Rafandra Ardana Wiguna, lelaki tampan, hangat, ramah, soft spoken dan tentunya baik hati. Anak tunggal dari pasangan Rangga Ardana dan Aleena Addhitama.
Dia begitu berbeda dari para persepupuannya. Di mana rata-rata dari mereka memiliki sikap dingin dan kejam. Tapi, tidak dengan Pangeran, nama panggilan sayang sewaktu kecil dan masih melekat sampai saat ini.
Dua tahun ini dia begitu dekat dengan perempuan bernama Lyora Angelica. Biasa dipanggil Lily. Perempuan yang sudah dikenal Rafandra selama tiga setengah tahun. Rasa nyaman mulai hadir di antara keduanya. Terlebih Lily pun begitu baik dan pengertian kepada Rafandra.
"Mau berangkat bareng enggak?" tanya Rafandra melalui sambungan telepon.
"Jemput di tempat biasa aja, ya."
Mereka bekerja di satu perusahaan yang sama, yakni perusahaan milik keluarga Rafandra. Sebenarnya ada kecurangan di saat Lily melamar kerja. Rafandra meminta kepada orang dalam perusahaan untuk meloloskan Lily. Bekerja di Wiguna Grup adalah salah satu mimpi perempuan itu. Dan Rafandra mencoba untuk mewujudkan mimpi tersebut.
Rangga Ardana juga Aleena Addhitama sudah hafal betul ritual pagi sang putra. Putra mereka tidak akan langsung ke kantor melainkan menjemput Lily terlebih dahulu.
"Bang, boleh Mami nanya sesuatu?"
Tidak baik berbicara di meja makan. Namun, hanya di sini Mami Aleena bisa berbicara langsung dengan sang putra. Kesibukan anak semata wayangnya membuat Mami Aleena kesulitan untuk berbincang santai.
"Silahkan, Mi."
Adab Rafandra pun begitu bagus. Dia meletakkan sendok juga garpu dan menatap sang ibunda dengan begitu lamat.
"Sudah sejauh mana perasaan kamu terhadap Lily?"
Atensi sang papi pun beralih pada putranya. Papi Rangga ikut menunggu jawaban Rafandra.
"Hanya sebatas nyaman. Tapi--"
Penggalan kalimat tersebut membuat mami Aleena juga papi Rangga saling pandang. Suara lembut penuh ketegasan pun mulai terdengar.
"Bang," panggil pria yang memiliki kharisma begitu kuat.
"Satu keyakinan saja belum tentu sejalan. Apalagi berbeda keyakinan."
Kalimat itu begitu menusuk sampai ke jantung. Lelaki tampan dengan wajah yang begitu teduh menatap sang papi yang begitu serius menatapnya.
"Suatu hubungan akan berdiri kokoh di satu pondasi yang sama."
Lagi, sang papi memberikan nasihat yang begitu lembut, tapi memiliki makna yang begitu dalam. Dia tak ingin perkataannya akan menyakiti sang putra . Senyum yang berbeda pun Rafandra ukirkan.
"Beri Abang waktu," jawabnya. Matanya begitu sendu.
"Abang gak mau menyakiti Lily."
Mami Aleena tersenyum dan mengangguk pelan. Dia sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Rafandra. Anaknya itu memiliki hati yang begitu lembut. Hal yang paling putranya takuti yakni menyakiti orang lain.
"Mami dan Papi hanya memberikan alarm saja, Bang. Jangan sampai perasaan kamu terlalu jauh. Takutnya, kamu yang tenggelam dalam rasa yang salah."
Cara menasihati mami Aleena dan papi Rangga begitu lembut. Didikan mereka pun menurun kepada Rafandra yang selalu lembut dan sopan dalam bertutur kata.
Ini peringatan kedua dari kedua orang tua Rafandra. Pertama ketika mereka mengetahui hubungan sang putra dan Lily yang terlihat tak biasa. Rafandra tak pernah berdusta. Dia berkata apa adanya.
Masih mampu mengukirkan senyum di tengah isi kepalanya yang berisik. Bahkan dia bersikap seperti biasa di hadapan Lily pagi ini.
"Makan siang nanti sibuk gak?" tanya Lily ketika mobil Rafandra sudah berhenti di seratus meter dari kantor.
"Kayaknya enggak. Belum ada schedule tambahan yang masuk."
"Makan siang bareng bisa?"
