Aku pernah berpikir bahwa aku adalah orang yang paling menderita di dunia ini. Tidak dapat dikatakan menderita juga, karena aku masih memiliki semuanya. Mungkin aku hanya kurang beruntung dalam suatu hal.
Keputusanku untuk pindah ke kota menurut saran ibu ternyata adalah pilihan yang salah. Yang awalnya ingin hati ini merasakan kasih sayang seorang ayah yang sudah lama tak kurasakan saat di kampung, malah berubah menjadi penderitaan batin saat mengetahui bahwa ayah sudah memiliki keluarga baru dan hidup lebih bahagia di kota.
Ibu tidak pernah bilang padaku mengenai mereka yang ternyata sudah berpisah selama 5 tahun belakangan ini. Ibu hanya memberi tahu padaku jika ayah sedang bekerja di kota dan akan kembali pulang saat pekerjaan telah tuntas. Tapi, rasa rindu yang terlalu besar membuatku ingin cepat bertemu ayah dan membuat ibu pun tidak berdaya melarangku.
••••
"Jennaaaaa!! Banguun, sudah siang!" teriak Tika, ibu tiri Jenna.
Jenna yang masih menguap melirik ke arah pintu yang digedor cukup keras.
"Sebentar, Ma! Jenna mandi dulu."
Tidak butuh waktu lama bagi Jenna untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Setelah itu dia bersiap untuk pergi ke sekolah dan segera turun untuk berkumpul di meja makan keluarga "ayahnya" yang baru. Selama disini tidak pernah Jenna merasa yang namanya sebuah keluarga bagi dirinya.
"Kamu tuh perawan tapi kebo banget sih!" omel Tika. Matanya dengan sinis melirik Jenna yang sedang sibuk turun tangga sambil merapikan seragam.
"Maaf Ma. Jenna kesiangan."
"Hari ini kamu gak dapet sarapan, karena gak masak. Sana pergi sekolah." Dengan entengnya, ibu tirinya itu mengusir dan melarang Jenna untuk sarapan pagi. Padahal, cacing dalam perut Jenna sudah berbunyi saat melihat menu sarapan hari ini. Tapi, apalah daya, dia hanya bisa menurut saja.
"Baik, Ma." Jenna berkata dengan lirih sembari melirik Ayahnya yang sedang membaca berita di iPad. Ayahnya hanya duduk dengan tenang, tampak tidak terganggu dengan percakapan yang terjadi diantara dirinya dan ibu tirinya itu. Memang tidak menghakimi tapi tidak juga membela, itu membuat dirinya sedih.
Ayah sudah berubah. Batin Jenna.
Jenna menghela napas pelan, "Aku berangkat ya, Ma, Yah."
Saat Jenna ingin pergi menuju keluar setelah bersalaman, suara Tika kembali menggema.
"Tunggu dulu!"
"Ada apa, Ma?" Tanya Jenna bingung. Rasanya dia tidak membuat kesalahan. Kesalahannya hanya satu pagi ini yaitu tidak memasak sarapan, walau ada ART dan dia sudah mendapat hukumannya.
"Tunggu Mila sarapan disana. Kamu antar dia ke sekolah. Kemarin, Mila jatuh dari motor. Mama tidak mau terjadi hal seperti itu lagi." Kata Tika yang begitu mengandung perhatian.
Jenna yang mendengar itu menjadi tambah bersedih. Dia benar-benar menyesali keputusannya untuk pergi ke kota. Jikalau dia di kampung, dia pasti akan mendapatkan perhatian yang luar biasa dari sang ibu. Tapi, disini dia tidak mendapat perhatian ibu juga ayah sekaligus.
"Ma, Mila gak mau ah! Mila mau naik motor sendiri, gak mau dibonceng Kak Jen!" Rengek Mila penuh kemanjaan.
Kamila Rosela, adik tiri Jenna. Sebenarnya mereka berdua beda bapak dan beda ibu. Ayah Jenna yang duda bertemu dengan Tika yang janda dengan satu anak yang kini sudah berusia 16 tahun.
