NovelToon NovelToon

Sea Lovers

1

Langit sore mulai berubah jingga, membentang luas di atas laut yang berkilauan. Ombak bergulung pelan, menciptakan irama alami yang selalu berhasil menenangkan hati Sea. Ia duduk di atas pasir putih, membiarkan kaki telanjangnya tersapu air laut yang perlahan naik ke bibir pantai.

Hari ini, pikirannya terlalu penuh.

Dua bulan lalu, hidupnya masih terasa baik-baik saja. Ia baru lulus SMA, berencana mendaftar kuliah di universitas impiannya, dan berharap bisa mengejar cita-citanya menjadi arsitek. Tapi semua rencana itu hancur dalam sekejap. Usaha keluarganya bangkrut setelah perampokan besar-besaran di toko perhiasan milik ayahnya. Semua simpanan ludes. Rumah mereka harus dijual untuk menutupi utang. Kini, Sea hanya bisa bertahan dengan apa yang tersisa, tanpa tahu bagaimana masa depannya.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, bercampur dengan hembusan angin laut yang lembut.

"Apa aku harus menyerah?" bisiknya pada ombak.

Namun, sebelum ia sempat larut lebih dalam dalam kesedihannya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Sea mengangkat kepala dan melihat seorang pria berdiri tak jauh darinya.

Ia tampak berbeda dari kebanyakan orang yang biasanya mengunjungi pantai ini. Mengenakan kemeja putih yang lengan panjangnya digulung, celana panjang yang sedikit tergulung di bagian bawah, dan sepatu yang sudah ia lepas, pria itu terlihat seperti seseorang yang seharusnya berada di ruang rapat, bukan di tepi pantai.

Pria itu—Aldo—melihat sekeliling sejenak sebelum akhirnya mendekati Sea.

"Kamu sering ke sini?" tanyanya, suaranya dalam dan tenang.

Sea sempat terdiam. Bukan hanya karena pertanyaannya, tapi karena tatapan pria itu begitu tajam dan serius, seolah mencari sesuatu dalam dirinya.

"Apa urusanmu?" balas Sea, nada suaranya sedikit defensif.

Aldo mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. "Kamu kelihatan seperti seseorang yang tahu cara melarikan diri dari kenyataan. Aku butuh tempat untuk melarikan diri juga."

Sea memutar matanya. "Pantai ini bukan tempat persembunyian."

"Tapi kamu ada di sini," sahut Aldo cepat.

Sea terdiam. Ia menatap pria itu lebih lama. Ada sesuatu yang berbeda dari caranya berbicara, seperti seseorang yang tengah menyembunyikan beban besar di balik ketenangannya.

"Jadi, kamu lari dari apa?" tanya Sea akhirnya, penasaran.

Aldo menghela napas, lalu duduk di sampingnya, walaupun tak terlalu dekat. "Pernikahan," jawabnya santai.

Sea hampir tertawa. "Serius?"

"Aku diberi waktu tiga hari untuk menemukan pasangan. Kalau tidak, aku akan dijodohkan dengan seseorang yang bahkan tidak aku kenal," katanya sambil menatap lautan.

Sea menggeleng tak percaya. "Kedengarannya seperti drama murahan."

Aldo menoleh dan menatapnya dengan sudut bibir terangkat. "Dan hidupku memang seperti drama murahan."

Sea tak bisa menahan senyum kecilnya. Ia tak menyangka seseorang yang terlihat begitu sukses dan berkelas seperti pria ini ternyata juga memiliki masalahnya sendiri.

"Jadi, apa rencanamu?" tanya Sea.

"Aku belum tahu." Aldo menatapnya lekat-lekat. "Tapi aku pikir, mungkin aku baru saja menemukan jawabannya."

Sea menatapnya curiga. "Maksudmu?"

Aldo menyandarkan tangannya di pasir, lalu menatapnya dengan mata penuh pertimbangan. "Aku butuh pasangan dalam waktu tiga hari. Dan kamu... kamu butuh jalan keluar dari masalahmu."

