NovelToon NovelToon

Gadis Introvert Milik Ardiaz

1

Seorang pemuda tengah menyemprotkan parfum mahalnya dengan brutal. Mungkin lebih tepat kalau disebut mandi parfum, karena dia menyemprotkan cairan itu dari atas hingga bawah. Setelah penampilannya dirasa sempurna, dia gegas keluar dari dalam kamarnya.

"Ya Tuhan, Diaz...!! Kamu luluran parfum...?" celetuk sang mami, Tere namanya.

"Haruskah papi bangun pabrik parfum untukmu, Diaz...?!" sahut papinya, Arlan, sambil geleng kepala.

"Hahahaaa..., boleh juga itu, pi..." balas pemuda itu.

Pemuda itu adalah Ardiaz, putra kedua Arlan dan Tere. Dia duduk di bangku SMA kelas 12 jurusan IPA 2.

"Nanti lagi bahas pabrik parfum. Sarapan dulu sudah siang ini!" kata maminya.

Setelah menyelesaikan sarapan dengan kedua orang tuanya, Ardiaz pun berangkat ke sekolah mengendarai mobil. Mobil sport hitam kesayangannya. Kado ulang tahun dari papinya ketika dia ulang tahun ke tujuh belas dan sudah memiliki SIM.

Tak butuh waktu lama bagi Ardiaz untuk sampai di sekolah. Tapi butuh waktu tak sebentar untuknya kembali bercermin memperbaiki penampilannya sebelum keluar dari mobil kebanggaannya itu.

"Oke, Diaz. It's show time...!!" ujarnya lalu membuka pintu.

Seperti biasa, banyak pasang mata menatap ke arahnya. Baik secara terang-terangan ataupun diam-diam. Tak sedikit kaum Hawa yang mengidolakan Ardiaz. Bahkan beberapa dari mereka dengan tanpa malunya, mendekati Ardiaz.

"Ardiaz...!!" seru seorang gadis cantik nan anggun.

Gadis itu melambaikan tangannya pada Ardiaz, sambil berlari dengan riang ke arah Ardiaz. Gadis itu adalah Starla, teman Ardiaz sejak kecil. Yang kemana-mana selalu ngintilin Ardiaz. Bahkan sekolah pun harus sama dengan Ardiaz.

"Sendirian?" tanya Starla.

"Em." jawab Ardiaz singkat.

"Mamaku bawain dua bekal buat kita lunch. Nanti kita makan bareng, ya." Starla mengangkat tas bekal yang dia bawa.

"Lihat nanti." balasan Ardiaz membuat Starla kecewa. Tapi dia tetap berusaha tersenyum, tak ingin citranya buruk di mata lelaki pujaannya itu.

Saat jam istirahat Starla tidak bisa menemukan Ardiaz, dia juga tidak dapat menghubungi nomor lelaki itu. Tentu saja hal itu membuat Starla semakin kesal.

"Diaz kamu dimana...?" gumamnya sambil mencoba menghubungi teman-teman Ardiaz.

Tak ada yang menjawab panggilannya. Tapi ada sebuah pesan masuk dari Rasya.

Rasya : Why?!!!!

Starla : Diaz dimana?

Rasya : Mana gue tahu

Starla : Lo gak usah bohong. Kalian gak ada dimanapun, katakan lagi dimana?!!!!

Tak ada lagi balasan. Starla semakin frustasi dibuatnya.

___

Di toilet putra...

"Hahahaaa...!!"

Gelak tawa terdengar begitu renyah. Ya, sampai hari ini toilet putra adalah tempat yang selalu menyelamatkan Ardiaz dari Starla.

"Sayang bekalnya tahu...!" ujar Lutfi kemudian.

"Lo ambil saja gih, gue ikhlas seikhlas-ikhlasnya." sahut Ardiaz.

"Gak berani gue, males sama bawelnya. Cantik sih, tapi cerewetnya ampun-ampun, deh...!!" balas Lutfi.

