"Aaaa! Kok, mati!" Hasya berteriak saat lif yang sedang ditumpanginya bersama seorang pria tampan itu tiba-tiba berhenti dan penerangan di dalamnya juga padam.
Selain menjadi Office Girl di sebuah perusahaan, Hasya juga memanfaatkan waktu luangnya untuk bekerja di sebuah restoran milik orang tua sahabatnya. Semua itu dia lakukan untuk menghilangkan rasa jenuh dan teringat kembali dengan perlakuan kedua orang tuanya.
Hasya bukanlah gadis miskin yang harus bekerja banting tulang, tapi dia mencoba menghidupi dirinya sendiri setelah terusir dari keluarga besarnya.
Hasya, yang selalu dianggap anak sial di keluarga besarnya itu memilih keluar dari rumah setelah sindiran pengusiran yang terus keluarga besarnya lontarkan dan dia memilih untuk bekerja walaupun hanya sebagai Office Girl, mengingat ijazah yang dia punya hanya ijazah SMA.
"Huaa! Aku takut! Tolong aku! Tolong jangan matikan lampunya!" Hasya berteriak dengan bibir bergetar. Trauma masa kecilnya dulu kembali datang, dia takut dengan kegelapan.
"Pak! Kamu ada di mana? Saya tahu tadi ada bapak di sana! Tolong jangan tinggalkan saya! Saya takut." tanpa kata, pria tersebut menyalakan senter dari hpnya, tapi Hasya terlanjur mendekat ke pria tersebut, bahkan, dengan berani dia memeluk pria tersebut. Tubuhnya menggigil hebat, dia sungguh sangat ketakutan.
"Tolongin saya! Saya takut!" Hasya terus meracau dengan bibir bergetar, begitu pun dengan tubuhnya yang menggigil. Dia mencari tempat ternyamannya di dada bidang seorang Bara. Padahal, di perusahaannya dia termasuk orang yang anti di sentuh oleh siapa pun termasuk Laura. Tapi karena melihat Hasya yang menggigil, dia membiarkannya.
Bara. Ya, dia adalah Bara Aditya Nugraha, seorang CEO dari perusahaan yang dipimpinnya baru satu tahun lalu ini. Dia adalah seorang CEO muda tampan dan dingin yang selalu dikagumi banyak wanita. Namun, hatinya dia berikan hanya kepada satu orang, yaitu Elvina Laura Arzella seorang foto model terkenal di ibu kota, teman masa kuliahnya yang masih menjalin hubungan sampai saat ini. Terhitung, hubungan mereka sudah berjalan lebih dari tujuh tahun dan tahun ini mereka sudah berniat untuk tunangan.
"Tidak usah panik." tanpa sadar tangan Bara mengusap punggung Hasya, menenangkan. Sampai akhirnya pintu terbuka setelah beberapa saat keduanya terdiam. Tubuh Hasya masih gemetar dengan wajah yang pucat.
"Sudah terbuka." ucap Bara. Maksudnya, pintu liftnya yang terbuka.
Deg!
Hasya tersentak saat dia menyadari apa yang dilakukannya. Bahkan untuk mendongak pun dia tidak berani. "Maaf, Pak." ucapnya dengan bibir bergetar.
"Silahkan duluan!" Bara meminta Hasya unyuk lebih dulu keluar dari lift.
hasya mengangguk, dia langsung melangkahkan kakinya dan meninggalkan Bara.
"Shit!" Bara memukul angin, tangannya mengepal kuat. Kenapa dia bisa diam saja saat ada yang menyentuhnya. Bahkan Laura saja, orang yang dia cintai tidak pernah ia perbolehkan untuk menyentuhnya walau pun hanya seujung kuku.
"Siapa, dia?" gumamnya di dalam hati.
Sementara, Hasya langsung turun kembali untuk ke lantai satu karena lift tadi berhenti di lantai dua.
kring kring kring
"Bunda Dewi." gumam Hasya. Dia tahu kalau Dewi pasti mengkhawatirkannya. Dewi adalah ibu dari Aurel, sahabatnya. Dewi sudah menganggap Hasya sebagai anaknya juga, apalagi kalau mengingat nasib Hasya yang tidak seberuntung Aurel.
"Hallo, bunda."
