menawar.
Adara, yang sedari tadi tetap diam, tiba-tiba menegang. Matanya membesar, tangannya yang menggenggam Rei sedikit mengencang. Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Zayn—suaminya—dengan tenang meletakkan tangan di pundaknya, memberikan isyarat agar ia tetap tenang.
Hujan di luar semakin deras, seolah menjadi pertanda akan perubahan besar yang baru saja terjadi dalam hidup seorang anak kecil yang bahkan belum memahami arti pernikahan itu sendiri.
“Jika kau ingin tetap tinggal dengan keluarga ini, maka inilah syaratnya,” lanjut kakeknya dengan nada dingin dan tak terbantahkan. Matanya yang tajam menusuk ke arah bocah kecil itu, seolah memastikan bahwa kata-katanya benar-benar dipahami. “Jika menolak, maka kau tidak akan bisa bebas dan akan menjadi tawanan musuh kerajaan.”
Ruangan besar itu terasa semakin sunyi. Bahkan suara hujan deras yang sebelumnya menggema di luar istana terasa memudar di telinga Rei. Anak laki-laki itu menggigit bibirnya, hatinya mencelos mendengar ancaman terselubung dari sang kakek. Tawanan musuh kerajaan? Meskipun ia masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya arti politik kerajaan, ia cukup mengerti bahwa menjadi tawanan berarti kehidupan yang penuh penderitaan. Ia tidak bisa membayangkan harus hidup di bawah kekuasaan orang-orang asing yang mungkin akan memperlakukannya dengan kejam, menjadikannya alat untuk membalaskan dendam mereka kepada keluarga yang bahkan baru saja ia kenali.
Rei menoleh ke arah Adara dan Zayn, kedua orang yang sudah ia anggap sebagai orang tua sejati. Adara masih menatapnya dengan penuh kasih, senyum lembutnya seolah memberi kekuatan. Zayn, meskipun raut wajahnya tetap tegas, terlihat sedikit tegang, seolah menunggu keputusan yang akan diambil oleh anak angkatnya. Rei tahu mereka pasti mengkhawatirkannya.
Di dalam hatinya, ada perasaan takut, ragu, dan cemas yang bercampur menjadi satu. Namun, satu hal yang pasti, ia tidak ingin kehilangan mereka. Mama dan Papa adalah satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kehilangan orang tua kandungnya. Jika menerima perjodohan ini adalah satu-satunya cara agar ia tetap bisa bersama mereka, maka ia akan melakukannya.
Rei menelan ludah. Tangan kecilnya mengepal erat, mencoba menenangkan kegelisahan yang melanda dirinya. Napasnya sedikit tersengal, tetapi akhirnya ia mengangguk perlahan. Suaranya hampir tercekat saat ia berbicara, tetapi ia tetap berusaha agar terdengar tegas.
“…Baiklah,” jawabnya akhirnya, meskipun di dalam hatinya ada ketakutan yang tak ia mengerti.
Duke Alastair mengamati cucunya selama beberapa detik yang terasa begitu panjang sebelum akhirnya bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang sulit ditebak. “Bagus.”
Begitu kata itu meluncur dari bibirnya, seorang pria berseragam dengan emblem kerajaan di dadanya segera melangkah maju. Langkahnya mantap dan penuh wibawa, seolah menyiratkan bahwa ia telah terbiasa dengan tugas-tugas penting seperti ini. Di tangannya terdapat sebuah gulungan surat berwarna gading yang terikat pita emas, tampak begitu resmi dan berharga.
Pria itu membungkuk hormat sebelum menyerahkan gulungan tersebut kepada Duke Alastair, yang kemudian menyodorkannya ke arah Rei. Bocah itu menatap benda itu dengan ekspresi kosong, tidak benar-benar memahami apa yang ada di dalamnya, tetapi ia tahu bahwa dokumen itu akan mengikatnya pada sesuatu yang besar.
“Ini adalah dokumen perjodohan,” kata sang kakek dengan suara yang tetap tak menunjukkan emosi. “Kau akan menikah dengan Hana Evangeline, cucu dari Duke Evander.”