"Betul banget. Lagian lo juga, kok bisa seawet itu sih temenan sama Starla. Betah banget..." kata Rasya.

"Betah darimana mana, ogeb...?!!" Lutfi menyenggol bahu Rasya. "Kalau Ardiaz sampai ngungsi ke toilet begini, artinya dia sudah enek dekat-dekat sama itu cewek...!!" tambahnya.

Ardiaz tidak menjawab apapun. Dia fokus bermain game dengan handphone miliknya yang tak ada kontak siapapun disana.

Pintu toilet terbuka, masuklah seorang siswa dengan seragam yang sangat rapi dan rambut klimisnya.

"Santai, bro. Masuk saja!" begitu kata Lutfi.

"I-iya." jawabnya gugup.

"Jangan katakan pada siapapun kalau lo lihat kita di sini!" Rasya memperingatkan siswa berkaca mata itu.

"Ba-ba-baik."

Siswa itu bergegas masuk ke salah satu bilik untuk menuntaskan hajat kecilnya. Lalu segera pergi jauh dari ketiga siswa yang sibuk bermain HP itu.

"Sebenarnya dia ganteng, lho. Cuma gayanya itu lho, ketinggalan jaman banget. Jadinya culun." begitu komentar Rasya.

"Mulut lo lama-lama lemes juga ya. Segala lo komentari. Mau jadi komentator lo?!!" sahut Lutfi.

"Kalau dibayar mahal, boleh juga dicoba. Hahahaaa...!!" Rasya tertawa.

"Entar malam kita keluar ya. Ke tempat biasa." Ardiaz yang sedari tadi khusyuk bermain game, akhirnya angkat bicara.

"Siap, bos...!!" balas Rasya dan Lutfi kompak.

"Jangan ngaret!!" ujar Ardiaz yang kemudian beranjak turun dari meja wastafel yang sejak tadi dia duduki.

"Eh, mau kemana?!" tanya Lutfi.

"Kelas." jawab Ardiaz singkat.

"Kan belum bel." sahut Lutfi.

"5 menit lagi." balas Ardiaz.

Lutfi dan Rasya saling tatap, kemudian menyusul Haris keluar toilet.

___

Malam itu pun tiba. Ardiaz dengan mobilnya meninggalkan rumah mewahnya menuju ke basecamp. Dia sudah rindu dengan kawan-kawan tongkrongannya.

"Dimana Chiko?" tanya Ardiaz.

"Nyokapnya sakit, dia sekarang jaga di rumah sakit. Lo tahu sendiri kan, bokapnya punya PIL. Jadi nyokapnya diabaikan." balas Galang.

"Kenapa tidak ada yang kasih tahu gue?" tanya Ardiaz lagi.

"Baru tadi pagi masuknya. Dan sebenarnya Chiko juga melarang gue kasih tahu lo semua." balas Galang. "Dia nggak enak sama lo. Nanti lo pasti akan merepotkan diri lagi untuk membantu dia." imbuhnya.

Memang Ardiaz adalah salah satu teman yang perhatian. Dia selalu siap sedia membantu teman-temannya yang membutuhkan uluran tangannya. Apapun itu, selama dijalur kebaikan, Ardiaz tidak akan keberatan.

Ardiaz melihat jam tangannya setelah mendengar cerita Galang. Sudah hampir jam sembilan malam. Waktunya pasien beristirahat. Jadi Ardiaz mengurungkan niatnya untuk menemui Chiko dan ibunya.

"Besok siang sepulang sekolah ada yang mau ikut gue jenguk nyokapnya Chiko?" tanya Ardiaz.

semua mengangkat tangan mereka serempak. Kecuali Rasya.

"Kira-kira, kawan...!" kata Rasya. "Itu rumah sakit, bukan playground. Iya kali kalian mau ikut semua. Pewakilan sajalah." ujarnya lagi.

