NovelToon NovelToon

Tunangan Antagonist

Bab 1: sebelum transmigrasi

...🍒🍒🍒...

"Huwa..! Malvin jahat banget sih. Katanya cinta tapi kok suka nyiksa?!"

"Hust. Diam!"

Nara mengunci mulutnya rapat-rapat setelah mendapatkan teguran dari guru kimianya. Meskipun begitu, diam-diam gadis itu tetap melanjutkan membaca novel yang ia sembuyikan di laci meja.

Nara tidak bisa menunggu sampai istirahat karena cerita sedang asik-asiknya.

"Berhenti Malvin, ini sakit..." rintih Mira. Ia hanya bisa pasrah menerima semua perlakuan Malvin. Tangan dan kakinya ikat. Mira tidak bisa melakukan perlawanan.

"Berhenti?" satu sudut bibir Malvin tersungging miring.

"Kita belum melakukan intinya sayang." ucapnya tersenyum penuh arti.

Setelahnya Mira dibuat semakin takut ketika Malvin melucuti pakaian atasnya. Menampilkan perut sixpack berototnya. Mungkin jika tidak dalam situasi seperti ini, dengan suka hati Mira akan menyentuh perut itu.

Nyatanya, keadaannya sekarang sangat berantakan. Paha atasnya perih karena cambukan dari Malvin. Bagian intinya terasa ngilu karena dengan kasar Malvin masukkan sebuah alat dan memainkannya secara kasar.

"Malvin, kamu mau ngapain!" jerit Mira takut membuat Malvin seketika terkekeh.

"Bermain. Apa lagi?"

"Malvin, jangan yang itu. Punyaku sakit." mohon Mira. Tubuhnya bergetar takut. Apalagi ketika Malvin mendekatinya dan mulai menarik resleting celananya turun.

"Jangan? Bukannya lo sendiri yang nawarin diri buat jadi sub gue? Lo berjanji akan ada kapanpun gue butuh lo. Tapi sekarang apa. Lo bohongin gue?" tekan Malvin menc*kik leher Mira. Rautnya tak bersahabat. Pemuda itu tak suka jika Mira membangkang.

Wajah Mira memerah. Nafasnya hampir habis. Dan ketika kaki gadis itu mulai kelabakan barulah Malvin lepaskan cekikkannya kasar hingga wajah Mira tertoleh ke samping.

"Lo nggak bisa nolak Mira. Sesuai perjanjian awal. Lo harus siap muasin gue kapan pun gue mau."

"Ihh...dasar Malvin psikopat gila! Mira-nya kasian ya amp---

"NARA! JIKA TIDAK INGIN MENGIKUTI PELAJARAN SEBAIKNYA KELUAR!"

Bukan hanya Nara. Semua penghuni kelas tersentak kaget mendengar bentakan Bu Ani yang menggelegar itu.

Seketika Nara kelabakan. Gadis itu berdiri untuk meminta maaf. Tangannya saling bertaut di depan dengan kepala menunduk takut.

"Ma--maaf Bu."

"Keluar!" usir guru kimia yang sepertinya benar-benar marah itu.

"Tapi Bu---

"Kamu yang keluar atau saya yang keluar?!"

Suana hening. Tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Ini juga salah Nara. Sudah tahu jika Bu Ani adalah guru killer. Tapi ia berani berulah di saat mata pelajarannya.

Menghembuskan nafas pasrah, Nara mengambil novelnya lalu mulai beranjak dari bangkunya. Percuma. Bu Ani tidak akan mengubah keputusannya.

Saat Nara sudah di ambang pintu, suara Bu Ani kembali mengintrupsi.

"Pergi ke BK minta surat keterangan melanggar tata tertib sekolah."

Nara hanya bisa mengangguk pasrah. "Baik Bu.."

Keluar dari kelas, Nara mendumel kesal. Dia tahu dirinya salah. Tapi apakah harus dikeluarkan dari kelas.

"Ck, daripada ke BK mending ke rooftop. Baca novel." ringan gadis itu berbicara. Membuka halaman terakhir yang sudah dibacanya, Nara berjalan dengan mata fokus menatap lembar novelnya.

"Wah, kok tiba-tiba Malvin nyulik Arana?!" heboh gadis itu. Untung sekitarnya sepi atau dia akan mendapatkan teguran kembali.

"Gue tau Malvin musuhnya Hades sang antagonis. Tapi emang dia tau kalo Arana tunangannya Hades?"

