Hujan lebat menyerbu langit kota, angin kencang melanda, memainkan helaian rambut gadis kecil yang termenung di sudut halte. Bibirnya membiru, tubuhnya menggigil tak hanya karena dingin tapi juga karena teror yang menjalar dalam benaknya.
Nara duduk meringkuk, tangannya berusaha menciptakan kehangatan semu, namun ia tidak mampu mengusir ketakutan yang membelenggunya. Dengan bibir yang terus komat-kamit merutuki ketidakpedulian sang kakak yang tak kunjung datang menjemputnya.
Nara tak menyadari tatapan lembut dari pemuda tampan yang baru saja berhenti di sampingnya dengan motor gede yang berderu. Pemuda itu, tertarik oleh kerapuhan yang tampak jelas dalam diri gadis kecil tersebut, perlahan memulai usaha untuk menyapa dan memberikan secercah kehangatan di tengah kebekuan yang tak kenal ampun.
"Kenapa ponselku mati, gimana aku bisa menghubungi Mas Bara," dumel Nara dalam hati, sembari mengetuk layar ponselnya sambil menahan gigi.
Lagi lagi tindakan konyol Nara terekam dalam mata hitam pemuda tampan yang duduk di sebelahnya.
Hujan terus turun dengan ganas, membiarkan langit mencurahkan segala isinya. Nara yang merinding di bawah hujan yang tiada henti, memeluk tubuhnya dalam cengkeraman dingin yang tak tertahankan. Pemuda berhidung mancung dan berwajah tegas itu tanpa banyak bicara, melepas jaket hitam tebal yang dikenakannya dan dengan gerakan yang penuh perhatian, ia menyelimuti pundak Nara yang kedinginan.
Nara yang merasakan kehangatan tiba-tiba itu terperanjat, matanya bertemu pandang sejenak dengan pemuda tersebut. "Pakai ini," ujarnya, suaranya terdengar begitu tenang, kemudian ia segera memalingkan wajahnya. Pandangannya kembali pada jalanan yang basah kuyup, menyatu dengan hujan yang tak kunjung reda.
Dengan rasa terima kasih, Nara tersenyum lembut, "Em... terima kasih," sambil merapatkan jaket tebal itu ke seluruh tubuhnya, mencari sisa-sisa kehangatan yang ditawarkan oleh pemuda misterius tersebut di tengah dingin yang menggigit tulang.
Hujan telah reda namun rintik-rintik tetap berbisik di udara, membawa kegelisahan pada diri Nara yang terpaku di tepi jalan.
"Kenapa Mas Bara belum juga datang menjemputku?" keluhnya dengan nada penuh kekecewaan. Gala sosok pemuda tampan dengan aura yang menenangkan, yang duduk tak jauh dari sisi Nara, menoleh menatap wajah cemas gadis kecil itu.
"Mau pulang? Ikut denganku?" tawarannya lembut, matanya menatap langsung ke dalam jiwa Nara.
"Haa..." desah Nara, sedikit terkejut namun merasakan kedamaian dari ucapan pemuda tersebut.
"Ayo pulang, ikut denganku," ulang pemuda itu dengan senyum yang tulus terukir di wajahnya. "Tapi..." Nara berhenti sejenak, keraguannya terlihat jelas.
"Jangan khawatir, namaku Gala. Aku diutus untuk menjemputmu karena kakakmu terjebak di kemacetan akibat ada pohon tumbang yang menghalangi jalan," jelas Gala dengan suara yang menenangkan.
"Oh," Nara hanya bisa terdiam, matanya terbuka lebar seakan mencerna situasi yang tidak terduga ini. Gala kemudian berdiri tegap, menyodorkan helm ke arah Nara. Gadis berseragam putih biru itu menerima helm itu dengan ragu, tangan gemetar sedikit saat ia mencoba memakainya.
Melihat kesulitan Nara, Gala segera melangkah mendekat dan dengan lembut, ia membantu mengunci helm di kepala Nara, sentuhan tangannya memberikan rasa aman yang belum pernah Nara rasakan sebelumnya.
