"Kok lama banget, ya!. Mana sendiri di tempat sepi gini, huhuhu. Sepi banget, gak ada manusia ya?" keluh Runi yang sedari tadi bergantian menatap sekitar dan jam yang melingkar di tangannya.
Tiga puluh menit sudah ia menunggu di teras sebuah gubuk bekas warung, setelah menelfon pak Kades untuk mengabari bahwa ia sudah sampai. Tepat setelah panggilan itu berakhir, ponselnyapun mati. Sialnya, power bank yang biasa ia bawa kemana - mana itu tertinggal di rumah.
"Mama, Papa, Abang...." rengeknya lagi saat melihat suasana sekitar yang semakin gelap.
Tak banyak kendaraan melintas, adapun hanya bis besar juga truk yang melintas selama ia menunggu. Terbesit rasa sesal, kenapa ia memilih untuk pergi pengabdian di salah satu desa terpencil.
Namun, tekadnya kembali bulat saat ia teringat kala sang papa memaksanya menikah dengan pria yang bahkan belum pernah ia lihat batang hidungya.
"Perjodohan macam apa yang ketemunya di pelaminan? Ta'aruf saja boleh kok melihat calonnya dulu." gerutu Runi ketika teringat perdebatannya dengan sang papa.
Suara mobil yang mendekat, membuat Runi mengalihkan perhatian dari kerudung yang sedang ia benahi karena berantakan terkena angin yang cukup kencang.
seorang pria tinggi tegap dengan dada bidang turun bersama seorang wanita. Si wanita tampak tergopoh - gopoh menghampiri Runi.
"Ya Allah, Bu dokter, ternyata nunggu di sini. Kami cari kemana - mana, hape bu dokter juga gak bisa di hubungin." ujar si wanita.
"Maaf ya, bu, pak. Saya gak tau, sama travelnya di turunkan di sini saat saya bilang mau ke desa Banyu Alas." jawab Runi.
"Aduh, saya jangan di panggil bu, dong. Saya lebih muda dari bu dokter loh. Gak apa bu dokter, ini jalur belakang desa. Harusnya bukan di sini, di bagian utara sana, di dekat alun - alun kecamatan yang lebih ramai. Tega sekali supirnya nurunin perempuan di sini! Harusnya dia tau kalau di sini sepi, kalau ada apa - apa gimana coba!" kesal si wanita pada supir travel.
"Bu dokter gak apa - apa? Kenalkan nama saya Ica, saya yang akan membantu bu dokter selama pengabdian. Kalau itu Mas Abi, dia Sekdes, anaknya pak Kades. Mas Abi itu sepupu saya." jelas wanita yang bernama Ica itu.
"Saya gak apa - apa. Nama saya Arunika, biasa di panggil Runi. Kalau gitu jangan panggil saya bu dokter ya, panggil kakak atau mbak atau teteh." ujar Runi dengan ramah.
"Siap dokter Runi. Lebih enak manggil dokter Runi aja deh." jawab Ica cengengesan.
"Aduh, kamu ini ca." Runi geleng - geleng.
"Ngobrolnya di lanjut di mobil saja. Sudah mau surup." ujar Abi dengan suara baritonnya.
Tanpa ba bi bu, ia mengambil alih koper besar Arunika yang memang berat itu.
"Eeeh pak, berat loh itu." ujar Runi yang cukup terkejut dengan Abi yang seolah enteng mengangkat kopernya.
"Biarin aja dok, aman. Biasa manggul beras puluhan kilo kok, Mas Abi!" kata Ica dengan santainya. Mereka akhirnya segera masuk ke dalam mobil dan kembali ke desa.
"Dokter duduk di depan saja dengan Mas Abi." titah Ica yang membuka pintu bagian ke dua.
"Saya duduk di belakang saja, ca." tolak Runi yang merasa sungkan.
"Duduk depan saja, kamu belum terbiasa dengan jalan yang akan kita lewati, bisa - bisa kamu mual." titah Abi yang sudah duduk di balik kemudi.
"Iya dok, bener kata Mas Abi." Ica menegaskan.
Akhirnya Runi pun menurut, ia segera mengambil tempat duduk di sebelah pria tampan yang sepertinya cukup pendiam itu. Namun, ada hal lain yang membuatnya lebih penasaran lagi, yaitu seberapa sulit medan yang akan mereka lalui kali ini.
Abi mengendarai mobil toyota hilux double cabin miliknya dengan kecepatan sedang. Tentu saja ia sudah lihai melewati medan ekstrim menuju desanya melalui jalan belakang.