Tanpa sadar, Nara sudah berada di lantai paling atas gedung sekolah. Panas dari matahari sama sekali tak mempengaruhi fokus gadis itu pada novelnya. Bahkan sampai langkahnya menuju ujung rooftop.

"Lo menghianati kepercayaan gue Arana."

Pemuda itu menatap gadisnya dengan sorot dipenuhi kekecewaan.

"Ini nggak seperti yang lo pikir. Gue---

"Arana. Lo udah ngelanggar perjanjian kita." pemuda itu tak membiarkan Arana menyelesaikan ucapannya.

Saat matanya fokus mengintimidasi lawan bicaranya, diam diam tangannya mengeluarkan pistol dari saku hoodie-nya. Lalu menodongkannya pada Arana.

"Lo!" Arana terkejut. Rasa panik mulai hadir ketika pemuda itu mengeluarkan seringainya.

"Dengar. Jika gue nggak bisa miliki lo. Orang lain juga nggak bisa."

"Mending lo mati. Dan permainan akan selesai. Ini lebih adil daripada gue harus melihat lo sama orang lain."

"Lo gila!" teriak Arana takut. Ingin sekali dirinya berlari. Namun sialnya tubuhnya terikat pada batang pohon.

"Gila?" pemuda itu terkekeh. Setelah rautnya berubah dingin. "Ini baru gila."

Dor!

Kejadiannya begitu cepat. Bahkan Arana tak sempat berteriak. Tubuhnya membeku. Dada kirinya terasa panas dengan darah yang mulai merembes keluar.

"Selamat tinggal Arana..."

"Gila gila gila! Siapa yang bunuh figuran yang satu ini!!?"

Nara hendak membalik lembar halaman. Rasa penasarannya begitu tinggi untuk mengetahui pelenyap tunangan antagonis itu. Kasihan sekali nasibnya sebagai tokoh novel. Jarang muncul sekalinya muncul malah dibuat mati.

"Wah, tokohnya banyak gilanya. Sampai bunuh bunuhan. Kalo gue hidup di novel ini, bisa mati muda."

"Kok gue jadi penasaran sama kehidupan Arana ya. Kira-kira gimana hub--AAAAA!!!"

Sama seperti pembunuhan di novel yang dia baca. Kejadian yang Nara alami begitu cepat. Tubuhnya serasa melayang saat kakinya kehilangan pijakannya. Novel di genggamannya terlempar entah kemana. Dada gadis itu berdebar kencang. Menutup rapat matanya, ia seakan tak siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

Nara terjatuh dari rooftop sekolah yang memiliki total tiga lantai itu.

Brukk

Sakit. Itulah yang Nara rasakan. Tubuhnya serasa remuk. Perutnya sakit. Tidak tidak. Seluruh badannya sakit. Terbatuk, cairan merah keluar dari mulutnya. Kepalanya pusing dan nyeri sekaligus.

Mata Nara berkunang-kunang. Penglihatannya nampak memburam. Bahkan ia tak dapat melihat dengan jelas, kaki orang-orang yang mulai mengerubunginya.

"Siapa..." Nara Bergumam lirih.

"Uhuk! Siapa yang bu--bunuh Arana..."

Dan setelah itu, semuanya gelap.

...•...

...•...

...•...

...🍒🍒🍒...

Bab 2: perpindahan jiwa

...🍒🍒🍒...

Mata yang semula terpejam itu perlahan terbuka. Sorot lampu menghalangi penglihatannya dalam sekejab. Tenggorakannya terasa kering dan kepala yang berdenyut pusing.

"Air..." suaranya terdengar lemah dan lirih.

Tak lama, samar-samar gadis itu melihat siluet seorang pemuda tengah menatapnya yang ia sendiri tak tahu apa arti tatapan itu.

Pemuda itu membantunya meminum air dengan melepas alat bantu pernafasan yang menutupi hidung serta mulutnya. Lalu mendekatkan gelas yang sudah diberi sedotan agar lebih mudah.

Pemuda itu tak kunjung mengeluarkan suara. Dirinya pun terlalu lemah untuk sekadar membuka mulut. Hingga suara pintu dibuka terdengar. Seorang pria berjas putih datang menghampirinya.

"Kapan Nona Arana sadar?"

"Baru saja."

Arana? Siapa Arana. Dia seperti tak asing dengan nama itu.