Nama itu sama sekali tidak familiar bagi Rei. Ia bahkan tidak tahu siapa Duke Evander. Namun, pada titik ini, seberapa besar pun perjodohan itu akan memengaruhi hidupnya, ia tidak bisa peduli. Ia masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitasnya, terlalu lugu untuk menyadari bahwa perjanjian ini bukan hanya sekadar pernikahan biasa—melainkan sebuah permainan politik yang melibatkan dua keluarga besar.
Ia hanya mengangguk, menerima kenyataan tanpa banyak berpikir. Ia pikir, ini hanyalah sesuatu yang akan terjadi jauh di masa depan. Pernikahan adalah sesuatu yang masih terasa samar dalam pikirannya, seolah berada di dunia yang berbeda. Baginya, satu-satunya hal yang penting saat ini adalah tetap bisa tinggal bersama orang-orang yang ia cintai.
Namun, apa yang tidak ia ketahui adalah bahwa keputusan kecilnya hari ini akan menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan lika-liku. Sebuah perjanjian yang mungkin akan menuntunnya ke dalam takdir yang jauh lebih rumit daripada yang bisa ia bayangkan.
17 Tahun Kemudian
Hari ini, Rei Alexander berdiri di altar.
Bukan untuk menerima penghargaan akademik yang sering ia dapatkan sejak kecil, bukan pula untuk memimpin rapat OSIS seperti yang dulu selalu ia lakukan dengan percaya diri. Kali ini, ia berdiri di sana untuk satu hal yang tak pernah benar-benar ia inginkan—untuk menikah.
Jas hitam elegan yang membalut tubuhnya terasa begitu berat. Bukan karena bahannya yang mewah, tetapi karena beban yang ia pikul sejak hari ia menyetujui perjodohan ini bertahun-tahun lalu. Bola mata birunya yang tajam menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya kosong. Semua suara di sekitarnya terdengar seperti gema yang jauh, seolah ia tidak benar-benar berada di sana.
Di dalam gereja megah dengan lampu kristal bergemerlap, para tamu undangan pilihan alias hanya tamu yang dipilih duduk dalam barisan yang rapi. Beberapa wajah yang ia kenal tampak di sana, tetapi hanya sedikit yang benar-benar menarik perhatiannya. Di antara para undangan, duduklah Zayn dan Adara, orang tua angkat yang telah merawatnya dengan penuh kasih selama ini. Mereka tidak tersenyum. Wajah mereka serius, tetapi bukan karena tidak bahagia. Rei tahu, mereka mengerti betul bagaimana perasaannya saat ini.
Di sisi lain, Duke dan Duchess Evangeline duduk dengan anggun, ekspresi mereka terlihat puas. Cucu mereka akhirnya menikah sesuai dengan perjanjian keluarga. Mata mereka berbinar penuh kebanggaan, seolah pernikahan ini adalah pencapaian besar yang telah lama mereka nantikan.
Rei menarik napas dalam-dalam. Semua ini terasa begitu absurd. Selama bertahun-tahun, ia menjalani hidupnya dengan penuh ambisi—menjadi siswa terbaik, atlet andal, dan pewaris yang patut dibanggakan. Namun, saat ini, tidak ada pencapaian yang bisa menyelamatkannya dari kenyataan bahwa pernikahan ini bukan pilihannya.
Ia tidak pernah benar-benar mengenal Hana Evangeline, wanita yang akan segera menjadi istrinya. Mereka pernah bertemu beberapa kali dalam acara kerajaan, berbicara secukupnya, tetapi tidak lebih dari itu. Ia bahkan tidak yakin apakah mereka bisa disebut sebagai teman.
Namun, di sinilah ia sekarang, berdiri di altar dengan jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, menunggu pengantin wanitanya berjalan mendekat. Entah apa yang menunggunya setelah ini. Yang pasti, tidak ada jalan untuk kembali.
Dan takdir yang telah ditetapkan sejak 17 tahun lalu akhirnya akan terwujud hari ini.
Namun, di tengah kemewahan ini, hanya sahabat-sahabat Rei yang terlihat santai, seolah-olah pernikahan sahabat mereka bukanlah sesuatu yang begitu serius.
Nathan, yang sejak dulu selalu pendiam dan sulit ditebak, hanya memperhatikan tanpa ekspresi. Mata hitamnya menelusuri setiap sudut ruangan, seolah mengamati sesuatu yang orang lain lewatkan.