Memang terhitung jaraknya lebih dekat untuk sampai ke desa Banyu Alas, namun medan curam beralaskan tanah dan bebatuan cukup membuat sport jantung orang yang baru pertama melintasinya.
Begitupun dengan Arunika yang sedari tadi tak henti berkomat kamit mengucapkan istighfar. Benar saja, perutnya pun terasa di aduk - aduk saat melewati jalanan itu.
"Maaf pak, memangnya akses jalan menuju desa, semuanya jalanan seperti ini?" tanya Runi.
"Hanya jalan belakang ini saja yang sangat parah. Kami sedang mengajukan bantuan untuk perbaikan, mudah - mudahan akan segera di tindak lanjuti." jawab Abi.
"Iya dok, kalau lewat depan, jalannya lebih halus kok walaupun lebih jauh untuk masuk ke desa." timpal Ica yang nampak biasa saja.
"Dokter kenapa? Mual?" tanya Ica kemudian.
"gak apa, masih bisa di tahan." jawab Runi sekenanya.
"Maaf kalau kurang nyaman. Sebentar lagi kita akan sampai. Saya gak bisa lebih cepat karena hujan, takut tergelincir." ujar Abi tanpa menoleh, ia masih serius mengemudikan mobilnya.
Hujan yang tiba - tiba turun lumayan lebat, membuatnya tak bisa mengemudikan mobil lebih cepat. Selain karena jalanan licin, jarak pandang yang terbatas pun sangat mempengaruhi.
Ccckiiiitttt......
Abi tiba - tiba mengerem mobilnya. Membuat mereka bertiga terhuyung ke depan.
"Astaghfirullah...." lirih ketiganya hampir bersamaan.
Runi memperhatikan tangan kiri Abi yang tadi refleks bersiaga di dekat dahinya saat pria itu mengerem mendadak. Abi kemudian menyingkirkan tangannya setelah memastikan gadis di sampingnya tak terpental. Untung saja Runi terbiasa menggunakan seatbelt tanpa perlu diingatkan.
"Duh Gusti, Mas Abi! Ono opo to sakjane? Tiwas njelungup, aku! (ya tuhan, Mas Abi! Ada apa sih sebenarnya? Hampir saja jatuh, aku!)" omel Ica.
"Ya Allah, pak! Itu ular besar banget? Anakonda?" Ujar Runi yang bergidik ngeri melihat ular besar yang melintas di depan mobil mereka.
"Bukan, itu cuma Sanca Kembang." jawab Abi yang nampak santai menyandarkan tubuhnya, menunggu ular besar itu selesai melintas.
"Serius, pak? Saya kira itu Anakonda. Besar banget badannya, kaya batang kelapa itu loh!" Heran Runi sembari menunjuk batang pohon kelapa di sebelahnya.
"Wajar dok, di sini banyak ular besar kayak gitu. Desa kita kan di kelilingi hutan dan salah satunya adalah kawasan hutan yang di lindungi karena banyak tumbuhan dan hewan langka di dalamnya." jelas Ica.
"Ada binatang buas juga?" Tanya Runi sembari membelalakkan mata.
"Banyak! Harimau dan Macan juga banyak berkeliaran." jawab Abi yang membuat wajah Runi memucat.
Runi tak membayangkan jika tiba - tiba ia di datangi Harimau buas saat sedang berjalan di desa.
"Hish! Mas Abi! Ojo meden - medeni ngono kuwi to! (jangan menakut - nakuti seperti itu to!)" omel Ica sembari memukul bahu sepupunya.
"Tenan to yo, gak meden - medeni. Akeh do kliaran ning njero alas kono. (Benar kok ya, gak nakut - nakutin. Banyak pada berkeliaran di dalam hutan sana.)" jawab Abi tanpa dosa.
"Gak berkeliaran sampe segitunya kok, dok. Mas Abi saja berlebihan. Binatang buas itu ada tapi jauh di dalam hutan sana. Bahkan belum tentu setahun sekali ada warga yang melihat keberadaan mereka." Ica menenangkan.
Sementara itu Runi melirik kesal kearah Abi yang tampak tersenyum sekilas saat melihat ia ketakutan tadi.
Sumpah! Jahil banget orang satu ini. Jangan sampe sering ketemu deh, bisa bikin naik darah!." gerutu Runi dalam hatinya.
"Ca, ini masih jauh?" tanya Runi.
"Enggak kok, dok. Tuh gapura desa sudah kelihatan." Ica menunjuk gapura yang ia maksud.
