NovelToon NovelToon

Jejak Metamorfosa

Pengenalan

Alysa Kirana Putri adalah anak semata wayang Pak Arman dan Bu Siska, pasangan yang sibuk dengan berbagai usaha di Jakarta. Saat ini ia berusia 6 tahun. Rumah cukup besar dan mewah, dilengkapi dan berbagai fasilitas. Orang tuanya selalu sibuk mengurus bisnis sehingga jarang berada di rumah.

Alysa Kirana Putri, ia di manja secara materi. Apapun yang ia inginkan selalu diberikan. Namun, jika permintaannya ditolak, ia akan marah, menangis, bahkan merusak barang di sekitarnya. Orang tuanya kewalahan, sehingga lebih memilih menuruti keinginannya daripada menghadapi amukan nya. Tapi di balik semua kemewahan itu, ia hidup dalam kekangan. Orang tuanya selalu menuntut nya untuk jadi yang terbaik. Meski dimanja, ia sering merasa kesepian.

...🦋...

Dalam diriku, ada tiga bayang yang berjalan di garis yang sama, namun tak pernah bertemu. Tiga sisi yang berbeda, namun saling terhubung. Aku adalah Alysa, Kirana, dan Putri. Tiga nama yang berbisik dalam satu keberadaan.

...🦋...

Bayang-bayang malam, bisikan sunyi yang hanya kudengar sendiri. Aku berjalan di antara keramaian tanpa benar-benar ada. Dunia ini terlalu keras, jadi aku memilih diam, menyembunyikan semua yang kurasa di balik mata yang kosong. Aku adalah kabut, selalu ada, tapi tak pernah benar-benar terlihat. ~Alysa.

Badai yang tak pernah tenang. Aku menari di antara kekacauan, memeluk keberanian yang sering disalahartikan. Aku melawan, bukan karena aku ingin menang, tapi karena aku tak ingin kalah. Aku hidup dengan liar, berani, dan penuh teka-teki. Mereka yang melihatku hanya menangkap serpihan dari apa yang sebenarnya aku sembunyikan.  ~Kirana

Cahaya pagi yang tenang dan indah, wajah yang selalu tersenyum meski di dalam ada ribuan cerita yang tak pernah diucapkan. Aku adalah sempurna dalam pandangan mereka, anak yang periang, penuh tawa, tapi tak pernah salah. Mereka melihat apa yang ingin mereka lihat, sementara aku terus memerankan peranku.  ~Putri

...🦋...

•Alysa — sisi yang muncul sebagai mekanisme bertahan saat ia merasa tertekan atau ingin menghindari konflik diluaran sana. Alysa adalah sisi dirinya yang pendiam, penuh kesedihan, cenderung menarik diri, dan menjadi pasif saat menghadapi situasi sulit. Alysa akan mulai muncul ketika kehidupan masa SMP di mulai.

•Kirana — sisi pemberontak dan pelindung. Biasanya para sahabat yang memanggil dengan nama panggilan itu. Ia muncul saat Alysa merasa terpojok atau perlu membela dirinya sendiri. Kirana selalu percaya diri, kadang impulsif, dan tidak takut melawan, tetapi tindakannya sering membuat situasi semakin rumit.

•Putri — sisi dirinya yang berusaha mengatasi rasa sakit dengan tawa dan keceriaan. Kepribadian ini muncul saat Alysa ingin menyenangkan orang lain atau mengalihkan perhatian dari masalah yang ia hadapi. Putri adalah nama panggilan oleh keluarga nya.

...🦋...

Tiga sisi ini bergerak dalam diam, bergantian mengisi ruang hidupku. Aku adalah bayang-bayang, badai, dan cahaya. Muncul dan menghilang, mengikuti alur yang tak pernah kutentukan. Tapi di antara semuanya, ada sesuatu yang hanya aku yang tahu—sebuah rahasia yang kusimpan dalam diam, tersembunyi di balik lembaran kisah ini.

Hari ini, aku memutuskan untuk menulis. Tidak sebagai Alysa, Kirana, atau Putri, tapi sebagai aku—seseorang di tengah-tengah mereka, yang mencoba memahami siapa sebenarnya diriku. Setiap kata di sini adalah serpihan kecil dari dunia yang selama ini aku sembunyikan. Sebuah cerita tentang tiga nama, tiga jiwa, dan satu rahasia yang terpendam.