Di sebelahnya, Elio, si playboy kecil yang selalu punya komentar untuk segala hal, menyengir sambil berbisik, "Gila, Rei beneran nikah? Gue kira dia bakal kabur sebelum ini terjadi." Nada suaranya terdengar seperti bercanda, tapi ada nada tak percaya di dalamnya.
Aurora, gadis dengan aura tenang dan misterius, hanya tersenyum tipis. "Sepertinya ini bukan keinginannya." Matanya yang tajam sekilas melirik Rei, seolah bisa membaca isi pikirannya hanya dengan sekali tatap.
Selene, si atletis yang terkenal galak, menyilangkan tangan di depan dada. "Aku penasaran, istrinya secantik apa?" Ada ketertarikan dalam suaranya, tapi juga nada skeptis.
Obrolan mereka terdengar ringan, tetapi masing-masing dari mereka tahu bahwa ada sesuatu yang ganjil dalam pernikahan ini. Rei tidak pernah berbicara tentang perasaannya terhadap Hana, bahkan saat hari besar ini semakin dekat.
Dan tepat saat itu, pintu gereja yang tinggi dan megah terbuka perlahan. Cahaya matahari yang masuk dari luar menciptakan siluet seorang wanita dengan gaun putih panjang yang berkilauan.
Hana Evangeline melangkah masuk.
Suasana mendadak hening. Semua mata tertuju padanya. Dan untuk pertama kalinya hari itu, Rei akhirnya mengangkat wajahnya dan benar-benar memperhatikannya.
Dengan mata cokelat keemasan yang bersinar seperti bias matahari senja, gaun putih panjang yang elegan dengan sulaman emas di ujungnya, serta rambut panjang bergelombang yang tergerai sempurna, Hana Evangeline melangkah dengan anggun. Setiap gerakannya dipenuhi kepercayaan diri, seolah ia benar-benar seorang putri dalam dongeng.
Namun bagi Rei, ini bukanlah kisah dongeng.
Ini adalah mimpi buruk yang perlahan menjadi kenyataan.
Langkah-langkah Hana terdengar jelas di antara keheningan ruangan, menghampiri pria yang kini sah menjadi suaminya. Senyumnya tipis, hampir seperti ejekan. Saat jarak mereka hanya sejengkal, ia berbisik, “Aku tahu kau gak suka ini.”
Rei menoleh, menatapnya dengan ekspresi datar. “Bagus kalau kau sadar.”
Alih-alih tersinggung, Hana justru tertawa kecil. “Tapi tenang, aku juga gak suka.”
Pendeta di hadapan mereka mulai membacakan janji pernikahan dengan suara khidmat. Kata-kata itu bergema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer sakral yang seharusnya penuh makna. Tapi bagi Rei, itu hanya suara kosong tanpa arti.
Saat tiba gilirannya untuk mengucapkan janji, sejenak ia ingin menolak. Keinginannya untuk membangkang berkobar di dalam dada.
Namun, tatapan tajam Duke Alastair dari barisan keluarga bangsawan membuatnya sadar—ia tidak punya pilihan.
Hening beberapa detik, sebelum akhirnya bibirnya bergerak, mengucapkan dua kata yang mengikat masa depannya selamanya.
“Aku bersedia.”
Beberapa tamu tersenyum puas. Keluarga Evangeline terlihat lega, seolah pernikahan ini adalah kemenangan besar bagi mereka.
Namun, bukannya gugup atau pasrah, Hana justru tersenyum lebih lebar, seolah ia menikmati situasi ini.
Saat gilirannya, tanpa ragu sedikit pun, ia menjawab dengan nada yang terdengar terlalu percaya diri.
“Aku bersedia.”
Dan kemudian, saat yang paling dinantikan oleh semua tamu tiba.
"Pengantin pria boleh mencium pengantin wanita."
Rei langsung tegang.
Ia tidak ingin melakukannya. Tidak di depan semua orang. Tidak dengan perasaan yang sama sekali tidak ada.
Namun sebelum ia bisa bereaksi, Hana justru menarik dasinya, menarik wajahnya lebih dekat, lalu mengecup pipinya dengan cepat dan penuh percaya diri.
Seisi ruangan terkejut.
Selene bersiul, menyilangkan tangan dengan ekspresi terhibur. “Wah, dia agresif juga.”