Arunika bernafas lega kala melihat gapura yang di maksud Ica sudah terlihat. Perjalanan masuk ke desa yang tanpa penerangan, di tambah hujan juga medan ekstrem membuat Runi benar cukup ketar - ketir.
"Kita ke rumah pak Kades." ujar Abi yang memang sedari tadi tak banyak bicara.
"Maaf, apa masih jauh?" tanya Runi lagi.
"Enggak, dok. Kenapa? Dokter mual banget?" tanya Ica khawatir dan Runi pun mengangguk karena ia merasa ingin mengeluarkan isi perut yang sedari tadi teraduk - aduk.
"Mas Abi, cepat sedikit!" Ica menepuk - nepuk bahu Abi.
"Sendiko dawuh, kanjeng. (Siap laksanakan, tuan.)" jawab Abi yang kini melajukan mobilnya lebih cepat karena jalanan yang sudah halus dan hujan yang mulai reda.
Tak sampai lima menit, ketiganya memasuki sebuah halaman besar tanpa tembok pagar. Tradisi di desa itu memang tak di perbolehkan membuat pagar dari bata, bambu atau batang pohon. Pagar yang di perbolehkan hanyalah pagar tanaman hidup.
Arunika di buat takjub dengan keasrian rumah Kepala Desa. Terdapat dua rumah besar khas jawa kuno (joglo) yang berjejer dan sebuah rumah kecil yang berada di sebelah kanan.
Rumah besar itu di pagari dengan tumbuhan teh - tehan yang terpangkas rapi. Di sekeliling teras tampak tersusun bunga - bunga dengan pot tanah liat yang nampak aestetik.
"Ayo masuk, dok. Gerimis nih." Ica mengagetkan Runi yang masih terpaku.
Gadis manis itu menarik lengan Runi agar segera mengikutinya menuju ke dalam rumah. Sementara itu, Abi sudah lebih dulu berjalan masuk dengan menarik koper milik Runi.
"ini rumah pak Kades?" tanya Runi yang berjalan bersama Ica.
"iya, dok. Ini rumah paling mewah yang ada di desa." jawab Ica.
"Gayanya klasik sekali, ya? Berasa lagi di keraton." Puji Runi yang masih terkagum - kagum dengan rumah milik Kepala Desa itu.
Ukiran - ukiran di pintu, jendela dan juga di beberapa tiang, membuat kesan klasik khas jawa kian kental di rumah itu.
"Disini memang tidak ada rumah yang modern seperti di kota, dok." jawab Ica.
"Ayo masuk, dok. Itu pakde dan bude, eh Pak Kades dan Bu Kades maksudnya." imbuh Ica yang di jawab anggukan oleh Runi.
"Assalamualaikum...." Ucap Runi dan Ica hampir berbarengan.
"Waalaikumsalam." Jawab Pak Kades dan bu Kades.
"Sugeng rawuh, nduk ayu. (Selamat datang, anak cantik.)" Sambut Pak kades Ramah.
"Selamat datang di kediaman kami. Bagaimana perjalanannya?" imbuh Pak Kades kemudian.
"Terima kasih, Pak, Bu. Alhamdulillah perjalanan lancar." jawab Runi.
"Mari sini, duduk." ajak Bu Kades yang nampak masih segar walaupun guratan usia tak bisa di tutupi dari wajah ayunya.
"Baik bu." jawab Runi yang kemudian duduk di kursi.
"Pasti lelah sekali. Mereka berdua sempat panik karena mencari genduk di depan ndak ketemu, taunya lewat belakang." ujar Bu Kades.
"Iya, bu, pak, maaf merepotkan. Saya juga tidak tau kalau ada dua jalur masuk menuju desa ini." jawab Runi sungkan.
"Ndak apa, yang penting genduknya selamat sampai di sini." ujar Pak Kades.
"Pak, bu, maaf, boleh saya permisi ke kamar mandi sekalian menumpang sholat." tanya Runi.
"Oh! Njih, nduk. Biar di antarkan Ica, njih." ujar bu Kades.
Ica yang sudah terbiasa berada di rumah kakak dari bapaknya itu, mengantarkan Runi menuju ke kamar mandi. Setelah Runi berwudhu, Ica mengantarkannya menuju ke mushola yang berada tak jauh dari ruang keluarga.
"Arep ngopo, Ca? (Mau ngapa, Ca?)." tanya seorang pria yang hendak keluar dari mushola.