Ah, bukankah itu nama tokoh figuran di novel yang ia baca sebelum tragedi itu terjadi. Nara kira dia akan mati. Tak sangka ia masih bisa membuka mata.

Dokter itu memeriksa denyut jantung Nara. Mata, mulut, serta tekanan darah tak luput dari pemeriksaan dokter itu.

"Nona Arana sekarang baik baik saja. Namun dia masih terlalu lemah. Ini wajar, mengingat Nona Arana koma hampir satu minggu. Perlahan, kondisinya akan stabil."

"Terimakasih."

"Baik. Kalau begitu, saya tinggal dulu. Ini kabar yang baik, saya akan segera memberitahu Tuan dan Nyonya Wilson."

Dokter itu pergi. Menyisakan Nara dengan pemuda asing itu yang kini duduk di samping bankar-nya.

Saat merasakan elusan lembut di rambutnya, Nara seketika menatap pemuda itu bingung.

"Butuh sesuatu?" ucap pemuda itu terlampau lembut. Ibu jarinya mengusap kening Nara yang sedikit berkeringat.

"Lo sia...pa?"

Elusan di rambutnya terhenti. Pemuda itu menatap dirinya tanpa ekspresi. Tidak sebelum sebuah kekehan menyapa indra pendengaran Nara. Tawa yang terdengar sinis.

"Segitunya ya?" ucapnya ambigu membuat Nara semakin bingung.

"Segitunya lo nggak mau gue ada di dekat lo? Sampai-sampai lo pura-pura hilang ingatan bahkan di saat kondisi lo yang seperti sekarang?"

"Mak...maksudnya apa..."

Sialan. Saat tubuh dan otaknya tidak bisa diajak kompromi dirinya harus memikirkan hal yang membuatnya bertambah pusing.

Ada yang salah dengan pertanyaannya. Nara hanya tanya siapa dia. Apakah salah. Di saat seharusnya orangtuanya yang berada di sampingnya, kenapa malah pemuda asing ini yang berada di ruangannya.

"Jangan pura-pura lagi Arana. Berhenti bersandiwara. Lama-lama gue muak."

Setelahnya, pemuda yang Nara tak kenal itu pergi keluar dari ruangan dengan marah. Meninggalkan Nara sendiri. Namun gadis itu masih terpaku dengan panggilan pemuda itu untuknya.

Arana. Pemuda itu memanggilnya Arana. Namun, bagaimana bisa. Namanya Nara. Bukan Arana.

Ingatan Nara terlempar ke beberapa menit yang lalu. Ketika dokter yang memeriksanya mengucapkan sesuatu yang sepertinya pernah Nara dengar.

"Ini kabar yang baik, saya akan segera memberitahu Tuan dan Nyonya Wilson."

Wilson. Arana Wilson.

Bukankah itu nama tokoh figuran di novelnya. Tunangan dari antagonis cerita yang berakhir mati karena dibunuh oleh seseorang.

Seseorang yang belum ia ketahui namanya karena keburu jatuh dari atap sekolah.

"Awss..." Nara merintih kala merasakan pusing yang luar biasa. Kedua tangannya meremat rambutnya yang sedikit lepek. Berharap pusingnya segera menghilang.

Sayangnya bukannya mereda sakitnya malah bertambah. Bak ribuan jarum menusuk-nusuk kulit kepalanya, Nara mengerang kesakitan.

"Ssakitt!"

"Tolong. Siapapun tolong arghh!"

Sekelibat bayangan berbagai peristiwa bertubi-tubi menyambangi otaknya. Dan hal itu membuatnya semakin mengerang kesakitan.

"Sakittt...!"

Kamu adalah orang terpilih, untuk memperbaiki segala yang rusak...

Suara asing tak bertuan muncul secara tiba-tiba. Memaksa masuk ke dalam indra pendengaran Nara di saat gadis itu kepayahan menahan segala rasa tak nyaman di tubuhnya.

"Hah...hah..." nafas Nara mulai tersendat.

Benahi alur yang tidak selaras dengan aturan kehidupan...

"Hah...sakit..." tubuhnya melemah kembali. Bunyi monitor terdengar nyaring.

Jalani kehidupan barumu, lakukan tugasmu, dan nanti setelah semuanya kembali ke posisinya, kamu akan menerima imbalan yang setimpal...

"To..tolong...."

