Bandung , Indonesia
Malam hari pukul 20.45 WIB
Suasana jalan terlihat sepi saat hujan deras mengguyur kota Bandung sejak sore hari. Malam itu, keluarga Irawan, seorang yang kaya raya dibidang properti, sedang dalam perjalanan pulang usai makan malam keluarga.
Brak ...!
Suara mobil menabrak pohon besar di pinggiran jalan yang di guyur hujan lebat, setelah menghindari pengendara lain di sekitar jalan yang berlubang.
“Tidak!” teriak seorang gadis belia, yang saat itu berada di dalamnya.
Raut wajah gadis cantik bernama Keira Anindita berubah pucat pasi, setelah histeris menyaksikan langsung kecelakaan yang menimpa keluarganya.
Tangisnya pecah, saat melihat kedua orang tua kandungnya bersimbah darah dan tidak bergerak.
Keira terus berteriak meminta tolong kepada siapapun yang melintas di jalananan.
Untung saja jalanan setelah itu mulai ramai meskipun dalam kondisi hujan. Sehingga polisi lalu lintas yang bertugas di sana segera membantu mengeluarkan Keira yang tidak dapat keluar dari dalam mobil dan terhimpit oleh jok bagian belakang mobil.
Tangisnya kian pecah saat mengetahui kedua orang tuanya sudah tak bernyawa, menit kemudian pandangannya berubah nanar hingga akhirnya hilang kesadaran.
“Keira , bangun!” teriak Alan mengguncangkan tubuh adik perempuannya yang terkulai di ranjang pasien rumah sakit Prima Medika, Bandung .
Keira masih tak sadarkan diri dengan beberapa luka jahitan di lengan dan juga kakinya.
Hanya berselang beberapa menit, Keira akhirnya membuka mata. Tangisnya kembali pecah ketika menemukan sosok sang kakak telah berada di sampingnya.
“Kak—“ Keira tak sanggup melanjutkan perkataannya sebab tangisnya kian menjadi dan terus terisak-isak.
Alan memeluk erat adiknya. “Aku harus menggantikan Papa dan Mama mendidikmu mulai saat ini, kamu adalah tanggung jawabku sekarang, Keira .”
Keduanya larut dalam kesedihan. Suara isakan tangis mengisi ruangan kamar pasien yang semula sunyi.
Keira dan Alan memasuki halaman rumah. Setelah mobil mereka terpakir tepat di halaman rumah.
Rumah nampak sepi setelah suasana duka. Kaki jenjang Keira bahkan bergetar hebat ketika memasukinya.
Ruangan demi ruangan mereka sisir satu persatu meski kakinya sedikit pincang. Langkah keduanya terhenti pada sebuah kamar utama yang amat besar. Kamar milik kedua orang tua mereka yang meninggalkan bekas kebersamaan yang menjadi luka.
“Keira , dengarkan Kakak,” desis Alan menangkup wajah cantik yang kini menampakkan rautnya begitu sendu.
Kedua bola mata Keira berembun menatap sang kakak tanpa kedip, menunggu kata yang akan keluar dari bibir Alan yang terasa kelu saat akan menyampaikan keinginannya.
“Apa, Kak?” tanya Keira , yang kini pasrah dengan keadaan.
“Perusahaan Papa memiliki banyak hutang, mulai saat ini kamu harus berubah. Akhiri pribadi kamu sebagai gadis manja. Sudah tidak ada lagi Mama, dan Papa yang bisa memberikan segalanya untuk kamu,” tukas Alan, sembari mengusap bulir kristal yang mengalir deras membasahi pipi Keira .
“Lantas?” Keira kembali bertanya, irit kata karena bibirnya kelu.
“Mulai besok, kamu harus mandiri. Kak Alan akan mengenalkan seseorang untuk kamu. Di sana kamu harus bekerja, dan belajar mandiri. Ini demi kebaikan kamu Keira .” Alan mengangkat dagu adiknya.
“Ta-tapi kuliahku, Kak?”
“Tidak akan ada jalan keluar, atas semua itu. Kecuali kamu mampu membiayai hidup kamu sendiri. Aku akan memberikan uang saku untuk kamu. Tapi ingat, aku tidak akan memberikan lagi jika habis, jadi kamu harus belajar irit,” ujar Alan, kemudian mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembaran uang kertas berwarna merah.
