NovelToon NovelToon

Sistem Pengganda Uang

Bab 1

"Hei kau, kesini bersihkan meja 2 itu jangan pemalas, bersihkan meja doang lama!" Kata pelayan restoran.

"Ba- Baik, saya ke sana" Ucap Rian

Rian membungkuk, dan cepat - cepat membersihkan meja saat ini dan setelah selesai, ia bergegas menuju meja 2.

"Fiuh.." Rian mengelap keringat yang menyucur di kepalanya.

"Selesai juga akhirnya"

Hari sudah mencapai pukul 19.00 dan tandanya ia pulang.

"Pak" Ucap Rian kepada bapak pemilik restoran, Pak Baki

"Kenapa yan, udah selesai?" Tanya Pak Baki.

"Udah Pak" Jawab Rian.

"Baguslah kalo begitu, nih uangnya" Ucap Pak Baki sambil menyodorkan uang 25 ribu ke Rian.

"Makasih pak, kalo begitu saya izin pamit buat pulang ke rumah"

"Iya, Nak Rian" Ucap Pak Baki.

Rian keluar dari Restoran dan menuju ke rumahnya yang berada di jalan Sumaja 1.

Jalan Sumaja 1 merupakan jalan yang dipenuhi dengan kompleks rumah - rumah kayu sederhana.

Jalan Sumaja 1 bersebelahan dengan Jalan Sumaja 2 yang sangatlah berbeda suasana.

Jalan Sumaja 2 terkenal dengan kompleks kawasan elite yang dipenuhi dengan rumah - rumah tinggi bertingkat, ada yang 2 tingkat, 3 tingkat, 4 tingkat hingga mansion mewah.

Rian saat ini tengah menyusuri jalan - jalan yang berlampu indah di kedua sisi jalan.

Saat ini, Rian tengah berjalan di tepi jalan seketika tiba-tiba pandangannya tertuju pada seseorang yang berlari tergesa-gesa seakan - akan terburu - buru. Dari ekspresi panik yang terlintas di wajahnya, jelas bahwa orang itu sepertinya sedang dikejar oleh sekelompok orang yang tak dikenal.

Tanpa berpikir panjang, Rian secara refleks berlari menuju orang itu dan segera mengambil inisiatif untuk menolongnya. Dengan cepat, dia menarik orang yang dikejar itu ke dalam bayangan tembok rumah warga terdekat dan menutup mulut orang itu.

Orang yang diselamatkan nya pun menahan napas, bersembunyi di balik tembok yang cukup tinggi, berharap pengejarnya tidak menyadari keberadaan mereka. Detik demi detik telah berlalu, suara langkah kaki yang mendekat membuat jantung mereka berdebar semakin kencang.

"Pak, Lihat orang ini gak?" Tanya salah satu pengejar itu kepada salah warga yang tengah berjalan.

"Tidak Mas, Saya gak lihat siapa - siapa disini, hanya saya doang yang terlihat berjalan" Jawab warga itu.

"Baik, Terima Kasih" Ucap Pengejar sambil berbalik badan dan menuju ke bawahannya.

"Kita Balik, dia hilang, jangan laporkan ke bos dan kita cari esok lagi" Nada Tegas pengejar itu.

"Baik, Pak"

Namun, setelah percakapan singkat itu, suara langkah kaki itu terdengar perlahan menjauh. Mereka sebelumnya saling menutup mata, napas mereka masih berat, menyadari bahwa mereka baru saja terhindar dari bahaya.

Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, lalu membuka mata dan menoleh ke arah orang yang baru saja diselamatkannya.

Saat Ini, ia tengah memeluk perempuan, Rian benar-benar baru memperhatikannya untuk pertama kali.

Cahaya redup dari lampu jalan menerangi sosok itu, terlihat seorang perempuan dengan rambut biru yang jatuh berantakan di bahunya. Warna rambutnya mencolok, seolah tidak mungkin untuk tidak diperhatikan, namun dalam situasi yang menegangkan tadi, dia sama sekali tidak sempat menyadarinya. Mata perempuan itu masih dipenuhi ketakutan, napasnya tersengal, dan dia tampak sedikit gemetar.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Rian pelan, masih berusaha memahami situasi tanpa melepaskan pelukannya.

Perempuan itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil tanpa melepaskan pelukan nya pada Rian dan malah bersandar di dada bidang Rian.