"Hih! Mas Agil ki ngageti wae! arep ngeterke bu dokter iki sholat to. (Hih! Mas Agil ini mengagetkan saja! Mau mengantarkan bu dokter ini sholat to.)" jawab Ica yang tadi sempat terjingkat.
"Owalah, mbak dokter yang baru dateng to? Kenalin nama saya Agil, anak bungsu pakdenya Ica." goda Agil.
"Saya Arunika." jawab Runi singkat.
"Lah gimana sih, Mas! Tinggal bilang anak bungsu pak Kades gitu!" gerutu Ica.
"Ndremimil wae!. Ora sholat kowe? Tak andakne pakdemu mengko! (Mengomel saja!. Gak sholat kamu? Aku bilangin pakdemu nanti!." Ujar Agil.
"Bapakmu to, Mas!. Kalau aku sholat, Mas Agil mau nanggung dosanya?" Tanya Ica.
"Ora sudi! Dusoku wae sak mboh - mboh!. (Gak sudi! Dosaku saja banyak banget.)" Tolak Agil.
"Gek ngopo to, sakjane? Enek wong sholat kok do padu wae? Kene tak adu pisan ning latar! (Ada apa sih, sebenarnya? Ada orang sholat kok pada ribut saja? Sini, tak adu sekalian di halaman!)." Suara bariton seorang pria yang belum lama Runi kenal menegur dua orang yang sedang adu mulut di depan pintu mushola.
Sementara itu, Runi hanya tersenyum melihat Ica dan pria bernama Agil itu beradu mulut di depan pintu mushola, walaupun Sholatnya jadi tertunda lagi.
Ia sungkan jika harus menegur si anak pemilik rumah karena menghalangi jalan menuju ke dalam mushola. Untung saja ada Abi yang menegur mereka.
"Iya, iya, Mas! Silahkan masuk, Mbak dokter. hati - hati di dalam ada bujang lapuk jomblo." ujar Agil sembari keluar dari pintu.
"Giiilll!!!!...." kembali suara Abi menegurnya.
"Iyaa, ampun sayang! Bercanda." jawab Agil yang langsung ngibrit meninggalkan Mushola sambil tertawa. Sementara itu Runi dan Ica hanya bisa ikut tertawa di buatnya.
"Huu!! Takutnya cuma sama Mas Abi saja!" ledek Ica di sela tawanya.
Setelah menunaikan kewajibannya, pak Kades meminta mereka makan malam bersama sebelum kembali melanjutkan obrolan di ruang tamu.
"Jadi gini, nduk. Di sini masih sangat minim untuk fasilitas kesehatan. Tenaga medis pun baru ada bu bidan Ica ini. Nanti, njenengan dan Ica akan bekerja di balai kesehatan, letaknya di samping kantor desa. Puskesmas terdekat harus di tempuh dengan dua puluh menit perjalanan. Njenengan benar siap bertugas di desa ini?" Tanya pak Kades.
"In syaa Allah saya siap, pak." jawab Runi mantap.
"Di desa ini, masih kurang percaya dengan tenaga medis, nduk. Mereka selalu berobat alternatif ke seorang sesepuh di desa ini. Anggap saja beliau ini adalah tabib dan dukun beranak di sini. Sayangnya mbah Siti ini sudah renta. Maka dari itu, kami ingin mendatangkan tenaga kesehatan agar warga desa bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik lagi." terang pak Kades.
"Kira - kira, peralatan apa saja yang sudah ada di balai kesehatan, pak?" tanya Runi.
"Biar Ica yang menjelaskan, Ica lebih paham karena sudah beberapa bulan bekerja di sana." jawab pak Kades dengan senyuman khas nya.
"Hanya ada alat medis standar seperti stetoskop, sphygmomanometer, easy touch GCU meter, perlengkapan infus, perlengkapan bersalin, beberapa obat - obatan dan peralatan darurat." jelas Ica.
"Kami baru mendapat bantuan sarana kesehatan, kabarnya bisa di ambil lusa di kantor dinas kesehatan. Dokter bisa lihat dulu apa yang ada di balai kesehatan. Jika ada obat - obatan atau perlengkapan darurat medis yang di perlukan, kami bisa membelikan dengan dana desa." imbuh Abi yang juga berada di ruang tamu itu.
"Baiklah, besok saya akan melihat alat apa saja yang tersedia dan apakah saya perlu tambahan alat dan obat - obatan lain. Kebetulan saya juga membawa alat medis dan beberapa obat - obatan dari rumah sakit." jawab Runi.