Keira terperangah. Seolah tak percaya dengan nasib barunya. Dahulu, ia adalah putri kesayangan keluarga meski tawanan sang ayah. Setidaknya apapun yang ia inginkan dikabulkan.
Mungkinkah seorang Keira mampu menjalani hari-harinya, sedangkan dahulu ia adalah gadis manja yang hobinya berbelanja, dan ke salon mempercantik diri.
Tampilannya yang bak princess akan ternoda oleh pekerjaan barunya. Belum lagi gaya hidupnya yang terbanding terbalik. Ah Keira frustasi memikirkan hal itu.
Pikirannya menerawang ke segala arah memikirkan banyak hal. Bagaimana jika ia makan di pedagang kaki lima, bagaimana jika tidak higienis, bagaimana jika kukunya yang habis manicure pedicure lecet. Duuuh pemikiran yang tidak penting untuk manusia normal.
Akan tetapi, bagi Keira semua ini sangat penting. Ia terlihat tertekan memikirkan segala hal yang bahkan belum ia jalani.
“Kemasi pakaian kamu, Kakak antarkan cari tempat kost yang dekat dengan pekerjaan baru kamu sekarang,” seloroh sang kakak. Membuat Keira semakin linglung saja.
Penderitaan kehilangan orang tua saja sudah cukup membuatnya sangat terpuruk malah di tambah tekanan hidup yang bisa-bisa membuatnya kejang-kejang.
“What? Kost? Oh … no! Kak, Keira gak bisa tinggal di tempat seperti itu,” sergahnya berkilah.
“Kak Alan tahu! Tapi sekarang keadaan sudah berubah, Keira . Ayo kemasi pakaian kamu sekarang.” Alan menyeret tangan Keira menuju kamarnya.
Keira berusaha menahan kakinya agar sang kakak mengurungkan niatnya. Namun, tidak. Alan tetap kekeuh dengan niatnya.
“Keira , ayo jangan kayak anak kecil. Kamu sudah dua puluh satu tahun,” Alan berdecak kesal.
Keira mengerutkan keningnya sambil mengerucutkan bibirnya, menit kemudian ia menghembuskan napasnya sambil menghentakkan kakinya bak anak kecil yang menderita tantrum.
Sungguh geli melihat sikap Keira yang sok feminim dan manja di paksa berubah kepribadian oleh sang kakak.
***
Seminggu kemudian.
Bandung .
Sore hari.
Pukul 15.00 WIB
Mobil Alan terhenti di sebuah hunian rumah kost sederhana. Dengan sigap ia membukakan pintu mobil untuk sang adik yang kini bermuram durja.
“Jangan cemberut gitu dong, Kakak akan sering menjenguk.” Alan mengelus rambut panjang Keira yang tergerai panjang.
“Memangnya sebangkrut apa sih keluarga kita Kak? Sampai Kak Alan tega banget sama adik sendiri,” gerutu Keira .
Alan mengedikkan bahunya. “Kita jalani saja dulu. Jika sudah saatnya, Kak Alan janji semuanya akan kembali seperti semula. Tapi sementara itu, kamu bantu Kakak untuk menopang hidup kamu sendiri. Belajar mandiri, ya.”
Keira kali ini menurut, ia mengangguk pelan sebagai jawaban. Perlahan namun pasti, ia melangkah memasuki rumah kost sederhana yang disediakan oleh Alan.
Tertera nomor 408 di depan pintunya. Alan membuka pintu kamar tersebut dan mempersilahkan Keira untuk masuk. “Ini kamar baru kamu, aku juga sudah siapkan Magicom buat kamu masak nasi biar irit. Jangan habisin uang jatah. Ingat, aku hanya akan ngasih setiap bulan.”
Keira kembali mencebikkan bibirnya. Hidupnya hancur. Hatinya kembali pilu mengingat kedua orang tuanya yang dulu begitu memanjakannya.
Kaki jenjang pemilik sepatu runcing berwarna silver melangkah memasuki kamar kost sederhana itu, hanya ada sebuah lemari kecil di sudut ruangan. Colokan listrik, ia celingukan mencari-cari kamar mandi yang bahkan tidak ia temukan keberadaannya.