Rian menatap perempuan itu dengan seksama. Napasnya masih tersengal, tubuhnya sedikit gemetar, seolah ketakutan masih mencengkeramnya erat. Tanpa berkata apa-apa, ia tidak memarahi nya membiarkan perempuan itu bersandar di dadanya.

Rian mengusap kepala perempuan itu seakan - akan ingin menenangkannya.

Perempuan berambut biru itu tidak menolak dengan usapan Rian di puncak kepalanya. Ia tengah lelah menghadapi apa yang baru saja terjadi, dia membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan sesaat. Napasnya mulai melambat, mencoba menyesuaikan diri dengan ritme tenang yang ditawarkan oleh dada lelaki itu.

Napasnya kini lebih tenang, tubuhnya yang tadi gemetar perlahan mereda. Rian merasakan bobot perempuan itu semakin bersandar padanya, dan saat dia menundukkan kepala, dia menyadari sesuatu perempuan itu telah terlelap di dadanya.

Rambut birunya yang lembut sedikit berantakan, sebagian tengah jatuh di bahunya, sebagian lagi menyentuh dada nya. Wajahnya terlihat damai, seolah - olah semua ketakutan yang sebelumnya menyelimuti dirinya telah menghilang untuk sementara.

Rian terdiam, tidak ingin membangunkannya. Namun, Rian tahu ini belum selesai. Orang-orang yang mengejarnya bisa saja masih berkeliaran di luar sana.

Dia harus memutuskan sesuatu mau dibawa ke mana perempuan ini? Rian menghela napas, pikirannya berputar mencari solusi terbaik. Polisi? Tapi dia bahkan tidak tahu siapa perempuan ini dan siapa yang sedang mengejar dirinya, bagaimana kalau ia dituduhkan.

Hotel? Tidak mungkin, ia gadis muda dengan pakaian terkenal, bagaimana kalau keluarganya menganggap yang tidak - tidak? Lagi pula dompetnya tipis dan bahkan hanya bisa menghidupi ibunya.

Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia mengambil keputusan.

"Bawa ke rumah sajalah, kan ada ibu" gumamnya dalam hati.

Dengan hati-hati, Ia mengangkatnya perlahan, dan juga membenarkan posisi perempuan itu agar lebih nyaman dalam gendongannya. Ia memastikan perempuan itu tetap nyaman dalam posisinya agar tidak bangun.

Malam masih sunyi. Hanya ada suara angin yang berembus pelan di antara bangunan-bangunan sepi. Di bawah cahaya redup lampu jalan, Rian menatap sekilas perempuan itu dan tengah bersiap berjalan menyusuri gelapnya malam yang sunyi ini.

Dengan langkah mantap, Rian berjalan menyusuri trotoar yang sangat lengang, membawa perempuan berambut biru yang masih tertidur di dalam gendongannya. Jalanan sudah mulai sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang tengah menerangi trotoar, menciptakan bayangan panjang di bawah kakinya.

Dia menghela napas pelan, pikirannya masih dipenuhi dengan kata - kata apa yang akan dijawabnya, pasti ibunya akan bertanya

"Siapa perempuan ini?"

Namun, untuk saat ini, Rian berpikir akan menjawab dengan jujur karena kalau berbohong mungkin ibunya akan curiga.

Jalan Sumaja 1 sudah tidak jauh lagi. Deretan rumah sederhana berdiri di sepanjang jalan itu, beberapa dengan lampu teras yang masih menyala, sementara yang lain sudah gelap, menandakan penghuninya telah lama terlelap. Rian mempercepat langkahnya, ingin segera sampai di rumahnya sebelum ada orang yang memperhatikan.

Pintu tidak terkunci, dan ia langsung masuk begitu saja, dan segera menutup pintu rumah sederhana itu dan segera menyandar di pintu yang berada belakangnya, Rian menghela napas panjang. Dia menatap sekilas perempuan yang masih terlelap dalam gendongannya, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela rumah. Jalanan terlihat sangat sepi dan ia bernapas lega ternyata tetangganya tidak ada yang terlihat keluar rumah.

Bab 2

Terdengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan pelan menuju Rian..

Ternyata itu adalah Ibunya muncul dengan wajah agak mengantuk karena memang jam sudah menunjukkan pukul 20.000, ibunya mengenakan daster dan kerudung tipis yang sedikit berantakan. Dia menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan pencahayaan ruang tamu atau ruang keluarga itu, lalu pandangannya langsung tertuju pada perempuan yang tertidur di pangkuan Rian, anaknya.