"Sudah, ayo naiklah," ajak Gala dengan nada lembut. Dengan sebuah anggukan kecil, Nara duduk di belakang motor. Sejenak keheningan menyelimuti, namun saat roda motor mulai berputar membelah jalanan yang basah oleh hujan, tangan Nara tiba-tiba merapat, memeluk pinggang Gala dengan cengkeraman yang kuat. Keterkejutan jelas tergambar di wajah Gala ketika ia menoleh dan melihat tangan Nara yang erat melingkari pinggangnya.
"Maaf, aku takut," bisik Nara, suaranya nyaris tak terdengar karena gemuruh suara mesin motor.
Tanpa kata, Gala hanya menarik nafas dalam dan memacu motornya lebih kencang, menembus dinginnya malam yang pekat. Sesampainya di depan rumah, Gala buru-buru mematikan motor, suara mesin yang mati memecah keheningan.
"Turunlah, sudah sampai," ujarnya pada Nara, yang tubuhnya masih terasa menempel berat di punggungnya. Tidak ada jawaban. Saat Gala mencoba melepas genggaman tangan Nara, gadis itu tiba-tiba limbung, kehilangan keseimbangan.
Dalam sekejap, Gala meraihnya dengan sigap, menangkap tubuh Nara yang nyaris terjatuh ke tanah dingin.
"Astagfirullah" ucap Gala kaget saat melihat Nara tak sadarkan diri, dengan cepat Gala membopong Nara untuk membawanya masuk ke dalam rumah milik Gala.
Dengan hati-hati Gala membaringkan Nara ke atas ranjang miliknya. Melihat baju Nara yang basah kuyup, Gala hanya dapa menutupi tubuh Nara dengan selimut tebal.
Setelah itu, Gala mengangkat sambungan telepon dari sahabatnya Bara, guna menanyakan prihal adik kesayangannya.Gala pun memberi tahu jika adi kesayangannya sudah berada di rumahnya. Namun Gala tak memberi tahu kondisi Nara yang pingsan. Gala tak ingin membuat Bara semakin khawatir.
"Jamgan hawatir, adikmu ada di rumahku sekarang," ucap Gala pada Bara.
"Oke, terima kasih. Aku nitip adikku sampai aku pulang," ucap Bara bernapas lega.
"Hem, kamu tenang saja,aku akan menjaga adikmu dengan baik" ujar Gala sebelum mematikan sambungan ponselnya.
Tepat pukul lima sore, Nara terbangun dari pingsannya. Gala yang melihat pergerakan Nara, langsung mendekat.
"Eeh, Kamu sudah sadar, adik kecil," ucap Gala dengan suara lembut, sambil menyodorkan gelas berisi air hangat kepada Nara.
"Emm... aku di mana?" tanya Nara, matanya memancarkan kebingungan. Dengan senyuman penuh kasih, Gala mengelus kepala bocah SMP tersebut.
"Tenang, Nara. Aku membawamu ke rumahku. Mas Baramu masih terjebak macet," jela Gala dengan suara mengayomi.
Dengan gerak hati-hati, Gala mengambil sebuah kaus dan celana boxer miliknya. "Cobalah kenakan ini, agar kau merasa lebih nyaman," ucapnya, seraya memberikan pakaian berwarna hitam itu kepada Nara.
"Tapi ini kebesaran..." protes Nara dengan suara lirih. Gala hanya tersenyum, duduk di tepi ranjang di samping gadis kecil itu.
"Ini ukuran terkecil yang aku miliki," ujarnya, sambil menyodorkan handuk. Nara mengangguk pelan, "Baiklah," sahutnya.
Gadis kecil itu turun perlahan dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari sisa-sisa hujan yang masih melekat pada tubuhnya. Setelah berganti pakaian, Nara melangkah keluar dari kamar. Dia duduk di ruang tengah, tubuhnya menggigil sedikit karena udara malam yang sejuk.
"Aku membuatkanmu sup jahe, minumlah" ujar Gala. Nara mengangguk. Dengan tangan menggigil,Nara meraih cangkir batu berisi sup jahe, lalu dia memegangi perutnya yang keroncongan, menandakan betapa laparnya dia.