“Kamar mandinya—“ belum sempat ia selesaikan kalimatnya, Alan sudah menyela, “Di samping, kamar mandi bersama dengan penghuni lainnya. Manajemen waktu kamu mulai saat ini Keira .”
Mulut Keira ternganga, matanya terbelalak. Ia sungguh tak percaya dengan sikap sang kakak. Ibu tiri di film-film dan di novel tidak mungkin sekeji ini. Alan dinilai terlalu sadis padanya. Ah Keira , salah sendiri manja.
“Kak Alan pamit pulang, besok pagi aku datang jemput kamu jam tujuh harus sudah siap ya. Boss kamu tidak suka karyawati lelet,” ujar Alan. Ucapannya terdengar menusuk ke telinga pendengarnya.
Bibirnya begitu enteng melayangkan kalimat dingin pada adik kesayangannya.
Keira menggembungkan pipi sebagai ekspresi marah. Alan hanya menanggapi dengan sedikit senyum lalu mengacak-acak rambut adiknya sebelum pergi.
— To Be Continued
— Gimana seru gak sih, ikuti terus keseruan gadis manja yang dipaksa mandiri ini ya Genk.
“Oke, kita akhiri meeting pagi ini. Tetap semangat demi memajukan perusahaan dan demi kesejahteraan bersama. Salam hangat, dan semangat bekerja.”
“Saya, Revan Halim. Selaku CEO Permata Beach Hotel and Resort menyampaikan terimakasih yang tak terhingga, untuk kerja keras kalian selama ini.”
Tepuk tangan meriah dari seluruh anggota rapat yang dipimpin langsung oleh Revan pagi itu di restoran terbuka miliknya, mengakhiri jam kerja pertama di pagi itu.
“Good job, Revan.”
Tangan mengepal Alan beradu dengan tangan Revan yang menyambutnya dengan senyuman setelah meeting pagi yang dipimpin Revan berakhir.
“Kenalin, ini Keira adikku yang aku janjikan. Bimbing dia dengan baik,” ujar Alan, mewanti-wanti Revan.
Mata Revan menjelajahi seluruh tubuh Keira, tatapan tak biasa yang ia berikan pada gadis cantik lainnya.
“Oke, kamu masih mau di sini apa gimana?”
“Langsung pergi dong, nitip ya. Ingat, jangan diapa-apain,” balas Alan sambil mengangkat kedua alisnya. Tersenyum ramah pada Revan yang sepertinya pagi ini sedang dalam mode kesal.
Setelah itu, Revan mengangguk sebagai jawaban setuju atas permintaan sahabat baiknya.
Bukan tanpa sebab, ia kehilangan asisten pribadinya di saat kesibukannya meningkat. Asistennya tiba-tiba mengundurkan diri tanpa alasan yang pasti.
Alan telah menghilang dari pandangan Revan. Kini tersisa Keira yang masih berdiri mematung di hadapannya.
“Mau berdiri seharian di sini?”
Duuuh sinis banget kesan pertama pertemuan dengan Revan. Sinisnya ngalah-ngalahin Bank harian yang nagih emak-emak sebelum tukang sayur datang.
Keira tersenyum getir. “Saya Keira—“
Ucapan Keira terpotong setelah Revan mengangkat sebelah telapak tangannya agar Keira menghentikan ucapannya. “Sudah tahu, tidak perlu basa-basi, ayo ikut ke ruangan saya.”
Duuuh lagi-lagi dia nyolot. Bikin yang liat pengen nimpuk pasti punya CEO model begini.
Keira berjalan dengan langkah seribu mengikuti Revan menuju sebuah ruangan. Setelah memasuki ruangan. Pria dingin itu segera menutup pintu ruangan. Seketika bulir keringat di dahi Keira mengalir deras.
“Wina, bisa ke ruangan saya,” ucap Revan setelah menghubungi seseorang melalui sambungan intercom miliknya.
Keira masih diam dengan kepala tertunduk di hadapan pria tampan, berkarismatik yang sedang duduk di sebuah kursi putar kebesarannya.