"Mama gak mau kamu kecelakaan kayak kemarin!" Tegas Tika bercampur khawatir.
"Gak akan Ma, kemarin lagian cuma jatuh biasa kok, aku pun gak luka parah, kan? Mila malu kalau harus datang bersamaan dengan Kak Jen."
Jenna dan Mila satu sekolahan di SMA terkenal di kota. Itu sebenarnya sangat memudahkan bagi mereka untuk datang dan pulang bersama. Namun, Mila tidak mau jika teman-teman nya tahu jika dirinya dan Jenna adalah saudara tiri. Jadilah, seperti itu, jika di sekolah pun mereka tampak seperti orang asing.
Jenna yang memang tidak memiliki teman dan selalu sendirian itu yang menjadi alasan bagi Mila malu dan tidak mau mengakuinya sebagai kakak di sekolah.
"Ya sudah deh. Kamu boleh pergi sekarang."
Jenna hanya mengangguk, karena malas menanggapinya. Dia merasa muak dengan percakapan ibu dan anak di depannya tadi. Sudah berulangkali terjadi, tapi tetap saja diulang. Apa ingin pamer tentang perhatian ibu kepada anak padanya yang tidak bisa ia dapatkan?
"Sudah tau anaknya alergi padaku, dipaksa terus bersama."
•••
"Hei! Tangkep bolanya!"
Hap!
"Nice to meet you, Brother!"
Seorang lelaki dengan tinggi semampai, rambut sedikit kecoklatan, dan mata yang tajam itu berdiri menghadap lapangan. Matanya dengan jeli mengamati setiap gerak-gerik siswa-siswa yang sedang bermain bola basket.
Tidak pernah ada yang terlepas dari pandangannya, semua masuk ke dalam pantauan.
"Arkan! Ar, Arkanaaa! Hellowwww, anybody sweetieee??"
Plak!
"What the ..."
"Apa?!" Arkana menengok ke arah kanan belakangnya. Disana terlihat Thomas yang sedang meringis kesakitan karena kena tampol. Ada juga Arya yang sudah tertawa ngakak. Serta si dingin dan pendiam, Bara.
"HAHAHAHA, TomTom, TomTom. Rasain lu kena tampol mematikan, HAHAHA."
Plak!
"AW!" Arya mengusap kepalanya.
"HAHAHA, rasain tuh tampolan si beruang kutub." Kali ini, Thomas yang menertawakan Arya yang ditampol oleh Bara. Sedangkan Bara masih mempertahankan wajahnya yang datar bak kanebo kering itu.
"Eh, liatin apa nich? Gabung dong!" Thomas maju dan menyejajarkan dirinya dengan Arkana. Kepalanya tidak bisa diam bergerak ke kanan dan kiri mencari apa yang sedang menjadi fokus Arkana.
Arkana memutar bola matanya malas. Lalu, tangannya meraih kepala Thomas dan memutarnya menuju ke arah lapangan.
"Liat ini!" Tangan Arkana menahan kepala Thomas agar tidak bergerak lagi.
Thomas membulatkan matanya. Tekanan tangan Arkana cukup besar di kepalanya. "Oke, Kan. Tapi, udah ya, sakit loh ini."
"HAHAHAHA, TomTom lu emang ditakdirkan merasakan sakit. Tekanan mematikan itu hahahaha!"
Arkana seketika memutar kepalanya ke belakang. Menatap Arya yang tertawa terbahak-bahak. Arya yang menyadari tatapan elang dari Arkana langsung berhenti tertawa dan menunduk. Dan dia pun hanya bisa menahan tawanya.
Saat sedang hening itu, Jenna datang dengan sedikit rusuh. Bagaimana tidak? Sebentar lagi sudah akan masuk kelas sedangkan dirinya lupa belum mengerjakan tugas yang diberikan guru. Sialnya, tugas itu dari mata pelajaran yang pertama di pagi ini.
"Permisi! Permisi!" ucap Jenna.
Tidak sengaja tubuhnya bersinggungan dengan tubuh Bara yang memang berdiri paling belakang dari yang lain.