"Hallo, Nak. Tadi ada pemadaman listrik sebentar, apa kamu masih di lift?" benar saja, bundanya ini pasti mengkhawatirkannya. Dia lebih khawatir lagi dari pada keluarganya. Hanya sekedar mati lampu saja, Dewi tahu kalau Hasya trauma dengan kegelapan.
"Aku sudah di bawah, bunda." Hasya tidak ingin Dewi terlalu khawatir.
"Syukurlah, kalau begitu hati-hati di jalan. Bunda juga baru selesai tutup."
"Baik, bunda. Terimakasih banyak, bunda juga hati-hati.
Hasya secepatnya menaiki angkot, dia tidak ingin pulang terlambat, karena bedok harus kembali bekerja di kantor.
Sepanjang jalan, Hasya memikirkan kebod0hannya yang berani-beraninya memeluk pria yang tidak dikenalnya.
"Neng, mau berhenti di mana?" pertanyaan sopir angkot itu membuyarkan lamunan Hasya.
"Hah?" Hasya melirik ke kiri dan ke kanan karena bingung. Ternyata di dalam angkot tersebut sudah tidak ada siapa pun. "Bapak, kok, gak berhentiin di kos-kosan sana?"
"Saya gak tahu, Neng. Karena jalanan ini sudah di ujung, makanya saya berhenti di sini sebelum saya belok."
"Yah, Pak, mana sepi." Bukan tidak berani, tapi takutnya ada orang yang jail kepadanya. Dia tahu jalanan itu sering terjadi tawvran. Sedangkan jarak kos-kosannya sekitar dua ratus meter lebih terlewat.
"Saya terakhir berhentiin penumpang di gang kecil sono, Neng. Bapak kira, si Neng juga akan berhenti di sana. Makanya gak bapak turunin." Jelas sopirnya. Ya, memang sekitar lima meter dari mobil berhenti itu ada sebuah gang kecil ke dalam.
"Ya sudah, Pak. Saya turun." Hasya langsung turun setelah membayar ongkosnya.
***
Dengan langkah gontai, Hasya menyer3t kakinya yang terasa berat untuk dilangkahkan. Dia berjalan di trotoar yang sepi dan hanya di temani oleh cahaya lampu malam yang sedikit buram. Jalanan mulai sepi karena waktu sudah hampir larut dan besok adalah hari senin, jadi mungkin orang-orang sudah tidur.
Hasya kadang mengeluh lelah harus menjalani semua ini. Kehidupan yang seharusnya ia dapatkan seperti adik perempuan dan kakak laki-lakinya tidak pernah ia dapatkan. Dari kecil, keluarganya sangat membencinya. Hasya sudah mencari tahu, kenapa keluarganya mengvcilkannya? Tapi dugaannya salah saat mengetahui kalau ibunya pernah mengandungnya, semuanya ia lihat dari foto di masa kehamilan ibunya.
Kenapa dia dijuluki anak pembawa s1al? Ya, karena dari awal mulai hamil Hasya, keluarganya diuji dari berbagai arah. Keluarga tersebut tetap menerima kenyataannya, tapi ujiannya belum berakhir saat melahirkannya. Yaitu dengan ibunya yang hampir kehilangan nyawa karena pendarahan hebat. Dari sanalah julukan itu tercetus oleh keluarga besarnya.
Di tambah lagi, banyak kesalahan yang tidak disengaja oleh Hasya yang membuat keluarga besarnya selalu memandang remeh kepadanya. Ditambah dengan hadirnya anak ke tiga yang menurut keluarganya membawa keberuntungan karena tidak pernah terjadi hal yang tidak diinginkan, Hasya semakin tersisih dari keluarganya.
Hasya berjalan menyusuri trotoar, dan sampailah ia di dekat sebuah kebun kosong dan di sana terlihat sangat gelap karena lampu penerangannya tidak terlalu terang.
"Bos, ada santapan baru, nih." dari sebuah gubuk yang berada di kebun tersebut terlihat ada beberapa orang pria yang sedang nongkrong.
"Wah! Iya juga, nih." sahut temannya.
"Gas! Sikat sekarang!" sahut bosnya.
Hasya segera mempercepat jalannya, namun dia kalah oleh langkah panjang beberapa pria yang ada di sana. Tangannya berhasil dicekal dan menghentikan langkah Jingga.
