NovelToon NovelToon

Cinta Suami Amnesia

Awal Mula

“Lihatlah, bukankah semua perempuan itu sama saja”, ucap seorang pria yang bernama Alvian, pria itu berucap dengan ekspresi yang begitu dingin. Pagi ini, ia duduk sendiri di sebuah Café yang seharusnya ia gunakan untuk menikmati secangkir kopi dengan santai di sela jadwal pekerjaannya yang begitu padat, namun harus terganggu dengan pertengkaran kedua pasangan yang tengah meributkan sesuatu. Dari sudut pandang yang Vian lihat, si pria tengah memarahi pasangannya karena menipunya, menudingnya dengan memanfaatkannya dengan meminta barang-barang mahal dan juga transferan uang.

“Menyebalkan”. Merasa tak nyaman, Vian pergi dengan meninggalkan selembar uang berwarna merah di atas meja, dengan pandangan yang tak suka, ia melirik kearah gadis yang kini masih bertengkar tanpa berusaha membela diri.

Vian yang kini duduk di meja kerjanya dengan angkuh menatap sengit kepada seorang pria yang saat ini menunduk ketakutan di hadapannya.

“Kau di pecat”, ucap pria lainnya yang berdiri di sebelah Vian, dia adalah Bara, asisten kepercayaannya.

“Pak saya mohon, tolong beri saya kesempatan, saya akan memperbaiki kesalahan saya”. Pria bernama Arya itu memohon sembari berlutut.

“Saya tidak pernah memberikan kesempatan kedua untuk seorang pegkhianat, pergilah!”, sela Vian yang merasa muak dengan Arya, seorang pengkhianat yang mengkhianati tempatnya bekerja dengan membocorkan rancangan desain baru dari Perusahaannya kepada pihak lawan.

Sudah di pastikan jika seseorang keluar dari Perusahaan tersebut apalagi dengan sebuah kesalahan, maka ia akan sangat susah untuk mencari pekerjaan lain karena pastinya namanya akan langsung masuk ke dalam daftar hitam dan semua Perusahaan akan menolaknya. Arya pun tau hal itu namun ia melakukan kesalahan itu karena terdesak. Ia terus memohon akan memperbaiki kesalahannya.

“Pak, Pak, saya mohon”. Pria itu terus memohon, bahkan ia meraih tangan Vian dan bersimpuh di bawah kakinya.

“Enyahlah”. Suara Vian menggelegar di seluruh ruangan, ia menghempaskan tangan Arya hingga membuat pria itu terjengkang.

Tak ingin melihatnya di ruangannya lagi, Vian lantas meminta security untuk membawanya keluar. Pria itu juga meminta asistennya untuk meninggalkannya sendiri.

Vian memang sangat membenci pengkhianatan, kesendiriannya itu membuatnya kembali mengingat masa lalunya di mana ia di khiantai oleh kekasihnya, bahkan ia melihatnya dengan mata kepalannya sendiri, kekasihnya bercumbu, memadu kasih dengan pria lain tepat sehari sebelum hari pertuanngan mereka. Karena hal itu Vian memandang semua perempuan itu sama. Namun tidak dengan pandangannya terhadap Ibunya yang memiliki sifat penyayang. Dengan kejadian itu pula Ia mulai berpikir jika tidak ada perempuan baik seperti Ibunya lagi di dunia ini. Perlu di ketahui jika dulu Vian adalah seorang pria yang humble dan menyenangkan namun sifatnya itu berubah drastis setelah kejadian yang tak mengenakkan itu terjadi padanya. Kini ia lebih fokus dengan Perusahaan keluarganya dan mengesampingkan urusan prcintaan hingga membuat kedua orang tuanaya cukup khawatir. Dan dengan sikapnya yang dingin dan kejam itu pula banyak orang yang tak menyuakiannya.

Beberapa hari telah berlalu. Seorang gadis terlihat tengah mengeluarkan motornya dari tempat parkir di mana ia baru saja selesai bekerja. Gadis itu bernama Anara Bella umur 21 tahun, gadis mandiri dan baik hati. Gadis yang kini kita sapa Nara itu berasal dari sebuah Desa yang jauh dari tempatnya kini berada. Nara hanya mempunyai seorang Ibu karena Ayahnya sudah lama tiada . Sudah dua tahun ia merantau sendiri ke kota ini. Nara melamar di sebuah toko roti dan sekarang ia sudah bekerja menjadi pramuniaga bakery.

Nara mendongak menatap langit malam yang di tutupi oleh awan hitam membuat langit itu bersih tanpa satupun bintang yang terlihat, nampak bersiap menumpahkan air hujan.