...****************...

Awal dari dunia kecil Putri

  Pagi itu sinar matahari masuk melalui jendela kamar. Aku bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini adalah hari pertama aku sekolah di SD Nusa Indah, salah satu sekolah terfavorit di Jakarta. Mamah sudah menyiapkan seragam baru ku di atas tempat tidur. Seragam merah putih dan bando pink yang siap aku pakai.

"Putri, cepet bangun. Jangan males-malesan, nanti telat lohh." Suara mama terdengar dari luar pintu kamar.

"Lima menit lagi mahh. Putri masih ngantuk banget."

Mamahku masuk ke kamar, mencium pipiku dan menggelitikku supaya aku bangun. Oh ya, tidak lupa juga menarik hidung ku sampai aku tidak bisa bernapas, katanya sih biar hidung ku yang pesek jadi mancung.

"Putri ayo cepetan bangun. Hari ini hari pertama sekolah."

"EH IYA." Aku segera beranjak dari tempat tidur dan bergegas untuk mandi.

"MAH, SERAGAM PUTRI DIMANA?" Teriak ku karena panik.

"Udah ada di atas tempat tidur tuh, masa kamu gak liat sih." Jawab mamah ku yang sedang menyiapkan sarapan dan bekal ku di dapur.

Di sekolah aku selalu membawa bekal, karena aku pulang sekolah sampai sore hari, begitu pulang sekolah aku langsung pergi les, lalu malam nya aku pergi mengaji. Sekolah ku dengan TPQ kebetulan bersebelahan, sedangkan aku les di dua tempat di dekat sekolah dan di rumah ku sendiri hehe.

Orang tua ku memiliki beberapa usaha, seperti bimbingan belajar, kafe, counter, dan butik. Rumah kami memiliki dua lantai, di mana lantai pertama digunakan sebagai tempat bimbingan belajar, sedangkan butik, kafe, dan counter terletak di samping rumah. Meskipun usaha-usaha tersebut berdekatan, orang tua ku sangat sibuk mengurusnya dan dibantu oleh beberapa asisten untuk masing-masing usaha. Ada satu sopir dan satu pembantu di rumah, sebut saja Pak Man dan Mbok Sum .

Orang tua ku hanya berada di rumah pada pagi dan malam hari. Bahkan, ketika aku bangun tidur, mereka sudah sering pergi bekerja pagi-pagi, jadi aku lebih sering di buat kan sarapan, di persiapkan seragam dan alat sekolah oleh Mbok Sum.

Saat sarapan, mama selalu membicarakan tentang betapa pentingnya sekolah.

"Ingat Putri, kamu harus jadi yang terbaik. Jangan mau kalah sama yang lain."

Aku hanya mengangguk kecil. Aku tidak tahu apa arti menjadi yang terbaik ,tapi aku tau aku harus menuruti mamah.

   Di perjalanan menuju sekolah, aku duduk diam di kursi belakang mobil, dikemudikan seorang sopir. Aku cemas, karena aku takut tidak memiliki teman. Orangtua ku tidak bisa mengantar karena mereka sibuk, jadi tugas itu diambil alih oleh Pak Man, sopir keluarga yang sudah bekerja selama bertahun-tahun, sehingga sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.Pak Man, yang sudah menganggap ku seperti anak sendiri, mencoba menenangkan ku saat di perjalanan.

...

...

"Pak Man,kalau putri nggak punya teman gimana? Putri takut deh". Keluh Alysa.

Sambil mengelus rambut ku Pak Man berkata "Tenang Putri, gapapa kok. Kamu kan anak yang pintar dan baik. Nanti pasti banyak yang suka sama kamu. Kalau ada yang nggak mau temenan sama Putri, ya Putri cari yang lain."

Aku menunduk "Tapi Putri nggak tahu gimana caranya. Putri malu..."

"Percaya diri aja, Putri. Kalau kamu senyum dan ramah, pasti teman-teman bakal suka. Ingat ya, Pak Man selalu ada buat Putri."

Meski sedikit terhibur, aku tetap merasa cemas.

...****************...

...Sebuah senyum tulus adalah kunci untuk membuka pintu hati yang terkunci....

...🦋...

Sampai di gerbang sekolah bertuliskan "SD Nusa Indah" aku melangkah masuk ke sekolah, dengan penuh semangat dan sedikit keberanian, siap menghadapi dunia baru. Dengan rambut ikal yang di kepang dua, memakai bando pink, dan membawa tas gendong bergambar kupu-kupu menambah kesan imut pada diri ku.