Di rumah yang asing itu, di samping orang yang baru dikenalnya, rasa aman yang Gala tawarkan bagaikan oasis di tengah kegundahan yang masih bersarang dalam benak Nara. Dengan suara lirih, Nara pun memberanikan diri untuk berterusterang.
"Aku lapar" rengek Nara pada Gala yang sedang fokus menatap layar laptopnya, yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.
Mendengar suara Nara, Gala mengangkat wajah tampannya dengan perlahan,lalu bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur yang diikuti oleh Nara.
"Kamu mau makan apa?"tanya Gala sembari mengambil penggorengan.
"Apa saja," sahut Nara. Gala tersenyum lantas mengambil dua butir telur dari dalam kulkas, tampaknya pemuda baik hati itu akan membuatkan omlet untuk Nara.
Gala terlihat begitu cekatan, Nara yang menyaksikannya terpukau dengan tatapan penuh takjub.
"Mas Gala bisa masak?" ucap Nara sambil terus memperhatikan wajah tampan Gala.
"Hem..sedikit" sahut Gala dengan tenang.
"Sudah siap,makan lah" ucap Gala sambil menyodorkan piring berisi omlet buatannya ke hadapan gadis kecil itu.
"Makasih Mas Gala" Seketika itu Nara langsung menarik piring dan melahap piring berisi nasi di hadapannya. Nara tampak begitu menikmati omlet buatan Gala.
"Eem...ini omlet paling enak yang pernah Nara makan," ucap Nara dengan wajah sumringah.
Gala tersenyum sambil mengacak rambut ikal milik Nara.
"Benarkah...? Jika benar seenak itu, cepat habiskan makananmu," ucap Gala sambil menuangkan air putih ke dalam gelas untuk gadis kecil itu. Nara mengangguk,lalu melahap nasi dalam piringnya.
Tepat pukul sembilan malam, hujan kembali turun mengguyur kota, namun kali ini hujan itu disertai guntur dan kilat yang tampak menakutkan untuk Nara.
Nara tampak meringkuk sembari menutup kedua telingannya, keringat dingin mengucur dari kening gadis kecil itu. Gala yang masuk ke kamar, untuk memberikan selimut baru pada Nara, tampak terkejut saat melihat gadis kecil itu begitu ketakutannya.
"Kamu tidak apa-apa?" Gala berseru sambil melangkah mendekat. Nara bergidik, suaranya lemah bagaikan seruling kesiangan.
"Aku takut..."gumamnya.
"Tenang, aku di sini. Tidak akan membiarkan sesuatu buruk terjadi padamu," Gala berbisik lembut, menarik Nara ke dalam pelukannya yang hangat. Gala benar benar menjaga dan melindungi Nara sesuai permintaan Bara.
Gadis itu menghela napas, mencoba mencari keamanan dalam dekapan Gala yang seolah menjadi perisai dari ketakutannya yang melilit. Mata Nara perlahan terpejam, tertidur dalam ketenangan palsu.
Gala dengan hati-hati meletakkan kepala Nara di atas bantal, berusaha menjaga agar tidurnya tidak terganggu. Namun, saat Gala hendak melepaskan tangannya, Nara tiba-tiba memegang pergelangan tangan Gala dengan kekuatan yang mengejutkan.
"Mama... bertahanlah," desis Nara lirih, suaranya mengalun pilu memecah kesunyian. Gala membeku, telinganya tajam mencoba menangkap setiap bisikan lirih itu. "Jangan pergi... Tolong selamatkan Mamaku..." Nara meracau, suaranya tenggelam dalam samudra ketidaksadaran. Di balik kelopak matanya yang terpejam, air mata membentuk rintik di wajahnya yang pucat pasi, dibanjiri oleh keringat dingin yang membasahi dahi.
Hujan belum juga reda, langit terus menggumamkan suara gemuruh yang menakutkan. Tangan Nara semakin erat mencengkram lengan Gala, setiap kali kilat menyambar menunjukkan kecemasannya yang menghantuinya.
Gala, yang merasa bertanggung jawab, segera menghubungi Bara melalui ponsel yang bergetar di tangannya.