Ibunya menghentikan langkahnya, matanya langsung tertuju pada gadis berambut biru yang ada di gendongan Rian. Dengan alis berkerut, dia menatap putranya dengan penuh selidik.

‘Rian… siapa itu?’ tanyanya dengan nada tegas.

Rian menghela napas panjang, sudah kuduga ibu pasti akan bereaksi seperti ini. Dengan hati-hati, Rian menjawab dengan sedikit terbata - bata "A-Aku enggak tahu, Bu. Aku nemuin dia di jalan. Dia lagi dikejar orang, jadi aku nolongin."

Sang ibu menatap mata Rian lebih lama, seolah - olah mencoba mencari kebohongan dalam perkataan Rian. Pandangannya lalu kembali ke gadis yang masih tertidur, napasnya teratur, wajahnya tampak lelah.

"Kamu yakin dia bukan pembawa masalah bagi keluarga kita? Tau sendiri kan kita cuma berdua, kalau ada masalah ibu tak mau kamu dalam bahaya." tanyanya lagi, kali ini lebih dalam dan menasihati Rian anak tercintanya.

Rian menggeleng dan menjawab "Aku enggak tahu, Bu. Tapi aku enggak tega ninggalin dia di luar dia kan perempuan"

Ibunya mendesah panjang, lalu menatap putranya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lalu, dengan suara lebih tegas, dia berkata, "Letakkan ia di kamar ibu, ibu akan tidur di sofa"

Rian menggeleng dan menjawab "Ia akan aku taruh dikamar aku dan aku aja tidur diluar, ibukan udah cape kerja"

Rian langsung membawa Gadis berambut warna biru itu ke kamar miliknya yang sederhana..

Kamarnya sederhana hanya ada satu ranjang, meja kecil, dan lemari kayu di sudut ruangan. Tidak banyak barang yang berantakan, hanya beberapa buku yang tersusun di rak dan jaket yang tergantung di belakang pintu.

Dengan hati-hati, dia membaringkan gadis itu di ranjangnya. Selimut tipis dia tarik hingga menutupi tubuhnya. Napas gadis itu masih teratur, wajahnya terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

Rian berdiri sejenak, memperhatikannya. Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia dikejar?

Setelah keluar dari kamar, Rian menghela napas panjang.

Malam itu terasa begitu panjang dan melelahkan. Tanpa memedulikan apa pun lagi, dia berjalan menuju sofanya yang sederhana di ruang tamu.

Dia menjatuhkan diri ke sana, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan seadanya. Matanya terasa berat, pikirannya masih dipenuhi banyak pertanyaan, tapi dia terlalu lelah untuk memikirkannya sekarang.

Dia melirik ke arah pintu kamarnya yang tertutup rapat. Gadis itu masih tertidur di dalam, aman untuk sementara.

"Besok aja deh pikirin semuanya", gumamnya pelan.

Dengan satu tarikan napas panjang, Rian menutup matanya. Tak butuh waktu lama sampai kantuk akhirnya membawanya ke dalam tidur yang cukup nyenyak.

- Keesokan Harinya -

Matahari pagi menerobos masuk melalui jendela, menerangi ruang tamu yang masih sunyi. Rian baru saja menggeliat di atas sofanya ketika mendengar suara langkah kaki dari arah kamarnya.

Pintu terbuka, dan gadis berparas putih nan cantik dan berambut biru itu muncul dihadapan Rian. Namun, berbeda dengan semalam, kali ini ekspresinya jauh lebih tajam. Matanya yang masih sedikit mengantuk kini dipenuhi kemarahan dan kewaspadaan.

"Ini di mana?!" tanyanya dengan nada tinggi, membuat Rian tersentak.

Dia menatap gadis itu dengan bingung. Semalam, dia begitu lemah dan ketakutan, tapi sekarang… seolah bukan orang yang sama.

"Kamu ada di rumah gue"jawab Rian, mencoba tetap tenang.

"Rumah lo?’"Gadis itu melipat tangan di dada, masih menatapnya dengan curiga.

"Kenapa gue ada di sini?!" Tanya nya

Rian menghela napas. "Gue nolongin lo semalam. Lo lagi dikejar orang, inget?"

Ekspresi gadis itu berubah sesaat, seolah ia mencoba mengingat. Tapi kemudian dia kembali menatap Rian dengan waspada.