Sea mengerutkan kening. "Tunggu, jangan bilang—"

"Ayo menikah," potong Aldo dengan nada serius.

Sea menatapnya, terpaku. Ia ingin menganggapnya bercanda, tapi dari sorot mata pria itu, ia tahu Aldo benar-benar serius.

Jantung Sea berdegup kencang. Ia baru saja bertemu pria ini. Mereka bahkan tidak tahu banyak tentang satu sama lain.

Namun, dalam sekejap, Sea menyadari satu hal: hidupnya sudah berantakan. Dan mungkin, hanya mungkin, pria di hadapannya ini bisa mengubah segalanya.

Tapi, apakah ia siap untuk mengambil risiko sebesar itu?

Sea menatap Aldo, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Menikah? Dengan pria yang bahkan baru saja ia temui? Tawaran itu terdengar konyol, tidak masuk akal, dan sangat tiba-tiba.

"Aku salah dengar, kan?" tanya Sea, mencoba memastikan.

Aldo menghela napas pendek. "Tidak, kamu tidak salah dengar. Aku benar-benar mengajakmu menikah."

Sea tertawa kecil, meskipun lebih ke arah gugup. "Kamu gila."

"Aku tahu," Aldo menjawab santai. "Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak mau dijodohkan dengan wanita yang bahkan tidak aku kenal. Aku ingin menikah dengan seseorang yang bisa kupercaya, seseorang yang juga butuh bantuanku."

"Tunggu." Sea menatapnya tajam. "Apa maksudmu dengan ‘juga butuh bantuanku’?"

Aldo menyandarkan kedua tangannya ke pasir dan menatap langit yang mulai menggelap. "Kudengar hidupmu sedang sulit. Kamu tidak bisa melanjutkan kuliah karena masalah keuangan, kan?"

Sea tercekat. Ia tidak pernah membicarakan itu dengan siapa pun. Tapi bagaimana pria ini bisa tahu?

"Kau menyelidikiku?" tanyanya curiga.

Aldo tersenyum kecil. "Tidak. Aku hanya kebetulan mendengar orang-orang di sekitar sini membicarakanmu. Katanya, ada seorang gadis yang selalu datang ke pantai saat hidupnya sedang sulit."

Sea mendengus. "Wow, ternyata aku terkenal, ya."

"Bukan terkenal," Aldo membalas cepat. "Hanya seseorang yang menarik perhatian."

Sea merasakan pipinya sedikit memanas, tetapi ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Jadi, kamu pikir menikah denganmu akan menyelesaikan masalahku?"

Aldo mengangkat bahu. "Setidaknya, aku bisa membantumu secara finansial. Kamu bisa kembali ke bangku kuliah, tidak perlu khawatir soal uang, dan sebagai gantinya, aku punya seseorang yang bisa kusebut ‘istri’ agar orang tuaku berhenti memaksaku menikah."

Sea menggelengkan kepalanya, merasa ini semakin gila. "Dan setelah itu? Kita cerai?"

Aldo terdiam sejenak. "Mungkin. Setelah orang tuaku menyerah dengan rencana perjodohan ini, kita bisa membicarakan apa yang terbaik untuk kita."

Sea menggigit bibirnya, merasa pikirannya semakin kacau. Tawaran ini memang terdengar menggiurkan—kesempatan untuk memperbaiki hidupnya dan mengejar impiannya lagi. Tapi menikah dengan pria yang baru dikenalnya? Itu ide paling gila yang pernah ia dengar.

"Aku butuh waktu untuk berpikir," katanya akhirnya.

Aldo menatapnya beberapa detik sebelum mengangguk. "Aku akan menunggu. Tapi aku hanya punya tiga hari. Jadi, pikirkan baik-baik."

Sea menghela napas panjang. "Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Aldo berdiri, membersihkan pasir dari celananya, dan melangkah pergi.

Sea tetap duduk di sana, menatap lautan yang mulai gelap. Hatinya dipenuhi kebingungan.

Menikah dengan Aldo... ide itu memang gila.