Satu tetes air jatuh di pipi Nara, gerimis kecil mulai membasahi tanah ini. Nara yang tengah bersiap untuk pulang pun mengurungkan niatnya karena hujan yang awalnya hanya gerimis kecil kini mulai turun dengan deras. Ia memilih menunggu hujan reda di pos satpam bersama dengan seorang pria paruh baya yang memang sedang bekerja di jam malam.

Keduanya memang telah slaing mengenal, Nara yang di kenal baik di tempat kerjanya ini juga mendapat perlakuan baik oleh teman-temannya. Setelah cukup lama menunggu, hujan pun mereda, tak ingin pulang terlalu malam Nara memilih menerobosnya karena ia pikir bisa sampai pagi ia disini jika menunggu sampai hujan benar-benar berhenti.

Nara berhenti di lesehan pinggir jalan, memesan satu porsi sate ayam dan lontong. Nara mengeluarkan selembar uang berwarna biru dari dompet yang ia keluarkan dari dalam tas gendongnya, dan memberikannya kepada Abang penjual sate. Setelah menerima kembalian dan menenteng kantong kresek sate tadi, bergegas Nara berjalan menuju motor maticnya. Ia melihat jam yang melingkar ditangan kananya, ternyata sudah menunjukkan pukul dua belas malam, ia merogoh handphone disaku celana, memasang earphone ke telinga dan menyalakan musik untuk menemani perjalanan pulangnya.

Nara memilih jalan pintas untuk cepat sampai ke kontrakannya. Di perjalanan pulang, jalan yang ia lewati nampak sepi, tak ada lalu lalang kendaraan satu pun. Sebenarnya ada perasaan takut di hatinya, tapi perasaan takut itu Nara tepis dengan meyakinkan dirinya sendiri semua akan baik-baik saja. Sampai di pertigaan jalan, Nara mengambil arah kanan. Saat ia membelokkan motornya, ia melihat sebuah mobil di depannya. Ada perasaan tenang, ternyata masih ada kendaraan di jalan yang ia lewati.

"Ahh, akhirnya punya teman".

Nara mengernyit bingung melihat mobil di depannya yang bergerak tak sewajarnya, oleng ke kanan dan ke kiri.

"Itu mobil kenapa, mabuk kali ya yang nyetir?" Karena merasa takut Nara memilih berhenti, mengambil jarak lumayan jauh dari mobil di depannya. Terlihat mobil semakin tak terkendali.

"Eh,,astaga, nanti nabrak itu pasti".

Braakkk...

Baru saja Nara selesai bicara sendiri, mobil tersebut telah menabrak pembatas jalan, tabrakan cukup keras mengakibatkan bagian depan mobil ringsek, kap mobil depan terbuka dan mengeluarkan asap. Dengan modal nekat Nara melajukan motornya kembali dan berhenti di belakang mobil tadi. Baru saja mau turun dari motor gadis itu dikagetkan dengan pintu mobil bagian belakang yang terbuka.

"Astaga ya Tuhan," gumam gadis itu sambil memegang dadanya.

Keluarlah seorang lelaki yang masih mengenakan pakaian rumah sakit, dengan kepala di perban. Lelaki tersebut tampak sempoyongan sambil memegangi kepalanya, berjalan menghampiri Nara yang masih diam mematung di atas motornya.

"Tolong.... tolong saya..". Tanpa basa-basi lelaki itu langsung naik sendiri ke jok motor Nara. Karena masih merasa tak ada jawaban lelaki tersebut menepuk bahunya.

"Ayo..cepat nyalakan mesinya, bawa saya pergi dari sini."

"Ah..ya...lalu itu sopir kamu bagaimana?".

"Dia orang jahat, tolong cepat bawa saya pergi dari sini".

Tanpa banyak bicara lagi, Nara langsung melajukan motornya pergi dari situ. Tak lama setelah kepergian mereka, pintu mobil yang kecelakaan tadi terbuka, keluarlah seorang lelaki berbadan kekar dengan kepala bagian kening berdarah.

"Tuan Muda", gumamnya. Ia lalu merogoh ponselnya di saku celana dan langsung menghubungi seseorang. "Jemput aku di jalan xxx, cepat".

Diperjalanan tak ada satupun obrolan yang terucap, mereka saling diam, entah apa yang mereka pikirkan.

"Alamat rumah kamu dimana, biar saya antar ke sana?".

"Saya tidak ingat".

"Alamat rumah kamu sendiri masak gak ingat?".