"Eh? Maaf." Jenna membungkukkan dirinya, namun matanya tidak bertemu dengan mata Bara. Jenna tidak tau siapa yang ia tabrak, karena setelah membungkuk dia langsung berlari meninggalkan tempat.
"Wah! Tuh, cewek yak. Menurut norma yang berlaku di masyarakat, harusnya dia tuh minta maaf yang benar dengan cara menatap dan mendalami perasaan orang yang telah dia tabrak. Apakah orang tersebut merasa sakit hati karena telah disenggol, Ye gak?" Arya menoleh pada teman yang lainnya terakhir Bara.
"Lu sakit hati gak, Bar, disenggol secara tidak hormat begitu? Apa sakit jantung?" Tanya Arya.
"Woi! Dasar b*go, ini tuh disenggol orang bukan dedemit kek Lo!" Sentak Thomas.
"Heh, Tomyam. Dengerin yak, penyakit jantung itu banyak sebabnya dan salah satunya itu disenggol orang!" ucap Arya dengan yakin.
"Baru denger gua!" gumam Thomas.
"Kan, gua mah pinter gak kayak Lo." ucap Arya.
Bara yang tadi disenggol hanya terdiam. Tidak lama, Bara memilih untuk pergi meninggalkan teman-temannya yang masih berdebat tentang hal yang seharusnya tidak perlu didebatkan.
"Kan si Barbara jadi pergi, gegara loh nih!" tunjuk Arya ke Thomas.
"Hel to the Lo, Hello! Heh, Arya Selokan! Ini tuh gegara lambe Lo!" balas Thomas tidak mau kalah.
"Berisik!" Arya dan Thomas mengalihkan pandangan mereka ke arah Arkana yang bicara. Mereka langsung terdiam dan saling berpandangan.
Hanya satu kata saja dari mulut Arkana, mereka dengan patuhnya terdiam. Entah bagaimana jika Arkana sudah mengeluarkan banyak kata, namun rasanya mustahil seorang Arkana melakukannya, karena dia sudah dicap sebagai si irit kata.
Setelah keduanya terdiam, sama seperti Bara. Arkana pun memilih pergi daripada harus kembali mendengar duo ceriwis versi laki itu kembali berceloteh ria.
"Yah, nasib nasib." Arya menengok ke sebelahnya.
"Ditinggal lagi." Ucap Arya dan Thomas bersamaan dengan bibir keduanya yang manyun.
•••
BERSAMBUNG--
JANGAN LUPA LIKE, KOMENTAR DAN VOTENYA YAA
Jenna menghirup udara di sekitarnya kasar, lalu menghembuskan ya. Sial! Ya, hari ini memang hari sial di minggu ini. Jenna yang sudah berlari sekuat tenaga ternyata kalah dengan langkah kaki yang lebar milik sang guru Kimia. Itu mengakibatkan dia tidak dapat mengerjakan tugas sebelum mata pelajaran dan akhirnya dihukum.
"Kenapa harus lupa kerjain tugas sih. Kenapa tadi segala drama lagi dan macet di jalan segala." Cerewet Jenna di depan kelasnya. Raut wajahnya sangat kentara jika dia sedang diliputi rasa kesal yang membara. Pandangannya hanya melihat ke arah lapangan yang ada di depan.
Kelas Jenna di lantai dua dan kelasnya langsung menghadap lapangan.
"Tuh Cogan-cogan kenapa ganteng banget sih." ujar Jenna sembari cengengesan, lalu menutup mulutnya. Bahkan pipinya bersemu kemerahan.
"Dasar cewek bego! Gila lagi! Ketawa tiwi sendiri, kerasukan lo?"
Jenna yang mendengar umpatan itu langsung menoleh. Mendapati sosok tinggi dengan rambut kecokelatan dengan gaya yang elegan, angkuh, dan cool itu. Kedua tangannya diselipkan ke dalam kantong jaket denim yang Jenna tebak adalah Jaket mahal karena tertulis brand terkenal disana.
"Apa sih!" ketus Jenna, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah lapangan. "Yaaahh, kok pada bubar sih main basket ya." gumam Jenna kecewa.
