[KONSULTASI DULU KE DOKTER KEJIWAAN SEBELUM BACA NOVEL INI]
[DILARANG KERAS MENIRU ADEGAN ADEGAN ATAU SCENE GORE DI NOVEL INI]
Gelap. Sunyi. Dingin.
Jellal Astraus tidak merasakan apa pun selain kehampaan. Seakan dunia telah berhenti, membiarkan dirinya terjebak dalam pusaran kekosongan yang abadi. Namun, perlahan, sesuatu mulai bergetar dalam pikirannya. Samar-samar, ingatan yang terkubur dalam lapisan pekat kesadarannya mulai mencuat ke permukaan.
Ia melihat kilatan cahaya keemasan yang membakar langit. Ratapan bawahannya menggema di telinganya. Suara ledakan, dentingan pedang, dan lolongan kemarahan. Dan kemudian... kehampaan.
Tiba-tiba, tubuhnya terasa berat. Sesuatu yang dingin menyelimuti kulitnya, seolah ia telah lama terkurung dalam lapisan batu. Lalu, retakan pertama muncul.
Crack!
Seutas cahaya merah menyusup ke dalam kehampaan. Retakan itu merambat, menyebar, hingga pecahan-pecahan mulai jatuh dari tubuhnya. Dalam sekejap, segel yang mengekangnya hancur berkeping-keping.
Udara dingin menyambutnya saat kedua matanya terbuka.
Jellal berdiri di tengah reruntuhan sebuah istana yang megah namun telah terkikis oleh waktu. Pilar-pilar hitam yang dulu menjulang kokoh kini dipenuhi retakan, lantai marmer yang dulunya bersih kini diselimuti debu dan lumut. Dan di sekelilingnya, berdiri patung-patung yang tak asing baginya, yaitu para bawahannya, para jenderal, para maid.
Mereka juga disegel.
Mata hitamnya menatap sekeliling, penuh dengan ketegangan yang tak ia mengerti. Jemarinya bergerak, merasakan kembali aliran energi gelap yang sempat menghilang. Ia mengulurkan tangan ke depan.
"Bangkitlah," bisiknya, suaranya dalam dan penuh kekuatan.
Aura hitam pekat merembes keluar dari tubuhnya, menjalar seperti kabut yang hidup. Ujung jubahnya berkibar saat sihirnya meresap ke dalam patung-patung yang membeku di hadapannya.
Crack! Crack! Crack!
Satu per satu, patung-patung itu mulai retak. Cahaya merah berpendar dari sela-sela retakan, seolah sesuatu yang lama tertidur kini terbangun.
Selene Veildas adalah yang pertama membuka matanya. Mata merah darahnya berkilat saat tubuhnya terbebas dari cangkang batu. Ia jatuh berlutut di hadapan Jellal, bibirnya melengkung dalam senyum sadis yang penuh ketakutan dan ketundukan.
"Yang Mulia..." suaranya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena rasa kagum yang tak terbendung. "Akhirnya... kami kembali."
Satu per satu, bawahannya bangkit. Darius Ironfang menggeram rendah, merasakan kembali kekuatan buasnya yang sempat lenyap. Velka mengangkat tangannya, menyaksikan kabut kematian yang perlahan membalut jarinya. Eira Frostveil mengibaskan sayap hitamnya yang dulu terlipat kaku dalam segel.
Para maid muncul dengan ekspresi yang bervariasi. Selvhia Natch menatap Jellal dengan ketenangan dingin, Marionette Weiss mengedipkan matanya yang tampak kosong, Claris Umbra lenyap dalam bayangan sebelum muncul kembali dengan lirikan tajam, dan Elise Rosethorn menyentuh bibirnya sambil tersenyum menggoda.
Namun, ada sesuatu yang aneh.
Mereka semua terbangun, tetapi tidak satu pun dari mereka mengingat apa yang terjadi sebelum penyegelan.