Rafandra mengangguk dengan lengkungan senyum manis. Wajah Lily terlihat begitu bahagia pasalnya sudah beberapa hari ini kesibukan Rafandra membuat mereka tak bisa makan siang bersama.
"Tempatnya boleh aku yang milih kan?" Kembali Rafandra mengangguk.
Senyum pun terukir di wajah Lily dengan begitu manis. Senyum yang sangat dia sukai. Belum lagi perhatian yang selalu Lily berikan membuatnya merasa nyaman. Kelembutan Lily yang membuat Rafandra merasa cocok.
Bekerja di satu kantor yang sama, tapi tak pernah berinteraksi. Itu sengaja dilakukan karena Rafandra tak ingin membuat Lily merasa tidak nyaman. Sudah pasti akan banyak ucapan yang tak mengenakan yang akan Lily dengar. Terlebih Rafandra sudah dikenal banyak orang sebagai cucu dari penerus kedua Wiguna Grup.
Sesuai dengan janji Rafandra, Lily sudah menunggunya di restoran yang sedikit jauh dari kantor. Begitulah cara mereka berdua menikmati makan siang bersama agar tak ada orang kantor yang melihat.
Rafandra tersenyum perih ketika Lily mulai menggenggam tangan untuk berdoa sebelum makan.
"Kenapa hari ini aku merasa sedih ketika melihat hal yang sering aku lihat selama dua tahun ini?"
"Apa mungkin karena ucapan Papi dan Mami pagi tadi?"
🎵
Cinta menyatukan Kita yang tak sama
Aku yang mengadah dan tangan yang kau genggam
Berjalan salah berhenti pun tak mudah
Apakah kita salah?
Lagu yang diputar di restoran membuat Rafandra dan Lily bergelut dengan pikiran masing-masing. Kunyahan mereka pun begitu pelan. Lily mulai menatap ke arah Rafandra yang masih terdiam. Wajah lelaki itu sudah begitu berubah. Pandangan Rafandra mulai menegak ketika tangan Lily menyentuh tangannya.
"Are you okay?"
"Lagunya seperti tamparan yang menyakitkan."
Tawa Lily pun hadir. Bukan hanya Rafandra yang merasakan itu. Dia pun merasakan hal yang sama.
"Bukankah sudah biasa kita ditampar oleh lagu-lagu seperti ini?"
Rafandra tersenyum. Menautkan tangannya pada tangan Lily yang berada di punggung tangannya.
"Sorry. Sepertinya hari ini aku terlalu melow."
"Sepertinya itu bertanda supaya kita liburan."
Lelaki itupun tertawa. Lily selalu mampu mengalihkan pikirannya. Jika, dilihat sekilas dua insan itu begitu cocok. Layak menjadi pasangan idaman. Sayangnya perbedaan keyakinan tak bisa ditawar.
Pergi dijemput dan pulang pun diantar. Itulah yang Rafandra lakukan kepada Lily. Lelah dan pusingnya pekerjaan akan hilang jika dia bersama dengan perempuan yang membuatnya merasa nyaman.
"Mau beli jajan dulu gak?"
"Aku mau langsung pulang aja. Capek banget, Ndra."
Tibanya di depan rumah, ayah dari Lily tengah berada di depan pagar rumah bernuansa putih tersebut. Harusnya Rafandra segera pulang setelah Lily turun. Tapi, jika itu dia lakukan sekarang, tandanya dia tak memiliki sopan santun. Alhasil, Rafandra ikut turun bersama Lily dan menyapa Thomas.
Tak ada jawaban dari pria yang seusia papi Rangga. Hanya tatapan tajam dan sinis yang dia berikan. Untungnya Rafandra sudah terbiasa.
"Kalau masih ingin bersama Lily, berkorbanlah untuknya!" Maksud dari ucapan itu mampu Rafandra tangkap. "Saya tidak Sudi jika Lily yang berkorban untuk kamu."
Kelanjutan dari perkataan Thomas membuat Rafandra tersenyum perih. Sedangkan Lily sudah menggelengkan kepala ke arah sang ayahnya dengan wajah yang nampak sedih.
"Maaf, Om," balas Rafandra dengan begitu sopan.
"Saya tidak akan pernah mengambil Lily dari Tuhannya," jelas Rafandra dengan begitu serius. "Begitu juga dengan saya yang tak akan meninggalkan Tuhan saya."
...*** BERSAMBUNG ***...
Tes ombak .. Jangan lupa tinggalkan komen, ya ..