"Gue enggak kenal lo. Bisa aja lo yang nyulik gue, dan lo pura - pura jadi pahlawan dan ngapain - ngapain gue" tuduhnya.

"Ia gue ngapain - ngapain lo dan sekarang lo jadi milik gw" Jawab Rian kesal

"Kan, awas aja lo, gue kasih tau papa gue dan lo bakal dipenjara! Teriak Perempuan berambut biru itu.

Rian mendengus kesal dan berkata "Yaelah lu percayaan aja lo, Kalau gue mau nyulik lo, ngapain gue tinggalin lo tidur nyenyak di kamar gue dan gue malah tidur di sofa?"

"Pasti gw pesen hotel dan lo gw tinggalin di sana sendiri, ngerti?" Lanjut Rian dengan nada Tegas

Gadis itu terdiam, bibirnya sedikit terbuka seakan ingin membalas, tapi tak menemukan jawaban.

Suasana hening sejenak. Rian menatapnya dengan sabar, sementara gadis itu masih menimbang-nimbang situasinya yang mana sesuai dengan perkataan Rian, ia tidak merasakan rasa sakit apa - apa berarti memang ia tidak diapa - apain.

Gadis Itu bernama Nadia Bert jurusan MIPA di Sekolah Menengah Atas dan oleh sebab itu ia tahu perihal reproduksi wanita maupun laki - laki.

Rian akhirnya bertanya setelah beberapa saat, dengan nada santai dan sopan karena sepertinya ia kembali tenang "Kamu anak siapa? Telepon Ayah atau ibumu dengan handphone ku karena kemarin aku gak melihat handphone disaku celanamu."

Rian menyodorkan handphone miliknya kepada Nadia.

Nadia mengambil handphone itu dan sedikit ragu menjelaskan identitas dirinya takut di sandera, namun setelah beberapa saat ia kembali berpikir tak masalah menjelaskan identitas dirinya karena ia penyelamat hidup ku kalo dia udah jahat pasti dari semalam udah ngapa - ngapain gw.

Nadia menjelaskan dengan nada pelan dan sedikit terbata - bata "A-Aku ini... Nadia Bert, a-anak dari Pak Adian Bert,’ ucap gadis itu dengan suara pelan, tapi cukup jelas untuk didengar.

Rian seketika terdiam mengingat nama itu bukan lah nama yang terdengar asing bagi diri nya.

Pak Adian Bert ialah orang terkaya kedua di Kota Adana, seorang pengusaha besar yang punya bisnis di mana - mana. Semua orang di kota ini pasti tahu siapa dia.

"Waduh, Kamu serius?" Rian menatapnya dengan skeptis.

Gadis itu mengangguk pelan, sorot matanya tetap serius tanpa adanya kebohongan sedikit pun.

Rian menghela napas dalam. Jadi, gadis yang semalam dia selamatkan ternyata bukan orang sembarangan, ia mengira mungkin saja pengejar itu mengincar orang kaya saja yang lewat ternyata ditargetkan. Dia bukan cuma korban yang dikejar tanpa alasan dia adalah korban yang ditargetkan.

"Jadi… yang ngejar kamu semalam cuma saingan bisnis keluarga?’ tanyanya memastikan.

Gadis berambut biru itu mengangguk dan menjawab "Iya, sepertinya mereka cuma orang-orang yang mau cari celah buat tekan keluarga kami.

Rian mengangguk mengerti akan jalan ceritanya.

"Udah, telepon tuh orangtuamu" Rian menunjuk handphone sederhana Rian yang berada di tangan Nadia.

"Iya" Nadia mengangguk dan segera menelepon ayahnya.

Bab 3

"Iya" Nadia mengangguk dan segera menelepon ayahnya.

Nadia mengetikan nomor telepon ayahnya dan terdengar suara dering operator.

Tut..

Tut...

Tutt..

"Halo? Ini aku, nadia pak" gadis itu akhirnya bicara di telepon dengan bawahan ayahnya. "Tolong jemput aku, aku kasih alamatnya sekarang."

Ayah Nadia di Mansion Mewahnya sedang duduk di teras rumahnya, tangannya gemetar saat menggenggam secangkir kopi yang sejak tadi tak disentuh. Pikirannya kalut, hatinya berdebar kencang.