"Aku masih terjebak dalam kemacetan, Ga. Aku belum bisa pulang," sahut Bara dengan suara berat dan letih terdengar dari sambungan telepon. Gala menghela nafas panjang, tatapannya menerawang ke jam dinding yang seolah berdetak lebih lambat dari biasanya, menunjukkan sudah pukul sebelas malam, dan Bara masih terperangkap jauh di luar sana.
"Nara semakin ketakutan, setiap kali suara petir menggelegar," Gala mengabarkan kondisi Nara dengan nada suara penuh kekhawatiran. Raut wajah Gala semakin frustasi. Bara mendesah panjang, suaranya serak.
"Ya, dia memang trauma dengan hujan dan suara petir. Tolong, jagalah dia. Tetaplah di sampingnya hingga aku bisa pulang," pintanya dengan suara yang mendesak dan putus asa. Gala, meski merasa canggung dan berada dalam situasi yang sulit, hanya bisa mengangguk lemah.
"Hem, baik lah," ucapnya seraya menyimpan segala keraguan. Menantikan kedatangan Bara, Gala berusaha menenangkan Nara yang berada dalam pelukannya, berharap hujan segera reda, memberi tanda kepada hati kecil mereka bahwa badai akan berlalu dan cahaya akan menyinari mereka kembali.
Di malam yang dilanda gemuruh, wajah Nara yang pucat pasi tampak semakin mencengkeram jiwa Gala. Dengan tangan besarnya Gala menyeka butiran keringat dingin yang bermunculan di dahi gadis kecil itu.
Secara hati-hati, ia membaringkan tubuhnya, mengapit sang bidadari kecil yang bergetar di sebelahnya. Dalam pelukan yang menenangkan, Gala terus berjaga sepanjang malam, mencoba meredam ketakutan Nara yang tampaknya dilanda teror setiap kali guruh menggelegar dan hujan turun membabi buta.
"Ada apa gerangan denganmu,Dek? Mengapa suara petir dan rintik hujan bisa begitu menakutkanmu?" Gala menggumamkan pertanyaan tersebut dalam hati, tetapi hanya angin malam yang menjawab kerisauannya.
Pagi itu fajar menyingsing, membawa cahaya yang menyingkap mimpi buruk. Nara terbangun dari genggaman malam, tersentak dan terkesiap, seraya menutup mulutnya yang terbuka.
"Ya Tuhan... apa yang telah aku alami?" bisik Nara lembut, sambil mengucek matanya yang masih basah oleh mimpi. Di sebelahnya, Gala terjaga, matanya perlahan terbuka, menyambut raut wajah Nara yang masih tersimpan ketakutan.
"Kamu sudah bangun?" suara Gala memecah keheningan pagi, sambil ia perlahan mendudukkan tubuhnya di sisi ranjang. Nara menatapnya tajam, menelan ludah dengan kesulitan. Jantungnya berdegup kencang, sadar akan aturan yang menentangnya tidur seranjang dengan seorang pria dewasa, apalagi di usianya yang baru menginjak SMP.
"Kenapa Mas Gala tidur di sini?" suaranya bergetar, wajahnya pucat pasi, mengetahui dirinya tidur seranjang,dengan pria di hadapannya itu.
"Tenang, aku di sini untuk menjagamu," Gala berkata sambil perlahan turun dari ranjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri dan gadis kecil di hadapannya itu.
"Tunggu..." Nara berteriak, menghentikan langkah Gala yang hendak membuka pintu kamar. "Apa Mas Gala yakin tidak melakukan sesuatu padaku?" tanyanya dengan suara serak, matanya memancarkan ketakutan sementara tangannya refleks menutupi dadanya.
Gala hanya menyipitkan mata, tersenyum dengan geli melihat kekhawatiran yang tersirat jelas di wajah Nara.
"Hei... Sungguh di luar dugaanku, gadis kecil, kau berpikir sejauh itu?" Gala berkata dengan tawa yang penuh ejekan, menambah rasa malu di hati Nara.