"Selama di sini, genduk tinggal di rumah bapak dan ibu. Di sebelah sana ada rumah yang bisa genduk tempati, sudah di beresi mbok Nah." ujar bu Kades sembari menunjuk ke arah rumah kecil yang tadi sempat Runi lihat.
"Iya, terima kasih, pak, bu." ujar Runi.
Arunika baru saja selesai memindahkan pakaiannya ke dalam lemari yang di sediakan di sana.
Rumah yang ia tempati ini memang tak besar, namun lebih dari cukup jika hanya untuk dia sendiri.
Rumah yang furniturenya terbuat dari kayu jati dengan ukiran - ukiran yang cantik, membuat kesan sederhana namun elegan. Terdapat satu kamar, satu ruang tamu dan ruang keluarga yang menyatu dengan dapur juga meja makan. Di bagian belakang ada sebuah kamar mandi, tempat cuci piring juga ruang untuk mencuci.
Ya, kecil namun fasilitasnya sangatlah lengkap, bahkan di kamarnya sudah ada ac dan televisi. Tak hanya itu, kulkas, mesin cuci, magicom, blender, oven, bahkan peralatan dapurnya pun lengkap tersedia.
"Aaahhh, hitung - hitung kerja sambil liburan. Semua di sediakan lengkap dan geratis." ujar Runi yang baru merebahkan tubuhnya di kasur empuk.
Karena perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, total hampir lima jam ia menempuh perjalanan dari kota. Tanpa butuh waktu lama, Runi mulai terlelap dengan nyenyaknya.
***
Arunika mengerjapkan mata ketika mendengar suara adzan berkumandang. Mungkin jarak Masjid tak begitu jauh dari kediaman pak Kades hingga suara adzan itu terdengar begitu jelas.
"Duh, siapa ya yang adzan ini? Sopan banget suaranya masuk telinga." ujar Runi yang tersenyum mendengar merdunya suara adzan.
Gadis cantik itu segera menuju ke kamar mandi, ia terbiasa mandi sebelum melaksanakan sholat subuh. Setelah menunaikan kewajibannya, ia memulai kegiatan paginya dengan menyapu rumah yang sebenarnya tidak kotor.
Selesai menyapu rumahnya, ia membuka pintu depan dan duduk - duduk di teras yang terdapat kursi kayu.
"Segar sekali udaranya." Runi menghirup udara desa itu dalam - dalam. Hawa dingin masih terasa menusuk kulit, hal yang wajar karena desa ini terletak di pegunungan.
"Nduk Runi......" suara bu Kades memanggilnya. wanita paruh baya itu melambaikan tangan ke arah Runi.
"Iya, bu." jawab Runi dengan senyuman. Gadis cantik itu menghampiri bu Kades yang sedang menyiram tanamannya.
"Nanti sarapan di sini saja, ya. Ibu masak sarapan banyak." ujar bu Kades.
"iya bu, terima kasih banyak. Waah jadi enak saya, hehehe." ujar Runi.
"Bu, di sini ada toko atau mini market? Runi mau beli beberapa peralatan." tanya Runi.
"Kalau yang lengkap, jauh nduk. Minta antar Mas Abi saja, nanti ibu bilang ke Masnya." kata bu Kades.
"Eeh gak usah, bu. Ngerepotin pak Abi." Runi merasa sungkan.
"Atau mau di antar Agil?" tanya bu Kades.
"Gak usah, bu. Nanti mungkin sama Ica saja." putus Runi akhirnya.
"Kapan sampainya kalau mau sama Ica? Ica gak bisa ngendarai motor atau mobil. Bisanya naik sepeda." kekeh bu Kades.
"Iya, bu? Serius?" tanya Runi tak percaya. Zaman sekarang rasanya anak sekolah dasar saja sudah bisa naik motor.
"Iya, yang ada kalian sampai ke puskesmas. Tapi kalau nduk Runi mau bawa motor, itu bawa motor yang ada di rumah." tawar bu Kades.
"Iya, bu. Nanti Runi bilang sama ibu kalau mau pakai motornya." kata Runi.
"Jangan sungkan ya, nduk. Anggap saja bapak dan ibu ini orang tuamu. Bilang sama bapak atau ibu kalau perlu sesuatu." kata bu Kades sembari mengusap lembut bahu Runi.
Kedua wanita berbeda generasi itu tampak akrab mengobrol, sesekali keduanya tertawa bersama. Sebelum ikut sarapan bersama, Runi kembali ke rumahnya terlebih dahulu untuk berganti pakaian, karena dia akan mulai bekerja hari ini.