"Lepas!" Hasya mencoba melepaskan tangannya yang dipegang kuat.
"Mau kemana, Nona? Malam ini temani abang bob0k." sahutnya.
"Lepaskan!" Hasya kembali mengibaskan tangannya, namun, cekalan tangan dua pria tersebut tak kalah kuat.
Hasya mulai panik, dia mencoba cari cara supaya bisa lepas dari cekalan dua pria di sampingnya.
"Tolong!" karena merasa bingung. Akhirnya Hasya berteriak meminta tolong.
"Di sini sepi, Neng. Gak bakal ada orang yang lewat, apalagi sekarang udah jam sebelas. Sangat jarang, kendaraan pun jarang lewat."
Hasya menelan ludahnya kasar, bagaimana nasibnya kalau tidak ada orang yang menolongnya? Lamunannya buyar saat kedua pria itu menyeretnya ke gubuk yang ada di kebun tersebut.
"Tolong! Tolong! Siapa pun di sana, Tolong!" Hasya terus berteriak meminta tolong.
"Berisik!" sentak pria yang dari tadi hanya berdiri melihatnya, tatapannya penuh napsv ingin melahapnya.
"Malam ini adalah hari keberuntungan kita, hahahaha!"
"Benar bos, kayaknya masih ori, nih! Gak sabar banget ingin..."
Plak!
"Jangan mendahului bos!" sentaknya.
Bersambung
"Kalian pegangin, jangan sampai lepas!" ucap bosnya.
"Siap, Bos!" jawab keduanya. Mereka berdua ikut meneguk ludahnya melihat kecantikan Hasya.
"Ini memang hari keberuntungan kita!" ucap bosnya lagi. Dia mulai mendekatkan wajahnya ke arah wajah Hasya. Sedangkan Hasya sedang berusaha memutar 0taknya supaya dia bisa terlepas dari ketiga pria tersebut.
"Ular! Ular!" teriak Hasya. Hanya ular yang terlintas de kepalanya sekarang.
"Shit! Mana ularnya? Biar abang makan!" bosnya itu merasa kesal, karena usaha dia untuk menyatukan bibirnya dengan bibir Hasya gagal. Begitupun dengan kedua temannya, dia langsung melepaskan tangan Hasya karena merasa kaget, mengingat tempat itu gelap.
Bugh! Hasya menendang bagian inti dari bosnya yang memang tepat ada di depannya.
Bruk!
"Aargghh! S1alan!" bosnya itu memegang bagian intinya sambil terlentang, karena tadi dia langsung jatuh saat Hasya menendangnya.
Hasya langsung lari sekuat tenaganya untuk meninggalkan tempat itu.
"Kejar! Kenapa kalian malah bengong di situ?!" bosnya itu marah, karena melihat anak buahnya yang dia terpaku melihat kepergian Hasya.
"Ba-baik, bos." keduanya langsung berlari untuk mengejar Hasya.
"Heh! Bantu saya dulu!" bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, keduanya kembali lagi menghampiri bosnya.
"Satu orang saja! Lo, kejar dia! Kenapa kalian bod0h sekali?!" sentaknya.
"Lo, atau gue!"
"Gue aja!"
"Gue aja!"
"Oke, kita suit!"
Bugh
Bugh
Keduanya langsung mendapatkan b0gem mentah dari bosnya. "Dasar gak becvs!" sentaknya lagi.
"A-a-ampun, bos!"
"Gara-gara kalian, kita gagal makan enak malam ini!" sentaknya lagi. Lalu ia melihat ke arah Hasya yang masih berlari dan ternyata Hasya berlari sampai ke tengah jalan.
Bugh!
Bugh!
Bosnya itu kembali melayangkan b0geman mentah untuk melamp1askan kekesalannya.
Sementara Hasya yang merasa ketakutan, ia terus berlari tanpa menyadari kalau sekarang dieinya sudah berada di tengah jalan raya.
Tin tin...
Suara klakson dari beberapa kendaraan yang lewat itu seolah menyadarkan Hasya. Ia langsung berdiri di tempat dan menoleh ke samping.
Tin Tinn.... Suara lengkingan klakson mobil di depannya itu sangat memekikan telinga.
"Aaaaa!" Hasya berteriak dan berjongkok sambil menutup telinganya.