Jellal menatap mereka, matanya berkilat tajam. Ia sendirian dalam kabut ingatan yang hancur. Jellal Astraus duduk di atas singgasana hitam yang dulu menjadi simbol kekuasaan mutlaknya. Singgasana itu masih berdiri tegak di tengah aula besar yang telah lama terkubur dalam kehancuran, meski debu dan retakan kini menyelimutinya. Namun, tidak ada yang berani meragukan kemegahan sosok yang kini mendudukinya.
Di hadapannya, para jenderal dan maid yang telah bangkit berlutut serempak, kepala mereka tertunduk dalam penghormatan mutlak.
Di barisan depan, Selene Veildas meletakkan satu tangan di dada, mata merahnya berbinar dengan penuh kekaguman. Senyum tipis yang terukir di bibirnya mencerminkan rasa fanatisme yang tidak bisa disembunyikan.
"Yang Mulia," suaranya menggema di aula yang sunyi, "kehadiranmu adalah satu-satunya kebenaran yang kami butuhkan. Dunia boleh berubah, langit boleh runtuh, tetapi keberadaan mu adalah mutlak."
Di sebelahnya, Darius Ironfang menundukkan kepalanya dengan hormat. Mata emasnya yang biasanya dipenuhi amarah kini bersinar dengan rasa tunduk yang dalam. "Raja kami, hanya dengan satu perintah, kami akan merobek dunia ini untukmu."
Velka menganggukkan kepalanya perlahan, mantel ungunya bergetar seiring dengan kabut kematian yang melingkupi tubuhnya. "Kegelapan telah menanti terlalu lama untuk kembali berada di bawah perintah Anda, Yang Mulia."
Eira Frostveil, dengan ekspresi dinginnya yang abadi, menatap Jellal dengan mata berkilauan penuh devosi. Sayap hitamnya yang dulu terlipat kini terbentang megah, memancarkan aura yang mengancam. "Cahaya mungkin telah mengutuk kita, tetapi hanya Anda yang memiliki hak untuk menentukan takdir kami."
Di antara mereka, para maid berdiri dengan sikap hormat. Selvhia Natch, kepala maid, menunduk dalam dengan tangan di dada, suaranya lembut namun mengandung kepastian mutlak. "Kami adalah pedang dan perisai Anda, Yang Mulia. Perintah Anda adalah kehendak mutlak kami."
Marionette Weiss berdiri tanpa ekspresi, tetapi benang-benang sihir yang melayang di sekelilingnya bergetar seolah merespons kehadiran Jellal. Claris Umbra hanya tersenyum samar, bayangannya bergerak sendiri di lantai seolah hendak menelan siapa pun yang meragukan kebesaran rajanya. Elise Rosethorn, dengan langkah anggun, menyentuhkan ujung jarinya ke bibirnya sebelum berbicara dengan nada menggoda, "Dunia ini telah kehilangan keindahannya tanpa Anda, Yang Mulia. Sudah saatnya kita merayakan kelahiran kembali era kegelapan."
Jellal mengamati mereka semua dalam keheningan. Ia bisa merasakan loyalitas yang kuat dalam diri bawahannya, sesuatu yang bahkan tidak bisa dihancurkan oleh waktu atau sihir segel.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal.
Mereka semua tidak mengingat apa yang telah terjadi sebelum penyegelan. Tidak ada yang tahu bagaimana mereka bisa berubah menjadi patung, siapa yang telah melakukan ini, dan berapa lama mereka telah terperangkap dalam kehampaan.
Hanya Jellal yang samar-samar mengingat kilatan cahaya keemasan, suara teriakan, dan rasa kehilangan yang begitu dalam.
Tetapi itu tidak penting sekarang.
Jellal menyandarkan tubuhnya ke singgasana, menyilangkan kaki dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata hitamnya menyapu ruangan, menatap bawahannya yang masih berlutut.
"Lihatlah sekeliling kalian," suaranya dalam dan menggetarkan, membawa tekanan yang membuat semua orang menahan napas. "Araksha yang kita kenal telah menjadi reruntuhan. Dunia ini telah berusaha menghapus keberadaan kita."