Netra Revan menatap tajam ke arah Keira. Ia memperhatikan gadis yang tak lain adalah adik sahabatnya sendiri. Mata Revan menjelajahi seluruh lekuk tubuh gadis belia di depannya tanpa terkecuali.
“Kamu manis, dan cantik juga seksi rupanya. Duduk,” Revan menukas, sambil menyeringai misterius.
Keira yang gelagapan dan ketakutan akhirnya menyeret kursi di hadapannya setelah mengangguk setuju. Kini keduanya saling duduk berhadapan. Kedua mata mereka bertemu pandang.
Sial. Kenapa jantungku berdebar tak karuan begini? Dia ‘kan Cuma gadis ingusan. Batin Revan berdecak kesal, sedangkan tatapan matanya tanpa berkedip menatap raut wajah cantik di depannya yang imutnya mirip boneka Barbie.
Suara ketukan pintu menghentikan aktivitas Revan yang masih mengamati Keira.
“Permisi, Pak. Apa yang bisa saya bantu,” sapa sekretaris Revan yang bernama Wina. Sementara matanya melirik sinis pada Keira yang duduk terduduk.
“Keira, ini Wina. Sekretaris saya. Kamu akan belajar memulai seluruh pekerjaan kamu dari dia. Sudah tahu kamu bekerja sebagai apa?” tanya Revan, dengan mata menyelidik.
“Belum,” jawab Keira, irit kata. Ia yang sebelumnya manja banyak omong jadi membeku di depan Revan.
Alan memang pria pandai. Pilihannya memang tepat, memberikan kesempatan Keira memperbaiki diri dengan menyerahkannya pada pria galak seperti Revan.
“Saya membutuhkan seorang personal asisten. Dan Alan merekomendasikan kamu, untuk mengisinya. Saya harap, kamu tidak mengecewakan kakak kamu.” Revan melemparkan sebuah map berisi form kosong data diri.
Keira terhenyak di depannya. Matanya mengerjap berulang kali. Ia benar-benar tak percaya kakaknya setega ini menyerahkannya pada pria gila seperti Revan. Belum apa-apa saja jantungnya hampir copot. Bagaimana jika berjam-jam harus seruangan dengan pria sedingin dan sekasar Revan.
Wina tergelak ia menahan tawa dengan sebelah tangannya menutupi bibir. Namun, Revan menangkap basah gelagat itu. Tatapan tajam ia hujamkan pula pada sekretarisnya.
“Tidak ada yang lucu, lekas ajari dia,” ucap Revan, kemudian pergi berlalu meninggalkan keduanya.
“Ayo, ikut ke ruanganku,” anaknya sambil mengerucutkan bibirnya ketika berucap kepada Keira.
Wina memberikan beberapa catatan agar dipelajari dan diingat mengenai tugas apa saja yang dilakukan oleh personal asisten. Mengingat Keira belum pernah bekerja. Kuliah saja tersendat akibat kecelakaan yang menimpa keluarganya.
Keira terlihat serius mempelajari tugas yang diberikan oleh Wina. Meskipun ia sedikit lola dan perlu mengulangi beberapa kali untuk paham.
Namun, Keira termasuk orang yang tidak pantang menyerah. Mungkin karena keadaan sehingga membuat tekadnya menjadi kuat dan belajar tahan banting.
Hari menjelang siang. Keira masih berkutat dengan laptop di meja Wina. Ia mengetik jadwal kegiatan rutin Revan sebagai permulaan.
Tatapan mata Wina tidak berhenti menjelajahi penampilan Keira. Ia kini mengerti, dari penampilannya memang Keira terkesan glamor. Pantas saja Revan menerimanya tanpa syarat. Apa lagi Revan terkenal sebagai bad boy selama ini. Teman satu malam, itu hal biasa baginya.
“Keira, kenapa kamu bekerja di sini? Apa kamu salah satu simpanan si Boss?” tanya Wina, ia memang wanita jutek yang menyebalkan. Terkadang kalau ngomong suka asal gak ada filternya.
Keira mendongak terperangah. Matanya yang dihiasi bulu-bulu lentik mengerjap berulang kali. Meski manja, tapi Keira bukan gadis yang cengeng.