Benar sekali yang dikatakan Rasya. Di basecamp ada 20 lebih manusia. Jika semua ke rumah sakit, tentu saja akan mengganggu ketenangan pasien. Pada akhirnya hanya Ardiaz, Lutfi, Rasya, dan Galang yang akan pergi. Mereka juga sudah mengumpulkan dana sukarela malam itu juga, untuk membantu ibu Chiko berobat.

......................

2

Di kota yang sama, di tempat yang berbeda. Seorang gadis sedang berlari sekuat tenaga. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan kalau tidak ada yang mengejarnya.

"Hah..., hah..., haaaah...!!"

Nafas gadis itu tersengal karena dia sudah terlalu lama berlari. Baru saja dia duduk di trotoar, telinganya samar-samar mendengar suara orang meneriakkan namanya.

"Aaleeeaaa...!! Keluar kamu...!!"

"Nggak, jangan...!!" gumam gadis yang bernama Alea itu.

Dia kembali berdiri, lalu berlari dengan energi yang belum sepenuhnya pulih. Jalanan yang sepi membuatnya bingung kemana harus pergi, dan pada siapa harus minta tolong.

"Aaleeeaaa...!!"

Suara itu kembali terdengar, dan semakin jelas saja. Tak ada pilihan lain, Alea harus mencari tempat sembunyi. Dia tidak sanggup berlari lagi. Jalanan yang dia lalui seakan tak berujung, bahkan tak ada tanda-tanda kehidupan. Suara kendaraan bermotor pun nyaris tak terdengar.

Alea terpaksa melompat ke semak-semak di tepian trotoar. Dirasa semak itu tak cukup rimbun dan tak bisa menyembunyikan dirinya. Alea melangkah lebih dalam lagi. Namun tiba-tiba...

"Aaaahh...!!!"

Bruk...

Tubuh lelahnya tergelincir dan terjatuh.

"Pa..., ma..., Aleaaa..., sakiiit..." ujarnya lirih dengan mata terpejam.

Sementara di atas sana, beberapa pria menghentikan langkah setelah mendengar suara teriakan.

"Apa itu dia?!" tanya seorang pria.

"Pasti dia. Siapa lagi." sahut rekannya.

"Itu artinya dia jatuh ke dasar lembah?" balas yang lain.

"Sial!! Ayo kita turun. Kita harus menemukan gadis itu. Dia asset berharganya si bos. Atm hidup kita juga. Dia hilang, bisa jadi nyawa kita melayang." ujar pria yang pertama bicara.

Pada akhirnya satu persatu dari mereka melompat ke semak-semak untuk mencari Alea.

___

"Harus banget sekarang?! Oh my God...!!"

Ardiaz merutuki dirinya sendiri, lantaran tiba-tiba dia ingin buang air kecil di tengah perjalanan pulang ke rumah. Tak ada pom bensin atau toilet umum, fasilitas umum itu sudah sejak tadi dia lewati. Sehingga Ardiaz terpaksa menepikan mobilnya. Setelah mengambil sebotol air mineral, dia turun dari mobilnya. Dia masuk lebih dalam melewati pembatas jalan.

Sraaak... Sraaak...

Ardiaz terdiam setelah membuang botol air yang telah kosong. Dia menajamkan indra pendengarannya. Memastikan suara itu lagi.

"Siapa?!" seru Ardiaz kemudian.

"To-long...!!" suara itu terdengar sangat pelan dan seolah tercekat di tenggorokan.

"Siapa di situ?!!" tanya Ardiaz lagi.

Tanpa rasa takut, Ardiaz mencari sumber suara itu. Baru beberapa langkah, dia mendapati seorang gadis meringkuk dalam kegelapan di antara semak-semak.

"Ya Tuhan...!! Hei..., lo kenapa...?!" Ardiaz berlari mendekatinya.