Gadis itu lantas mendengus, dan dengan penuh kekesalan melemparkan bantal ke arah Gala. "Mas Galaaaa..." pekiknya dengan nada yang mencerminkan campuran kekesalannya.
Menggelengkan kepalanya, Gala beranjak meninggalkan kamar dengan gelak tawa yang masih tergantung di udara, sembari bersiap untuk memasak sarapan bagi mereka berdua. Setelah membersihkan diri, Nara keluar dari kamar mengenakan kemeja putih milik Gala yang terlalu besar baginya.
Sementara Gala yang baru datang dari arah dapur diiringi tatapan tercengangnya saat melihat kemeja miliknya digunakan oleh Nara.
"Hmm... Maaf, aku meminjamnya," ujar Nara dengan suara serak, saat sadar dengan tatapan Gala kearah kemeja yang ia kenakan, sambil terus menggulung lengan kemeja itu seakan mencari kenyamanan.
"Duduklah, ayo sarapan," ajak Gala dengan suara yang lebih lembut, sambil menarik kursi untuk Nara.
Di tengah kesunyian pagi yang menyeruak melalui jendela dapur, Nara dan Gala duduk berhadapan, menikmati sarapan yang Gala siapkan dengan penuh kelembutan. Kesenyapan itu hanya sesekali terputus oleh suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring.
Tiba-tiba, Gala memecah keheningan dengan pertanyaan yang mengejutkan untuk Nara hadapi.
"Apa yang membuatmu takut akan suara petir dan hujan deras, Dek?" Suaranya lembut namun penuh kekhawatiran. Nara, yang sedang menikmati kunyahan nasi, tiba-tiba terdiam. Dia terpaku, mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab, namun rasa sakit yang tiba-tiba muncul di kepalanya membuatnya terkejut.
Tanpa ia sadari, tangannya yang mungil mencengkeram gelas di hadapannya dengan begitu erat hingga gelas itu pecah berkeping-keping, serpihan kaca menorehkan luka di kulitnya yang halus dan mulai meneteskan darah.
Serangan panik itu membuatnya jatuh pingsan, tubuhnya melorot lemas dari kursi. Pada saat yang sama, Bara yang baru saja tiba untuk menjemput Nara, menyaksikan adik kesayangannya tergeletak tak sadarkan diri dengan tangan yang berdarah.
“Naraaa...” teriak Gala dan Bara serentak, penuh panik dan rasa takut. Di ranjang, Bara dengan hati-hati menopang tubuh Nara, sementara Gala dengan cekatan membalut luka yang terbuka. Dengan penuh perhatian, Bara memijat lembut telapak kaki Nara, berharap agar ia segera siuman dari mimpi buruk yang nyata itu. Ketegangan menggantung di udara, menunggu detik ketika Nara akan membuka matanya kembali.
Setelah Nara terbangun dari mimpi buruknya, Bara mengundang Gala untuk bertemu di taman belakang.
"Bar, apa yang sebenarnya terjadi pada Nara?" tanya Gala, matanya mencari jawaban dalam tatapan Bara,saat ini.
Bara menghela nafas berat, memandangi langit mendung yang bagai menggantung rendah di atas mereka, seolah memikul beban yang sama.
"Sejak kecil, Nara telah terbelenggu oleh trauma yang tak terungkap. Ketakutannya yang dalam itu... membuatnya rapuh. Setiap kali kita mencoba menggali lebih dalam, yang terjadi bukanlah pemulihan, melainkan penderitaan yang semakin menjadi,yang menggerogoti pikirannya" Bara berbicara dengan nada penuh kehawatiran.
Gala, tertunduk, sembari menyugar rambutnya, merasa bersalah. "Maaf, Bar. Aku tidak tahu bahwa pertanyaanku hari ini akan membuatnya kondisinya memburuk." Bara menepuk bahu Gala, memberi isyarat pengertian.
"Kamu tidak perlu minta maaf, Gala. Kamu belum tahu segalanya tentang Nara. Tapi sekarang, aku mohon, jangan pernah lagi mencoba menguak tentan ketakutannya. Kita harus menjaga dan melindunginya, bukan membuka lagi luka lamanya." ujar Bara lirih.