Keira menghela napas berulang kali kemudian berkata, “Mbak, saya ketemu Pak Revan aja baru hari ini. Atas dasar apa Mbak Wina ngomong seperti itu. Kerja ya kerja Mbak, nanti si Boss galak denger tahu rasa loh,” ucap Keira menimpali.
Wina melotot menatap tajam ke arah wajah cantik yang jarinya kembali menari di atas keyboard tersebut.
“Keira, ikut aku.”
Suara bariton khas dengan serak dan suara beratnya dari ambang pintu mengagetkan keduanya yang sebelumnya saling bersih tegang.
“Ba-bapak,” ucap Keira tergagap. Sementara Wina hanya menundukkan kepalanya setelah kelakuan buruknya dipergoki.
“Aku mempekerjakan kamu sebagai sekretaris, bukan tukang gosip atau yang lainnya,” desis Revan berdecak kesal.
Jantung Wina hampir saja copot mendengar cacian dari Revan yang mereka juluki Boss galak.
Keira segera beranjak bangkit dari tempat duduknya, setelah menyimpan terlebih dahulu pekerjaan miliknya ke dalam flash disk pribadinya. Hal itu tidak luput dari sorotan Revan yang menjadikannya nilai lebih untuk pemula seperti Keira.
Gadis cantik bertubuh mungil dengan lekuk tubuh yang aduhai di tambah rambutnya yang di cat cokelat blonde itu berjalan mengekor mengikuti langkah Revan melewati koridor hotel.
Tiba-tiba langkah Keira terhenti. Membuat Revan refleks berbalik badan. “Ada apa?”
“Umm … saya belum pamit sama Mbak Wina, Pak,” jawab Keira mencebikkan bibirnya.
Revan membuang napas kasar, kemudian berucap, “Keira, ini ‘kan saya yang suruh. Boss kamu Wina apa kamu?”
“Iya, Pak. Maaf. Bapak kece galak banget sih, katanya care sama Kak Alan,” Keira menukas sekenanya untuk mengurangi kegugupan dan rasa takutnya.
Entah kenapa wajahnya terlihat imut ketika manja begitu bagi Revan. Pria galak itu pun melangkah maju, dan mengacak-acak rambut Keira tanpa ia sadari.
“Sudah, ayo temani aku makan siang. Di jam kerja kamu harus disiplin ya. Aku boss kamu di jam kerja. Di luar jam kerja boleh kok panggil Kakak,” ucap Revan menyunggingkan senyumnya.
Senyuman melengkung sempurna yang ia tunjukkan pertama kalinya pada seorang wanita. Sebelumnya, ia terkesan kasar pada siapapun. Revan bahkan tidak pernah menjalani ikatan dalam sebuah hubungan selama ini.
—To Be Continued
Keira Maheswari tidak menyangka jika rekomendasi dari kakaknya akan menjadikan seorang personal asisten dari pria yang begitu implusif seperti Revan.
Selain egois, ia juga terkenal perfeksionis. Dua tahun lebih ia sering gonta-ganti asisten pribadi, hanya karena bekerja tidak sesuai keinginannya. Hal itu membuat Keira takut jika dirinya juga mengalami nasib yang sama seperti lainnya. Dengan kata lain, dipecat.
Sementara itu Keira sangat butuh pekerjaan tersebut, mengingat kini ia harus hidup mandiri menghidupi dirinya sendiri.
“Nancy, setiap hari kita akan makan di restoran ini! Jam makan siang harus tepat, tidak boleh kurang atau pun lebih. Jadi jangan sekali-kali kamu terlambat, ya! Ayo duduk,” celoteh Revan mengingatkan tugas gadis itu sembari menggeser kan kursi untuknya.
Keira mengangguk sambil melirik jam yang melingkar di lengannya dan mencatat waktu yang tertera di sebuah buku saku miliknya. “Ya, Pak. Saya akan berusaha semampu saya,” ucapnya sambil menatap sinis ke arah Revan.
“Heh … harus bisa, ini kewajiban. Gak boleh diusahain. Ngerti, kamu! Catat jamnya. Jam segini harus selalu ingatkan saya untuk makan siang.” Revan melambaikan tangan ke arah pelayanan restoran miliknya setelah berbicara dengan Keira.