Tapi mungkin, ini satu-satunya cara agar ia bisa mengubah nasibnya.

2

Sea tidak bisa tidur semalaman. Otaknya terus bekerja, mempertimbangkan tawaran gila dari Aldo. Di satu sisi, ini adalah kesempatan emas untuk keluar dari kesulitan hidupnya. Tapi di sisi lain, menikah dengan pria yang baru dikenalnya jelas bukan keputusan yang mudah.

Pagi harinya, Sea duduk di meja makan bersama ibunya, yang wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Sejak perampokan itu, ibunya bekerja lebih keras, mencoba mencari cara agar mereka bisa bertahan hidup.

“Sea, ibu akan mencari pekerjaan tambahan. Mungkin sebagai asisten rumah tangga,” kata ibunya sambil mengaduk kopi.

Sea menegang. “Bu, jangan! Ibu sudah bekerja terlalu keras.”

Ibunya tersenyum tipis. “Lalu, kita harus bagaimana? Kita tidak bisa terus mengandalkan tabungan yang semakin menipis.”

Sea meremas jemarinya. Pikirannya langsung kembali ke Aldo dan tawaran gilanya. Jika ia menerima tawaran itu, setidaknya ia bisa meringankan beban ibunya.

“Tapi Bu, kalau ibu sakit bagaimana?”

“Ibu baik-baik saja, Nak.”

Sea menggigit bibirnya. Hatinya semakin bimbang. Ia tahu ibunya tidak baik-baik saja. Perampokan itu bukan hanya merampas harta mereka, tetapi juga ketenangan hidup mereka.

Setelah sarapan, Sea pergi ke pantai seperti biasa. Namun, kali ini bukan untuk menenangkan diri, melainkan untuk mencari Aldo.

Dan seperti yang sudah ia duga, pria itu sudah ada di sana, berdiri dengan tangan di saku celana, menatap ombak yang berkejaran di tepi pantai.

“Kau datang,” katanya tanpa menoleh.

Sea menarik napas dalam-dalam. “Aku akan melakukannya.”

Aldo menoleh dengan tatapan penuh tanya. “Melakukan apa?”

Sea menatapnya tajam. “Menikah denganmu.”

Sejenak, angin pantai berhembus kencang, membuat rambut Sea berantakan. Aldo masih diam, seolah memastikan ia tidak salah dengar.

“Kau yakin?” tanyanya akhirnya.

Sea mengangguk. “Aku sudah mempertimbangkannya. Aku butuh uang untuk kuliah, dan ibuku tidak bisa terus bekerja keras seperti ini. Jika menikah denganmu bisa membantuku keluar dari kesulitan, maka aku akan melakukannya.”

Aldo menatapnya beberapa detik sebelum tersenyum kecil. “Baik. Kalau begitu, kita akan menikah besok.”

Sea membelalakkan mata. “Besok?”

“Kita tidak punya banyak waktu,” kata Aldo santai. “Aku harus menunjukkan bukti pernikahan kepada orang tuaku dalam waktu tiga hari. Jadi, kita harus melakukannya secepat mungkin.”

Sea merasa kepalanya mulai pusing. Semua ini terasa begitu cepat, begitu tidak masuk akal. Tapi ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak bisa mundur sekarang.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Besok, kita menikah.”

Aldo tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Selamat datang di kehidupan barumu, Sea.”

Sea menatap tangan itu sejenak sebelum menyambutnya.

Ia tahu, sejak saat ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

***

Sea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana yang dipinjamkan oleh sebuah butik kenalan Aldo. Wajahnya tampak pucat, bukan karena gaun itu tidak cocok, tetapi karena ia masih belum percaya dirinya benar-benar akan menikah hari ini.

“Ibu... apakah ini keputusan yang benar?” tanyanya pelan.

Ibunya menatapnya penuh kasih, lalu menggenggam tangannya erat. “Sea, ibu tahu ini tidak mudah. Tapi ibu percaya kamu sudah mempertimbangkannya dengan baik. Apapun yang terjadi setelah ini, ibu selalu ada untukmu.”