Ckit! Disusul dengan decitan rem yang diinjak mendadak.
Ceklek! Pemilik mobil itu keluar untuk melihat Hasya, apakah tertabrak atau tidaknya. Ada beberapa pengendara juga yang turun dan melihat keadaan Hasya.
"Apa gak papa?"
"Luka, gak?"
"Parah, gak?:
"Pasti shock si Mbaknya!"
"Mas, kenapa kamu diam saja? Tolongin dia!" suara seorang ibu-ibu terdengar jelas di telinga Hasya. Barulah Hasya mau membuka matanya yang dari tadi sengaja ia pejamkan.
"Bu, tolongin saya. Di sana ada preman." Hasya terlihat sangat ketakutan. Semua orang melihat ke arah yang Hasya tunjuk.
"Di mana, Nak? Di sana itu kebun kosong, gak bakal ada orangnya." sahut ibu itu.
"Baru saja saya dibawa ke sana, Bu. Beruntung saya bisa kabur." Hasya terisak.
Semua orang menatap satu sama lain, apa iya? Pikir mereka.
"Ada yang luka, gak?" tanya ibu-ibu itu lagi. "Kita ke tepi aja dulu, bisa macet kalau bicara di sini." Ibu itu dengan senang hati membantu Hasya untuk bangun.
"Terimakasih banyak." ucap Hasya.
"Tapi ada luka, gak?" ibu-ibu itu sangat ramah, membuat Hasya sekuat tenaga menahan tangisnya. Dia sangat merindukan ibunya, tapi dia tidak berani untuk pulang. "biar mas itu tanggung jawab." ibu itu melirik pemilik mobil yang hampir menabrak Hasya tadi.
Hasya melirik sekilas tanpa melihat siapa orangnya. "Gak usah, Bu. Aku gak papa, kok. Aku mau pulang saja." jawab Hasya. Tubuhnya sedikit bergetar dan lemas.
"Pulangnya ke mana? Kenapa ada di sini?" tanya ibu itu lagi.
"Di kos seberang universitas Dharma di depan sana, Bu. Cuma tadi aku naik angkot kelewat, jadilah sampai ke sini." sebenarnya Hasya sudah malas bicara karena tubuhnya sedikit menggigil. Dia idak bisa shock. Tapi malam ini mengalami dua kali yang membuatnya shock. Tapi, karena si ibunya sangat ramah, Hasya juga tidak bisa mengelak. Tidak sopan namanya.
"Oh... Di depan, ya. Lain kali hati-hati. Ibu lihatin dari sini, maaf aja kalau dianterin kejauhan putar baliknya, ibu gak bisa." ucap ibu itu. Dia di tunggu suaminya di tepi jalan. Dia juga hanya memakai motor. Jalanan yang tadi berkerumun, sekarang sudah kembali normal.
"Terimakasih banyak, Bu. Aku hutang budi sama ibu."
"Jangan menganggap begitu, kita melakukan ini karena ikhlas. Kalau gak ikhlas, mana mungkin ibu berhenti. Buktinya si Mas tadi, dia langsung kabur aja, beruntung kamu gak papa, Nak."
"Iya, bu. Aku heran aja. Waktu tadi aku di seret ke sana gak ada orang sama sekali, tapi alhamdulillah aku bisa selamat."
"Bersyukurlah, Nak. Allah masih menjaga kamu."
Hasya mengangguk, kemudian ia berpamitan dan ia pulang ke kos-an nya.
"Neng Hasya habis dari mana? Kok pulang larut?" tanya security kos yang disewa oleh Hasya.
"Maaf, Pak. Tadi ada insiden yang membuat aku harus pulang malam. Hampir saja aku di tabrak mobil." security itu menatap Hasya dari atas sampai bawah. Matanya langsung menangkap ke wajah Hasya yang terlihat pucat.
"Neng Hasya sakit? Wajahnya pucat."
"Karena shock, hampir ketabrak mobil, Pak. Jadi wajah aku pucat." tidak bohong, tapi Hasya tidak menceritakan detailnya. Dia tidak ingin orang tahu apa yang sudah terjadi kepadanya.
"Oh, tapi gak papa? Ada yang luka?" biasanya security itu galak, beruntung malam ini dia baik. Mungkin karena baru saja menerima gajinya.