Sekolah baru itu terasa asing, tapi perlahan aku mulai beradaptasi. Awalnya, aku hanya duduk diam di pojok kelas, mengamati teman-teman yang lain sibuk bermain dan bercanda.

Namun, ketika seorang teman sekelas ku menghampiri ku. Dinda Ayu Lestari, seorang gadis ceria menyapa dan mengajak ku bermain.

"Haii,kamu kenapa diem aja sendirian disini? gak main sama teman yang lain? Ouh, atau kamu belum punya temen ya? Mau gak temenan sama aku? Nama ku Dinda, nama mu siapa?" Tanya nya dengan muka yang sumringah dan bersemangat.

"Haii, aku Alysa Kirana Putri." Jawab ku sedikit malu-malu.

"ihh kamu lucu, mari berteman dengan ku. Nama panggilan mu siapa?" Tanya Dinda, lalu mengajak Putri berkenalan.

"Eumm boleh. Dirumah, aku biasa dipanggil Putri." Ucap ku.

"Hmm, Putri yahh..eum kurang keren. Gimana kalau aku panggil kamu Kirana? Boleh kan?" Tanya Dinda.

"Ya.. terserah kamu aja sih, Din." Jawab ku

"Yeayy, kita buat tim yuk biar keren?" Ucap Dinda.

"Hah tim apa? Buat apa?" Tanya ku kemudian.

"Yaa karena sekarang kita udah jadi sahabat." Jawab Dinda.

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Aku merasa senang karena akhirnya ada seseorang yang mau berteman dengan ku. Namun, aku masih merasa sedikit ragu.

"Tim? Tapi... apa kita cuma berdua? Apa nggak aneh?" tanya ku pelan sedikit memiringkan kepala.

Dinda tertawa kecil, matanya berbinar penuh semangat.

"Awalnya kita berdua dulu, nanti aku yakin teman-teman lain pasti mau ikut gabung sama kita karena tim kita bakal keren banget! Kita bisa kasih nama yang unik dan punya misi bareng!"

"Misi?" Aku semakin bingung, tapi diam-diam rasa penasaran mulai tumbuh.

"Iya! Misalnya misi membantu teman yang kesusahan, atau main petualangan di taman setiap jam istirahat atau pulang sekolah!" kata Dinda sambil menggoyangkan tangan ku dengan antusias.

Aku tersenyum lebar. Semangat Dinda mulai menular pada ku.

"Okey. Kalau begitu, kita buat tim ini. Tapi, apa namanya?"

Dinda berpikir keras "Eumm apa yah? Dinda juga masih bingung nih. Kirana ada ide gak?"

"Apa yaa..kirana juga enggak tau Din. Mungkin nama nya nunggu nanti aja sampai kita nemu ide bagus buat namanya. Gimana?" Ucap ku.

"Yasudah lah kalau begitu, nanti sambil kita pikir lagi. Kita belajar dulu yuk." Ucap Dinda.

Lalu kami berdua mulai melanjutkan pembelajaran di kelas setelah guru wali yang akan mengajar datang.

...****************...

...Ambisi seperti angin, mengangkat tinggi namun menusuk dalam keheningan....

...🦋...

Di sekolah, Aku juga cukup pintar dan selalu mendapat peringkat tiga besar di kelas. Seperti beberapa waktu ini, walau baru memasuki awal sekolah aku sudah menjuarai berbagai lomba di bidang-bidang keahlian yang aku minati.

Selain itu, aku sering menjuarai lomba-lomba seperti menggambar dan membuat puisi. Orang-orang memuji prestasi ku, menganggap ku sebagai anak yang hebat. Namun, di balik semua itu, aku menyimpan perasaan yang berbeda.

Setiap harinya, aku menghabiskan waktu di rumah. Sepulang sekolah, aku langsung belajar, menyelesaikan tugas, atau mengikuti les. Bahkan pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, aku juga diharuskan belajar terlebih dahulu. Baru malam nya aku mengikuti TPQ, yang kebetulan bersebelahan dengan sekolah ku, tidak terlalu jauh dari rumah. Aku juga menjadi santri terbaik di TPQ tersebut.