Sea menarik napas dalam-dalam. Ini bukan pernikahan impian yang selalu ia bayangkan. Tidak ada cinta, tidak ada kebahagiaan, hanya kontrak yang mengikatnya dengan seorang pria yang nyaris tidak ia kenal.

Di sisi lain, Aldo menunggu di depan altar dengan wajah datar. Ia mengenakan jas hitam yang sangat rapi, membuatnya terlihat semakin tampan dan berwibawa. Namun, ekspresinya dingin, seolah pernikahan ini hanyalah transaksi bisnis.

Saat Sea melangkah masuk ke dalam ruangan pernikahan yang telah disiapkan secara mendadak, jantungnya berdebar kencang. Pandangan semua orang tertuju padanya, termasuk Aldo.

Mata mereka bertemu. Tidak ada sorot cinta di sana, hanya dua orang asing yang terjebak dalam satu pernikahan yang sama.

Aldo mengulurkan tangan, dan Sea meletakkan tangannya di atasnya dengan ragu.

“Tenanglah,” bisik Aldo.

Sea mencoba menarik napas, lalu mengangguk kecil.

Sang penghulu mulai membacakan ijab kabul.

“Aldo Prasetya, apakah Anda bersedia menerima Sea Larasati sebagai istri Anda, dengan mahar yang telah disepakati?”

Aldo menatap Sea sejenak sebelum menjawab dengan tegas, “Saya terima.”

Sea menutup mata, merasakan bagaimana satu kalimat itu mengubah seluruh hidupnya.

Kini, ia resmi menjadi istri Aldo.

Tanpa pesta meriah, tanpa keluarga besar yang hadir, tanpa ciuman pernikahan yang romantis seperti di film-film.

Hanya mereka berdua—dua orang asing yang terikat dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.

Sea bertanya-tanya, apakah ia akan mampu menjalani kehidupan barunya?

***

Setelah akad nikah selesai, Sea merasa seperti berada dalam mimpi yang absurd. Semua terjadi begitu cepat—dari pertemuan yang tidak sengaja, kesepakatan yang dipaksakan, hingga pernikahan yang kini resmi mengikatnya dengan Aldo.

Tanpa banyak kata, Aldo membawanya ke mobil. Tidak ada perayaan, tidak ada pertemuan keluarga, hanya mereka berdua di dalam keheningan yang menyelimuti.

“Sea.”

Sea menoleh, menatap wajah Aldo yang hanya diterangi lampu jalanan yang redup.

“Aku tidak akan memaksamu dalam pernikahan ini,” kata Aldo pelan. “Kita hanya akan menjalani ini sesuai kesepakatan.”

Sea tidak tahu harus merasa lega atau justru semakin tertekan. Pernikahan ini tidak memiliki dasar cinta, dan Aldo sepertinya tidak berniat berpura-pura sebaliknya.

“Apa yang akan terjadi setelah ini?” tanyanya hati-hati.

Aldo menghela napas. “Kita akan tinggal bersama, setidaknya untuk sementara waktu, agar orang tuaku tidak curiga.”

Sea menggigit bibirnya. Tinggal bersama seorang pria asing bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan. Tapi ini adalah jalan yang sudah ia pilih.

Mereka tiba di sebuah apartemen mewah di pusat kota. Sea terdiam saat melihat betapa luas dan modernnya tempat itu. Semua tampak begitu mahal, begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana.

Aldo membuka pintu dan memberi isyarat agar Sea masuk.

“Kamar utama untukku. Kamu bisa pakai kamar tamu,” katanya singkat.

Sea hanya mengangguk.

Setelah membersihkan diri, ia duduk di tepi ranjang, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun pengantinnya sudah ia lepaskan, digantikan oleh piyama sederhana. Hari ini, ia resmi menjadi istri seseorang—tapi hatinya masih kosong.

Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk.

Sea terdiam.

“Ada apa?” tanyanya dengan suara pelan.

Aldo tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik, suaranya terdengar dari balik pintu.

“Selamat malam.”

Lalu, langkahnya terdengar menjauh.

