NovelToon NovelToon

Gadis Penjual Jamu Dan Tuan Impoten

Bab 1

"Jamu... Jamu..." Ayang berteriak sambil memikul bakul jamu dagangannya.

Sudah setahun ini, Ayang memang setiap hari berkeliling menjajakan jamu buatan ibunya. Lantaran, sang bunda yang setahun belakangan ini sering sakit-sakitan dan mudah lelah. Hingga akhirnya, Ayang berinisiatif menggantikan pekerjaan yang sudah lama digeluti bundanya itu.

"Lilis, sini!" panggil seorang ibu-ibu sembari melambaikan tangan memanggil Ayang.

Lilis Asma Juwita, adalah nama lengkap gadis itu. Ayang adalah panggilan yang di berikan sang bunda padanya. Akan tetapi, sebagian orang ada juga yang memanggilnya dengan nama Lilis atau pun Asma.

Halimah--ibunda Ayang mempunyai sepasang anak, namun anak sulungnya terpengaruh pergaulan bebas, hingga jarang pulang kerumah. Sekali pulang, anak sulungnya itu hanya akan meminta uang pada Ibu atau pun pada Ayang--adiknya. Setelah itu ia akan pergi lagi. Meski demikian Halimah begitu menyayangi putra pertamanya itu.

Sedangkan suami Halimah, sudah meninggal semenjak Ayang masih berada dalam kandungan.

"Alhamdulillah." Ayang bergegas mendekati wanita yang memanggilnya.

Bakul jamu yang di gendongnya di turunkan, lalu duduk di lantai teras rumah yang beralaskan keramik.

"Buk Indun mau jamu apa?"

"Jamu rapet keset satu, Lis."

"Biar di sayang suami ya Bu?" Ayang melontarkan candaan sambil meracik jamu yang di minta wanita tersebut.

"Tau aja kamu, Lis. Sudah seperti orang yang punya suami aja," balas wanita itu sambil tertawa kecil.

Ayang memang di kenal gadis periang, banyak ibu-ibu di sekitar menyukai sifat dan perangai sopan-santun serta paras cantik gadis berlesung pipi itu.

"Ayang..... Ayang...."

Ayang menoleh kesumber suara. Disana teman baiknya--Reni sedang berlari kearahnya.

"Ada apa, Ren? Kamu mau beli jamu rapet keset juga?" Gadis berlesung pipi itu menyunggingkan senyum khasnya.

"Bukan itu. Tapi Bundamu, Ayang..."

Mendengar nama sang bunda di sebut, Ayang sedikit tersentak, lalu berdiri dan mendekati teman baiknya itu.

"Katakan yang jelas Reni? Maksud kamu apa? Apa yang terjadi dengan Bundaku?" desak Ayang sambil menggoncangkan bahu Reni.

"Bu-Bundamu, pingsan!"

Dada Ayang seketika bergemuruh. Tanpa bertanya lagi, ia segera berlari melewati gang sempit menuju rumahnya. Tak dipedulikannya bakul jamu di teras rumah ibu tadi.

Lima menit berselang. Ayang sudah tiba di rumahnya. Segera ia membelah kerumunan orang-orang yang berkumpul di depan rumah. Diatas tempat tidur, Ayang melihat wanita berhijab panjang yang begitu di sayanginya terbaring di sana.

"Bunda...Bunda kenapa?" Seketika Ayang memeluk tubuh wanita itu. Wajahnya telah basah oleh air mata.

Puas memeluk tubuh sang bunda yang diam saja, Ayang mengalihkan pandangan. Di sudut kamar itu, ia melihat Dani-abang kandungnya berdiri santai.

Ayang lansung mendekat dan mencengkram kerah baju abangnya. "Abang apa kan Bunda? Kenapa Bunda jadi seperti ini?" Ayang meminta penjelasan pada pemuda itu, pasalnya setiap kedatangan abangnya itu, pasti penyakit Bundanya akan kambuh. Dikarenakan abangnya terkadang meminta uang secara paksa pada Bu Halimah.

"Mana gue tahu! Lu aja yang gak becus menjaga Bunda," kilah Dani membela diri.