"Bawa aku pergi, sekarang. Mereka, mereka..., akan menyakitiku..." ujarnya lemah.

Melihat kondisi si gadis yang cukup mengenaskan, Ardiaz pun mengangkat tubuh lemah itu tanpa banyak bertanya. Yang penting pergi dulu, urusan lainnya dipikir nanti. Begitu yang ada di benak Ardiaz.

"Aleeeaa...!!"

Ardiaz bisa mendengar suara itu dengan jelas.

"Apa namanya Alea?"

Ardiaz menatap gadis dalam gendongannya yang sudah memejamkan mata. Entah karena lelah atau menahan rasa takut. Nalurinya berkata, gadis itu memang dalam bahaya. Dia memutuskan untuk langsung pergi dari tempat itu. Sebelum orang-orang itu menemukannya.

Ardiaz memutuskan untuk membawa gadis itu ke UGD. Karena tubuhnya penuh luka. Ardiaz menatap iba sosok yang berbaring di atas brankar. Beberapa luka sudah ditutup perban. Sedangkan luka-luka goresan kecil dibiarkan terbuka, dan sudah diberi krim luka.

"Aku dimana?" suara lirih itu terdengar menyedihkan.

"Lo di rumah sakit." jawab Ardiaz singkat.

Gadis itu, Alea, menatap sosok yang berada di sampingnya.

"Terimakasih sudah menolongku." kata Alea.

"Sama-sama." jawab Ardiaz. "Dokter bilang tidak perlu dirawat inap. Karena tidak ada luka serius. Jadi lo bisa istirahat di rumah."

"Rumah..." gumam Alea sambil menatap langit-langit rumah sakit.

"Di mana rumah lo? Gue bisa antar lo pulang." kata Ardiaz.

"Aku tidak ingin pulang..." ujarnya pelan.

Alea menoleh pada Ardiaz, dia meraih tangan Ardiaz.

Deg

Tiba-tiba Ardiaz merasakan debaran yang tidak normal di dadanya.

"Apa ini...?!!"

"Aku mohon, bawa aku pergi kemanapun. Asal jangan ke rumah. Kamu boleh bawa aku ke panti asuhan atau apapun. Asal tidak ada yang menemukanku. Aku tidak mau kembali. Aku mohon, tolong aku. Aku tidak akan melupakan budi baikmu setelah ini. Tolong...!!" tutur Alea memohon dengan air mata yang berderai.

Ardiaz berpikir keras untuk kesekian kalinya. Malam ini otaknya seakan diperas habis-habisan. Dia tidak mungkin tidak menolong gadis malang di hadapannya. Kondisinya benar-benar memprihatinkan.

"Baiklah. Untuk malam ini saja." batin Ardiaz.

......................

3

Ardiaz menghela nafas panjang saat keluar dari mobilnya. Mimpi apa dia, sehingga dia harus bertemu dan berurusan dengan gadis asing yang penuh luka di semak-semak itu. Dan sekarang, gadis itu memohon pertolongan darinya karena tidak ingin kembali ke rumahnya.

"Nasi goreng dua bungkus, pak." ujar Ardiaz pada penjual nasi goreng.

Nasi goreng gerobak di pinggir jalan menjadi pilihannya. Karena dia merasa sangat lapar. Malam ini otaknya seakan dituntut untuk bekerja lebih keras lagi dari biasanya. Hanya untuk memikirkan kemana dia akan membawa gadis itu?...

"Mending gue bawa ke apartemen dulu saja, deh. Besok dipikir lagi. Sudah malam banget lagi." pikir Ardiaz sambil menatap ke arah mobilnya terparkir.

Setelah pesanannya selesai, Ardiaz kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan menuju apartemen.

Sampai di apartemen, Ardiaz menunjukkan kamar untuk Alea sebelum dia masuk ke kamar utama.

"Lo bisa bersih-bersih dulu. Sebentar, gue ambilkan baju buat lo ganti."