Sea menarik napas panjang. Ia baru saja menjalani malam pertamanya sebagai seorang istri—tapi rasanya lebih seperti dua orang asing yang hanya berbagi atap yang sama.

Di dalam kegelapan, Sea bertanya-tanya:

Sampai kapan ia harus menjalani pernikahan tanpa cinta ini?

3

Sea terbangun dengan perasaan asing. Cahaya pagi menerobos masuk melalui jendela kamar tamu, menghangatkan ruangan yang sunyi. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat bahwa ini bukan lagi kamarnya, bahwa ia kini telah menikah dengan seorang pria yang hampir tidak ia kenal.

Sea menghela napas panjang dan duduk di tepi ranjang. Apa yang akan terjadi setelah ini?

Ia bangkit, membuka pintu, dan berjalan keluar. Apartemen itu terasa begitu luas dan sepi. Tidak ada tanda-tanda Aldo. Sea melangkah ke dapur, berharap menemukan sesuatu untuk dimakan.

Saat ia sedang menuangkan segelas air, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Sea menoleh dan mendapati Aldo yang baru keluar dari kamarnya. Ia mengenakan kaus putih polos dan celana santai, tapi tetap terlihat rapi dan berwibawa.

“Pagi,” sapanya singkat.

“Pagi,” balas Sea pelan.

Aldo berjalan ke dapur dan mengambil secangkir kopi. Setelah menyesapnya, ia menatap Sea.

“Aku ada rapat pagi ini,” katanya. “Kalau kamu butuh sesuatu, tinggal bilang ke sekretarisku.”

Sea mengerutkan kening. “Sekretaris?”

“Iya. Aku akan mendaftarkan kamu sebagai istriku secara resmi di perusahaanku, agar pernikahan ini terlihat lebih meyakinkan.”

Sea menggigit bibirnya. Ia tahu ini bagian dari kesepakatan mereka, tapi mendengar Aldo mengatakannya dengan begitu datar membuat hatinya sedikit perih.

“Kamu boleh keluar dan jalan-jalan kalau bosan,” lanjut Aldo. “Tapi jangan lupa, sekarang kamu istri CEO. Jangan melakukan sesuatu yang bisa merusak citraku.”

Sea menatapnya, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”

Aldo meneguk kopi terakhirnya, lalu mengambil kunci mobilnya.

“Aku pergi dulu.”

Sea hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh. Setelah pintu tertutup, ia merasakan kesepian yang semakin menyesakkan.

Pernikahan ini nyata, tapi mengapa rasanya seperti tidak ada makna?

***

Sea duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponsel yang kosong. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan. Aldo pergi tanpa meninggalkan kabar apa pun sejak tadi pagi.

Sejujurnya, ia tidak tahu harus melakukan apa di apartemen mewah ini. Semua fasilitas tersedia, makanan sudah disiapkan, tapi entah kenapa, ia merasa seperti burung dalam sangkar emas.

Sea berjalan ke balkon. Pemandangan kota tampak menakjubkan dari ketinggian. Mobil-mobil melintas di jalanan, manusia berlalu lalang, semua sibuk dengan hidup mereka masing-masing. Sementara dirinya? Ia bahkan tidak tahu apa rencana hidupnya setelah ini.

Aku tidak bisa selamanya begini.

Sea kembali ke dalam dan mengambil tasnya. Jika Aldo mengizinkan ia keluar, maka ia akan keluar. Ia ingin menghirup udara segar, berjalan di antara orang-orang, merasa seperti manusia normal lagi.

***

Sea berjalan di pusat kota, menikmati hiruk-pikuk kehidupan yang dulu terasa begitu jauh darinya. Ia melewati kafe, butik, dan taman-taman kecil yang dipenuhi pasangan muda.

Saat itulah, matanya menangkap sosok yang begitu familiar— Riko.

Riko adalah teman masa kecilnya, seseorang yang dulu selalu ada saat ia membutuhkan. Ia berdiri di depan sebuah toko buku, terlihat sedang memilih sesuatu.