Hari ini cukup berat untuk Rafandra. Apalagi ucapan ayahnya Lily yang seperti lampu merah untuknya. Di mana dia paksa untuk berhenti. Meskipun perlakuan seperti itu bukan kali pertama bagi Rafandra, nyatanya mampu membuat hatinya tergores perih. Lebih perih dari sebelumnya.
Kepalanya dia sandarkan di jok mobil. Matanya terpejam sambil menghembuskan napas begitu kasar.
"Apakah ini bertanda harus segera diakhiri?"
Rafandra memilih untuk kembali ke kantor. Bukan karena pekerjaan, tapi ingin menenangkan sejenak pikiran. Pusingnya pekerjaan tak sebanding dengan beratnya pikirannya sekarang.
Ponsel sudah Rafandra cek. Tidak ada pesan atau panggilan dari Lily. Dia pun tersenyum tipis. Kembali dia membuang napas yang begitu berat.
Sebelum pikirannya menghilang, dia tidak akan kembali ke rumah. Tak ingin membuat orang rumah khawatir akan keadaannya. Terlebih sang mami yang tak bisa dibohongi.
Ponselnya bergetar. Nama Lily tertera di sana. Segera dijawabnya panggilan tersebut.
"Ndra, temui aku di kafe tempat biasa."
Suara Lily bergetar dan isakan kecil pun terdengar. Tanpa banyak bertanya Rafandra segera mengiyakan. Tibanya di tempat pertama mereka menyatakan rasa nyaman, tanpa sebuah kejelasan seorang perempuan tengah duduk sendirian. Langkah Rafandra mulai mendekat dan wajah sembab mampu dia lihat.
"Are you okay?"
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, Ndra." Air mata sudah menganak.
Senyum teduh Rafandra berikan. Tangannya sudah mengusap lembut punggung tangan perempuan yang kini ada di hadapannya.
"Aku sudah terbiasa kan dengan hal seperti itu."
"Tapi--"
Jari telunjuk Rafandra sudah berada di bibir Lily. "Aku gak apa-apa. Kamu jangan khawatir. Dan jangan nangis."
Lily berhambur memeluk tubuh Rafandra. Sungguh lelaki yang dulunya hanya rekan di kampus mampu membuatnya nyaman senyaman-nyamannya. Kesabarannya yang begitu luas membuat Lily tak ingin melepas.
"Aku sayang kamu, Ndra."
Dua insan yang saling meyayangi, tapi terhalang tembok yang begitu tinggi. Restu pun sudah sangat sulit untuk didapati. Itulah kisah kasih Rafandra dan Lily.
Mencoba untuk tidak memikirkan hal semalam nyatanya tak bisa Rafandra lakukan. Biasanya ucapan ayahnya Lily berlalu begitu saja. Tapi, tidak dengan ucapan semalam. Masih begitu melekat di kepala.
Untungnya, hari ini jadwalnya begitu padat sehingga membuatnya harus meletakkan pikiran tersebut dan fokus pada pekerjaannya.
Lily menatap Rafandra yang berjalan melewatinya dengan langkah lebar. Lelaki itu banyak disukai oleh para karyawan. Meskipun menjadi salah satu petinggi perusahaan, sikapnya layaknya karyawan biasa. Humble dan ramah kepada semuanya. Mereka merasa jika Rafandra bisa digapai.
"Tuhan, kenapa Engkau menciptakan makhluk sempurna itu di keyakinan yang berbeda denganku?"
Lily hanya bisa menghela napas kasar. Dia juga sadar bukan perempuan yang diidamkan keluarga besar. Di mana dia tidak pernah dikenalkan kepada keluarga besar Rafandra. Dia hanya mengenal kedua orang tua Rafandra saja, dan adik sepupu Rafandra yang selalu sinis jika bertemu dengannya. Siapa lagi jika bukan Gyan.
Makan siang bersama sudah pasti tidak bisa diakukan. Di mana Rafandra masih belum kembali ke kantor. Juga pesannya tak sama sekali dibalas. Dibaca pun belum. Hari ini Lily merasa jika semesta mulai menjauhkan dirinya dengan Rafandra. Biasanya satu atau dua jam setelah pesan terkirim, lelaki itu akan segera membalas pesannya. Kali ini, sudah lima jam semenjak pesan itu dia kirim, belum juga dibaca.
Sampai jam pulang kerja pun pesan itu masih centang abu. Lima menit setelahnya ponsel Lily bergetar. Dia begitu bahagia karena meyakini jika itu pesan balasan dari Rafandra. Ternyata, itu pesan dari sang ayah.