Ia menyeringai tipis, matanya berkilat.
"Tetapi mereka gagal."
Suasana di aula semakin menegang, dan aura kegelapan yang terpancar dari tubuh Jellal semakin kuat.
"Dunia mungkin telah melupakan kita... tetapi kita akan mengingatkan mereka siapa yang sebenarnya berkuasa."
Tiba-tiba, energi hitam menyelimuti ruangan, menciptakan pusaran kegelapan yang seakan menelan cahaya. Para jenderal dan maid merasakan gelombang kekuatan yang begitu agung, begitu mutlak, hingga tubuh mereka bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Selene menggigit bibir bawahnya, matanya berbinar penuh gairah. "Ya... ya... inilah yang kami nantikan!"
Darius mengepalkan tinjunya dengan kuat. "Berikan kami perintah, Yang Mulia! Aku ingin mencabik siapa pun yang berani menentangmu!"
Eira menutup matanya sesaat, menikmati sensasi keagungan yang melingkupi tubuhnya. Selvhia tersenyum tipis, sementara Velka menatap Jellal dengan mata yang penuh kebijaksanaan namun juga ketundukan.
Jellal mengangkat satu tangan, dan seketika ruangan kembali sunyi.
Ia menatap mereka semua dengan tajam, lalu berkata dengan suara yang penuh keagungan.
"Kita akan membangun kembali Araksha dari kegelapan... dan menjadikannya lebih kuat dari sebelumnya."
Mereka semua menundukkan kepala lebih dalam.
"Kami hidup hanya untuk mengabdi kepada Anda, Yang Mulia."
Aula singgasana masih diselimuti keheningan yang sakral, hanya terdengar gema suara Jellal yang terus terpatri di dalam benak setiap bawahannya. Namun, setelah pernyataan mutlak itu, ada pertanyaan yang tak bisa dihindari. Apa langkah selanjutnya?
Jellal menghela napas, pikirannya berputar cepat. Ia memang telah bangkit, tetapi masih banyak hal yang belum diketahui. Berapa lama waktu telah berlalu? Siapa yang telah menyegel mereka? Dan di mana posisi mereka sekarang?
Ia menatap Selene. "Katakan padaku, apa yang kau rasakan sejak kebangkitanmu?"
Selene mengangkat kepalanya, matanya bersinar dalam bayangan. "Yang Mulia... Aku merasakan kehadiran dunia luar yang asing, seperti segel yang telah hancur baru-baru ini. Namun, rasanya... ada sesuatu yang hilang."
"Sesuatunya hilang?" gumam Jellal.
Velka, yang sedari tadi diam, menambahkan dengan suara parau. "Energi Araksha di sekitar kita jauh lebih lemah dibanding saat terakhir aku mengingatnya. Seakan dunia ini telah ditelan oleh kekuatan lain..."
Eira menatap tajam ke arah Velka. "Itu berarti musuh kita telah menang selama kita tersegel."
Ucapan itu membuat suasana aula semakin berat. Jika dunia telah berubah, maka kebangkitan mereka tidak akan disambut dengan tangan terbuka.
Jellal menyandarkan dirinya ke singgasana, matanya menyipit. Ia menatap ke arah Selvhia yang berdiri diam di sisi kirinya. "Selvhia."
"Ya, Yang Mulia," jawab kepala maid dengan suara lembut, tetapi penuh ketundukan.
"Apa kau bisa merasakan keberadaan manusia di sekitar wilayah ini?"
Selvhia memejamkan matanya sesaat, lalu udara di sekelilingnya bergetar. Blood Dominion. Kekuatan yang memungkinkan Selvhia untuk merasakan keberadaan makhluk hidup melalui darah mereka.
Beberapa detik berlalu sebelum ia membuka matanya kembali. "Hanya ada jejak kehidupan kecil... sisa-sisa serangga, beberapa makhluk liar... tetapi tidak ada manusia dalam radius lima kilometer."