"Tadi waktu Ayang tinggal bunda baik-baik saja. Pasti Abang yang membuat Bunda seperti ini!"

"Bacod lu."

"Ayang, Dani, sudah lah. Sebaiknya bunda kalian kita bawa kerumah sakit," ucap seorang wanita yang berada di sana. Coba menengahi kedua kakak beradik yang sedang bersitegang.

Ayang melepaskan cengkraman tangannya, kemudian beralih mendekati Bundanya yang terbaring.

"Bapak-bapak, tolong bantu angkat Bu Halimah ke mobil saya," pinta wanita tadi. Namanya hajjah Rodiah--istri pak Bambang, mantan aparat negara yang di pecat secara tidak hormat.

Beberapa orang pria di sana segera membantu mengangkat tubuh Halimah dengan hati-hati ke dalam mobil Hajjah Rodiah.

"Ayang, Dani, masuk lah," kata Hajjah Rodiah.

"Iya, Bu Hajjah." Tanpa pikir panjang, Ayang bergegas masuk kedalam mobil tersebut. Begitu pun Dani, meski malas, pemuda yang usianya terpaut 5 tahun dari Ayang turut masuk kedalam mobil.

Tiga puluh menit berselang, mobil yang membawa Ayang beserta ibu dan Abangnya telah sampai di rumah sakit umum yang ada di kota tersebut.

Halimah di naikkan ke atas brangkar lalu di dorong memasuki ruang UGD.

Di luar ruangan, Ayang semakin gelisah. Bukan hanya memikirkan kesehatan bundanya, tapi ia juga memikirkan biaya rumah sakit. Sudah pasti biaya rumah sakit sangat mahal, sedangkan saat ini ia sama sekali tidak mempunyai uang simpanan.

"Ayang, tenanglah. Bunda kamu pasti akan baik-baik saja." Hajjah Rodiah mengusap lembut bahu Ayang, mencoba meredakan kecemasan.gadia berlesung pipi itu.

Ayang menghela nafas dalam-dalam. "Terimakasih Bu Hajjah," ucapnya lirih.

"Kalau begitu Ibu pamit dulu ya. Soalnya Ibu ada urusan lain. Hubungi Ibu jika butuh sesuatu," kata Hajjah Rodiah berpamitan.

"Terimakasih banyak, Bu Hajjah." Ayang meraih tangan wanita itu dan menciumnya.

"Tidak usah sungkan." Hajjah Rodiah tersenyum sambil mengusap Kapala Ayang. "Kalau begitu, Ibu pergi dulu ya. Ini peganglah, buat jaga-jaga nanti. Jangan lupa hubungi Ibu kalau ada apa-apa yang terjadi." Pesan wanita paruh baya itu sebelum pergi, ia juga menyelipkan amplop ke tangan Ayang.

"Terimakasih Bu Hajjah."

Baru saja hajjah Rodiah menghilang dari pandangan Ayang, Dani datang menghampiri dan merebut paksa amplop yang di berikan hajjah Rodiah dari tangan Ayang.

"Abang! Kembalikan! Itu buat membayar uang rumah sakit Bunda." Ayang berusaha merebut amplop tersebut dari tangan Dani.

"Ckk! Gue minta dikit, buat beli rokok." Dani membuka amplop tersebut dan mengambil selembar uang merah sebelum memberikan lagi pada Ayang.

"Abang!"

"Keluarga Ibu Halimah."

Ayang yang hendak merebut kembali uang yang diambil Dani, segera berjalan mendekati petugas medis yang memanggilnya di depan pintu UGD.

"Saya anaknya, Dokter," sahut Ayang, ia yang tidak pernah berobat kerumah sakit, tidaklah dapat membedakan mana perawat dan dokter.

"Silahkan masuk, ada yang ingin dokter bicarakan terkait penyakit yang di alami pasien," ujar perawat mengajak Ayang masuk ke dalam ruang UGD.

Ayang mengikuti perawat tersebut masuk ke dalam ruang UGD. D dalam ruangan itu, ia melihat jelas bundanya yang terbaring di atas brangkar dengan slang-slang peralatan medis melekat di tubuh.