“Oh ya, nanti pulangnya aku antar. Tidak boleh menolak,” imbunya dengan iris mata tajam. Keira hanya membalasnya dengan membuang napas kasar.
Sejak hari itu Keira Maheswari bagaikan hidup di neraka. Ia bahkan dipaksa menuruti perintah Revan dua puluh empat jam ketika dibutuhkan. Bayangkan, siapa yang betah bekerja dengan tekanan aturan yang berjibun seperti aturan Revan.
Tangan Keira bahkan gemetar saat menyendok sesuap makanan. Bukan karena takut, tapi tatapan iris Revan yang tajam membuatnya tak nyaman.
Aneh, bukannya Wina mengatakan Revan hanya ingin disiapkan makan. Bukan ditemani. Namun, ada yang tak biasa setelah Keira menjadi asistennya. Ia bahkan tidak membiarkan Keira makan siang tanpanya.
Menit kemudian, suara sepasang sepatu berdentum menyentuh lantai berjalan mendekat ke arahnya. Keira refleks menoleh menatap seorang wanita bertubuh aduhai, dengan balutan busana sedikit terbuka menghampiri Revan yang sedang asyik menyantap sajian makan siangnya.
Revan menatapnya dengan tatapan tidak suka. Kemudian membanting sepasang sendok garpu hingga menimbulkan suara berdenting ketika beradu dengan piring.
Keira yang terkejut menghentikan mengunyah. Matanya melotot, sementara pikirannya menerka-nerka.
“Kamu asisten barunya Revan?” tanya wanita seksi yang baru saja datang dengan nada meninggi. Membuat Revan geram melihat sikapnya.
“Iya, ada apa ya?” tanya Nancy, dengan kepala mendongak. Tidak menunjukkan rasa ketakutan sedikitpun dengan begitu polosnya.
Revan terkesan takjub. Ia tersenyum sumringah menyoroti wajah cantik Keira.
“Jangan besar kepala, Cuma karena kamu diajak makan siang di sini. Saya aja yang pernah tidur sama dia semalaman dicuekin!” cerocos wanita yang ternyata bernama Debra itu.
“Sudah, jika sudah selesai ngoceh pergi dari sini! Dan perlu kamu tahu, Keira asisten pribadi saya yang berbeda, dia sepesial,” desis Revan dingin. Menusuk telinga pendengarnya.
Debra tersenyum mengejek menatap Keira. “Cantik sih, tapi masih bocah ingusan. Spesial apa? Kecuali udah profesional di ranjang.”
Debra berbalik badan hendak melangkah pergi. Namun dengan gerakan cepat Revan berdiri dan menarik pergelangan tangan Debra dengan sekali sentakan.
“Kamu jangan macam-macam dengan calon istri saya!” seru Revan, dengan rahang mengeras yang menunjukkan pahatan tegas di wajahnya.
Debra terlonjak, matanya melotot. Ia tidak menyangka jika Revan akan semarah itu padanya. Sikap Revan pada Keira terlihat jelas berbeda. Revan tidak pernah peduli pada siapapun sebelumnya.
Marah saja ia terlihat begitu tampan. Entah apa yang berada di benak Keira Maheswari waktu itu. Ia segera bangkit dari tempat duduknya menghampiri Revan, ia meraih buku jemari Revan agar melepaskan genggamannya kepada Debra yang meringis kesakitan.
“Pak Revan. Lepaskan! Mari pergi dari sini, dengan Bapak meladeni wanita seperti dia hanya akan menurunkan harga diri Bapak,” ujar Nancy. Revan mematung mendengarnya.
Kedua bola mata Keira dan Revan kini saling beradu pandang. Keira kemudian menoleh menatap dingin ke arah Debra, tentu saja ini semua karena ia tidak suka direndahkan. Apa lagi di depan umum.
Mengejutkan. Keira memberanikan diri menggandeng lengan Revan sambil bergelayut manja meninggalkan tempat menuju ruang kerja Revan.
Tepat ketika keduanya sampai di depan pintu. Keira melepaskan diri, kemudian berbalik hendak menuju ke ruangan Wina.
“Mau kemana?”