Gala mengangguk.
"Hem...kamu benar," sahut Gala mengerti akan kehawatiran yang Bara rasakan.
Di bawah langit mendung, kedua sahabat itu berdiri, berbagi beban kesedihan dan kepeduliannya untuk Nara, sambil bersumpah untuk menjadi pelindungnya gadis kecil itu.
Sejak peristiwa itu, kepercayaan Bara pada Gala semakin erat, menitipkan Nara kepadanya setiap kali ia harus meninggalkan kota karena tuntutan bisnis keluarga Harisman. Bara bukan sekadar mahasiswa akhir; ia adalah penerus dan pemimpin yang tangguh di kerajaan bisnis mereka.
"Ayo, kita pulang," ajak Bara dengan nada lembut pada adiknya.
"Em..." Nara membalas sambil menyesuaikan tasnya di bahu.
"Ga, aku bawa Nara pulang. Terima kasih sudah banyak membantu," ucap Bara sambil memberikan tepukan hangat di punggung Gala.
"Oke, hati-hati di jalan," Gala membalas dengan suara yang menunjukkan kekhawatiran akan keselamatan Bara. Sebelum Nara memasuki mobil, ia berbalik dan menatap Gala dengan penuh makna, seperti ada kata yang tak terucap namun terpahat dalam pandangannya.
"Mas Gala, terima kasih," katanya sambil mengulurkan sebuah lolipop dari dalam ranselnya. "Apa ini, Dek Nara?" Gala bertanya, matanya mengerjap sambil meneliti permen tersebut.
"Itu untuk Mas Bara," Nara menjelaskan cepat, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam mobil. "Oh, terima kasih atas permennya," ucap Gala, senyumannya mencairkan keheningan.
Mobil menderu membelah angin yang menemani perjalanan ke rumah Harisman. Sesaat setelah tiba, Nara berlari bergegas menuju kamarnya.
"Mas, Eyang tidak jadi pulang hari ini?" tanyanya seraya membuka pintu.
"Tidak, Eyang masih terikat urusan di Singapura," sahut Bara sambil menekan tombol laptopnya, tubuhnya ambruk ke sofa yang empuk.
*******
Satu tahun berlalu, dan tibalah Nara di ambang pintu masa depannya. Di tengah persiapan asesmen yang menentukan kelulusannya, untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
Gala muncul menjadi penunjuk arah. Pria itu, dengan sabar menjadi guru privat di rumah, pelan tapi pasti menyemai benih kedekatan di antara mereka. Namun, ketika mendekati hari kelulusan semakin mendekat, sebuah pukulan datang dari Gala.
Gala harus kembali ke kota asalnya. Kabar itu seakan jatuh bagai meteor, menghancurkan semua harapan dan mimpi yang sempat terbina dalam angan gadis kecil itu. Nara, kini, harus menghadapi tes yang menentukan, dengan hati yang berkeping-keping.
"Hey, kok ngelamun, Dek?" Bara merengkuh kepala Nara dengan lembut. Gadis cilik itu terlihat gelisah, bayangan duka tergambar jelas di wajahnya sejak mendengar berita perpindahan Gala ke kota asalnya.
"Mas, antar aku ke rumah Mas Gala ya, ada tugas yang ingin aku tanyakan," bohong Nara, ia ingin menghabiskan waktunya bersama Gala, sebelum pria itu benar benar meninggalkan ibu kota.
"Emang tugas apa?" tanya Bara seakan meragukan niat adiknya.
"Pokoknya tugas lah," balas Nara sekenanya.
"Hem, ayok... sekalian Mas mau ketemu klien di hotel Melati," kata Bara.
Bara tidak pernah sekalipun menolak apa pun yang diminta adiknya. Bara begitu menyayangi adik semata wayangnya itu.
Mobil mereka berhenti tepat di depan kediaman Gala. Nara langsung menekan bel rumah dengan penuh antisipasi. Tak lama, muncul sosok wanita cantik yang membuka pintu. Nara menatap wanita itu dengan pandangan tajam yang menyesatkan, seolah-olah bisa melihat melalui jiwa wanita itu.