"Dokter, ini keluarga pasien," ujar perawat yang membawa Ayang.

Dokter menoleh pada Ayang sembari membuka kacamatanya. "Maaf, kalau boleh tau anda siapanya pasien?" tanya dokter ramah.

"Saya anaknya, Dok. Bagaimana keadaan bunda saya, dok?" Ayang balik melontarkan pertanyaan.

"Pasien mengalami penyumbatan pembuluh darah yang di sebabkan pembuluh darah yang ada di jantung tidak bisa bekerja normal. Sekarang ini, satu-satunya tindakan yang bisa kita ambil hanya dengan memasang keteterisasi agar bisa menjaga pembuluh darah pasien kembali berfungsi."

"Pak dokter, apa pun itu. Saya mohon, tolong sembuhkan Bunda saya." Tangis Ayang seketika pecah meminta pertolongan pada dokter.

"Untuk memasang keteterisasi itu, pasien harus menjalankan serangkaian operasi.Jika adik bersedia, segeralah urus administrasi agar kami tim dokter bisa secepatnya melakukan operasi. Jangan sampai terlambat karna ini sangat berbahaya bagi keselamatan pasien."

Mendengar penjelasan dokter itu, tangis Ayang semakin menjadi. "Pak dokter,.apa gak ada cara lain untuk menyembuhkan Bunda saya?"

"Saat ini saya belum menemukan cara lain. Hanya operasi jalan satu-satunya yang bisa kita ambil,"

"Kira-kira berapa biaya untuk operasinya?" Ayang kembali bertanya.

Beberapa jenak dokter terdiam, mengira-ngira biaya yang di tanyakan gadis di depannya. "Sekitar 150 sampai 200 jutaan."

Seketika Ayang menutup mulut dengan kedua tangan, isak tangis semakin menjadi membayangkan dari mana akan mendapatkan uang sebanyak itu.

"Ya sudah, saya permisi dulu," ucap dokter itu dan berlalu pergi.

Ayang melangkah gontai mendekati bundanya yang tengah terbaring di berangkar.

Di raihnya satu tangan wanita yang paling disayangnya itu. "Bunda, bertahan dulu ya? Ayang akan usahakan mencari uang untuk biaya operasi Bunda."

Tangan wanita paruh baya yang terpasang slang impus itu di cium, setelahnya Ayang pergi meninggalkan ruangan tersebut.

.

.

.

Diluar, Ayang mencari keberadaan Dani, ia ingin memberitahukan apa yang di sampaikan dokter.

Puas berkeliling mencari keberadaan saudaranya, akhirnya Ayang menemukan pemuda yang mentato hampir seluruh pergelangan tangannya itu sedang menikmati lentingan tembakau di koridor rumah sakit.

Ayang lansung menyambar rokok yang ada di tangan Dani, lalu menginjaknya.

"Lu apa-apaan sih, Ay?" Dani membelalakkan mata. Marah dengan perbuatan sang adik.

"Abang, Bunda harus di operasi. Dari mana kita mendapatkan uang?"

"Lah, ngapain Lu nanya ke gue? Lu kira gue banyak duit,"

Plak!

Ringan saja Ayang mendaratkan tangan di pipi Dani.

"Taik Lu!" umpat Dani sambil mengusap bekas tamparan adiknya.

"Abang bantu jugalah memikrkannya, itu juga Bunda Abang. Selama ini Ayang sudah sabar melihat kelakuan Abang! Bunda sakit juga karna mikirin Abang! Selama ini hanya Abang yang ada di pikiran Bunda, tapi apa balasan Abang selama ini? Taunya hanya menyusahkan pikiran Bunda saja!" Ayang meluapkan kekesalan yang selama ini di terpendam.

"Eh, bego! Ngapain lu nyalahin gue. Tugas orang tua memang ngasih duit buat anak. Kalau lu ingin Bunda sembuh, sana jual diri aja, biar cepat dapat duit."

Plak!

Sekali lagi tangan Ayang menampar pipi Dani.