"Gak ada, Pak. Cuma shock doang. Aku boleh masuk, kan?"
"Ya, silahkan!" Hasya bernapas lega, security itu lagi baik hati malam ini.
"Terimakasih, Pak." Hasya langsung masuk ke dalam dan naik ke lantai dua, karena kamarnya berada di lantai dua.
Bruk!
Hasya langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur setengah empuk itu. Kemudian ia memejamkan matanya sejenak, lalu di kepalanya kembali terlintas perlakuan ketiga pria yang dipastikan preman itu.
Hasya langsung merasa jijik, dia langsung menuju kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya walaupun tadi sore dia sudah mandi di restorannya bunda Dewi.
Setelah mandi, Hasya kembali merebahkan tubuhnya dan ia terlelap tidur.
***
Kring kring kring
Dering ponsel dari tadi mengganggu pendengaran Hasya. Matanya terasa lengket dan sulit untuk dibuka. Hasya kembali tertidur lelap setelah dia mematikan dering ponselnya.
Dor dor dor!
Sekarang suara gedoran pintu yang mengusik tidur lelapnya.
"Hoaamm!" Hasya menguap lebar, tapi ia segera menutup mulutnya.
Dor dor dor!
"Hasya! Lo belum bangun juga?! Atau, Lo, kemana?" siapa lagi kalau bukan sahabat paling dekatnya, yaitu Aurel, anak dati bunda Dewi yang sering membangunkannya.
Aurel sendiri sengaja selalu mampir ke kosan Hasya terlebih sebelum dia kuliah. Dan Aurel sangat sering mendapati Hasya yang belum bangun, padahal sudah jam setengah enam pagi.
"Iya, gue bangun." Suara Hasya terdengar lemah di telinga Aurel.
"Lo, sakit?"
Ceklek! Hasya membuka pintu kamarnya.
"Lo, masuk aja dulu, gue mandi."
"Jangan lama-lama. lima belas menit lagi jam enam." Aurel kembali mengingatkan.
"Lo, kurang pagi ke sininya." Hasya terlihat kembali menguap.
"Kan, sudah bunda suruh tinggal di rumah sama gue, Lo-nya yang gak mau."
"Gak enaklah, gue. Dah, ya, gue mandi dulu."
Selesai mandi, Hasya segera bersiap dengan kecepatan kilat. Dia hampir terlambat mengingat kemacetan jalan ibu kota tidak ada duanya.
"Hati-hati!" Aurel melambaikan tangannya saat Hasya sudah duduk di angkot. Tadi Hasya naik motornya Aurel untuk menyebrang jalan, karena kalu berangkat, dia harus menunggu angkotnya di depan Universitas atau kampus.
Benar saja, Hasya telat berangkat. Dia terjebak macet yang mengular lebih dari dua ratus meter. Dia duduk gelisah, matanya tidak lepas dari jam yang melingkar dipergelangan tangannya.
Saat sudah berada di dekat perusahaan tempatnya bekerja, Hasya memilih turun untuk jalan kaki saja dati pada menunggu lama.
Huft! Hasya membuang napasnya kasar. Lalu ia berjalan menyusuri trotoar di jalan menuju perusahaan.
Sekitar lima puluh meter lagi, Syafa dikejutkan oleh teriakan seorang nenek yang berada sekitar lima meter darinya.
"Jambret! Jambret! Tolong!" teriak nenek itu. Hati nurani Hasya tergerak, dia langsung berlari dan mengejar jambret tersebut.
Bersambung
Bugh!
Bugh!
Bugh!
"Cari rezeki yang halal, Bang!" Hasya berhasil mengejar jambret itu dan mengambil sebuah tas yang kemungkinan milik nenek tersebut.
Hasya meninggalkan lelaki tersebut, kemudian dia kembali ke lokasi tadi.
"Nek, ini tas nenek bukan?" tanya Hasya kepada Nenek tersebut.
"Ya, Nak. Ini tas nenek. Terimakasih banyak." jawabnya.
"Dilihat dulu, Nek. Takutnya ada yang kurang."
"Oh, gak usah, tas nenek memang tas kosong."