Sebelum matanya benar-benar terpejam, Nara masih sempat mendengar pintu dibuka dengan keras. Lalu disusul teriakan penuh ke khawatiran.

"Arana!!"

Detik itu juga, ia menyadari. Hidupnya telah berubah. Segalanya tak akan lagi sama.

...•...

...•...

...•...

...🍒🍒🍒...

Bab tiga: tunanganmu

...🍒🍒🍒...

"Sekarang gimana kondisi kamu sayang?" Nara---ah, maksudnya Arana tersenyum kikuk. Menatap wanita paruh baya yang tengah menggenggam tangannya sedikit senggan.

"Aku...aku baik Ma." ucapnya agak lama, setelah memilah jawaban yang paling tepat.

"Syukurlah..."

"Rana, Mama khawatir banget sama kamu. Tadi, kata dokter kamu udah bangun. Mama seneng banget. Tapi saat Mama mau ke sini, Mama dapat kabar kalo kamu ngedrop lagi."

"Mama takut Arana..."

Mata wanita paruh baya bernama Dela itu berkaca-kaca. Melihatnya Arana jadi merasa bersalah. Oleh karena itu, ia balik menggenggam tangan Mama-nya dengan gelengan kepala. Tidak mengijinkan wanita itu untuk menangis.

"Mama jangan nangis. Aku udah baik-baik saja. Aku udah sembuh Ma..."

"Mama takut kehilangan kamu sayang." adu Dela. Tangan yang terbebas dari genggaman Arana mengelus pipi anaknya penuh kasih. Namun Arana tahu, di balik itu Dela menyimpan ketakutan yang besar.

"Mama takut kamu ninggalin Mama sama Papa."

Hati Arana tersentuh. Matanya ikut berkaca-kaca. Ia sedikit mendekat pada Dela, lalu memeluknya, memberikan penenangan. Meyakinkannya jika kini anaknya telah baik-baik saja.

Meskipun bukan anak yang sesungguhnya.

Bagaimana caranya memberitahu jika jiwa tubuh anaknya ini sudah berbeda. Tubuhnya memang masih sama namun jiwanya tidak. Arana tidak tega mengatakan kebenarannya.

Gadis itu tidak pernah menyangka akan berada di situasi seperti ini. Mengalami transmigrasi jiwa yang ia kira hanya ada di dunia fiksi. Tidak masuk akal, tapi inilah yang dia alami.

"Arana, Mama sayang sama kamu." gumam Dela membalas pelukan Arana erat. Wanita itu sedikit terisak menumpahkan tangisannya.

"Aku...juga sayang sama Mama."

Dapat Arana rasakan tubuh Dela membeku. Gadis itu mengernyit bingung. Apakah ada yang salah dengan jawabnya. Ia pikir jawaban itu adalah yang paling tepat di situasi seperti sekarang.

Dela mengurai pelukan mereka. Menangkup kedua pipi Arana penuh bahagia.

"Kamu sayang sama Mama?"

"Iya, tidak ada anak yang tidak sayang sama orangtuanya. Bukankah begitu?"

Kembali merengkuh anaknya erat, Dela menggumamkan kata terimakasih berulang kali. Seakan jawaban seperti itu telah dinantinya sekian lama.

Arana balas pelukan Dela dengan banyak pertanyaan di benaknya. Situasi seperti ini seakan menggambarkan, jika sebelumnya hubungan mereka tidak baik-baik saja.

Gadis itu kembali teringat dengan suara tak bertuan yang bergema sebelum dirinya kembali tak sadarkan diri.

Kamu adalah orang terpilih, untuk memperbaiki segala yang rusak...

Benahi alur yang tidak selaras dengan aturan kehidupan...

Ini berarti, di dunia novel ini, dia memiliki misi. Sebuah misi untuk mencegah kejadian-kejadian yang seharusnya tidak boleh terjadi?

Tapi kejadian apa. Apa yang harus ia benahi. Apa yang rusak. Apa yang harus Arana perbaiki.

Jalani kehidupan barumu, lakukan tugasmu, dan nanti setelah semuanya kembali ke posisinya, kamu akan menerima imbalan yang setimpal...

Apa yang harus kembali ke posisinya masing-masing. Apa yang melenceng. Tidak bisakah suara itu memberinya sedikit petunjuk.

"Kalian peluk-peluk. Papa nggak di ajak nih?"