"Ah, taik Lu! Dari tadi mancing emosi gue mulu Lu." Dani berbalik badan hendak pergi. Namun, Ayang manarik baju pemuda itu dari belakang.

"Abang mau kemana?"

"Cabut lah. Ngapain juga gue disini?"

"Abang! Bunda lagi sakit! Itu karna Abang!" Ayang menekan ucapannya agar saudaranya itu bisa sadar.

"Ya, guna gue di sini buat apa? Tadi lu bilang bunda mau di operasi kan? Ya udah, sana lu duit. Biar gue di sini yang jagain Bunda."

"Tapi Ayang gak tau harus cari uang kemana?"

"Makanya Lu dengar kata-kata gue. Jual diri! Biar bisa dapat duit cepat. Kalau lu mau, gue ada kenalan yang bakal nyalurin lu ke Bos Bos tajir."

Beberapa saat Ayang tertegun. Ia teringat kata-kata dokter yang menyarankan agar bundanya segera di operasi.

"Jangan sampai lu menyesal, Ay!" Dani pun melenggang pergi.

"Abang, tunggu."

"Apa lagi?"

"Iya, Ayang mau."

Bab 2

Dani begitu bersemangat mendengar Ayang menyetujui tawaran yang ia tawarkan. Bergegas ia membawa Ayang kerumah Memi---mucikari yang di kenalnya.

Setibanya di sana, mami Memi menelisik tubuh Ayang dari atas sampai bawah.

"Cantik sih. Tapi dia kudu di poles lagi biar lebih menarik." Mami Memi bergumam sambil mengitari tubuh Ayang.

Dani menyeringai kesenangan mendengar perkataan wanita itu.

Tapi tidak dengan Ayang, ia tampak tegang dan ketakutan. Jemarinya dibawah sana tengah menggulung-gulung kain batik jawa yang di pakainya. Raut kecemasan tergambar jelas di wajahnya, namun berkali-kali ia menguatkan diri, mengingat ibunda tercinta yang tengah terbaring di rumah sakit.

"Berapa umur you?" tanya mami Memi pada Ayang sambil menyalakan sebatang rokok.

"Dua puluh tahun Mam, gue jamin dia masih perawan." Dani yang menjawab.

Mami Memi menatap Dani. "You mau jual dia berapa?"

"Gua bukan mau jual dia Mam, gua hanya minta lu mencarikan pelanggan kaya yang bisa membayar 500 juta untuk semalam."

Seketika Ayang tersentak mendengar perkataan saudara kandungnya itu. Namun, Dani memberi isyarat agar ia diam saja.

"Gila you! Siapa yang mau membayar sebanyak itu?"

"Aaah, Mami payah banget. Masa gak punya pelanggan tajir. Katanya ini tempat prostitusi kelas atas!" sinis Dani.

"You jangan asal ngomong ya!" Satu tunjuk mami Memi mengarah tepat ke wajah Dani.

"Lah, buktinya emang gitu kan? Masa Mami gak kenal dengan Bos tajir,"

Mami Memi kembali menghisap rokok dan menghembuskan asapnya perlahan. "Sebenarnya I ada pelanggan yang mungkin sanggup membayar sebanyak itu, bahkan I yakin orang ini berani membayar lebih. Tapi, I gak yakin kalau gadis yang you bawa ini mampu memuaskannya. Karna selama ini belum ada satu pun perempuan yang bisa membuat orang ini puas.  Apa you mau coba? Tapi, sebelumnya I mau ingatkan, orang ini mintanya rada-rada aneh," terang mami Memi.

"Gue yakin Adik gue ini bisa memuaskan Bos besar itu. Lu gak usah khawatir," jawab Dani cepat.

"What! Gadis ini Adik you?" Mulut mami Memi terbuka lebar. "I gak menyangka you tega menjual Adik you sendiri," lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Ck! Gak usah sok menesehati gue, lu!" Dani mendengus kesal.

"Oke....oke I gak ikut campur. Itu urusan you."

"Terus, kapan Adik gue bisa melayani Bos besar itu?" tanya Dani lagi.

"Kalau itu, I belum bisa memastikan. Karna I juga gak bisa menghubungi lansung orangnya. I hanya bisa berhubungan dengan para anak buahnya saja. You tinggalkan saja nomor hape you, nanti I akan hubungi you."