Arkana terkikik, "Mereka nyadar diliatin kunti. Hahaha."
Saat Jenna ingin menampol mulut nyebelin Arkana, Arkana sudah pergi lebih dulu ke kelasnya dengan santai sembari bersiul.
"Arkaa! Dasar cowok rese!"
°°°
"Heh, masbro sini, sini! Gua bawa rujak, buatan Emak gua, nih. Baik gua mah berbagi gak kayak si Arya." Thomas menyodorkan sebuah kresek hitam berisi buah-buahan dan juga Tupperware yang ada sambelnya.
"Cih, bangga banget lo bawa rujak timbang sekresek kecil doang. Gua bisa datengin langsung pedagang rujaknya." ucap Arya.
"Oh, oke oke, sorry. Lo kan punya komunitas Perunas ya?"
"Apa itu?" Bara yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, mencoba bergabung.
"Pedagang Rujak Nasional. Hahaha." Arya yang disebelah Thomas langsung menoyor kepala Thomas cukup keras. Dia merasa emosi dengan temannya yang satu itu.
"Gua perhatiin tadi pas lu masuk kelas wajah lu berseri-seri." ucap Bara. Walaupun Bara pendiam dan terlihat cuek, bukan berarti dia tidak memperhatikan hal-hal di sekitarnya. Termasuk saat Arkana masuk kelas dengan wajah yang berubah cerah.
"Gak papa." ucap Arkana singkat.
"Tadi lo senyum, walau tipis." Bara kembali mengungkapkan apa yang dia lihat tadi.
"Lo salah lihat." elak Arkana. Padahal, dirinya sempat tersenyum tipis bahkan tertawa lebar saat bertemu Jenna.
"Oke." Bara pun kembali fokus memakan rujak milik Thomas.
Thomas melirik keduanya. Dia melebarkan bola matanya. "Udah gitu doang ngobrolnya? Ampun gue sama kalian berdua, apa gak punya kata-kata yang banyak gitu biar bisa ngomong panjang. Irit banget." Thomas mendelik ke arah dua sahabatnya yang duduk sebangku di depannya.
"Mereka bukan kek elo, Tomyam, yang kalo ngomong tuh kayak mobil rem blong." tukas Arya.
"Gua kesel ya Ar, kagak bakalan gua kasih rujak gua ke lo."
"Bodo, gak peduli, takut menjerit juga lambung gue, usus gue, dan segala yang ada dalam tubuh ini." Mereka bertiga yang lainnya memutar bola matanya malas.
°°°
Pulang sekolah telah tiba. Jika siswa maupun siswi lain sangat gembira jika bel berbunyi tanda pulang sekolah itu tiba, berbeda dengan Jenna yang sekarang malah terduduk lemas di bawah pohon mangga sekolah. Pohon mangga itu berada di belakang sekolah.
Jenna menunduk. Dari ekspresinya, terlihat begitu murung dan kesedihan tergambar disana. "Aku gak mau pulang."
"Kenapa sendirian di bawah pohon begini?" Sebuah suara rendah terdengar dari sebelah kanannya.
Jenna mendongak untuk melihat siapa yang berbicara. "Tidak apa-apa."
"Nangis?" Tanyanya.
Jenna yang tersadar bahwa dia sempat menitikkan air mata langsung mengusapnya buru-buru. "Tidak. Ini kelilipan debu."
"Cepat pulang, waktu sudah semakin sore dan penjaga sekolah akan mengunci gerbang sekolah. Apa lo berniat nginep di sekolah?" Itu adalah kalimat panjang yang diucapkan Bara.
Ya, Bara lah yang sedang berdiri di hadapan Jenna saat ini. Bara adalah ketua OSIS. Dia sedang membantu penjaga sekolah untuk memeriksa jika masih ada siswa yang berada di lingkungan sekolah.
" Ah, baiklah. Maaf ya, aku permisi." Bara tidak menjawab, dia hanya mengangguk saja. Semua orang tau, Bara dan Arkana adalah si duo irit dalam hal berbicara. Entah karena apa mungkin mereka sariawan.
°°°
Tik! Tik!