Mata Hasya terbelalak, "hah?" jadi, dia capek-capek mengejar jambret itu...? Hasya hanya bisa membuang napasnya kasar, lalu ia terpaksa tersenyum kepada nenek tersebut. "Oh, kalau begitu, saya pamit dulu." Hasya bepamitan dan dia shock lagi saat melihat jam yang melingkar di tangannya.
"Dua menit." Hasya langsung meninggalkan nenek itu dan berlari menuju gerbang perusahaan yang tinggal beberapa detik lagi ditutup.
"Pak! Tolong jangan ditutup dulu!" Hasya langsung masuk saat gerbang itu belum tertutup sempurna.
"Kamu terlambat!"
"Saya siap dihukum, Pak." jawab Hasya. Securitynya hanya geleng-geleng kepala. Sering kali Hasya terlambat karena harus melewati jalanan yang macet itu.
"Terlambat lagi?"
"Maaf, Bu. Tadi ada insiden sedikit." Hasya meringis.
"Alasannya selalu begitu. Nanti menghadap bos langsung, biar si bos yang kasih kamu hukvman." ucap Bu Leli, ketua dari semua Office Girl di perusahaan tersebut.
"Yah, jangan, Bu. Bagaiman kalau saya dipecat?" wajah yang tadinya masih ceria itu berubah murung.
"Dalam bulan ini, hanya dua hari yang tidak kesiangan, Hasya. Ibu juga tidak enak sama yang lain." Bu Leli mengusap punggung Hasya, dia juga tidak berbuat apa-apa. "Maaf, ibu gak bisa nolong kamu, harusnya kamu bisa bangun lebih awal." Hasya mengangguk, untuk kali ini, dia pasrah saja dengan keadaan.
Hufft
"Ya sudah, Bu. Sekarang saya akan ke sana." jawab Hasya.
"Si ratu kesiangan, enak sekali setiap hari kesiangan." ucap Lara, temannya.
"Maaf Lara, gue juga akan mempertanggung jawabkan kesalahan gue." jawab Hasya. Dia menunduk dan menaruh tasnya ke loker.
"Satu kos sama gue aja, biar kita bisa berangkat bareng." sahut Emi.
"Kos-an Lo jauh juga." Hasya tahu di mana Kos-koasan yang di sewa Emi.
"Tapi, gue gak pernah kesiangan." jawab Emi.
"Iya juga, gue duluan, ya. Gue harus ke ruangan bos langsung di suruh bu Leli."
"Hasya! Hati-hati, Lo, diterkam!" Mala menimpali. Semua karyawannya tahu kalau CEO di perusahaan mereka itu menakutkan. Tapi, Hasya belum pernah bertemu sebelumnya karena dia juga terlalu jauh. Hasya berada di lantai lima, sedangkan bosnya itu berada di lantai dua puluh.
"Haha, iya, loh!" Emi dan Lara ikut menakut-nakuti Hasya.
"Gue gak takut kecuali ibu tiri!"
"Lo punya ibu tiri?"
"Nggak, gue duluan, ya, bye!" Hasya langsung meninggalkan teman-temannya. Begitu pun dengan teman-temannya yang langsung memulai pekerjaan mereka.
Deg
Deg
Deg
Degup jantung Hasya berdetak kencang, baru kali ini dia harus menghadap ke bos nya. Menurut mereka yang sudah pernah bertemu, bosnya itu galak dan dingin, makanya Emi sudah mewanti-wanti dirinya.
Tok tok tok
"Permisi!" Hasya mengetuk pintu yang ia yakini adalah ruangan bosnya itu dengan ragu-ragu.
"Cari siapa?!" suara bariton itu mengagetkan Hasya.
Hasya berbalik dan ia mendongak, menatap orang yang berdiri tegak di depannya. "E-em... Sa-saya disuruh bertemu dengan Tuan Bara." wajah Hasya berubah pucat melihat orang di depannya.
"Ada keperluan apa?"
"Sa-saya kesiangan." Hasya tetap gugup. Orang ini sangat mendominasi, menurutnya.
"Masuk!" orang tersebut berjalan ke arah pintu, Hasya sendiri sedikit mundur untuk memberi jalan kepada orang tersebut.
Ceklek!
Orang tersebut membuka pintunya, sedangkan Hasya mematung di tempat.
"Saya tidak akan mengulangi ucapan saya!" ucapnya penuh intimidasi. Hasya terlonjak kaget.