Jellal menyandarkan dagunya di tangannya. Itu berarti tempat ini telah lama ditinggalkan.
"Jika tak ada manusia di sekitar sini, maka ini kabar baik," gumamnya. "Kita bisa bergerak tanpa ketahuan."
Darius mendengus, matanya menyipit. "Tapi itu juga berarti dunia telah benar-benar melupakan kita."
"Itu hanya sementara," Jellal menyeringai tipis. "Kita akan mengingatkan mereka siapa yang sebenarnya berkuasa."
Mereka semua menunduk dalam penghormatan mutlak.
Namun, ada satu pertanyaan yang belum terjawab, bagaimana mereka bisa bangkit kembali?
Jellal sendiri tidak mengerti. Sihir cahaya tingkat tinggi telah mengubah mereka menjadi patung. Bahkan, ia sendiri masih samar-samar mengingat cahaya menyilaukan yang menelannya sebelum segalanya berubah menjadi kegelapan.
Tetapi sesuatu telah membebaskan mereka.
Dan ia harus mencari tahu siapa atau apa yang telah menghancurkan segel itu.
"Aku ingin kalian mulai bergerak," perintahnya akhirnya. "Kita tidak bisa bertindak tanpa mengetahui situasi dunia luar."
"Perintah Anda adalah mutlak, Yang Mulia," ujar Selene dengan penuh semangat.
Jellal menatap mereka satu per satu. "Selene, Darius, dan Eira, kalian akan menyebar ke wilayah sekitar dan mencari tahu apa yang telah terjadi selama kita tersegel. Jangan terlalu menarik perhatian, tetapi jika ada yang mencoba menghalangi kalian..." Ia menyeringai dingin. "Hancurkan mereka."
"Tentu saja," jawab Selene, senyumnya semakin melebar.
"Selvhia, kau akan tetap bersamaku," lanjutnya. "Aku ingin seseorang yang bisa bertindak cepat jika situasi tidak terduga terjadi."
Selvhia menundukkan kepala dalam, senyum tipis terukir di wajahnya. "Kehormatan bagi saya, Yang Mulia."
"Velka, kau akan menyelidiki apakah ada sisa-sisa energi segel yang masih bertahan di tempat ini. Aku ingin tahu siapa yang cukup berani untuk melakukan ini padaku."
Velka mengangguk dalam keheningan.
"Dan Marionette, Claris, serta Elise, kalian bertiga akan bertugas menjaga tempat ini. Aku tidak ingin ada makhluk bodoh yang secara tidak sengaja menemukan kerajaan kita sebelum waktunya."
Maid-maid itu serempak membungkuk, menunjukkan ketaatan penuh.
Setelah semua perintah diberikan, Jellal menatap langit-langit aula yang retak. Jellal membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan sesaat sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Selvhia. Mata hitamnya menyipit, memancarkan kilatan yang sulit diartikan.
"Selvhia," panggilnya dengan nada tenang, tetapi berisi perintah mutlak.
"Ya, Yang Mulia?" Kepala maid itu segera menunduk dalam penghormatan.
"Aku belum melihat keberadaan Nyx dan Noa. Apa kau bisa merasakan mereka?"
Selvhia tak langsung menjawab. Sebagai dhampir, indra perasanya terhadap keberadaan makhluk hidup lebih tajam dari kebanyakan iblis lain. Namun, bahkan setelah mengerahkan Blood Dominion barusan, ia tak merasakan tanda-tanda kehidupan dari dua kembar Nephilim itu.
Namun, Selvhia bukan tipe yang meragukan keberadaan bawahannya. Jika Jellal bertanya, itu berarti mereka pasti masih ada di suatu tempat.
Selvhia mengangkat wajahnya, ekspresi dingin dan penuh keyakinan. "Nyx dan Noa masih ada, Yang Mulia. Saya bisa merasakan jejak energi mereka... di lantai atas."