"Duh, pake hujan segala. Aku lupa bawa payung, gimana ini!" Jenna sangat cemas karena hujan yang turan tiba-tiba padahal tadi cuaca sangat cerah.
Dengan tangan yang setia menutupi kepalanya, Jenna berlari menuju salah satu kios yang tutup untuk sekedar berteduh.
"Lebih baik aku tunggu angkot ya disini saja."
Bukannya angkot yang datang, tetapi malah sebuah mobil sport hitam yang berhenti tepat di depannya. Membuat Jenna kelimpungan untuk melihat ke jalan karena posisinya yang menghalangi penglihatan.
"Ish!"
Kaca mobil turun. Di tempat kursi pengemudi, duduk seorang lelaki yang mengenakan seragam SMA.
"Lo! Masuk, hujan deres!" titah si siswa SMA tersebut.
Jenna meliriknya sekilas. "Siapa kamu?"
Tidak menjawab, melainkan hanya menurunkan kacamata hitamnya. "Masuk!"
"Arka? Gak mau!" tolak Jenna dengan nada yang sangat yakin.
"Oh, oke." Arkana sudah bersiap ingin kembali melajukan mobilnya. Namun, Jenna menghentikannya.
"Tunggu, aku masuk!" Tidak ada pilihan lain, selain ikut menumpang di mobil Arkana. Hujan semakin deras dan angkot yang tidak kunjung datang. Jenna takut di rumah, dia akan kena marah.
Setelah Jenna masuk, mobil Arkana langsung melaju kencang.
"Woy, gila ya kamu. Mau mati? Ini hujan, jangan ngebut." Tangan Jenna secara spontan berpegangan erat.
"Jangan dekat-dekat dengan Bara."
Jenna menoleh tidak mengerti. "Maksud kamu?"
"Gue gak mau temen gue deket sama cewek mirip kunti kayak lo." Sarkas Arkana.
"Siapa yang deketin Bara. Gak ada lagi." Arkana melirik Jenna. Lalu, menginjak rem.
"Kalau sampai gue liat lo deket dengan semua temen gue. Urusan lo sama gue. Sekarang, turun!" Titah Arkana.
Jenna hanya terdiam dengan mulut menganga. "Turun? Lo serius?"
"Turun atau lo mau mati." ucap Arkana dengan tatapan yang begitu tajam. Jenna pun akhirnya turun, dia tidak mau diajak mati oleh Arkana.
Setelah Jenna turun, mobil Arkana melaju dengan kencang membelah jalan.
"Bagus deh aku turun. Dia nyetir mobil kayaknya kerasukan." gumam Jenna. Dia pun kembali berteduh karena hujan yang masih cukup deras. Emang sialan si Arkana itu, pikir Jenna.
°°°
BERSAMBUNG--
JANGAN LUPA LIKE, KOMENTAR, DAN VOTENYA YAA
Suasana di luar masih hujan deras. Hal tersebut membuat Jenna mau tidak mau harus berteduh. Belum lagi sering terdapat guntur. Dan petir yang saling bersahutan.
Jujur, dia sangat ketakutan sekali. Dahulu, jika hujan sangat deras begini, ibunya akan setia menemani dan tidak pergi meninggalkannya walaupun hanya mengambil minum ke dapur.
Pelukan hangat sang ibu sangat ia rindukan.
Sekali lagi, ibunya bukan sudah tiada. Dia masih merupakan manusia beruntung yang masih memiliki ibu. Tapi, dia dan ibunya sedang berjauhan saat ini. Berpisah karena keadaan.
Ibu, Jen kangen. Jen, pengen pulang. Lebih baik Jen putus sekolah daripada harus terpisah dengan Ibu. Gumam Jenna dalam hatinya. Dalam kesendirian dan kesedihan di bawah hujan.
••••
"Mas Bowo!! Mas!" Teriakan Tika menggemparkan seisi rumah. Penghuni rumah sampai terkaget-kaget mendengar suara teriakan Tika.
"Apa sih, Tik?" Bowo keluar dari kamar dengan wajah merengut kesal.