Sial, sekali menyebalkan tetap menyebalkan! Sukanya bikin jantungan. Batin Keira sambil menghela napas.
Gadis itu memutar tubuhnya, dengan senyuman yang dipaksakan menoleh menatap Revan. “Saya harus kerja, ‘kan Pak?”
“Bossnya siapa?”
Duuuh nyebelin banget sosok Revan. Mentang-mentang berkuasa.
“Ya Bapak,” jawab Keira tanpa keraguan.
“Tadi kenapa berani sok manja di depan umum?” Revan mencondongkan wajahnya hingga jarak mereka terkikis sepersekian sentimeter.
Membuat jantung Keira serasa hampir saja mencelos dari tempatnya. Terlebih napas Revan terasa menghangat di pipi Nancy. Gadis yang belum pernah jatuh cinta itu mulai salah tingkah bahkan pipinya merona dibuatnya.
“Loh, ‘kan Bapak yang duluan ngomong saya calon istri di depan dia. Lagian ya Pak. Kalau ada masalah sama teman tidur Bapak selesaikan berdua, jangan seret saya,” ujar Keira berdecak kesal.
Revan geleng-geleng kepala. Ia tidak menyangka jika adik sahabatnya begitu berani padanya. Selama ini, belum pernah seorangpun berani memperlakukan Revan seperti itu. Apa lagi posisinya hanya sebatas asisten pribadi. Bisa-bisa dipecat hari itu juga oleh Revan.
Keira terus nerocos membuat Revan benar-benar jengah. Revan yang mulai meradang sebab Keira semakin meninggikan nada suaranya membuatnya terpaksa mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya masuk ke ruangan kerjanya.
“Sssst … bisa diem gak sih!” desis Revan, dengan napas terengah-engah. Sementara sebelah jari telunjuknya menyentuh bibir ranum Keira Anindita. Membuat gadis itu tercenung menatap wajah tampan yang disuguhkan di hadapannya.
Oh Tuhan, bekukan saja waktu kali ini. Revan bahkan masih terlihat tampan meski dalam keadaan marah sekalipun.
Hening.
“Bapak sadar, gendong saya! Bagaimana kalau ada yang lihat,” Keira kembali menukas dengan nada tinggi dengan raut wajah penuh kekesalan.
“Itu terpaksa saya lakukan, mangkanya tahu malu. Di depan umum tidak perlu berteriak,” ucap Revan mengelak, menimpali ucapan Nancy.
“Kamu tidak perlu ke ruangan Wina. Besok pagi saja,” ucap Revan. Sembari menepuk kursi yang terletak di sudut ruangan miliknya.
Keira masih diam mematung, mencoba mendengar dengan seksama perintah Bossnya.
“Meja kamu selamanya di sini. Satu ruangan sama saya, kamu yang akan mengurus semua keperluan saya, dan juga mendampingi saya ketika dibutuhkan,” jelas Revan. Kali ini Keira benar-benar diam karena memang ada keterkaitan dengan pekerjaannya.
“Permisi Pak Boss, saya ‘kan perlu belajar. Apa alasan Pak boss melarang saya kembali ke ruangan Mbak Wina?” tanya Keira menyelidik sambil menyipitkan matanya.
Revan kali ini menyerah. Ia seolah enggan beradu argument dengan gadis belia di hadapannya.
Revan bergegas duduk di kursi kebesarannya. Jemarinya kemudian menari di atas keyboard mengabaikan ocehan Keira.
Klik …!
Layar monitor menampakkan keberadaan Wina sedang asyik mengobrol dengan Debra. Mata Keira terbelalak seketika. Tatapan matanya kemudian berpindah ke arah Revan.
'Kenapa Pak Revan ingin melindungi ku dari wanita ular betina seperti Debra?' Batin Keira.
“Bukannya dia kekasih Bapak?” tanya Keira menyelidik.
“Aku gak pernah punya kekasih. Kalau cuma pelampiasan satu malam itu biasa. Dia aja yang terlalu menuntut! Kenapa jadi bahas dia? Bukannya kamu saya gaji untuk bekerja?” Revan menaikkan kedua alisnya hingga terangkat, Keira pun gelagapan karenanya.
—To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!