Malam itu, suasana di TPQ begitu meriah. Lampu-lampu gantung yang sederhana menghiasi aula kecil yang penuh dengan santri, guru, dan para orang tua. Suara tawa anak-anak bercampur dengan alunan rebana yang dimainkan dengan penuh semangat.

Para santri duduk rapih di barisan mereka, mengenakan pakaian seragam putih bersih dengan peci dan kerudung rapih. Aku duduk di barisan depan, sedikit gelisah, meskipun aku tahu malam ini adalah malam yang istimewa.

Beberapa hari sebelumnya, ustazah di TPQ memberitahuku bahwa aku terpilih sebagai santri terbaik. Aku terkejut sekaligus bangga, meskipun perasaan itu bercampur dengan kekhawatiran kecil.

"Apakah mamah dan papah akan datang?" pikirku saat itu.

Selama ini, mereka jarang menghadiri acara sekolah atau kegiatan lain karena kesibukan mengurus bisnis. Namun, ustazah memastikan bahwa undangan telah dikirimkan.

Ketika acara dimulai, namaku disebut sebagai santri terbaik dalam beberapa kategori : hafalan, adab, dan keaktifan dalam belajar. Aku berjalan ke depan untuk menerima piagam dan piala dengan senyuman, meskipun dalam hati aku bertanya-tanya apakah mereka sudah tiba.

Saat aku menoleh ke belakang, hatiku tiba-tiba melonjak.

Di sudut aula, aku melihat papah dan mamah berdiri dengan senyum bangga. Mereka terlihat lelah, tetapi ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka. Aku hampir tidak percaya.

Setelah acara selesai, mereka menghampiriku.

"Kerja bagus Putri, kamu hebat." kata papah dengan suara tenang.

"Nah gini dong, habis ini ayo kita pergi jalan-jalan ke mall" ajak mamahku.

"Beneran mah, pah? Putri mau banget." Ucapku antusias.

Malam itu menjadi momen yang tak terlupakan, bukan hanya karena penghargaan yang aku terima, tetapi juga karena aku merasa benar-benar dilihat dan dihargai oleh orang-orang yang paling aku sayangi.

Tawa yang tak tergapai

...Suara tawa itu melayang di udara, begitu dekat namun tak pernah kudapat. Aku ingin meraih, tapi langkahku terhenti. Seolah dunia mengingatkan, kebahagiaan itu bukan milikku....

...🦋...

Sore itu, matahari mulai tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Aku duduk di dekat jendela kamar, memandangi halaman depan rumah. Di sana, anak-anak seusia ku berlarian, tertawa lepas, dan bermain tanpa beban. Suara mereka terdengar jelas, membawa gelombang kenangan yang samar. Aku terdiam, memandangi mereka seperti orang asing yang melihat sesuatu yang tak pernah bisa dimiliki. Dalam hati, ada keinginan yang menyesakkan, *Apa rasanya bermain seperti itu?* 

Tangan ku menyentuh kaca jendela, seolah ingin menjangkau mereka. Namun, aku tahu batasan yang tak terlihat itu. Dunia mereka bukan milikku. Dunia ku ada di balik pintu kamar ini, bersama buku-buku, soal-soal latihan, dan tuntutan yang tak pernah habis. 

Ketukan pelan di pintu memecah lamunanku. Mamah masuk, membawa setumpuk buku latihan tambahan di tangannya. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh tekad. Ia mendekat, meletakkan buku itu di meja belajarku. 

"Putri, ini soal baru buat kamu kerjain," katanya tanpa basa-basi.

"Kamu harus rajin belajar. Nilai kamu harus bagus, gak boleh jelek. Kalau sampai nilai kamu jelek, kamu tahu kan, kamu bakal dapat hukuman." 

Aku hanya mengangguk pelan, mengambil buku itu tanpa protes.

"Iya, Mah," jawabku singkat. 

Namun, saat aku menunduk, mata ku mulai berkaca-kaca. Perasaan sesak yang tadi ku tahan kembali menyeruak. Dalam hati, aku bertanya-tanya, *Kapan terakhir kali aku bermain seperti mereka? Apa aku tidak boleh merasakan kebahagiaan yang sama?* 

Mamah masih berbicara, menyebutkan rencana baru untuk les tambahan. Ia bahkan menyebutkan bahwa suatu hari nanti, aku bisa menjadi pengajar di tempat bimbingan belajar miliknya. Kata-katanya terus mengalir, tapi aku sudah berhenti mendengar. Di kepalaku, hanya ada satu suara. Aku juga mau main. Aku juga mau tertawa seperti mereka.