"Pulangnya dijemput."
Hembusan napas kasar keluar dari bibir Lily. Sedihnya kembali hadir. Dan sebelum pergi meninggalkan kantor, matanya menatap nanar ruangan Rafandra.
"Aku pulang ya, Ndra."
.
Jam delapan malam semuanya baru selesai. Lelaki yang terlihat masih tampan di tengah rasa lelah yang melanda mulai meregangkan otot-ototnya. Mengendurkan dasinya yang masih terpasang rapi. Tangannya mulai menarik laci meja di mana ponselnya tertinggal sedari pagi. Cukup banyak pesan dari Lily.
Biasanya dia akan menghubungi kembali perempuan itu, tapi kali ini dia hanya memandangi pesan tersebut dan belum mau membalasnya. Cukup lama terdiam, akhirnya jarinya mulai menari di atas layar ponsel. Hanya kata dan maaf yang dia ketikkan. Ponsel kembali dia letakkan. Tubuhnya dia sandarkan dengan mata yang perlahan terpejam.
"Nyaman belum tentu sayang sungguhan."
Suara itu sangat tak asing dan bahkan termasuk ke dalam suara yang sangat dia rindukan. Perlahan, dia membuka mata. Mencari ke segala sudut ruangan. Namun, tak ada siapa-siapa di sana.
"Baba."
Rafandra mulai mencerna kalimat yang baru saja dia dengar. Itu seperti pertanda jika yang tiada pun tak merestui.
"Apa ini sudah waktunya, Ba?" tanyanya sendiri. "Tapi, bagaimana jika Abang malah menyakiti dia?"
Kebimbangan masih menggelayuti hati. Dia bisa saja mengakhiri hubungan saat ini. Namun, dia tidak ingin menyakiti hati Lily. Dia sudah berjanji untuk menjaga perempuan itu. Siluet kesedihan pun hadir di wajah tampannya. Masih menimbang karena dia juga belum siap melepaskan.
Di tengah kebimbangan mencari jalan keluar, kembali dia meriah ponsel. Dicarinya nama seseorang dan menghubunginya.
"Gy, Abang ke apart kamu, ya."
Gyan yang mendengar itu segera merubah panggilan suara menjadi panggilan video. Wajah khas Gyan sudah memenuhi layar ponsel Rafandra.
Lelaki itu tertawa melihat mimik sang adik sepupu. Gyan tak akan bertanya, tapi mimik wajahnya sudah mengatakan semuanya.
"I'm okay. Jangan khawatir."
Hembusan napas kasar terdengar. Ya, Gyan yang melakukan.
"Apa perlu Gy pulang ke Jakarta?"
"Jangan, Gy. Serius Abang enggak apa-apa. Abang hanya ingin menjernihkan pikiran."
Jika, sudah seperti itu Gyan tahu apa yang membuat kakak sepupunya mengungsi ke apartment miliknya yang tak dihuni. Pasalnya, Gyan sedang menjalani pendidikan S1 di Singapura.
"Alasannya Gy terima." Rafandra pun tertawa mendengar jawaban dari Gyan.
Sebenarnya Rafandra bisa saja masuk ke apartment itu tanpa ijin. Gyan sudah memberikan akses khusus kepada kakak sepupunya itu. Namun, Rafandra bukan orang yang tak memiliki sopan santun. Walaupun kepada yang lebih muda, tata krama tetap dia pakai.
Unit apartment mewah itu didesain dengan cahaya minim. Memang sengaja Gyan buat seperti itu supaya beban yang dibawa dari luar hilang ketika masuk ke dalam. Terbukti, unit apartment Gyan selalu menjadi tempat menenangkan diri oleh Rafandra.
Duduk di sofa dengan cahaya temaram. Memejamkan mata dengan isi kepala dipenuhi kenangan manis bersama perempuan yang membuatnya nyaman.
"Jangan tinggalin aku dulu ya, Ndra. Aku gak tahu akan seperti apa jika kamu ninggalin aku."
Melepaskan sulit, dan bertahan pun tak mungkin. Itulah yang membuat Rafandra dilanda kebimbangan hebat. Terlebih, restu dari dua belah pihak tak didapat.
"Aku tak ingin menyakiti kamu, Ly."
...*** BERSAMBUNG ***...
Jangan pelit komen ya ..
Walaupun dilanda kebimbangan, Rafandra tak pernah menunjukkan kepada Lily. Dia bersikap seperti biasa dan menjemputnya untuk berangkat bersama.