"Gue gak punya hape," sahut Dani malas.

Mami Memi tersenyum sinis sembari menggeleng kecil. "Kalau begitu you tunggu saja dulu di sini, sampai I dapat kepastian dari anak buah orang itu," saran mami Memi.

Ayang berjalan mendekati Dani, lalu menarik tangan saudaranya itu menjauh dari mami Memi.

"Abang, kita kerumah sakit saja yuk, kasihan Bunda gak ada yang menjaga," bisiknya setelah menjauh dari mami Memi.

"Lu di sini aja. Biar gue yang kerumah sakit," balas Dani.

"Tapi Ayang takut." Ayang memeluk erat lengan Dani.

"Ay, lu mau Bunda sembuh ga sih?" tanya Dani menekan.

Ayang diam, ia ingat tujuannya datang kesini untuk kesembuhan bundanya.

"Lu tunggu aja disini. Nanti malam gue jemput lu." Kemudian Dani berjalan mendekati mami Memi. "Kalau begitu gue titip Adik gue di sini, nanti malam gue jemput," ucapnya pada mami Memi.

"Hmm, baiklah. Tapi, kalau Bos itu mau, you gak usah jemput kesini, karna Adik you akan I antar ke hotel."

"Baiklah. Gue cabut dulu."

"Abang." Ayang memanggil Dani yang sudah berbalik badan.

Dani menoleh. "Udah Lu santai aja di sini," sahut Dani lalu kembali melanjutkan langkah meninggalkan Ayang bersama mucikari itu.

"You benaran Adik si Dani?" tanya mami Memi setelah Dani menghilang di balik pintu.

Ayang mengangguk pelan.

"Kalau boleh I tahu, kenapa you mau melakukan pekerjaan ini? Si Dani maksa you?" tanya mami Memi lagi.

"Gak, tapi Bunda saya saat ini sedang berada di rumah sakit dan harus segera di operasi, Buk-"

"Panggil I Mami," potong mami Memi cepat.

"Hm, iya, Mami," sahut Ayang dengan wajah tertunduk.

"Good. Ayo, ikut I." Mami Memi berjalan masuk kedalam kediamannya.

Ayang pun terpaksa mengikuti langkah wanita itu di belakang dengan kepala yang masih menunduk.

Mami Memi membawa Ayang masuk kedalam sebuah ruangan. Di sana terdapat banyak gaun-gaun seksi terpajang.

Kemudian mami Memi mengambil beberapa pakaian dan mencocokkan ke badan Ayang.

"Sepertinya yang ini cocok buat you," gumamnya setelah mencobakan sebuah drees pendek berbentuk kemben ke tubuh Ayang.

"Sekarang you mandilah, nanti I akan panggilkan orang I untuk make over you," perintahnya pada Ayang yang sejak tadi hanya diam saja dengan wajah menunduk.

"Hei! You dengar I gak?"

Ayang mengangguk cepat.

"So, you tunggu apa lagi? Pergilah mandi sekarang!"

"Hm, kamar mandinya dimana?" sahut Ayang canggung.

"Oh, sorry sorry, I lupa you bukan anak asuh I. Ayo, mari ikut I." Mami Memi pun membawa Ayang ke kamar mandi.

.

.

.

.

Jam delapan malam, Ayang tiba di sebuah hotel bintang lima.

Berkali-kali ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan degup jantung yang bertalu-talu. Dibuangnya rasa takut yang hinggap di hati. Semua akan di lakukan demi kesembuhan ibunda tercinta. Meski ia tau, yang di lakukannya sekarang ini salah.

"Apa you gugup?" tanya mami Memi ketika mereka tengah berada di dalam lift.

Ayang yang sejak tadi menunduk mengangguk pelan.

"You harus tenang, usir rasa gugup you karna pelanggan satu ini agak susah menaklukannya. Banyak anak asuh I yang telah mencoba, tapi selalu gagal."

Ayang mengangkat kepala. "Gagal? Maksud Mami?" tanya Ayang tak mengerti.