Putrinya, Nadia, 16 tahun, seorang siswi SMA, menghilang sejak semalam. Terakhir kali mereka berbicara pada malam itu, gadis itu pamit pergi bersama teman-temannya untuk sebuah acara makan bersama "Jangan pulang terlalu malam," pesan Adian kala waktu itu. Dan Nadia hanya menjawab dengan tawa kecil, “Iya, Pa. Tenang aja.”

Tapi tengah malam tadi, Bawahannya memberi kabar bahwa mobil Nadia anaknya body belakang nya hancur, dan ditemukan di pinggir jalan yang sepi, tanpa tanda-tanda kecelakaan. Tak ada darah, tak ada sidik jari asing, hanya ada boneka kecil di kursi belakang, boneka yang Nadia simpan sejak kecil pemberian neneknya yang telah meninggal dunia yang seharusnya ada di kamarnya.

Adian Bert terus mencari semalaman tanpa ada istirahat dan sampai pukul 3 dini hari namun hasilnya nihil, istrinya menyarankan untuk pulang agar melanjutkan pencarian esok hari.

Adian Bert terkejut dan senang dengan kedatangan tiba - tiba bawahannya.

Adian Bert sangat menantikan kabar putrinya yang semalam menghilang.

"Ada apa? Putri ku udah ketemu?" Ucap Ayah Nadia dengan cepat dan nada yang cukup senang.

"Benar pak, dia menyuruh kami menjemput nya di Jalan Sumaja 1 dan sudah share location." Jawab Bawahan nya.

"Yasudah, saya sendiri yang akan menjemput putri ku, Kalian siapin mobil aja" dibalas anggukan oleh bawahan itu.

Nadia udah ditemukan, Bun," ucap Adian dengan suara bergetar.

Laras, yang baru saja berjalan dari ruang keluarga mansion mewah mereka ke kamarnya, langsung menghentikan langkahnya. Matanya melebar, napasnya tercekat. “Di… di mana Nadia anak ku sekarang? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya dengan suara penuh kecemasan.

Adian menghembuskan napas lega, tapi suaranya masih sarat dengan emosi. “Barusan Nadia nelpon. Aku gak tahu dia nelpon bawahan kita untuk menjemput nya si Jalan Sumaja 1."

Laras terhuyung ke sofa, tubuhnya seketika lemas setelah semalaman dihantui ketakutan. “Ya Tuhan… syukurlah.”

Adian meraih kunci mobil. “Aku mau jemput Nadia sekarang.”

Laras mengangguk cepat. “Aku juga ikut.”

Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua melesat keluar rumah. Sepanjang perjalanan, Adian terus berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada putrinya semalam? Bagaimana dia bisa berada di Jalan Sumaja 1?

Setibanya di lokasi, sebuah rumah sederhana berdiri di tengah lingkungan yang tenang.

Tak butuh waktu lama setelah panggilan telepon itu berakhir, suara deru mobil terdengar mendekati rumah Rian.

Setibanya di lokasi, sebuah rumah sederhana berdiri di tengah lingkungan yang tenang.

Dari jendela, Rian bisa melihat sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan pagar. Pintu terbuka, dan beberapa orang berpakaian formal keluar dengan ekspresi tegang. Seorang pria paruh baya dengan jas mahal melangkah cepat, diikuti banyak orang berpakaian rapi yang jelas-jelas mirip seperti pengawal pribadi.

Begitu pintu rumah dibuka Adian, suara lantang langsung terdengar memenuhi ruangan.

"Di mana putriku?!" suara Adian itu menggema. Tatapannya tajam menyapu seluruh ruangan, sampai akhirnya tertuju pada gadis berambut biru yang berdiri di samping Rian.

"Papa… Mama..." gadis itu memanggil dengan suara pelan.

Tanpa pikir panjang, pria itu langsung berjalan cepat ke arahnya dan menariknya ke dalam pelukan. Namun, setelah memastikan putrinya aman, dia berbalik ke arah Rian dengan wajah penuh amarah.

"Kamu!" suaranya menggelegar.

 "Apa yang sudah kamu lakukan pada putriku?!"

Rian mengangkat alis, kaget tapi juga malas berdebat. "Saya? Saya enggak ngapa-ngapain kok pak. Justru saya yang nolongin dia."

"Omong kosong!" Pria itu melangkah lebih dekat, matanya melotot, suaranya penuh emosi dan menunjuk dengan jari telunjuknya, ia pun berteriak "Aku bisa menuntutmu atas penculikan! Apa maumu, ha? Uang?!