"Besok ada waktu gak?"
Rafandra yang tengah fokus ke jalanan menoleh ke arah samping. Lily tengah menanti jawaban darinya.
"Mau jalan?"
Lily mengangguk dengan cepat dan itu membuat Rafandra tertawa. Tangannya mulai mengusap ujung kepala Lily dengan lembut.
"Mau ke mana?"
"Aku mau menghabiskan waktu bersama kamu seharian full. Boleh?"
"Off course."
Senyum merekah di bibir Lily. Tangannya mulai meraih tangan Rafandra. Lalu, menggenggamnya. Lily begitu bersyukur karena apa yang dia mau selalu Rafandra iyakan tanpa banyak perdebatan.
"Hari ini aku full di luar." Lapornya pada Lily supaya Lily tak berpikiran yang tidak-tidak.
"Maaf, jika aku selalu overthinking sama kamu."
"It's okay. Jangan bahas itu lagi, ya." ujar Rafandra dengan senyum hangatnya.
Hari ini Rafandra memang benar-benar sibuk. Baru saja masuk ke ruangan, dia keluar dengan langkah lebar dengan ponsel yang menempel di telinga.
Setelah Makan siang pun Rafandra belum kembali. Sampai jam pulang kantor pun belum ada tanda-tanda Rafandra kembali. Wajah sendu Lily terlihat begitu jelas sebelum dia turun karena sudah ada yang menjemputnya.
Keesokan harinya, Lily minta dijemput bukan di rumahnya. Melainkan di halte dekat kantor. Rafandra mengikuti saja. Di dalam mobil pun dia tak banyak bertanya.
Pantai adalah tempat yang ingin Lily kunjungi. Tak biasanya Lily bergelayut manja pada lengan Rafandra di tempat ramai. Namun, hal aneh itu membuat Rafandra bahagia. Dia meletakkan sejenak kebimbangan tentang hubungan yang tak ada kejelasan. Tak ada salahnya dia menikmati kebahagiaan sekarang.
Menghabiskan waktu berdua di pantai sambil bercanda juga tertawa. Ditambah Lily yang begitu manja. Tak ingin melepaskan tangan Rafandra barang sedetik pun.
Tak terasa hari sudah sore. Mereka berdua masih betah berada di sana. Terutama Lily yang enggan pergi dari sana. Tangannya pun begitu erat melingkar di pinggang Rafandra.
"Are you happy?"
Lily mendongak ke arah Rafandra. Dia tersenyum dengan kepala mengangguk yakin. Lelaki itupun semakin mengeratkan rengkuhannya di pinggang sang puan.
Selama dekat dengan Lily, Rafandra tak pernah melakukan kontak fisik selain genggaman tangan dan pelukan. Bohong jika dia tak ingin mencoba hal lain, tapi dia mampu mengerem nafsunya karena niatnya dari awal ingin menjaga Lily. Bukan merusaknya.
Menunggu senja datang dan melihat matahari terbenam dengan saling berpelukan ternyata begitu menenangkan. Tak ada kata apapun dari bibir mereka berdua. Keduanya begitu menikmati momen ini.
Langit orange sudah berganti hitam. Angin laut sudah menerpa kulit. Rafandra mulai mengajak Lily untuk pulang. Padahal, Lily masih ingin menikmati hari ini dengan lelaki yang sudah menggenggam tangannya.
"Udah malam, Ly. Besok kita masih bisa menghabiskan waktu berdua lagi."
Rafandra merasa aneh ketika ayah dari Lily malah bersikap biasa ketika dirinya mengantar Lily pulang. Sapaannya pun dijawab anggukan walaupun tanpa senyuman.
.
Tibanya di rumah mobil sang paman sudah terparkir di depan rumah. Gavin Agha Wiguna tengah berbincang serius di ruang keluarga.
"Besok sore kita harus menghadiri acara pernikahan anak dari kolega yang kemarin."
Pria yang sudah memiliki anak bujang itu berkata ketika Rafandra mencium tangannya.
"Kok dadakan?"
"Undangannya baru aja nyampe."
Di antara Mas Agha juga papi Rangga tak ada yang menanyakan dari mana Rafandra. Mereka berdua begitu menghargai privasi lelaki tersebut.
Sudah berganti pakaian dan bersiap untuk tidur. Ponselnya bergetar. Ternyata itu pesan dari Lily.