"Anakmu tuh mana sih!?"
Ekspresi Bowo terlihat terkejut. Matanya melirik tidak bisa diam ke lantai bawah. "Jenna belum pulang?"
Tika memutar bola matanya malas. "Belom. Anak kampung itu belum pulang, udah 2 jam lebih ini. Pekerjaan rumah belum ada yang beres. ART kan udah pulang."
"Tik, aku mohon, jangan terlalu kasar sama Jenna. Dia itu anakku, artinya dia itu juga anakmu, 'kan?" Bowo berbicara memohon kepada istrinya dengan nada yang lirih.
"Apa!? Gak ya! Aku gak Sudi ngurusin anakmu itu! Lagian kenapa sih ibunya segala kirim dia ke kamu, hah!?" Tika terdiam sebentar dengan kedua matanya yang melotot tajam mengarah ke suaminya. "Ingat ya, Mas. Kalau gak ada aku, kamu itu bakal jadi gembel di kota Jakarta ini!" lanjut Tika dengan suara tegas dan lebih tinggi.
Bowo kembali menghela napas kasar. Beginilah, dia tidak memiliki kuasa di depan istrinya. Kehidupannya di kota, semuanya bisa terjamin berkat istrinya. Jika tidak ada Tika, mungkin benar dia akan menjadi gelandangan yang tidak tau arah di Jakarta.
"Kamu tidak tulus menolongku, Tik." ucap Bowo.
Tika mendelik malas, "Tidak ada yang gratis. Yang penting kamu juga merasakan enaknya kan, hidupmu berkecukupan. Kamu juga tinggal duduk rapi saja, mengurus perusahaan. Tidak usah panas-panasan di trotoar."
Benar kata istrinya, karena pertemuan tidak sengaja mereka berdua yang ternyata membuat Tika jatuh cinta pada Bowo, membuat Tika rela mengeluarkan uang untuk membantu usaha yang pernah Bowo lakukan walau bankrut. Mereka pun menikah karena kehendak Tika. Cinta Tika yang Bowo kira tulus dan besar, mau menerimanya apa adanya, membuatnya menerima cinta Tika dan menikahinya. Ditambah bisa dibilang Tika adalah malaikat penolongnya saat itu. Tapi, saat sudah menikah, semua sifat Tika terlihat. Bagaimana keras kepala dan sombongnya wanita itu membuat dirinya sebagai suami merasa tidak berharga dan satu lagi kekesalan yang Bowo rasakan yaitu saat putri satu-satunya, kesayangannya, Jenna diperlakukan layaknya seorang pembantu di rumah yang cukup megah dan dia hanya bisa terdiam tak berkutik.
"Setidaknya biarkan Jenna pulang ke ibunya."
"Dia yang memilih kemari, maka dia harus merasakan konsekuensinya." balas Tika.
"Biarkan dia pulang, Tika! Aku tidak suka saat kamu memperlakukan dia seperti pembantu, aku sebagai ayahnya ..."
"Ya, ya. Kamu Ayah yang tidak berguna. Tapi, satu hal yang pasti, Jenna tidak akan pulang sampai aku sendiri yang mengusirnya."
"Sampai kapan?" tanya Bowo lirih. Tika tidak menjawab, dia hanya mengangkat bahunya acuh, lalu berlalu dari hadapan Bowo.
Tubuh Bowo terjatuh merosot ke bawah. Lututnya menyentuh lantai yang terasa dingin.
"Kenapa kamu harus menyusul ayah Jen. Kenapa kamu tidak tinggal saja di rumah ibumu. Maafkan, ayah, Jenna." Bowo menunduk, berusaha menyembunyikan tetesan air mata yang mulai keluar satu per satu.
••••
Tok .. Tok ..
"Assalamualaikum, Ma! Ayah! Jenna pulang." Jenna dengan seragam yang basah serta rambut yang sudah basah kuyup. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri dengan erat. Tubuhnya menggigil dengan hebat.
Hujan belum berhenti turun. Jangankan berhenti, reda pun tidak ada tanda. Itulah yang menyebabkan Jenna nekat menerobos hujan yang sepertinya akan awet sampai esok hari.