"Jangankan alamat rumah, bahkan saya sendiri saja tidak tau siapa saya".

"Hah..?" mulut Nara membeo.

Karena terlalu pusing lelaki itu menyenderkan kepalanya di punggungnya. "Hei.. jangan tidur nanti jatuh".

"Tidak, Saya pinjam punggung mu sebentar, kepala saya pusing".

Nara pun membiarkannya. Ia bingung harus membawa orang ini kemana, karena rasa lelah dan kantuk melanda, tanpa pikir panjang ia membawanya ke kontrakannya.

Sampai di kontrakan, Nara membantu lelaki itu turun dari motor dan memapahnya masuk ke dalam rumah. Tanpa mereka sadari ada dua pasang mata yang melihatnya.

Di tempat berbeda, dua orang pria berdiri berhadapan di sebuah ruangan pribadi hanya ada sebuah meja sebagai penengah antara keduanya. Tampak buku-buku tersusun rapi di rak.

Braakkk...

Suara gebrakan meja menggema, terdengar cukup keras di ruangan itu. Seorang lelaki dihadapannya masih diam menundukkan wajahnya.

"Jelaskan", titah seorang pria yang nampak marah dengan orang yang ada di hadapannya, guratan kemarahan nampak jelas di wajah tegasnya. Pria itu adalah Agam, siapa orang yang tak mengenal nama itu, seorang pembisnis besar, yang merajai hampir seluruh bisnis property di Negaranya. Terkenal dingin dan tegas terhadap semua orang kecuali keluarganya dan tak mengenal ampun bagi orang yang telah mengkhianatinya. Orang dihadapan Agam yang tak lain adalah Johan, bawahannya, lelaki kekar yang keluar dari mobil yang sama dengan lelaki yang di selamatkan oleh Nara. Ia mulai mengangkat wajahnya , ia menceritakan secara jelas dan rinci rentetan kejadian yang ia alami saat membawa tuan mudanya.

"Cari informasi mengenai gadis itu, laporkan kepadaku secepatnya", titah Agam.

Lelaki Amnesia

"Tok tok tok”.

"Assalamualaikum Pak... Pak Arya... ".

Suara teriakan dari luar pintu membangunkan keluarga Pak Arya dari tidur lelapnya.

"Astagfirullah, suara siapa itu Pak malam-malam teriak-teriak di depan?" gerutu Bu Indi, istri dari Pak Arya. Sambil menguap Bu Indi mengambil ikat rambut dan langsung mengikatnya, duduk menyender di kepala ranjang. Pak Arya pun ikut duduk, memasang kaca mata minusnya dan melirik jam didinding "Jam satu lewat empat puluh lima menit", gumamnya. "Sebentar Bu, biar Bapak lihat dulu", kata Pak Arya sambil berjalan keluar kamar.

"Saya ikut Pak", sahut Bu Indi yang juga penasaran.

"Assalamualaikum Pak.. Pak Arya". Teriakan serta gedoran pintu di luar semakin keras, Pak Arya hanya bisa menghela nafasnya lantas membuka pintunya.

"Wa'alaikumsalam", ucap pak Arya setelah pintu terbuka.

"Maaf Pak, kami mengganggu malam-malam".

"Iya tidak apa-apa. Ada apa Pak Sugeng sama Pak Herman datang kesini malam-malam?".

"Maaf Pak, saya membawa kabar penting ini Pak. Tadi diperjalanan pulang ke rumah setelah ronda, saya melihat neng Nara membawa laki-laki masuk ke dalam rumah Pak".

Pak Arya mengernyit "Neng Nara yang tinggal di kontrakan saya Pak Sugeng?"

"Iya Pak benar".

"Selama ngontrak disini, Neng Nara itu orangnya baik, sopan, ramah, gak pernah neko-neko kok Pak, masak iya , dia membawa lelaki masuk ke rumah, jam segini lagi", Bu Indi yang sbelumnya hanya diam ikut angkat bicara.

"Benar Pak, Bu, saya jadi saksinya, saya juga melihatnya",ujar Pak Sugeng.

"Ya sudah, ayok Buk, coba kita lihat kesana, takutnya ada fitnah, salah paham nantinya", ajak Pak Arya.

"Ayok Pak, mari-mari”.

••

Di sebuah kontrakan sederhana inilah Nara dan lelaki itu berada sekarang. Kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Sebenarnya dulu Nara tinggal berdua dengan teman kerjanya, hanya saja temanya dipindahkan ke toko roti yang berada di cabang luar kota, sehingga Nara menempatinya seorang diri saat ini.