Alea hanya duduk di tepi kasur setelah Ardiaz pergi. Tak lama kemudian Ardiaz kembali membawa setelan piyama miliknya, handuk dan perlengkapan mandi.

"Sorry, hanya ada ini. Pakai saja sementara. Setelah mandi dan ganti baju, lo bisa makan. Nasi gorengnya gue taruh di meja makan." begitu kata Ardiaz.

"Terimakasih." balas Alea.

Alea merasakan sakit dan perih yang luar biasa pada sekujur tubuhnya. Sesekali dia meringis saat terjadi gesekan antara sabun dan luka-luka di kulitnya. Bahkan Alea sampai menitihkan air mata.

Kruuuk... Kruuukk...

Perut laparnya tak bisa diajak kompromi. Tadinya Alea ingin berdiam diri saja di kamar. Selain untuk beristirahat, Alea juga merasa canggung berhadapan dengan Ardiaz. Orang asing yang sudah menolongnya.

Tok... Tok... Tok...

Dengan langkah terseret Alea mendekati pintu. Ardiaz sudah bersandar di sisi pintu saat pintu terbuka. Ardiaz melihat wajah Alea yang tampak lebih segar. Dia juga sudah mengenakan piyama miliknya. Kebesaran?? Iya jelas, karena postur mereka berbeda. Tapi setidaknya piyama itu tidak terlalu buruk di tubuh Alea.

"Buruan makan. Jangan sampai lo sakit." titah Ardiaz.

Bagai terhipnotis, Alea menuruti perintah Ardiaz begitu saja. Ada dua bungkus nasi goreng dan dua gelas air putih di atas meja makan. Alea duduk setelah Ardiaz duduk terlebih dulu.

"Sorry, adanya cuma ini." ujar Ardiaz.

"Ini sudah lebih dari cukup. Maaf, sudah membuat kamu repot." balas Alea.

Ardiaz tak menjawab, dia fokus dengan makanannya. Alea pun sama, dia makan dengan hati-hati dan terus menunduk. Dia tak berani bersitatap dengan sang tuan rumah.

Ardiaz lebih dulu menghabiskan makanannya. Lalu dia melipat tangan di bawah dada sambil menatap Alea. Dia penasaran sekali dengan apa yang menimpa gadis di hadapannya itu. Sehingga membuatnya berakhir di apartemen miliknya.

"Jadi, lo bisa ceritakan apa yang sudah terjadi?" tanya Ardiaz setelah Alea selesai makan.

"Jangan salah paham. Gue bukan ingin ikut campur atau gimana-gimana. Gue cuma mau mastiin saja, kalau lo bukan orang yang berbahaya." ujar Ardiaz selanjutnya.

___

Flashback

Pintu kamar Alea diketuk sangat keras oleh seseorang. Alea membuka pintu dengan rasa takut karena tidak biasanya omnya mengetuk pintu sambil berteriak.

"Ikut om sekarang!!"

Fuad, om Alea, menarik tangannya dengan paksa.

"Om mau bawa aku kemana?" tanya Alea yang terpaksa mengikuti langkah omnya. Bahkan dia hampir terjatuh karena tidak dapat mengimbangi langkah lebar pria itu.

Alea melihat tantenya duduk santai sambil memainkan ponsel, tanpa menoleh ke arahnya. Seakan tidak terjadi apapun di sekitarnya.

"Apa yang kamu harapkan, AL? Memang tantemu tidak pernah peduli padamu kan...?!" batin Alea.

Fuad mendorong tubuh Alea masuk ke dalam mobil. Lalu membawanya pergi entah kemana. Jalan yang dilalui semakin lama semakin asing bagi Alea. Alea sudah tidak tahu lagi dia akan dibawa kemana. Dia sempat berpikir akan berakhir di panti asuhan, karena tantenya selalu menyinggung hal itu.