Rian mendengus, mulai kesal, Rian menatap . "Saya enggak butuh uang. Putri om yang butuh bantuan, saya cuma nolongin dia"

Para pengawal terlihat bersiap, seolah menunggu perintah untuk bertindak. Rian tetap tenang, tapi dalam hati dia mendesah. Masalah macam apa lagi ini?

Namun sebelum situasi semakin panas, Nadia Bert akhirnya angkat suara setelah puas memeluk ibunya.

"Papa! Berhenti!" seru Nadia.

Sang ayah terdiam karena kaget dengan perkataan putrinya.

Ia langsung menoleh ke belakang.

"Dia enggak nyulik aku. Aku yang butuh bantuannya. Kalau bukan karena dia, mungkin aku udah dibunuh oleh orang-orang itu!" Jawab Nadia

Raut wajah pria itu berubah sedikit, tapi amarahnya masih terlihat. "Ta- Tapi.."

"Enggak ada tapi - tapi an pa. Rian nolongin aku, titik." gadis itu menegaskan.

Suasana tiba-tiba jadi hening. Pria itu menatap putrinya, lalu menatap Rian yang santai melihat mereka.

Seketika, intensitas kemarahannya berkurang.

Dia akhirnya menghela napas panjang. Lalu, dengan suara lebih rendah, dia berkata, "Baiklah… kalau memang begitu… Aku minta maaf."

Rian hanya mengangkat bahu. "Enggak masalah. Yang penting, sekarang dia aman."

Pria itu masih terlihat sedikit canggung, tapi akhirnya mengangguk. "Terima kasih… atas bantuanmu."

Adian Bert mengeluarkan segepok uang dari jasnya dan memberikan ke Rian, “Ini sebagai bentuk terima kasih, aku cuma bawa segini.”

Namun, tanpa ragu, Rian langsung menolak.

“Aku nggak butuh uang itu.” Pak Adian sempat terkejut. Seumur hidupnya, dia jarang bertemu seseorang yang menolak uang sebanyak itu.

Sebelum keheningan semakin panjang, Nadia tiba-tiba berbicara. Dengan mata tajam, ia menatap Rian, "Kalau kamu butuh bantuan, aku akan beri bayaran.. dengan cara apa pun." ucap Nadia dengan muka yang memerah.

Rian menatap Nadia dengan ekspresi sulit ditebak. Kata-katanya barusan terasa begitu berat, seolah ia benar-benar berhutang budi padanya.

Pak Adian mengernyit, jelas tidak menyukai nada ucapannya. "Nadia, jangan bicara sembarangan."

Namun, Nadia tetap berdiri tegak, matanya tidak lepas dari Rian. "Aku serius. Kamu menyelamatkan nyawaku, dan aku tidak ingin merasa berhutang begitu saja."

Rian menghela napas, lalu menepuk pundak Nadia. "Nadia, Aku nggak butuh bayaran apa pun. Aku cuma nolong tanpa maksud lain."

Nadia menggigit bibirnya terlihat sedikit frustrasi. Ia bisa melihat Rian bukan tipe orang yang mudah dimanfaatkan oleh imbalan materi. “Tapi—”

Pak Adian mengangkat tangan, menghentikan putrinya. “Sudah cukup, Nadia. Kalau Rian tidak mau menerima, jangan memaksa.”

Namun, sebelum mereka pergi, Pak Adian menatap Rian dengan lebih serius. “Kalau suatu hari kamu berubah pikiran, datanglah padaku. Aku tidak suka berhutang pada siapa pun.”

Rian hanya mengangguk, sementara Nadia masih terlihat ragu. Setelah beberapa saat, Pak Adian dan anak buahnya keluar dari rumah, meninggalkan Rian dalam keheningan.

Setelah itu, dia menoleh ke putrinya. "Ayo kita pulang."

Di luar rumah, Nadia melirik ke arah pintu sebentar sebelum akhirnya mengikuti ayahnya menuju mobil. Dalam hatinya, ia berkata "Tunggu saja rian, aku pasti akan mendapatkan cintamu."

Tak lama, mereka pergi. Rumah kembali sunyi.

Rian duduk di sofa, menghela napas panjang. "Pagi yang luar biasa.., besok udah senin, bakal sekolah, kembali di bully lagi hadeh.. capek.." gumamnya sambil menatap langit-langit.

DING!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!