"Kamu duduk disini dulu ya", ucap Nara pada lelaki itu sambil membantunya duduk.

"Iya, terimakasih".

Nara berjalan menuju dapur, diambilnya dua gelas kosong dari rak, dan mengisinya dengan air putih, gadis itu mengambil satu gelas lalu meminumnya hingga tandas, tak lupa satu gelas lainya dia bawa ke tempat lelaki tadi berada. Mendengar suara langkah kaki mendekat lelaki itu lalu membuka matanya, yang awalnya menyender lalu duduk tegap.

"Ini minum dulu". Nara menyodorkan satu gelas air. Lelaki itu mengambil gelas dari tangan Nara lalu meminumnya.

"Terimakasih", ucapnya.

Hening, keduanya saling diam sibuk dengan pemikiran masing-masing. Nara melirik lelaki yang duduk dihadapannya dalam diam.

“Huuuuh”, suara hembusan nafas keluar dari mulut Nara. "Kamu beneran gak ingat rumah kamu dimana dan nama kamu siapa?", suara Nara memecah keheningan.

"Saya tidak ingat, yang saya tau terakhir di rumah sakit mereka memanggilku dengan nama Al….vian".

Alvian, lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, mempunyai paras yang tampan dan tubuh yang proposional. Sempurna, adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok seorang Vian, di tambah dengan sifat dingin dan tak tersentuh nya dengan orang lain, tetapi tidak berlaku terhadap keluarganya.

(Flashback on)

Seorang perempuan tengah duduk di sofa sambil menunduk, menunggu putranya yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit pasca operasi setelah kecelakaan. Kecelakaan mobil yang disebabkan rem mobil blong, dan menabrak pohon besar, menyebabkan Vian mengalami benturan yang sangat keras di kepalanya, akibatnya Vian harus dioperasi.

"Akhh... kepalaku", gumam Vian yang baru sadar dari tidurnya, lelaki itu memegangi kepalanya yang terasa begitu sakit. Mendengar gumaman tersebut, perempuan paruh baya itu langsung mendongak, menatap anaknya yang tengah siuman, meringis kesakitan.

"Nak, kamu sudah bangun sayang!", ujar Arin, ibu dari Vian. Arin Puspita adalah istri dari Agam Affandi, diusianya yang menginjak empat puluh tujuh tahun itu, wajahnya masih terlihat cantik dan terawat, mempunyai sifat penyayang dan baik hati, tapi jangan tanyakan jika ia sedang marah, seorang Agam pun takut padanya.

"Saya dimana? Anda siapa?".

"Kamu di Rumah Sakit sayang, ini Mama nak, apa kamu tidak mengingat Mama?", tanya Arin yang mulai cemas, bahkan air mata sudah mulai menumpuk di pelupuk matanya. Di samping itu Vian hanya menggeleng sebagai jawaban, membuat Arin tambah merasa khawatir.

"Sebentar, Mama panggilkan Dokter ya sayang". Arin memencet tombol yang ada disisi ranjang. Tak lama seorang Dokter akhirnya datang.

"Ada apa Mbak, kenap menangis?", tanya Dokter itu, yang tak lain adalah adik kandung dari Arin.

"Aryan, Vian sudah sadar tapi dia tidak mengingat Mbak, bagaiaman ini? Apa yang terjadi padanya?".

"Mbak yang tenang ya biar Aryan periksa Vian dulu".

Aryan lalu memeriksa keadaan Vian. Saat proses pemeriksaan berlangsung,Agam datan, ia bingung melihat istrinya yang menangis sesenggukan, bahkan Arin sampai tak menyadari kehadirannya.

"Ma, ada apa Ma?".

"Pa, Vian Pa.. Vian tidak mengingat Mama Pa.", jawab Arin , menghamburkan diri ke pelukan suaminya.

Aryan yang telah selesai memeriksa Vian segera menghampiri Agam dan Arin, meninggalkan Vian yang masih terdiam di atas ranjang.

"Mas", sapa Aryan, yang hanya di angguk i oleh Agam.

"Bagaimana keadaan Vian, Yan?".

"Menurut pemeriksaan, Vian mengalami amnesia atau hilang ingatan Mas" kata Vian menjelaskan.

"Lalu, apa yang harus di lakukan, supaya ingatan Vian cepat kembali?", tanya Agam khawatir, tangannya terus mengusap bahu istrinya supaya tenang.