"Silahkan kakaknya masuk!" ucap seorang perempuan yang mengikuti orang tadi itu dengan ramah.
"Te-terimakasih." jawab Hasya. Dia langsung masuk dan menghampiri Bara. Ya, dia adalah Bara, sang CEO di perusahaan tempat Hasya bekerja.
Bara menatap Hasya dari atas dan bawah, menurutnya, dia terlihat unik. "Alasan!"
"Em, itu... Anu, Tuan. E... Macet!" Hasya benar-benar gugup karena dari tadi Bara menatapnya tanpa kedip.
"Kayak pernah bertemu sama perempuan ini." Gumam Bara.
"Itu hanya alasan klasik yang selalu jadi alasan para pelanggar peraturan di sini!"
"Ma-maaf, Tuan. Memang itu kenyataannya." jawab Hasya.
"Apa kamu tidak mempunyai jam?"
"Ada, Tuan. Cuma..."
"Mulai hari ini, kamu pindah ke lantai dua puluh."
"Hah?!" Hasya melotot membuat Bara sedikit terlonjak.
"Apa gak ada hukvman lain, Tuan? Saya sudah nyaman di..."
"Pindah, atau saya pecat secara tidak terhormat?!"
"Jangan, Tuan. Kalau dipecat, saya gak bisa bayar kos."
"Gak menerima alasan."
"Baik, Tuan." Hasya membuang napasnya kasar. Dia sudah terlalu nyaman di tempat kerjanya yang sekarang, tapi dari oada harus dipecat secara tidak terhormat. "Eh, sebentar, dipecat secara tidak terhormat? Hasya mengernyitkan dahinya.
"Cepat kerjakan apa yang harus kamu kerjakan mulai sekarang! Jangan diam saja."
"Eh... Baik, Tuan." Jawab Hasya penuh kebingungan. Dia harus mengerjakan apa dulu kalau di lantai ini?
"Tolong buatkan saya kopi!"
"Ba-baik, Tuan." Hasya langsung mengangguk dan membungkuk, dia langsung keluar dari ruanga Bara dan mencari pantry.
"Permisi, Kak. Kalau pantry di mana, ya?" tanya Hasya kepada OG yang sedang menyapu di sana.
"Kamu OG baru, ya?" tanya perempuan itu.
"I-iya, kak. Perkenalkan namaku Hasya. Aku tadinya di lantai lima."
"Oh, nama saya Rasti. Semoga betah, ya, di sini."
"Baik, Kak. Terimakasih. Oh, ya. Kalau pantry sebelah mana, ya?"
"Kamu tinggal belok kanan saja, ke sana langsung ke pantry."
"Oh, maaf, saya mau tanya satu lagi. Kalau Tuan Bara biasa minum kopi apa?" tanya Hasya.
"Kamu mau buat kopi untuk Tuan Bara?"
Hasya mengangguk. "Iya." Jawabnya.
"Hebat sekali kamu bisa disuruh sama Tuan Bara. Biasanya beliau tidak pernah menyuruh kita-kita. Beliau selalu bikin sendiri."
"Hah?" Hasya terbelalak.
"Selamat, ya. Ya sudah, sekarang bikinkan, saya gak tahu seleranya bagaimana?"
Hasya benar-benar dibuat bingung, bagaimana dia mau membuat kopi kalau tidak tahu kopi apa yang di sukanya.
Sementara di ruangan Bara.
"Good morning, Beb," sapa seorang wanita, yang tak lain adalah Laura, kekasih Bara.
Bara menoleh dan menatapnya sekilas. "Morning," jawabnya. Dia kembali fokus ke komputernya.
"Beb. Aku minta transfer lagi sepuluh juta. Uang yang kemarin sudah habis dipakai beli baju." baru saja masuk, Laura sudah seperti minta uang ke ayahnya sendiri. Dia dengan bebas meminta uang kepada Bara yang statusnya hanya sebagai pacar.
Bara menautkan alisnya. "Sekarang, kamu sering banget minta uang."
"Sayang, kamu tahu aku, bukan?"
"Ya, nanti aku transfer."
"Aaa... Thank you! Aku semakin cinta sama kamu." hampir saja Laura mau memeluknya. Tapi tangan Bara dengan sigap menghalanginya.