***
"Ca, sudah di catat semua stok obatnya kan?" tanya Runi yang masih tampak sibuk mencatat keperluan medis sesuai permintaan pak Sekdes.
"Sudah, dok. Oh iya, pukul sepuluh nanti, dokter di minta ke balai desa, kan? Katanya, dokter akan dikenalkan pada warga desa." Ica mengingatkan.
"Iya, Ca. Kita bereskan ini, lalu kita berangkat ke balai desa." Jawab Runi yang segera membenahi meja kerjanya.
"Nanti ini tolong berikan pada pak Sekdes ya." pinta Runi sembari memberikan beberapa lembar kertas berisi catatan.
"Siap, dok!" jawab Ica.
Kedua gadis itu berjalan bersama menuju balai desa setelah memastikan balai kesehatan tertutup dan terkunci dengan baik. Untung saja letak balai desa dan balai kesehatan tak terlalu jauh, hanya terhalang dengan sebuah bangunan besar yang biasa di gunakan menjadi pusat berkumpul atau biasa di sebut dengan balai pertemuan.
"Ca, ini tempat apa? Kok ramai?" tanya Runi saat melewati balai pertemuan.
"Ini balai pertemuan, dok. Mungkin dokter akan di kenalkan pada warga di sini." jawab Ica.
"Lalu, kenapa kita ke balai desa?" Tanya Runi bingung.
"Ya dokter harus berkenalan dengan perangkat desa dulu, sebelum bertemu warga." jelas Ica yang mendapat anggukan mengerti dari Runi.
Kedatangan Runi dan Ica di sambut hangat oleh perangkat desa yang berada di balai desa. Pak Kades dengan senang memperkenalkan wanita cantik yang akan bertugas sebagai dokter di desa mereka beberapa waktu kedepan.
Setelah selesai beramah tamah di balai desa, Runi di temani Ica, pak Kades dan beberapa perangkat desa lain, berjalan menuju balai pertemuan yang sudah ramai dengan warga desa.
Mereka semua tampak penasaran dengan sosok dokter yang akan mengabdi di desa mereka.
"Pak, kalau semisalnya ada warga desa yang memerlukan pertolongan di malam hari, apakah saya boleh keluar rumah untuk menolong?" tanya Runi pada pak Kades.
Bagaimanapun ia harus izin terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan. Apa lagi ia tinggal di rumah pak Kades.
"Boleh, nduk. Tetapi, jika pasiennya tidak di bawa ke rumah, harus minta temani orang rumah, ya. Bisa bapak, Mas Abi, atau Agil." jawab pak Kades.
"Baik, pak." jawab Runi mengerti.
Sejujurnya ia merasa sungkan jika harus merepotkan pak Kades dan keluarganya. Namun, ia tak bisa membantah apa yang di katakan pak Kades, terlebih lagi pria paruh baya beserta keluarganya itu bersikap sangat baik padanya.
Pak Kades mulai memperkenalkan Runi pada warganya. Semua tampak antusias bahkan sampai Runi menyelesaikan penyuluhan kesehatannya. Dokter cantik itu sangat pandai membawa diri dan menarik perhatian warga yang awalnya nampak ogah - ogahan datang.
Setelah acara selesai, Runi kemudian menemui Ica yang sedang mengobrol dengan Abi di halaman balai desa. Sepertinya Ica baru memberikan kertas yang tadi ia titipkan karena sedari tadi, Abi memang tak terlihat berada di kantor balai desa.
"Ca, ayo kita kembali ke balai kesehatan." Ajak Runi.
"Eh bu dokter, mau di ajak pergi dengan pak Sekdes, tuh." jawab Ica sembari melirik ke arah Abi.
"Iya, kita harus ke dinas kesehatan untuk mengambil alat medis yang kemarin saya ceritakan. Harusnya besok, tetapi tadi pihak dinas menelfon saya untuk mengambilnya hari ini." Jelas Abi.
"O, gitu. Ayo ikut, Ca." ajak Runi.
"Loh, ya bu dokter sama pak Sekdes saja. Balai kesehatan gimana kalau kita pergi semua? Gak ada yang jaga dong?" jawab Ica.
"Iya, ya. Yasudah kalau gitu. Saya titip balai kesehatan, ya. Kalau ada yang darurat, tolong cepat telfon saya." pinta Runi.
"Siap bu dokter! Tenang saja ada Ica di sini." jawab Ica tanpa ragu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!