"Om, kita mau kemana?" tanya Alea yang duduk di bangku belakang.

"Diamlah!!" titah sang om tanpa menoleh ke belakang.

"Tapi, om. Ini jauh sekali..." balas Alea.

"Semakin jauh semakin baik." sahut Fuad.

Alea terbelalak ketika mobil omnya memasuki jalanan sepi, lalu berakhir di sebuah gedung yang dihiasi lampu remang-remang.

"Nggak..., kenapa di sini...?!"

Alea semakin takut. Sungguh tak terbesit sedikitpun di benaknya, kalau adik papa itu akan membawanya ke tempat terlarang itu.

"Keluar kamu!!" Fuad menyeret kasar Alea agar keluar dari mobilnya.

"Om mau ngapain?! Aku nggak mau di sini, aku takut, om...!!" rengek Alea sambil berusaha melepaskan tangan omnya.

"DIAM...!!" teriak Fuad.

Alea tersentak, ini pertama kalinya dia mendapatkan teriakan sekeras itu.

"Om..." Alea menggeleng dengan air mata yang terus bercucuran.

Kemudian Fuad melempar Alea pada dua orang pria bertubuh tegap di depan pintu masuk.

"Hati-hati barang baru, masih bersegel. Jangan sampai lecet!" kata omnya sambil melangkah menciptakan jarak dari mereka.

"Wah..., mahal ini. Kaya kita, bos...!!" sahut seorang pria.

Alea bukan orang lugu yang tidak mengerti maksud dari ucapan mereka. Tak ingin hidupnya berakhir di tempat menjijikkan itu, Alea mengambil kesempatan untuk kabur saat cekalan dua pria itu belum terlalu kuat.

"Heeeii...!!" teriak seorang pria yang tadi menangkap tubuh Alea.

Fuad yang sedang menunggu telepon terjawab, sontak menoleh ke belakang.

"Sial!! Kejar dia...!!" seru Fuad.

"Anak itu benar-benar menyusahkan." geramnya.

___

"Lalu, kedepannya apa rencana lo?" tanya Ardiaz setelah mendengar cerita Alea.

Alea hanya geleng kepala. Otaknya belum bisa berpikir jernih. Yang dia pikirkan hanya sembunyi, agar omnya tak menemukan keberadaanya.

"Lo nggak ada keluarga lainnya?" tanya Ardiaz lagi.

"Ada. Tapi aku takut, kalau ternyata mereka sama. Mereka hanya menginginkan harta orang tuaku. Bukan aku. Sama seperti om Fuad dan tante Emi." ujar Alea seakan tak memiliki harapan lagi.

"Gue pikir hal semacam itu hanya ada di sinetron." balas Ardiaz seadanya.

"Sementara lo boleh tinggal di sini. Sampai lo bisa memutuskan mau pergi kemana. Gue pasti akan antar lo." katanya lagi.

Alea hanya diam. Dia mengerti sekali, Ardiaz tidak akan mau direpotkan terus-terusan olehnya. Alea harus segera memikirkan langkah apa yang akan dia ambil ke depannya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan dini hari. Alea masih belum bisa memejamkan matanya. Begitu pula dengan Ardiaz. Di kamar yang berbeda, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Aku nggak bisa terus tinggal di sini. Tapi aku harus pergi kemana?" pikir Alea.

Ardiaz pun bingung harus melakukan apa pada Alea. Bagaimana kalau dia tak kunjung memutuskan untuk pergi?

"Apa gue harus tegas menyuruhkan pergi? Tapi..., dia akan kemana?" gumam Ardiaz.

"Kalau terus di sini, gue dong yang nanggung hidupnya. Uang saku gue memangnya cukup buat nanggung biaya hidup Alea?"

"Bagaimana kalau papi sama mami tahu? Wah..., bisa dipaksa nikah muda gue..."

Ardiaz terus bicara sendiri di dalam kamarnya.

......................

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!