"Ya, dari banyaknya anak asuh I gak ada satu pun dari mereka yang bisa membuat itunya berdiri. Entah lah, I juga gak tau, apa orang ini impoten atau memiliki fastasi aneh lainnya, tapi yang pasti menurut cerita anak asuh I mereka sama sekali gak di apa-apa kan. Hanya di suruhnya buka pakaian, udah mereka di suruh pergi lagi."

Ayang sedikit bernafas lega mendengar penjelasan Mami Memi, ia berharap semoga saja orang yang akan di temuinya ini sesuai dengan apa yang di sampaikan mami Memi barusan.

Saat pintu lift terbuka, mami Memi keluar terlebih dahulu di ikuti Ayang di belakangnya. Mami Memi berjalan melenggang-lenggokkan pinggulnya sembari mengedarkan pandangan mencari pintu bernomor 180.

"Nah ini kamarnya." Mami Memi menghentikan langkah.

"Oke, sekarang you pencet bel ini karna orangnya sudah menunggu you di dalam. Tugas I hanya sampai di sini saja menemani you. Semoga you sukses." Setelah mengatakan itu mami Memi pun melangkah pergi.

Ayang meraup nafas dalam-dalam melalui mulut dan menghembuskan lagi secara perlahan. Batinnya sedang berperang. Salah? Ya, Ayang sadar apa yang di lakukannya ini salah. Tapi ia akan merasa sangat bersalah, jika tidak bisa melakukan apa-apa untuk kesembuhan bundanya.

Perlahan tangan diangkat menekan bel yang ditunjuk mami Memi.

Ayang hanya menekan bel itu sekali, setelahnya ia hanya diam menunduk menunggu pintu di buka.

Ceklek

Dengan jelas Ayang mendengar bunyi pintu terbuka. Namun, kepalanya masih menunduk. Sedikitpun tak ingin melihat sosok yang baru saja membuka pintu.

"Kau siapa?" Suara berat di hadapannya membuat tubuh Ayang bergelinjang kaget.

"Sa-saya Juwita, Tuan," jawab Ayang ketakutan. Ia hanya memperkenalkan diri dengan nama belakang saja.

"Siapa yang membawa kau kesini?"

"Ma-mami Memi, tuan," jawab Ayang terbata.

"Cepat, masuklah!"

Ayang masih berdiri sambil meremas jemari di bawah sana. Sungguh, ia begitu ketakutan saat ini.

"Apa kau tuli?"

Ayang masih tak bergeming, keringat dingin telah keluar di pori-pori kulitnya.

"Aaa!"

Ayang menjerit keras, saat tangannya tiba-tiba di tarik masuk kedalam. Bukan main kaget ia mendapat perlakuan kasar orang itu.

"Kemarilah," panggil pria yang telah duduk di tepi ranjang.

Ayang masih diam dengan kepala menunduk.

Pria di depannya lansung mengeluarkan pistol yang di selipkan di pinggang. "Kemarilah atau kupecahkan kepala kau!"

Ayang menaikkan bola mata melihat pria itu yang tengah membidikkan pistol tepat ke kepala. "I-iya, tuan." Perlahan Ayang beringsut mendekati pria. Kepala masih menunduk memandang lantai.

"Siapa nama kau?"

"Ju-juwita, tuan," sahut Ayang cepat.

"Berapa umur kau?"

"20 tahun, tuan," jawab Ayang jujur.

"Buka pakaian kau sekarang!"

Sontak wajah Ayang terangkat menghadap tepat pria itu.

Bab 3

Dor!

Ayang bergelinjak, reflek ia berjongkok sambil menutup telinga ketika mendengar suara letusan senjata api. "Ampun Tuan, ampun..."

Pria itu malah menyeringai melihat gadis di depannya ketakutan.

"Berdiri! Dan buka pakaian kau!" perintah pria itu penuh penekanan.

Ayang yang dalam keadaan ketakutan, cepat-cepat berdiri. Wajah tetap menunduk, takut bertentang mata dengan pria di hadapannya.

"Tunggu apa lagi buka pakaian kau! Dasar wanita jalang!" bentak pria itu.