"Ingatan Vian dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu Mas, kita bisa melakukan terapi, ada dua jenis terapi yang bisa kita lakukan yakni terapi okupasi dan terapi kognitif, di mana terapi okupasi bertujuan untuk mengajarkan pengidap cara mengenal informasi baru, sementara terapi kognitif untuk menguatkan daya ingat, jadi dukungan keluarga sangat berperan dalam kesembuhan Vian, selain melalui terapi juga harus mengkonsumsi vitamin dan suplemen untuk mencegah kerusakan otak lebih parah Mas", ucap Aryan dan Agam mengangguk mengerti.

Pagi berganti malam, malam berganti pagi, Arin tak ada lelahnya menunggu dan menemani putra semata wayangnya itu. Tak hentinya Arin bercerita, menceritakan keseharian Vian. Apa yang disuka dan tidak disukai Vian dan lain sebagainya. Walaupun Vian sendiri tidak terlalu menanggapi, dia diam mendengarkan dan hanya satu patah kata yang keluar dari mulutnya, tapi Arin tetap semangat bercerita. Arin menunjukkan foto, KTP, ataupun benda-benda yang berkaitan dengan Vian.

"Sayang, kamu ingat foto ini, foto ini diambil lima hari yang lalu waktu ulang tahun pernikahan Mama sama Papa sayang, lihatlah kamu tampan sekali bukan, mirip seperti Papamu, coba kamu ingat-ingat sayang", kata Arin sambil menunjukkan sebuah foto kepada Vian dengan penuh harap agar Vian dapat segera mengingatnya. Vian meraihnya, melihatnya dan mencoba mengingat-ingat, namun karena terlalu memaksa mengingatnya Vian merasakan sakit di kepalanya.

"Akhh kepalaku... sakit", ucap Vian sambil memegangi kepalanya. "Akhh...".

"Ya ampun sayang, kenapa ini? Sebentar Mama panggilkan Dokter ya sayang, maafkan Mama”.

Dengan rasa paniknya Arin menekan tombol yang ada di samping ranjang. Tak lama Dokter dan satu orang suster datang, Dokter yang tak lain adalah Aryan itu langsung memeriksa kondisi Vian, lalu menyuntikkan obat ke selang infusnya, tak lama Vian pun menjadi tenang dan tertidur.

"Mbak, aku yakin Vian pasti mengingat semuanya lagi, mengingat Mamanya, Papanya, semuanya, tapi mungkin belum sekarang Mbak, semua bertahap dan perlu proses. Aryan mengerti perasaanmu Mbak, tapi tolong jangan terlalu memaksanya. Jika Vian terlalu memaksa otaknya untuk mengingat sesuatu itu akan fatal akibatnya".

"Iya, maafkan Mbak, Mbak cuma, …….". Arin tidak dapat melanjutkan ucapannya, Aryan yang mengerti keadaannya pun langsung meraih tubuh Kakaknya ke dekapannya, mencoba menenangkannya.

Ceklek.

Suara gagang pintu diputar, terbukalah pintu dan menampakkan sosok Agam yang tengah berjalan masuk ke ruangan. Biasanya jam kantor selesai pukul empat sore, tetapi karena ada sedikit masalah pekerjaan di kantornya, Agam baru pulang pukul enam sore, jadi dia baru bisa datang sekarang. Melihat sang istri masih menangis sesenggukan, Agam meminta penjelasan, Aryan lalu menceritakan kejadian barusan.

"Sebaiknya Mbak pulang, Mbak sudah menunggu Vian dari kemarin. Mbak harus istirahat di rumah", ujar Aryan.

"Mbak tidak bisa meninggalkan Vian sendiri”.

"Benar kata Aryan, sayang. Mama harus pulang dulu, disini ada Aryan, kalau ada apa-apa dia pasti langsung menghubungi kita Ma. Papa juga akan menyuruh orang kepercayaan Papa untuk berjaga disekitar Rumah Sakit ini Ma", kata Agam berusaha membujuk Arin agar mau ikut pulang bersamanya.

"Tapi Pa...".

"Tak ada tapi-tapian Ma, pikirkan kondisi kesehatan Mama juga", sanggah Agam yang tidak ingin lagi di debat.

Akhirnya dengan bujukan Aryan dan Agam, Arin mau pulang ke rumah. Sebelum pergi Arin menghampiri Vian yang tengah tertidur, ia berpamitan dengan membisikkan sesuatu di telinga lelaki itu lalu mencium keningnya. Arin pun tidak lupa mengingatkan Aryan untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu dengan putranya dan langsung di angguk i oleh pria tiga puluh empat tahun itu.