"Hai, cari siapa?" sapa wanita itu dengan suara lembut yang penuh keramahan. Nara membisu, matanya masih terpaku penuh prasangka, ketika suara Gala terdengar dari dalam, membawa angin perubahan yang tak terduga.
"Siapa Ca?" Gala mempertanyakan dengan nada yang dipenuhi keheranan. Ica menjawab sekenanya, "Entahlah, ada bocil imut yang mencarimu." Nara yang dikatai anak kecil itu mendengus kesal saat dirinya disebut 'bocil' oleh wanita berambut pirang itu.
Dengan langkah yang begitu gesit, Nara melaju masuk, menabrak Ica, dan langsung memeluk Gala dengan erat.
"Mas Gala..." rengek Nara dengan manja.
Gala yang terkejut langsung membalik badan.
"Nara.."ucap Gala sembari menangkup wajah imut Nara.
"Apakah benar, seperti kata Mas Bara, kamu akan pindah,Mas?" suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca mencerminkan kekhawatiran.
Gala tersenyum pahit, sambil melepas pelukan Nara yang hangat di pinggangnya.
"Ya, Mas harus kembali ke Semarang, dan berencana melanjutkan S2 di sana," Gala menjelaskan seraya mengusap lembut wajah Nara yang tampak lesu.
"Tapi kenapa? Bisakah menunggu sampai Nara selesai ujian?" Nara mendesak, suara bergetarnya semakin kencang. Gala menggeleng lemah.
"Maaf, Dek Nara. Tidak bisa," ujarnya dengan nada suara yang meredam kesedihan. "Ayah Mas sakit parah, dan tidak ada yang bisa merawatnya di sana," lanjutnya. Nara membeku, perasaannya hancur.
"Apakah Mas Gala tidak akan kembali lagi kesini?" rasa takut merasuk ke dalam suaranya, sambil meremas ujung bajunya yang gemetar. Gala hanya bisa menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa memastikan, seraya berkata dengan berat.
"Mas tidak tahu, Dek Nara." Suara Gala begitu teduh, namun terdengar pecah dalam gendang. Wajah Nara pucat, dan air mata mulai merembas, menciptakan kolam kesedihan yang tak terperikan. Dia berdiri terpaku, dunianya seakan runtuh mendengar kenyataan akan kepergian Gala.
Ditengah perbincangan mereka berdua, Ica terus menatap intens kedekatan antara Gala dan gadis kecil itu. Ada rasa cemburu yang luar biasa dari dalam hati Ica, karena setelah kedatangan Nara, Gala mengacuhkan Ica, akhirnya Ica pun pamit pulang.
Gala tengah asyik mengatur tumpukan pakaian dan beberapa buku berharga untuk disumbangkan ke panti asuhan. Satu persatu barang terkumpul dalam kardus besar di sampingnya. Tiba-tiba, saat Gala hampir menutup kardus, Nara muncul dan menahan tutupnya dengan tangannya yang kecil. Mata Nara terpaku pada sebuah boneka rubah di dalam kardus.
"Ada apa?" Gala bertanya, penuh tanya. "Boneka ini?" Nara berujar lembut, jari-jarinya menyentuh lembut bulu boneka itu.
"Kamu menyukainya? Ambil saja, kalau kamu ingin," tawar Gala dengan senyum hangat. "Aku sudah besar, tidak membutuhkan boneka lagi," tolak Nara, tapi matanya tidak lepas dari boneka itu.Gala hanya tersenyum mendengar kepolosan Nara.
"Baiklah, kalau begitu aku akan membuangnya," ucapnya mencoba menguji reaksi Nara. Mendengar kata 'membuang', Nara segera menyambar boneka itu dan mendekapnya erat.
"Jangan dibuang! Aku akan menyimpannya. Sayang sekali kalau boneka sebagus ini terbuang percuma," katanya, matanya berbinar menatap Gala, seolah boneka itu adalah harta yang tak ternilai.
Selesai mengemas seluruh barang barangnya, Gala membawa Nara ke lantai atas, di sana mereka bernyanyi dan karoke dengan lagu lagu kesukaan mereka. Lelah bernyanyi, Nara duduk di sofa yang menghadap ke arah laut, jendela kaca besar itu seakan melukiskan keindahan alam terbuka.