“Riko?” panggil Sea ragu.

Pria itu menoleh, lalu matanya membulat. “Sea?”

Sea tersenyum tipis. “Kamu masih ingat aku?”

“Tentu saja!” Riko langsung mendekat, ekspresinya penuh kebahagiaan. “Ya Tuhan, sudah lama sekali! Aku pikir kamu sudah pergi jauh.”

Sea mengangguk pelan. “Aku… hanya sibuk dengan kehidupanku.”

Riko menatapnya lekat-lekat, lalu berkata, “Kamu baik-baik saja?”

Sea terdiam. Ia ingin mengatakan bahwa hidupnya baik-baik saja, bahwa ia bahagia, tapi lidahnya kelu. Akhirnya, ia hanya tersenyum kecil. “Aku baik.”

Riko tampak ragu, tapi ia tidak memaksa. “Ayo duduk di kafe, kita ngobrol.”

Sea menimbang sejenak, lalu mengangguk. Kenapa tidak?

Mereka masuk ke sebuah kafe kecil yang nyaman. Riko memesan kopi hitam, sementara Sea memilih teh hangat.

“Sebenarnya, kamu kemana saja selama ini?” tanya Riko.

Sea menghela napas panjang. “Banyak yang terjadi. Aku… menikah.”

Riko hampir menjatuhkan kopinya. “Apa?”

Sea tersenyum hambar. “Ya. Aku menikah.”

Riko masih terkejut. “Kamu menikah dengan siapa?”

Sea menunduk, mengaduk tehnya tanpa tujuan. “Dengan seseorang yang bahkan belum lama kukenal.”

Riko menatapnya lekat. “Kamu mencintainya?”

Sea terdiam. Ia tahu jawabannya, tapi ia tidak sanggup mengatakannya.

Riko menghela napas. “Sea, kalau kamu butuh bantuan—”

“Tidak.” Sea menggeleng cepat. “Aku baik-baik saja.”

Riko masih terlihat tidak yakin, tapi ia tidak mendesak lebih jauh.

Sea menatap pria di depannya. Apa yang akan terjadi jika aku dulu tidak bertemu Aldo? Apakah hidupku akan berbeda?

***

Sea pulang ke apartemen saat matahari hampir tenggelam. Ia berpikir Aldo belum pulang, tapi ternyata pria itu sudah ada di sana.

Aldo duduk di sofa, jasnya terlepas, kancing kemejanya terbuka di bagian atas. Ia menatap Sea dengan dingin.

“Kamu kemana?” tanyanya datar.

Sea menelan ludah. “Jalan-jalan.”

“Dengan siapa?”

Sea ragu sejenak, lalu menjawab, “Teman lama.”

Aldo menyipitkan mata. “Pria?”

Sea tidak mengerti kenapa Aldo bertanya seperti itu, tapi ia tidak berniat berbohong. “Ya.”

Aldo tersenyum miring, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit dibaca. “Aku tidak melarangmu keluar, tapi ingat statusmu sekarang.”

Sea merasa dadanya sedikit sesak. “Aku tidak melakukan apa pun yang melanggar kesepakatan kita.”

Aldo bangkit, mendekat ke arahnya. “Sea, mulai sekarang, aku ingin tahu setiap gerakanmu.”

Sea menegang. “Kenapa? Kita hanya menikah di atas kertas, bukan?”

Aldo menatapnya lama. “Ya. Tapi tetap saja, kamu istriku sekarang.”

Sea tidak tahu harus berkata apa. Tatapan Aldo penuh dominasi, seakan menegaskan bahwa meskipun pernikahan ini tanpa cinta, tetap ada batas yang tidak boleh Sea langgar.

Sea akhirnya mengangguk pelan. “Baik.”

Aldo mengamati wajahnya sejenak, lalu berbalik. “Bagus. Sekarang, makan malam sudah disiapkan. Makanlah sebelum tidur.”

Sea hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, lalu menghela napas panjang.

Terjebak dalam sangkar emas ternyata lebih menyakitkan daripada yang ia kira.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!