Pernyataan Mengejutkan

Lebih dari empat jam Vian tertidur. Pukul sebelas malam lelaki itu terbangun, tetapi karena kepalanya yang masih pusing ia memejamkan matanya, sayup-sayup ia mendengar suara dari luar.

"Beneran kan ini kamarnya, jangan sampai salah orang kita!".

"Iya, bener kok ini kamarnya".

Ceklek, pintu terbuka, terdengar langkah kaki memasuki ruangan Vian, dua orang laki-laki dan satu orang perempuan. Satu orang laki-laki memakai baju dokter, sebut saja Alex. Satu orang laki-laki memakai baju perawat, Doni dan satu perempuan memakai baju suster, Silvi, semua memakai masker. Mengetahui kedatangan ketiga orang itu, Vian sama sekali tak menimbulkan reaksi apapun seolah ia sedang tertidur, sebenarnya ia sudah curiga jika mereka bukan orang baik.

"Jadi ini orang yang mau disingkirkan si Bos?",gumam Alex.

"Kenapa enggak langsung dibunuh aja sih Lex?", tanya Doni.

"Mau gue juga langsung gue bunuh, beres, tapi si Bos mau main-main sama dia katanya , mungkin disiksa dulu, dibunuh secara perlahan. Udah jangan banyak omong, sekarang jaga di pintu sana",perintah Alex, tanpa menjawab Doni lalu berlalu menuju pintu.

"Udah lo siapkan suntikan biusnya", tanya Alex pada Silvi gadis yang berdiri disebelahnya.

"Iya sudah, ini", jawab Silvi sambil menyerahkan sebuah suntikan.

Seketika Vian membuka mata, mencoba menggerakkan tangannya menuju tombol di samping ranjangnya, tapi sayang pergerakan lelaki itu di sadari oleh Alex. Tangan Vian di raih dan Alex mengunci pergerakan tangannya. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Alex lalu menyuntikkan obat bius itu ke lengan Vian. Pada saat itu juga Vian merasa tubuhnya mulai terasa lemas hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Melihat itu Silvi lalu mengambil sebuah kursi roda ,meminta Alex untuk segera mengangkat tubuh vian dan mendudukkannya disana.

"Bagaimana?", tanya Alex kepada Doni yang berjaga di depan pintu.

"Sepi, aman", jawab Doni sembari mengacungkan ibu jarinya.

Tak ada rintangan berarti yang menghalangi jalan mereka mengeluarkan Vian dari Rumah Sakit. Di depan Rumah Sakit tersebut, terlihat sebuah mobil hitam telah menunggu dan tanpa menunggu lama mereka masuk ke dalam mobil tersebut. Alex menyerahkan tali kepada Doni untuk mengikat tangan Vian, mobil pun melaju pergi dari halaman Rumah Sakit. Tanpa mereka sadari anak buah Agam melihat dan mengikutinya.

Sementara itu, di kediaman Agam, setelah menemani sang istri hingga tertidur, Agam lalu pergi keruangan pribadinya, duduk di meja kerjanya sembari memeriksa ponselnya, membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Johan. Tak lama ponselnya berdering, ia bergegas mengangkatnya.

"Selamat malam Tuan". Agam menjauhkan ponsel dari telinganya ketika mendengar suara keras Ferdi, salah satu bawahannya yang ia tugaskan di Rumah Sakit untuk menjaga putranya.

"Bisa kau pelankan sedikit suaramu".

"Maafkan saya Tuan, tapi ini keadaan darurat Tuan".

"Apa maksudmu?".

"Waktu saya tinggal ke kamar mandi semua baik-baik saja Tuan, tapi setelah saya kembali, saya menjumpai Riko dalam keadaan pingsan Tuan, saya bergegas masuk tapi saya tak menjumpai Tuan Muda , kamar Tuan Muda kosong, saya bertanya kepada pihak Rumah Sakit tak ada yang mengetahuinya, mencoba cek cctv, tetapi cctv mati Tuan, saya sudah mencoba menghubungi Bos Johan tapi tidak terhubung. Mohon maafkan kami Tuan, karena kelalaian kami Tuan Muda hilang Tuan".

"Ya, aku sudah mendengarnya, Vian di culik, sekarang Johan sedang mengikutinya, kamu urus saja Riko, setelah itu bergegaslah kalian menghadapku".

Ferdi menelan ludahnya kasar, ia tau jika sebuah hukuman sudah menantinya. Ferdi pun menutup teleponnya dengan perasaan yang campur aduk, namun ini adalah konsekuensinya karena lalai dalam pekerjaannya.