"Ini, untumu" ucap Gala memberikan Nara segelas jus mangga kesukaan gadis kecil itu.
"Makasih Mas," ucap Nara langsung menyeruput jus pemberian Gala.
"Mas, apa kakak pirang tadi itu kekasihmu?" tanya Nara dengan mata menatap Gala dengan tajam. Gala menyipit lalu menggeleng.
"Aku sedang tak dekat dengan siapapun, kecuali kamu" ujar Gala, tak sadar jika kata kata Gala itu terdengar ambigu di telinga Nara.
"Oya, benarkah?" tanya Nara dengan senyum sumringahnya.
"Hem...apa Mas pernah bohong?" sahut Gala sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Hem, baguslah jika begitu. Nara jadi lega. Apa Mas Gala mau berjanji untuku?" tanya Nara pada pria dewasa di sebelahnya.
"Katakan, Mas harus janji apa, padamu?" tanya Gala.
"Bisakah Mas Gala gak pacaran dengan gadis manapun, sampai aku tumbuh menjadi wanita dewasa? aku ingin menjadi wanita dewasa yang berada di sisi Mas Gala," pinta Nara mengejutkan pria berhidung mancung itu..
Namun keterkejutannya itu ia tutupi dengan nada bercanda.
"Ooo...Mas yakin, kamu akan tumbuh menjadi gadis cantik yang mempesona dan saat kamu tumbuh dewasa Mas yakin kamu tak akan mengingat Mas Galamu lagi,karena rambutku yang mulai memutih" Nara terkekeh mendengar ucapan Gala.
Hari makin senja, Bara tak kunjung menjemput Nara. Bahkan Bara memberi kabar pada Gala, jika ia meminta untuk menemani Nara sementara waktu, karena Bara harus ke Singapura, ada hal penting yang harus ia selesaikan di sana.
"Ada apa dengan Mas Bara, Mas?" tanya Nara ingin tahu.
"Kamu nginap di sini ya, Mas Baramu harus terbang ke Singapura sore ini," ucap Gala memberi tahu Nara.
Mendengar kabar itu, Nara tersenyum manis. Karena ia memiliki waktu yang banyak untuk bersama Mas Galanya malam ini, sebelum hari perpisahan itu tiba.
Malam merangkak larut, jam menunjukkan pukul sepuluh, langit semakin menggelap, perkiraan cuaca akan terjadi hujan disertai angin kencang malam ini. Benar saja tepat pukul 21.00 angin kencang disertai kilatan terlihat bercahaya terang di balik tirai.
Tiba-tiba kilatan cahaya memecah kesunyian malam, membuat Nara meringkuk di balik selimut. Mendengar suara petir, Gala langsung berhenti dari pekerjaannya di depan laptop, menutup perangkat itu dengan terburu-buru dan berlari menuju kamar.
Dengan langkah yang dipenuhi kehawatiran atas diri Nara, akan teror hujan badai malam ini, dia tak akan membiarkan Nara, gadis kecil yang trauma itu, menderita sendirian.
"Tenanglah, ada Mas di sini," bisik Gala dengan suara yang penuh ketenangan, seraya mendekap tubuh mungil Nara yang gemetar ke dalam pelukannya yang hangat.
"Aku takut, Mas," bisik Nara terbata,"Jika Mas Gala pergi, siapa yang akan menjagaku?" suara Nara bergetar, nada putus asanya menyayat hati Gala.
"Kamu harus belajar menghadapi ini, Dek. Pelan-pelan hadapi ketakutanmu sendiri" Gala menenangkan sambil terus mengelus punggung Nara dengan lembut, berharap rasa takutnya akan perlahan sirna.
Malam itu, Gala tak lagi sendiri. Dia berbagi ranjang dengan gadis cilik yang telah mengisi ruang kosong di hatinya, mendampingi Nara melawan terornya hingga fajar menyingsing. Nara si gadis cilik itu, masih meringkuk dengan aman dalam dekapan hangat Gala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!