"Mama! Ayah! Tolong, buka pintunya! Jenna kedinginan. Disini dingin, Mama, Ayah! Hu .. Hu.. Sekali ini saja, Jenna minta tolong. Di .. Ngin ..!" Pinta Jenna dengan lirih, dan ia pun terus menerus berulangkali menyebutkan kata 'dingin' dan 'mohon'.
Sementara di dalam rumah, Tika terduduk santai dengan Mila di depan TV. Menikmati siaran TV tentang komedi. Mereka tertawa terbahak-bahak menikmatinya dan mengabaikan suara teriakan lirih dari luar pintu.
Bowo juga ada disitu. Awalnya, dia biasa aja, tapi lama-kelamaan, ia tidak bisa menahannya lagi.
"Tik! Bukakan pintunya, kasihan Jenna!"
Tika melirik ke arah Bowo. "Malas."
"Suruh siapa telat pulang. Itu hukumannya."
"Sudahlah, Ayah. Biarkan saja, Kak Jen di luar. Dia harus dididik disiplin supaya pulang tepat waktu. Tidak terlambat sampai hari sudah gelap seperti ini. Apa Kak Jen, bercita-cita ingin jadi wanita malam?" Mila berkata dengan entengnya. Wajahnya yang cuek tanpa melihat sekalipun ke Ayah sambungnya.
"Mila! Dia itu kakakmu, jaga bicaramu!" Sentak Bowo pada anak sambungnya.
"Mas! Apa-apaan kamu bentak anakku seperti itu! Apa hakmu?" Tika yang tidak terima Mila dibentak, balas membentak Bowo. "Pokoknya, malam ini Jenna tidur di luar!" Putus Tika.
"Ayo, Mil! Kita ke kamar, istirahat. Kamu juga jangan lupa istirahat."
Setelahnya, Tika dan Mila berlalu meninggalkan Bowo dan masuk ke kamar masing-masing. Bowo yang di ruang tamu kebingungan antara ingin masuk ke kamar atau membuka pintu.
Tapi, dia adalah seorang ayah yang memiliki hati. Kakinya membawa tubuhnya ke arah pintu.
Ceklek!
Terlihat Jenna yang duduk menyandar ke dinding. Badannya menggigil dan kedua tangannya memeluk dengan erat. Kedua matanya tertutup rapat.
Ada sedikit rasa khawatir dalam hati Bowo melihat keadaan Jenna, tapi dia harus menutupinya. Dia berlagak seperti ayah yang tidak punya hati, agar Jenna ingin pergi dari sini. Bowo tidak mau putrinya merasakan siksaan dari ibu tirinya.
"Heh! Masuk kamu!" Suara tegas Bowo mengagetkan Jenna.
"Ayah!" Jenna berseru senang saat akhirnya ayahnya membuka pintu.
"Mau masuk atau disini!? Saya tidak punya waktu lama!"
"Sa-ya?" lirih Jenna.
"Aish! Lamanya." Sebelum Bowo benar-benar menutup pintu, Jenna berbicara.
"Aku mau masuk!" Jenna meliriknya Ayahnya. "Ayah kenapa berubah? Tidak seperti dulu."
Bowo melirik sekilas ke arah Jenna. "Jangan hidup di masa lalu. Semua orang bisa berubah."
Langkah kaki Bowo mendadak lebih cepat hingga meninggalkan Jenna berdiri sendirian di tengah ruang tamu.
"Aku ingin pulang!" Teriak Jenna.
Bowo menghentikan langkahnya yang belum sampai kamarnya, baru di ujung tangga. Dia pun menoleh.
"Pulang sana! Itu lebih baik buat kami. Kamu tidak diharapkan disini. Kembali ke ibumu, anggap ayahmu sudah tiada." Bowo kembali membalikkan badannya dan berjalan.
Jenna terduduk lemas dan menangis dengan histeris. "Haaaaa .. Huu .. Huu ..."
•••
BERSAMBUNG--
JANGAN LUPA LIKE, KOMENTAR, DAN VOTE NYA YAA
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!