"Ternyata ada yang mau main-main dengan keluargaku", gumam Agam tersenyum sembari mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, senyuman yang sangat menakutkan bagi musuh-musuhnya. Senyuman yang sudah lama tak ia perlihatkan sekarang telah ia munculkan.

Malam itu, jalanan sepi dan gelap. Mobil yang dibawa Alex melaju dengan kecepatan sedang, membawa Vian yang masih tidak sadar. Alex, Doni, dan Silvi terlihat santai, tidak menyadari bahwa mereka sedang diikuti.

Tiba-tiba, mobil mereka dihadang oleh sebuah mobil lain. Mobil itu diparkir di tengah jalan, memblokir jalan mereka. Alex terkejut dan langsung menginjak rem, membuat mobil mereka berhenti secara mendadak.

Doni dan Silvi juga terkejut, mereka berdua langsung melihat ke sekeliling, mencari tahu apa yang terjadi. Alex langsung mengambil pistolnya dan siap untuk bertempur.

Namun, sebelum Alex bisa melakukan apa-apa, sebuah tembakan terdengar. Peluru itu terarah ke arah mobil mereka, membuat kaca mobil mereka pecah. Alex, Doni, dan Silvi langsung berlindung di balik mobil.

Terjadi baku tembak yang lumayan sengit. Alex, Doni, dan Silvi berusaha melawan, namun mereka tidak bisa mengalahkan lawan mereka. Anak buah Johan terlalu banyak dan terlalu kuat.

Tak butuh waktu lama, kelompok Alex dapat dilumpuhkan oleh anak buah Johan. Mereka semua terjatuh, tidak bisa bergerak lagi. Tapi, untungnya, tidak ada korban jiwa yang meninggal. Peluru yang ditembakkan ke kelompok Alex hanya peluru bius, membuat mereka semua pingsan.

"Lapor Bos, semua musuh telah dilumpuhkan," kata salah satu anak buah Johan melalui telepon.

"Bagus, urus mereka. Kalian tahu kan apa yang harus kalian lakukan?" jawab Johan.

"Kami mengerti Bos," jawab mereka serempak.

Sementara anak buahnya melakukan tugas yang ia perintahkan, dirinya sendiri akan mengurus Vian. Johan membuka pintu mobil lalu berusaha mengeluarkan Tuan Mudanya, dengan susah payah pria itu mengangkat Vian, memindahkannya ke dalam mobilnya, tak lupa ia juga membuka ikatan tali ditangan lelaki itu.

Johan pun melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Di perjalanan Johan sesekali melirik ke kursi penumpang, dimana di sana Vian dibaringkan. Tanpa disadari Johan, Vian telah tersadar.

Vian yang mengira ia masih berada di tangan penjahat tadi segera bangkit dan mencoba merebut kendali stir mobil. Johan mencoba menjelaskan kepada Vian tapi lelaki itu tak mendengarkannya.

Perebutan stir kemudi itu membuat laju mobil tak terkendali, oleng ke kanan, ke kiri dan braaakkkk... mobil berakhir dengan menabrak pembatas jalan.

( Flash back off)

Tok...tok..tok.

"Assalamualaikum Neng Nara".

"Wa'alaikumsalam", jawab Nara dengan sedikit berteriak. Gadis itu bangkit dari duduknya dan berjalan membukakan pintu. Nara mengernyitkan dahi, tanda ia bingung atas kehadiran Pak Arya selaku Rt dan juga pemilik kontrakan yang ia tempati dan tiga orang lainya di depan pintu. Di tengah rasa bingungnya, Nara tetap mempersilahkan mereka untuk masuk. Terlihat Vian yang tengah menyenderkan badannya di sandaran kursi. Melihat beberapa orang masuk Vian mengangguk sopan pada mereka dan di balas anggukan juga oleh mereka.

"Silahkan duduk Pak, Bu", ucap Nara.

"Terimakasih Neng Nara, laki-laki ini siapa Neng?", tanya Pak Arya sambil mendudukkan diri di kursi.

"Oh iya, dia Vian Pak, sebelumnya saya minta maaf karena saya sudah lancang membawa seorang laki-laki masuk tanpa izin kemari, tetapi saya punya alasan mengapa saya membawanya kemari Pak, sebenarnya saya juga baru bertemu dengannya malam ini. Saya menolongnya dari orang jahat Pak, karena dia tidak mengingat apapun, bahkan nama dan alamat rumah pun tak ingat, jadi saya membawanya kemari, rencananya besok saya akan mengantarkannya ke kantor polisi untuk mencari informasi mengenai keluarganya Pak", penjelasan Nara diangguk i oleh Arya.