Jellal mengangkat alis tipisnya. "Lantai atas?"
"Aula ini mungkin telah rusak, tetapi istana ini tetap mempertahankan beberapa lapisan ruang tersembunyi. Lantai dua seharusnya masih ada," jelas Selvhia.
Jellal mengangguk ringan. "Bawa aku ke sana."
Tanpa ragu, Selvhia berbalik dan mulai melangkah, diikuti oleh langkah tenang Jellal. Mereka menyusuri aula yang luas, di mana retakan-retakan gelap menghiasi dinding batu yang dulunya megah. Sisa-sisa kehancuran menjadi bukti dari pertempuran yang terjadi sebelum mereka tersegel.
Sampai akhirnya mereka mencapai tangga spiral yang mengarah ke lantai dua. Tangga itu dipenuhi debu dan bayangan pekat, tetapi Jellal tetap melangkah tanpa rasa ragu.
Saat mereka tiba di atas, atmosfer di tempat itu terasa berbeda. Udara di sana terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menekan keberadaan mereka.
Selvhia melangkah lebih dulu, matanya bersinar merah, mengamati lorong panjang yang berisi pintu-pintu besar.
"Di sini," katanya, berhenti di depan pintu ganda yang terlihat lebih megah dibanding pintu lainnya.
Jellal menatapnya sejenak sebelum mengulurkan tangannya. Dengan satu dorongan ringan, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan isi ruangan di dalamnya.
Ruangan itu dipenuhi cahaya redup yang berpendar dari kristal hitam di langit-langitnya. Namun, yang paling menarik perhatian Jellal adalah dua sosok kecil yang terbaring di atas altar batu di tengah ruangan.
Nyx dan Noa.
Duo kembar Nephilim itu tampak seperti sedang tidur, dengan tubuh mungil mereka yang dikelilingi oleh lingkaran sihir bercahaya samar. Nyx, dengan rambut putih pendeknya, tampak tenang, sementara Noa, dengan rambut peraknya yang panjang, berbaring di sampingnya, bibirnya sedikit terbuka seakan ia hanya tertidur lelap.
Namun, Jellal tahu ini bukan sekadar tidur biasa.
Ia berjalan mendekat, mengamati pola sihir yang mengikat mereka. Matanya menyipit saat samar-samar mengenali susunan rune yang terukir di altar.
Sihir pelestarian?
Jellal menyentuh salah satu rune itu, merasakan sedikit aliran energi yang masih tersisa.
"Ini... semacam perlindungan?" gumamnya pelan.
Selvhia menunduk, mencoba memahami situasi. "Mungkin setelah kita tersegel, ada seseorang yang berhasil mengamankan mereka di dalam perlindungan ini. Tapi siapa?"
Jellal tidak menjawab. Ia menatap lebih lama ke arah Nyx dan Noa. Tidak ada tanda-tanda mereka mengalami luka atau kehilangan energi. Jika benar ini sihir pelestarian, maka itu berarti mereka tetap 'hidup', tetapi dalam keadaan tidak aktif selama ini.
Jellal mengangkat tangannya, mengalirkan energi Araksha di telapak tangannya, lalu menyentuh lingkaran sihir itu.
BRRRZZTTT!
Seketika, lingkaran sihir itu bereaksi. Cahaya ungu berkilat, lalu retakan mulai muncul di permukaannya sebelum akhirnya pecah berkeping-keping.
Dan dalam sekejap—
Nyx membuka matanya.
Mata emasnya bersinar dalam kegelapan, dan tubuh kecilnya berkedut saat napas pertamanya setelah sekian lama memenuhi paru-parunya.
Di sisi lain, Noa juga terbangun. Matanya yang merah terang berkilau, dan ia langsung mengangkat tubuhnya dengan gerakan ringan seperti boneka yang baru dihidupkan.
Hening.
Lalu—
"Jellal...?" suara Noa terdengar lebih lembut dari bisikan angin, tetapi di ruangan sunyi ini, itu terdengar begitu jelas.