Ketika Mamah keluar, aku kembali menatap ke luar jendela. Anak-anak itu masih bermain, seperti dunia mereka tak pernah mengenal beban. Aku memandang mereka dengan perasaan yang sulit kujelaskan. Di satu sisi, aku ingin berada di sana, di sisi lain, aku tahu aku tak akan pernah bisa. 

Aku membuka buku latihan yang baru diberikan mamah, menatap deretan soal yang terasa seperti labirin tanpa akhir. Aku menghela napas panjang, menekan rasa yang menggumpal di dada. Ini adalah hidupku, pikirku, meskipun aku tak pernah memilihnya. 

Dari balik jendela itu, aku menyaksikan kebebasan yang tak pernah bisa kujamah. Tapi di dalam kamar ini, aku tahu peranku harus terus dimainkan—Putri yang rajin, sempurna, dan tak pernah salah. Sore itu, aku sadar, mungkin bermain bukan bagian dari dunia yang diciptakan untukku.

Aku menatap deretan soal di buku latihan yang baru saja diberikan Mamah. Mataku mengikuti angka dan huruf yang berjejer rapi, tapi pikiranku melayang ke tempat lain. Ke halaman depan. Ke suara tawa yang semakin lama semakin memudar seiring dengan tenggelamnya matahari. Karena aku mulai bosan di kamar, aku memutuskan untuk belajar di ruang tengah. Aku menekan ujung pensil ke kertas, mencoba fokus.

Suara langkah kaki mendekat dari arah dapur. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Beberapa detik kemudian, suara lembut yang familiar menyapaku.

Dengan suara hangat mbok Sum berkata,

"Cah ayu, makan dulu yuk. Atau mau Mbok suapin? Kan kayak Putri waktu kecil, selalu disuapin kalau lagi sibuk belajar.”

Aku menoleh dan mendapati Mbok Sum berdiri di sampingku, membawa nampan berisi sepiring nasi hangat dengan lauk sederhana. Senyumnya ramah seperti biasa, tapi ada sorot khawatir di matanya.

Aku menggeleng pelan, mencoba tersenyum.

"Nggak usah, Mbok Sum. Makasih. Putri bisa makan sendiri. Putri sudah besar kan, hehe."

Mbok Sum menghela napas, lalu meletakkan nampan itu di meja di samping buku-buku yang berserakan. Ia menepuk pundakku pelan sebelum beranjak pergi.

Saat itu, aku melihat sosok lain yang berdiri di dekat pintu. Pak Man, sopir keluarga kami, baru saja lewat dan berpapasan dengan Mbok Sum. Keduanya saling bertukar lirikan, lalu secara halus mengarahkan pandangan ke arahku. Seperti ada komunikasi diam-diam di antara mereka.

Aku pura-pura tidak melihat. Pura-pura sibuk.

Biasanya, aku yang paling cerewet bercanda dengan mereka. Biasanya, aku akan meminta Pak Man membawakan jajanan setelah menjemput ku dari sekolah.

Aku mendengar langkah berat mendekat. Pak Man kini berdiri di sampingku. Seperti kebiasaannya setiap kali melihatku belajar, ia mengusap kepalaku pelan.

"Belajar terus, Putri? Jangan lupa istirahat, ya. Jangan sampai sakit.”

Aku tidak menjawab. Aku hanya mengangguk, masih menunduk menatap buku.

Pak Man menghela napas panjang. Aku tahu ia ingin berkata sesuatu lagi, tapi akhirnya ia hanya menepuk pundakku pelan sebelum melangkah pergi.

Aku menunggu sampai suara langkah kakinya menghilang, lalu menghela napas panjang. Kuletakkan pensil di meja, menatap buku-buku yang berantakan di depanku.

Aku melirik piring di sampingku. Aku lapar, tapi entah kenapa aku tidak punya selera makan.

Aku kembali menoleh ke jendela kamar ku. Anak-anak tadi sudah tidak ada. Yang tersisa hanya halaman kosong yang mulai diterangi lampu jalan.

Aku menghela napas lagi. Sore telah berlalu. Hari ini berakhir seperti kemarin. Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti mungkin hari-hari selanjutnya.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!