"Jadi seperti itu Neng ceritanya, sebenarnya tujuan kami kesini ingin meluruskan hal ini, Pak Sugeng dan Pak Herman tadi melihat neng Aya membawa seorang laki-laki masuk ke rumah, jadi beliau-beliau ini melaporkan ke saya, takutnya ada fitnah dan salah paham, akhirnya kami memutuskan kesini untuk mengkonfirmasinya", jelas Pak Arya.

"Mana ini pasangan mes*mnya?".

Tiba-tiba saja terdengar teriakan cukup keras dari salah satu warga yang tiba-tida datang. Nampak seorang ibu-ibu bertubuh gemuk tengah tersenyum sinis di ambang pintu. "Ohh... jadi mereka berdua ini yang tengah berbuat mes*m", ucap Bu Sri, perempuan bertubuh gemuk tadi.

"Maksud Bu Sri apa ya? Kami tidak berbuat apa yang Ibu tuduhkan di sini", sanggah Nara tak terima dengan tuduhan yang di lontarkan oleh Bu Sri.

"Halah, udah ketangkap basah juga, masih gak mau ngaku".

"Kalau orang salah mau ngaku penjara penuh Bu", sahut warga lainya. Terlihat beberapa warga mulai berdatangan.

"Astaga, kenapa bisa begini?", keluh Nara dalam hati. Terdengar sorakan-sorakan yang mulai memojokkannya

"Arak aja keliling kampung".

"Usir mereka dari sini".

"Nikahkan saja mereka, biar gak berbuat zina terus", dan masih banyak lagi ucapan-ucapan dari para warga. Nara tetap berusaha menyanggah tuduhan mereka, sedangkan Vian tengah tertunduk, sambil memegangi kepalanya.

"Mohon tenang semuanya, ini bisa dibicarakan baik-baik, lagian semua yang kalian tuduhkan itu tidak benar, Neng Nara sudah menceritakan kepada saya semua apa yang terjadi, jadi mohon tenang semuanya, ini hanya salah paham", Pak Arya mencoba menengahi perdebatan para warganya.

"Salah paham gimana Pak, ini ada foto kalau neng Nara tengah berpelukan dengan lelaki itu". Bu Sri tetap bersikukuh menyalahkan Nara. Bu Sri memang biangnya gosip di kampung tersebut, mulutnya nyinyir sangat.

"Astaga, Bu Sri dapat foto itu dari mana?", tanya Pak Arya, di mana Bu Indi? Bu Indi tengah mencoba menenangkan Nara dengan merangkulnya , dan satu tangannya mengelus-elus bahu gadis itu.

"Foto itu sudah jadi perbincangan hangat di grup chat kampung Pak, Bu Sri yang mengirimnya. Bu Sri bilang kalau suaminya sedang menggerebek pasangan mes*m ", jawab salah satu warga.

"Maaf ya Bapak-Bapak, Ibu-Ibu yang TERHORMAT, maaf sekali, apa kalian tidak bisa melihat orang yang telah kalian kabarkan mes*m ini sedang sakit? Apa iya, dengan kondisi dia yang seperti ini kita melakukan hal aneh-aneh? Itu foto saya sedang memapahnya, membantunya berjalan, bukan berpelukan", keluar suara tegas Nara dengan nada meninggi, ia sudah muak dengan semua tuduhan itu.

Dan benar saja, apa yang di ucapkan Nara membuat para warga mulai bimbang, memang terlihat jelas kondisi Vian yang memprihatinkan, kepala diperban, ada bekas memar di dekat mata, dan bekas merah ditangan akibat ikatan tali, apalagi ditambah dengan Vian yang selalu menunduk memegangi kepalanya. Tapi Bu Sri tidak mau kalah, ia terus mengeluarkan kata-kata nyinyirnya untuk memprovokasi warga, sebenarnya Bu Sri dan Nara tidak pernah terlibat masalah apapun, tapi dasarnya saja Bu Sri yang suka kehebohan, biangnya gosip, selalu mencari kesalahan orang, itulah kerjaan sampingannya.

"Sudahlah Pak, nikahkan saja mereka, dari pada nanti nambah dosanya", para warga yang terprovokasi mulai menyerang Nara Kembali.

“Ibu-ibu saya mohon, saya dan Vian tidak..”, belum selesai Nara mengucapkan kalimatnya, ucapannya terpotong oleh suara yang mengatakan hal yang sangat mengejutkan.

"KAMI AKAN MENIKAH".

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!