Jellal menatapnya, lalu menatap Nyx yang juga tengah menatapnya dalam diam.
Selama beberapa detik, mereka hanya saling menatap, sampai akhirnya Noa melompat dari altar dan langsung menerjang Jellal.
"Jeeellal!!"
Jellal tidak bergerak saat gadis kecil itu menabraknya, melingkarkan tangan mungilnya di pinggangnya dengan erat, wajahnya tenggelam dalam jubah hitamnya.
Nyx, meski lebih tenang, turun dari altar dengan langkah ringan, kemudian berlutut di hadapan Jellal.
"Kami... kembali," katanya dengan suara yang sedikit serak, tetapi penuh penghormatan.
Jellal meletakkan tangannya di kepala Noa, mengacak rambut peraknya yang lembut.
"Kalian tidak pernah pergi," jawabnya dengan nada tenang.
Noa tertawa kecil, masih menempel di tubuhnya, sementara Nyx hanya menundukkan kepalanya lebih dalam, matanya berkilat penuh loyalitas.
Di belakang mereka, Selvhia tetap diam, tetapi tatapannya memancarkan rasa puas. Kembalinya Nyx dan Noa berarti mereka semakin lengkap.
Saat Jellal masih dikelilingi oleh bawahannya yang telah kembali, keheningan tiba-tiba terpecah oleh bisikan halus yang menggema langsung ke dalam pikirannya.
"Yang Mulia."
Suara itu lembut, hampir menggoda.
Jellal menutup matanya sejenak, merasakan energi sihir yang mengalir melalui komunikasi jarak jauh ini. Selene.
"Eira melaporkan sesuatu yang menarik. Sekelompok makhluk menjijikkan terlihat di perbatasan wilayah kita."
Jellal membuka matanya, ekspresinya tetap tenang. Makhluk menjijikkan. Tidak sulit menebak siapa yang dimaksud Selene.
"Manusia?" tanyanya tanpa emosi.
Selene terkekeh kecil, seolah geli dengan pertanyaan itu.
"Tentu saja, Yang Mulia. Sepertinya, mereka berkeliaran tanpa tahu tempat mereka berada. Eira sudah mengamati mereka sejak beberapa saat lalu."
Jellal tidak segera merespons. Di sisinya, Selvhia yang juga mendengar komunikasi ini tetap berdiri tegak, menunggu keputusan tuannya.
"Ingin aku mengurus mereka?" lanjut Selene, suaranya terdengar manis namun kejam. "Eira bisa menyelesaikan mereka dalam sekejap. Aku ragu mereka bahkan bisa menyadari keberadaannya sebelum mereka terbakar dalam Cahaya Korupsi."
Jellal menutup matanya sebentar. Memang akan lebih mudah membiarkan Eira melenyapkan mereka. Malaikat jatuh itu memiliki kemampuan untuk membakar jiwa musuh hanya dengan cahaya yang ia keluarkan dan bagi manusia biasa, itu adalah kematian yang bahkan tidak bisa mereka pahami.
Namun, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya.
Manusia? Di sini? Bukankah Selvhia sudah menerawang tempat ini dan sekitarnya?
Kerajaan Kegelapan telah tersegel selama berabad-abad, dan wilayah di sekitar istana ini seharusnya telah lama ditinggalkan. Mengapa ada manusia yang berkeliaran di hutan yang seharusnya menjadi tempat tidur kematian?
"Jangan lakukan apa pun."
Sejenak, Selene terdiam, lalu mendesah dramatis.
"Tsk. Benarkah? Tapi mereka begitu mengganggu. Aku hampir bisa mencium aroma darah mereka dari sini..."
"Aku akan turun tangan sendiri."
Jawaban itu membuat Selene terdiam. Beberapa detik kemudian, suara tawa pelan terdengar.