Suara itu mengagetkan Arana yang melamun memikirkan segala ansumsi di dalam otak kecilnya. Mengurai pelukan mereka, Dela menghampiri laki-laki paruh baya yang menenteng sebuah paper bag coklat dengan senyum bahagianya.

Satu pertanyaan Arana. Kapan laki-laki itu masuk.

"Pa, anak kita Pa. Anak kita sudah kembali. Arana kita kembali Pa..."

...🍒🍒🍒...

Arana membuang nafas bosan. Orangtuanya pergi dengan alasan ada pekerjaan yang harus diurus. Yah, ternyata laki-laki paruh baya yang mengganggu sesi pelukannya dengan Dela adalah Papa-nya.

Melirik nakas, gadis itu mengambil brownies coklat yang dibawa oleh Dika--sang Papa yang masih berkurang sedikit. Saat ingin memakannya pintu ruang rawatnya terbuka. Menampilkan remaja laki-laki yang Arana lihat pertama kali saat bangun dari koma.

Tanpa suara pemuda itu mendekati bankar-nya. Meletakan alat stainless steel berisi makanan empat sehat, hanya saja tidak ada susu.

"Waktunya makan malam." ujar pemuda itu tanpa menatap Arana.

Dia Hades. Tunanganmu.

Arana terkejut ketika suara tak bertuan itu kembali muncul. Meneliti sekitar, gadis itu memastikan jika tidak ada orang lain di ruangannya selain dirinya dan pemuda yang katanya bernama Hades ini.

Arana menatap pemuda di dekatnya itu penuh penilaian.

Jadi begini tampang sang antagonis cerita. Tampan. Sangat tampan. Tinggi, tubuhnya kekar, bahunya lebar, dadanya bidang, rahangnya tegas, bibir se-xi, alis tebal, hidung mancung, ahh--Arana tidak bisa berkata-kata lagi.

Antagonis-nya saja setampan ini, apalagi sang protagonis.

Tenang saja, di waktu-waktu tertentu aku akan datang.

Suara tak bertuan itu bergema kembali. Ingin sekali Arana berteriak 'siapa kamu sebenarnya?!' tapi itu tidak mungkin. Atau Hades akan mengatainya tidak waras.

"Ehem..." Arana berdehem. Hades yang tengah menyiapkan makan malam untuknya menatap tunangannya dengan salah satu alis yang menaik.

Seakan bertanya 'ada apa?'

"Lo...lo denger sesuatu?" tanya Arana ragu-ragu. Siapa tahu, dia juga mendengar suara ghaib itu.

"Denger."

Air muka Arana berubah tak percaya sekaligus bahagia.

"Apa?!" tanyanya lagi penuh semangat.

"Perut lo."

Sorot semangat Arana sirna, berganti dengan decakan sinis. Hatinya merasa dongkol. Udah serius tapi pemuda itu malah mengajaknya bercanda.

"Makan."

Mendengar titah dari Hades, Arana memalingkan muka sambil bersedekap dada. Ia marah dengan tunangannya itu.

"Nggak laper." judes Arana menolak.

Bibir Hades berkedut menahan senyum. Tingkah Arana saat ini, entah mengapa terasa lucu. Sudah lama dirinya tidak melihat tingkah manja gadisnya.

"Cacing di perut lo udah demo minta asupan. Dan lo bilang nggak laper?"

"Bodo!" Arana keukeuh tidak ingin makan.

"Makan Ara. Setelah itu minum obat."

Arana menatap Hades kesal. "Kok, lo maksa sih?!"

"Makan sendiri atau gue suapi?"

"Gue nggak mau. Sebaiknya lo pergi dari sini. Gue mau tidur!"

Arana hendak berbaring. Namun urung ketika Hades mencekal lengannya. Tidak kasar ataupun erat. Hanya mencegah agar gadis itu tidak berbaring.

"Makan ya? Kalo nggak mau gue suapi, makan sendiri." ujar Hades melembutkan suaranya.

"Gue nggak mau Ha--aww!!"

Mulut Arana otomatis terbuka ketika Hades mencubit hidungnya. Dan di saat bersamaan, dengan gesit pemuda itu menyuapi tunangannya makanan hingga membuat Arana sendiri membatu tak percaya.

Menepuk-nepuk puncak kepala gadisnya, Hades tersenyum puas.

"Anak pintar."

...•...

...•...

...•...

...🍒🍒🍒...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!