"Beb, kenapa sih, kamu itu gak mau banget di sentuh? Aku pengen peluk." rengek Laura. Usianya hanya beda satu tahun saja dengan Bara tapi kelakuannya melebihi anak kecil. Apa pun yang dia inginkan harus diturutinya dan harus segera dikabulkan. Tapi karena cintanya yang terlalu besar kepada Laura, membuat Bara tidak bisa berkutik apalagi kalau sampai Laura marah, dia akan sulut lagi mendapatkan maafnya.
"Hanya itu satu, tolonglah kamu mengerti. Aku hanya menjaga orang yang aku cintai supaya aku tidak berbuat lebih setelah tahu rasanya bersentuhan sama kamu." selalu itu alasan yang Bara katakan kepada Laura.
"Lebih pun tidak masalah, supaya nenek kamu segera merestui hubungan kita." Ya, keduanya terhalang restu dati neneknya Bara, dia sangat tidak setuju kalau Bara menikah dengan Laura. Tapi penyebabnya apa? Dia pun tidak mengetahuinya.
"Aku tidak akan melakukan itu, yang ada, nanti aku dikeluarkan dari kartu keluarga mereka, lalu aku juga tidak akan punya apa-apa lagi. Semua fasilitasku diambil, kamu mau?"
Laura yang dipikirannya selalu uang, dia menggeleng dengan cepat. Tidak ingin kalau sumber uangnya segera pergi.
"Hmm... Baiklah..."
"Jangan sedih, beberapa bulan lagi kita akan tunangan dan selanjutnya kita menikah. Tapi, setelah menikah, aku ingin kamu berhenti menjadi model dan diam di rumah menungguku pulang." Bara mencoba menenangkan Laura, dia sudah mendapatkan restu dari orangtuanya. Yang harus dia lakukan adalah memenuhi target yang neneknya berikan untuk tahun ini. Neneknya pernah memberikan syarat itu kalau ingin menikah dengan Laura.
Wajah Laura ditekuk, mana mungkin dia bisa diam di rumah? Tapi dia terpaksa mengangguk karena tidak ingin kehilangan sumber keuangannya.
Tok tok tok
"Permisi!" Hasya mengetuk pintunya dari luar. Dia terlonjak dan kopi yang baru saja dia buat hampir saja tumpah saat melihat pintunya tiba-tiba terbuka sendiri.
"Silahkan, kopinya, Tuan." Hasya menaruh kopinya di samping Bara.
"Beby, kamu...!"
"Kerjaan aku lagi banyak, Sayang." jawabnya.
"Tumben sekali, awas aja ada racunnya." Hasya cemberut. "Memangnya dia bisa bikin kopi?"
Bara tidak menanggapi apa yang Laura tanyakan. Dia langsung mengambil gelas itu dan menyeruput kopinya sedikit."Kok, takarannya bisa pas?" tanya Bara di dalam hatinya. Kemudian dia kembali menyeruput kopinya lagi sedikit banyak. "Lebih pas sama yang biasa aku bikin, padahal aku gak ngasih tahu dia kopi apa, tapi dia bisa cocok begini di lidahku."
"Sayang!"
"Sorry!" Bara kembali menaruh gelasnya. Kemudian dia menatap Hasya yang masih berdiri di sana. Awalnya dia hanya menunggu Bara, apakah kopi itu salah atau tidak? Tapi kenapa Bara sangat lama mencicipi kopi yang dibuatnya.
"Jam sepuluh nanti, tolong bikinkan lagi." diluar dugaan, justru Bara malah meminta kembali untuk dibuatkan kopinya.
Hasya terbelalak, tapi ia segera menetralkan ekspresinya setelah mendapatkan tatapan tajam dari Laura. "Em... Baik, Tuan." Hasya mengangguk patuh, lalu ia berbalik setelah izin untuk kembali keluar ruangan.
"Sayang..."
"Aku akan mulai bekerja, ya. Kamu mau tetap di sini?" Laura hanya bisa cemberut. Sebenarnya dia sudah lelah berhubungan dengan Bara, tapi dia juga tidak ingin sumber keuangannya hilang.
"Aku pulang saja, jam sepuluh nanti ada pemotretan." jawab Laura.
"Tetap jaga jarak!"
"
"Hmm... Bye!"
***
"Hubungan yang aneh..." dumel Laura.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!