"Hoh~ Sepertinya sesuatu telah menarik perhatianmu, Yang Mulia. Baiklah, aku akan memberitahu Eira untuk tetap mengawasi mereka. Tapi hati-hati, Yang Mulia... manusia itu menjijikkan. Aku khawatir tangan sucimu akan ternoda jika menyentuh mereka."
Sambungan sihir pun terputus, meninggalkan Jellal dalam keheningan.
Selvhia menoleh sedikit ke arahnya. "Anda akan pergi sendiri, Yang Mulia?"
Jellal menoleh ke arah maid dhampir itu. "Tidak. Kau ikut denganku."
Mata merah Selvhia berkilat tipis sebelum ia menundukkan kepalanya. "Dengan senang hati, Yang Mulia."
Tanpa membuang waktu, mereka berdua segera bergerak. Di Tengah Hutan, Jellal dan Selvhia berdiri di atas salah satu cabang pohon raksasa, tersembunyi dalam bayangan lebat.
Di bawah mereka, di sebuah tanah lapang yang dipenuhi sisa-sisa reruntuhan, sekumpulan manusia tengah beristirahat.
Jumlah mereka sekitar dua lusin, sebagian besar mengenakan armor kulit dan besi ringan ala para petualang.
Mereka mendirikan kemah seadanya di antara pepohonan, sementara beberapa dari mereka terlihat mengobati luka, membersihkan senjata, atau sekadar berbincang dengan wajah waspada.
Jellal mengamati mereka dalam diam.
Dari cara mereka bergerak, jelas mereka baru saja menghadapi pertempuran. Beberapa dari mereka memiliki luka yang belum sepenuhnya sembuh, sementara ekspresi mereka menunjukkan ketegangan yang belum surut.
"Apa yang kau pikirkan, Yang Mulia?" bisik Selvhia, yang berdiri di sebelahnya dengan tenang.
Jellal tidak langsung menjawab.
Manusia di bawah itu bukan pasukan biasa. Mereka bukan tentara kerajaan, juga bukan orang-orang tak berdaya.
Petualang.
Orang-orang yang hidup di luar sistem kerajaan, berkeliaran di dunia untuk berburu, bertarung, dan mencari keuntungan.
Dan yang lebih menarik, mereka memilih untuk datang ke tempat ini.
Jellal menyipitkan matanya.
Apakah mereka hanya tersesat? Atau mereka tahu sesuatu yang tidak seharusnya mereka ketahui?
Di antara kerumunan, seorang pria yang terlihat lebih tua, mungkin pemimpin mereka, berdiri di tengah lingkaran dan berbicara dengan suara rendah.
Jellal memperkuat pendengarannya dengan sihirnya, menangkap percakapan mereka dengan jelas.
"...Jadi kau yakin ini tempatnya?" suara pria itu berat dan serak, seolah ia telah mengalami banyak pertempuran.
"Ya," jawab seseorang yang lebih muda, suaranya terdengar sedikit ragu. "Menurut catatan kuno, reruntuhan di sekitar sini dulunya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Mungkin... kastil iblis yang disebut dalam legenda."
"Sial..." pria tua itu menghela napas panjang. "Kalau memang benar, kita tidak boleh terlalu lama di sini. Gereja Cahaya sudah memperingatkan kita untuk tidak terlalu jauh ke dalam hutan ini."
Gereja Cahaya.
Mata Jellal berkilat saat mendengar kata itu.
Jadi mereka datang ke sini atas perintah Gereja Cahaya?
Jika begitu, ini lebih dari sekadar kebetulan.
Tanpa sadar, senyum tipis terukir di bibir Jellal.
Menarik.
Sangat menarik.
Di sebelahnya, Selvhia melihat ekspresi tuannya dan tahu bahwa sesuatu telah menarik perhatian Jellal. Dhampir itu tidak bertanya, hanya menunggu perintah.
Jellal mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar Selvhia tetap diam.
Untuk sekarang, mereka akan mengamati lebih lama.
Namun, satu hal sudah pasti.
Malam ini, manusia-manusia itu tidak akan meninggalkan hutan ini dengan mudah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!