"Besok pagi kita ketemu, ya. Aku ingin sarapan bareng."
Senyum melengkung di bibir Rafandra. Tanpa menunggu lama dia mengiyakan. Inilah yang membuat Rafandra sulit untuk melepaskan. Ketika dia ingin membuat keputusan, Lily pasti datang. Seakan Lily melarang untuk adanya perpisahan.
Mami Aleena mengerutkan dahi ketika di Minggu pagi sang putra sudah tampan dengan pakaian santai.
"Mau ke mana, anak bujang?"
Rafandra hanya tersenyum. Lalu, mengecup pipi sang mami dengan begitu lembut.
"Abang mau joging sebentar. Terus mau sarapan sama Lily."
Rafandra tak pernah berbohong kepada sang ibunda. Apapun yang dia lakukan pasti dia katakan dengan jujur. Sang mami pun meresponnya dengan seulas senyum.
"Bawa mobil?"
"Motor aja, Mi."
"Hati-hati."
Setelah menyalami sang mami, Rafandra pergi. Mami Aleena hanya bisa menatap punggung sang putra dengan raut sendu.
"Jika, perempuan yang membuat kamu nyaman itu seiman. Pasti akan Mami dukung, Bang."
Syarat untuk menjadi pendamping anggota keluarga singa hanya seiman. Tak mereka pedulikan perihal kedudukan dan kekayaan.
Rafandra dan Lily bertemu di taman area rumah Rafandra. Senyum yang begitu manis Lily berikan.
"Aku telat, ya."
"Enggak kok. Aku emang sengaja datang pagi."
Sama-sama soft spoken dan memiliki attitude luar biasa. Jika, disatukan akan menjadi pasangan yang begitu sempurna. Sayangnya, itu begitu mustahil bagi mereka.
Berjalan santai dan berlari keliling taman sudah mereka lakukan. Kini, mereka berada di kedai bubur ayam langganan yang sedikit jauh dari taman. Tawa canda pun masih tercipta. Hingga mereka harus kembali berpisah. Sebelum Lily masuk ke dalam rumah, tatapan sulit diartikan Lily tunjukkan. Perempuan itupun berhambur memeluk tubuh Rafandra.
"Are--"
"Aku ingin seperti ini dulu, Ndra."
Perlahan tangan Rafandra pun membalas pelukan Lily tanpa bertanya lagi. Pelukan pagi ini terasa berbeda. Terasa menyayat hati. Tak mereka pedulikan orang yang berlalu lalang memperhatikan. Setelah hampir sepuluh menit, pelukan itu pun terurai. Lily menatap serius ke arah Rafandra yang masih melingkarkan kedua tangan di pinggang sang perempuan.
"I Will Miss this moment."
Tangan Rafandra mulai mengusap lembut pipi putih Lily. Tatapannya begitu dalam.
"Aku akan peluk kamu kapanpun kamu mau."
Kalimat yang begitu lembut tersebut terasa seperti belati panjang yang menusuk dada. Mata Lily pun berkaca. Kembali Rafandra memeluk tubuh Lily.
.
Rafandra mengirimkan pesan sebelum dia berangkat ke acara pernikahan anak dari kolega Wiguna Grup. Namun, hanya centang satu. Tak pernah dia berpikiran negatif karena sebulan terakhir Lily sering begini.
Dia berangkat bersama sang paman. Tibanya di tempat tersebut, Rafandra hanya mengikuti Mas Agha.
"Pemberkatan dulu," bisik Mas Agha.
Berdiri di samping jalan menuju altar untuk menyaksikan calon pengantin datang. Mempelai laki-laki sudah berjalan dengan gagah menuju altar. Dan tinggal menunggu mempelai wanita.
Mata semua tamu kini beralih pada perempuan cantik bergaun putih yang sudah menuju altar. Senyum yang mengembang di wajah Rafandra mendadak hilang ketika melihat sang mempelai.
Prosesi pemberkatan pernikahan terus berlangsung dan ketika janji suci pernikahan terucap, seperti ada belati panjang yang menancap. Akhir dari prosesi sakral ketika pengantin baru yang baru sah itu berciuman di depan semua orang. Rafandra sudah tidak sanggup dan mulai memutar tubuh dan menjauh dari sana.
Ketika semua tamu besorak melihat ciuman pertama pasangan pengantin baru, ada bulir bening yang menetes membasahi pipi.
"Ternyata aku yang disakiti."
...*** BERSAMBUNG ***...
Aku tunggu komennya ya ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!