Elio tertawa kecil, menggeleng pelan. “Rei kalah telak.”
Aurora yang biasanya sulit dibaca, tersenyum tipis dan mengangguk puas. “Sepertinya Hana akan jadi lawan yang seimbang untuknya.”
Nathan tetap diam, tapi jika diperhatikan lebih teliti, ada sedikit senyum samar di sudut bibirnya.
Sementara itu, Rei hanya bisa menghela napas panjang.
Pernikahan ini sudah terjadi.
Dan mulai sekarang, mereka akan tinggal bersama.
Bagi Rei, ini adalah awal dari mimpi buruk yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Setelah prosesi pernikahan yang penuh drama dan penuh sorot mata tamu undangan, Rei dan Hana akhirnya resmi menjadi suami istri.
Namun bagi Rei, ini bukanlah awal dari kisah indah.
Ini adalah awal dari bencana yang bahkan belum bisa ia bayangkan seberapa parahnya.
Malam itu, setelah resepsi pernikahan yang melelahkan akhirnya berakhir, keduanya tiba di mansion keluarga Adara. Rumah itu kini bukan hanya menjadi tempat tinggal Rei bersama Zayn, Adara, dan kedua adik kembarnya, tetapi juga akan menjadi rumah bagi Hana, seperti yang telah disepakati dalam perjanjian sebelum pernikahan mereka.
Bagi keluarga Evangeline, mungkin ini sebuah penghinaan karena cucu perempuan mereka harus tinggal di rumah keluarga angkat suaminya. Namun, bagi Rei, ini adalah satu-satunya keuntungan kecil dari pernikahan ini—setidaknya, ia masih berada di lingkungan yang familiar.
Begitu memasuki kamar yang telah disediakan untuk mereka berdua, Rei langsung melepas jasnya dengan gerakan kasar, melemparkannya sembarangan ke sofa. Tanpa peduli Hana masih berdiri di dekat pintu, ia menarik dasinya hingga kendur, seolah ingin menghilangkan sisa-sisa acara yang baru saja ia lalui.
Suasana di kamar itu terasa dingin, meskipun tidak ada hujan deras di luar seperti malam ketika ia pertama kali berdiri di hadapan Duke Alastair.
“Jangan berharap aku akan bersikap manis,” kata Rei dingin, tanpa menoleh ke arah istrinya.
Hana, yang tengah duduk di tepi ranjang sambil melepas heels-nya satu per satu, hanya tersenyum santai, seolah sudah menduga hal ini akan terjadi.
“Kukira kau akan bilang begitu,” balasnya dengan nada ringan, sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap dingin suaminya.
Rei mendengus pelan, lalu menoleh sekilas ke arahnya. Mata birunya menatap tajam, tapi Hana hanya mengangkat bahu santai, seolah-olah pernikahan ini hanyalah permainan baginya.
Dan entah kenapa, itu semakin membuat Rei kesal.
Ia lalu berjalan ke arah meja rias, membuka kotak perhiasannya dengan tenang, dan mulai melepas anting satu per satu dengan gerakan anggun. Kilauan berlian di telinganya perlahan menghilang, meninggalkan hanya keindahan alami wajahnya yang masih berhiaskan sedikit riasan dari pesta pernikahan tadi.
Rei memperhatikannya sekilas dari kejauhan. Gadis itu benar-benar santai, seolah-olah pernikahan ini bukanlah sesuatu yang mengganggunya sama sekali. Tidak ada tanda-tanda ketegangan, tidak ada kekhawatiran, seakan ia benar-benar menikmati situasi ini.
Hal itu justru semakin membuat Rei gerah.
“Kita perlu bicara.”
Hana, yang sedang mengamati wajahnya sendiri di cermin, menoleh perlahan. Ia menaikkan satu alis, menunjukkan ketertarikan yang tampaknya lebih karena rasa penasaran daripada keseriusan.
“Tentang apa?” tanyanya dengan nada datar, seakan tidak terlalu peduli dengan maksud suaminya.
Rei melangkah mendekat, berdiri di belakangnya, menatap bayangannya di cermin. Mata biru tajamnya bertemu dengan mata coklat keemasan Hana yang masih berkilau meski ruangan hanya diterangi lampu temaram.