"Ba-baik, Tuan." Perlahan Ayang meloloskan gaun dari tubuhnya, bersamaan dengan itu bulir bening jatuh membasahi pipi. Ayang menyilangkan kedua tangan menutupi dada yang hanya di tutupi secebik kain kecil, kedua kakinya pun dikatup rapat.

"Buka semuanya!"

Kali ini Ayang memberanikan diri mengangkat wajah, menatap sendu pria yang memerintahnya, meminta belas kasihan.

"Kenapa kau seperti wanita suci? Bukankah kau ingin menjual diri padaku? Sekarang cepat lakukan perintahku atau kepala kau itu benar-benar kupecahkan!"

Pria itu kembali membidikkan senjata di tangannya tepat di kepala Ayang.

Ayang menggigit bibir bawah. Perlahan tangannya melepaskan pakaian yang tersisa.

Pria yang duduk di hadapannya nyaris tak berkedip melihat tubuh putih mulus gadis di hadapannya

Sebelumnya, pria berdarah campuran Indo-Germany itu di vonis dokter mengalami kelumpuhan pada alat vital. Tapi, ia tidaklah mempercayai hasil dari pemeriksaan dokter tersebut, hingga akhirnya dokter pun mati di tangannya. Setiap malam, ia selalu menyewa wanita panggilan untuk memancing hasrat kelelakiannya, berharap bisa kembali berfungsi. Sayangnya sejauh ini belum ada satupun wanita yang bisa membangunkan naganya yang tertidur itu.

Pria itu adalah Daniel Van Houten, seorang pemimpin mafia yang berkedok sebagai CEO di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang property.

* *

Kini pakaian Ayang telah terlepas semua, ia menyilangkan kedua tangan di dada, menutupi bagian tubuh yang selama ini tak pernah di lihat siapapun.

Daniel menyeringai tipis, ia merasakan senjatanya di bawah sana mulai bereaksi. "Mendekatlah." Daniel menggerakkan jari memberi isyarat pada gadis itu agar mendekat.

Ayang tergugu di tempat, tubuhnya gemetar ketakutan.

"Kemarilah."

Kali ini Ayang mendekat, sungguh ia takut mendengar suara pria itu. Langkahnya terhenti satu meter dari posisi Daniel berdiri.

"Jatuhkan tangan kau!"

Nafas Ayang semakin memburu, cemas, takut, malu menyerang perasaannnya saat ini.

"Jatuhkan tangan kau!"

Suara itu semakin menggelegar, membuat Ayang  bergelinjak dan lansung menjatuhkan tangan yang menutupi dada.

"Awh!" Ayang menjerit ketika telapak tangan Daniel mengenggam kasar bagian tubuhnya.

"Sekarang berlutut dan buka celanaku!"

Sontak wajah Ayang terangkat, menatap sendu pria di hadapannya.

"Lakukan sekarang!"

Ayang perlahan berjongkok menuruti perintah pria menakutkan itu. Ia mulai melepaskan ikat pinggang dan melorotkan celana bahan pria itu.

Daniel kemudian menarik rambut Ayang agar kembali berdiri dan secepat kilat menarik pinggang gadis itu hingga menempel padanya.

Detik berikutnya, Daniel mencengkram kuat pipi Ayang, lalu menyapa bibirnya dengan rakus. Ia merasakan senjatanya dibawah sana semakin bereaksi. Lalu sebelah tangan gadis itu diambil dan diarahkan kesenjatanya yang masih berada di dalam kain berbentuk segitiga.

Nyaris Ayang menjerit kala telapak tangannya merasakan benda panjang milik Daniel yang belum mengeras sempurna. Perasaannya semakin cemas saat, terbayang apa yang akan terjadi padanya malam ini. Namun, seketika ia teringat akan ibunya yang terbaring di rumah sakit.

"Pegang dan keluarkanlah! Kau harus bisa memuaskannya."

Ayang meneguk saliva kasar mendengar permintaan pria itu. "Ta-tapi, Tu-Tuan benar-benar akan memberikan saya uang kan?" Dengan mengumpulkan segenap keberanian Ayang bersuara.