“Perjanjian kita,” ucapnya tegas.
Hana terkekeh pelan, lalu tanpa tergesa-gesa, ia berbalik dan duduk di kursi rias dengan santai. Kakinya yang kini bebas dari heels disilangkan, sikapnya benar-benar seperti seseorang yang tidak terbebani oleh pernikahan ini.
“Baiklah, suamiku,” katanya dengan nada menggoda. “Mari kita bahas.”
Rei mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ada sesuatu dari sikap Hana yang membuatnya tidak nyaman—sebuah ketenangan yang terasa terlalu mengintimidasi, seolah gadis itu tidak akan mudah dikendalikan seperti yang ia harapkan.
PERJANJIAN PERNIKAHAN
Mereka duduk di sofa berhadapan, menciptakan jarak yang jelas di antara mereka. Rei bersandar santai, menyilangkan tangan di dada, sementara Hana duduk dengan tenang, menyilangkan kaki dengan anggun, menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak terintimidasi oleh situasi ini.
Rei menatapnya tanpa ekspresi sebelum akhirnya membuka suara. “Aku akan tetap menjalani hidupku seperti biasa. Tidak ada yang berubah.” Suaranya tegas, menekankan batasan sejak awal. “Jangan ganggu aku di sekolah. Jangan buat drama di depan umum. Dan yang paling penting—jangan pernah berpikir kita benar-benar suami istri.”
Hana mengangkat bahu, sama sekali tidak terpengaruh oleh nada dinginnya. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya sebelum ia bersuara dengan santai, “Tentu. Tapi aku juga punya syarat sendiri.”
Rei mengernyit mendengar pernyataannya. “Apa?” tanyanya singkat, nada suaranya menunjukkan sedikit ketidaksabaran.
Hana hanya menatapnya dengan tenang, siap menyatakan aturannya sendiri dalam perjanjian pernikahan ini.
Hana tersenyum manis, ekspresi lembut yang jelas disengaja. “Aku boleh bersikap manja di depan orang tua kita.”
Rei langsung mendengus, matanya menatap Hana dengan penuh selidik. “Mau cari muka?” tanyanya dengan nada meremehkan.
Hana mengedikkan bahu santai, seolah tak peduli dengan tuduhan itu. “Anggap saja strategi bertahan hidup,” ujarnya ringan. “Lagipula, aku perlu beradaptasi, kan? Mereka juga sudah menjadi orang tuaku, alih-alih hanya mertuaku.”
Rei menatapnya beberapa detik, mencoba mencari celah dalam logika gadis itu. Namun, ia tidak menemukan alasan untuk membantah. Itu memang wajar—dan bisa dibilang masuk akal.
“Baiklah,” gumamnya akhirnya.
Tapi Hana belum selesai. Ia menyandarkan punggung ke sofa, menatap Rei dengan mata penuh arti sebelum melanjutkan, “Satu lagi.”
Rei menaikkan alis, menunggu kelanjutan pernyataannya.
“Kita berbagi kamar,” kata Hana santai. “Tapi ranjang tetap masing-masing.”
Sejenak, keheningan melingkupi mereka. Lalu, sudut bibir Rei tertarik ke atas dalam seringai sinis. “Kau pikir aku tertarik padamu?”
Hana tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menatap Rei dengan ekspresi geli, seolah sedang menahan tawa. “Aku justru lebih khawatir kalau kau tertarik,” balasnya tanpa ragu.
Tatapan Rei berubah. Mata gelapnya sedikit menyipit, menatap Hana seolah mencoba memahami isi pikirannya. Gadis ini benar-benar menyebalkan.
Tapi bukannya membalas dengan kata-kata pedas, Rei hanya menghela napas pelan.
Akhirnya, setelah beberapa kali berdiskusi—atau lebih tepatnya berdebat—mereka mencapai kesepakatan. Mereka akan hidup bersama sebagai suami istri, tapi tanpa benar-benar menjadi pasangan. Hanya status di atas kertas, tanpa ikatan emosional apa pun.
Namun, dalam hati kecilnya, Rei menyadari satu hal.
Pernikahan ini mungkin hanya sementara.
Tapi selama itu berlangsung, pasti akan ada masalah yang datang.
Dan ia harus siap menghadapi semuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!