Daniel melepaskan keluhan kasar, lalu mengeluarkan sebuah cek dari saku jasnya."Kalau kau bisa memuaskanku, kau bebas menentukan tarif tubuh kau ini. Tapi kalau tidak! Kepala kau ini akan kupecahkan." Daniel kemudian mendorong kepala Ayang dengan pistol yang masih di pegangnya.

Ayang sedikit lega membayangkan akan mendapatkan uang untuk pengobatan bundanya. Ia menghela nafas dalam-dalam lalu mulai mengusap benda panjang milik Daniel.

Daniel menengadah merasakan tangan mulus Ayang tengah mengurut senjatanya yang semakin mengeras dan membesar dengan sendirinya.

"Hahaha, aku sudah sembuh." Tawanya menggema di dalam ruangan itu, lalu melumat buah melon yang menggantung indah di depannya.

Sedang Ayang semakin intens mengusap milik Daniel. Ia ingin semua ini cepat berakhir.

Secepat kilat Daniel mengangkat tubuh Ayang dan membaringkannya ke atas tempat tidur. Dengan terburu-buru ia juga melepaskan seluruh pakaian yang melekat di badannya sebelum mengukung tubuh gadis itu. Bibirnya juga tidak tinggal diam, menyapa bibir Ayang dan berpindah mencium leher jenjang gadis itu.

Teriakan Ayang tidaklah di pedulikan, malah suara itu membuatnya semakin bersemangat. Selama ini ia tidak lah pernah mendengar wanita berteriak di bawah kungkungan tubuhnya. Tanpa ingin menyerah Daniel terus mencoba menerobos masuk ke dalam tubuh Ayang, tapi masih saja gagal.

"Sial! Kenapa tidak bisa!" dengusnya sambil terus berusaha memasukkan miliknya yang telah berdiri gagah.

Gairah Daniel semakin menggebu-gebu, ia sudah tak sabar lagi ingin memasuki inti tubuh gadis yang telah berhasil membangunkan miliknya yang bertahun-tahun tak bisa bereaksi.

"Argh... Sakiiiit!" Ayang menjerit keras, air mata mengalir deras merasakan sakit yang teramat menyakitkan di bagian inti tubuhnya yang telah di masuki Daniel.

Daniel malah menyeringai karna telah berhasil memasuki inti tubuh gadis itu. Dengan penuh semangat, Danial mulai mendayung, cepat dan sangat dalam, tanpa memperdulikan jeritan gadis dibawahnya.

Beberapa menit berselang Daniel mengerang, di sertai menyemburnya lahar hangat miliknya.

Ayang menutup wajah dengan kedua telapak tangan kala Daniel mencondongkan tubuh hendak menyapa bibirnya.

"Dasar wanita jalang! Lepaskan tangan kau itu!"

Plak! Plak!

Daniel memukul tangan Ayang membuat tangis gadis itu semakin keras keluar.

Tak dapat menyapa bibir Ayang, Daniel kembali menggoyangkan pinggulnya, ia masih belum puas merasakan kenikmatan yang baru sekarang bisa ia rasakan.

Tak terhitung berapa kali ia melakukannya, mengeluarkan lahar panas dalam tubuh Ayang, hingga ia benar-benar lelah dan terkapar diatas ranjang. Begitupun Ayang, ia juga terlelap kerna tak kuat menahan kesakitan.

* * *

Selang beberapa jam kemudian, Ayang terjaga. Tubuh yang terasa remuk coba di gerakkan. Perih. Apalagi di bagian inti tubuhnya.

Perlahan Ayang turun dari ranjang dengan gerakan yang amat pelan, takut membuat pria menyeramkan yang tengah terlelap di sampingnya bangun. Ayang memunguti pakaian yang berserak di lantai dan membawa masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah membersihkan tubuh dan berpakaian di dalam kemar mandi, Ayang mendekati meja nakas untuk mengambil cek.

Melihat pistol juga ada disana, Ayang mengambil benda itu dan membidikkan tepat di kapala pria yang tengah terlelap. Nafasnya memburu cepat, antara ingin menembak pria itu atau tidak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!