Note : agar lebih paham ceritanya bisa baca dulu morning dew series ya. Klik aja Profilku buat nyari
Terimakasih 💕💕💕🥰
...****************...
Api yang berkobar di dalam kubah perlahan mereda, meninggalkan jejak kehancuran yang tak terelakkan. Asap hitam membubung, menyelimuti langit dengan kesunyian yang menyesakkan. Tak ada yang tersisa di dalam sana—hanya abu dan bara yang masih menyala, melahap setiap sisa kehidupan yang sempat bertahan.
Di luar kubah, isak tangis Yuki pecah, menggema di antara keheningan yang mengerikan. Tangannya yang berlumuran darah terus menghantam lapisan kasat mata yang memisahkannya dari kobaran api di dalam. Setiap pukulan membawa rasa sakit, tetapi Yuki tidak peduli. Yang ada di dalam sana adalah orang yang tak seharusnya berada di sana. Seharusnya dia yang masuk, bukan…
Di sampingnya, Riana berdiri kaku. Tatapannya kosong, terpaku pada pemandangan yang ada di depan. Dalam hatinya, dia tahu—dia nyaris saja ada di dalam sana. Jika saja dia tidak memilih untuk membantu Lekky, jika saja dia tidak mengotori tangannya dengan darah pasukan langit, mungkin sekarang dialah yang terbakar bersama api yang menghabisi segalanya.
Sera telah merencanakan ini. Ia telah menyusun siasat yang akan menjebak Riana dalam kubah, memaksanya menarik segel suci tanpa menyadari bahwa itu adalah jalan menuju kematiannya. Sebuah rencana dingin yang hanya bisa disusun oleh seseorang yang telah kehilangan segala rasa belas kasih.
Namun, sesuatu terjadi di luar rencana. Sera tidak pernah menduga bahwa Yuki yang semenjak awal memilih mengorbankan dirinya berhasil keluar dari pengamanannya. Dia tidak menyangka Yuki akan melepaskan segala ketakutannya dan berlari menuju kematian, hanya untuk memastikan bahwa Riana dan dirinya tidak akan terbakar dalam api itu.
Pada detik terakhir, sebelum segel suci terlepas dan kubah terkunci sepenuhnya, Sera membuat keputusan yang tak seharusnya ia buat. Ia meraih Yuki, melemparkannya keluar dari kubah, mengambil tempatnya dalam kematian yang sudah direncanakan untuk orang lain.
Dan kini, Yuki hanya bisa menangis—sementara Riana, dengan tangan yang masih berlumuran dosa, berdiri dalam diam. Hanya suara api yang memudar dan kepedihan yang tak terucap tersisa di antara mereka.
...****************...
Langkah berat Jenderal Aiden dan pasukannya terhenti begitu mereka melihat sosok yang berdiri di hadapan mereka. Mata mereka membelalak, tak percaya dengan apa yang terpampang di depan mereka—Putri Yuki, dengan tangan berdarah dan wajah penuh air mata, serta Pangeran Riana, yang berdiri kaku dalam keheningan.
Pangeran Riana seharusnya ada di dalam sana. Seharusnya dialah yang terperangkap di balik kubah suci, terbakar bersama iblis Balgira. Tapi kini, ia berdiri di sini, di luar kubah yang telah padam.
Jenderal Aiden merasakan jantungnya mencelos. Tatapannya beralih ke kubah yang kini hanya menyisakan abu dan arang. Pasukannya saling bertukar pandang, berharap menemukan tanda-tanda yang mereka takutkan. Namun, tak ada yang tersisa.
Dan kemudian kenyataan itu menghantam mereka—keras dan tanpa ampun.
Pangeran mereka tidak ada.
Tak ada tubuh yang bisa mereka temukan, tak ada jejak keberadaan Sang Pangeran di luar kobaran api itu. Segel suci tidak mungkin ditarik oleh sembarang orang. Hanya ada tiga orang yang memiliki kemampuan untuk melakukannya—dan jika dua di antara mereka masih berdiri di sini, maka hanya satu kemungkinan yang tersisa.
Pangeran Sera-lah yang menarik segel itu.
Dan kini, ia telah terbakar bersama iblis Balgira.
Jenderal Aiden mengepalkan tinjunya. Dadanya terasa sesak, amarah, kesedihan, dan keterkejutan bercampur menjadi satu. “Tidak mungkin…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Pasukan yang mengikutinya hanya bisa terdiam dalam keterkejutan yang sama. Mereka datang untuk mendukung Pangeran mereka, tetapi yang mereka temukan hanyalah kehampaan. Pemimpin mereka telah pergi, mengorbankan dirinya dalam kobaran api yang tak bisa dipadamkan.
Di sisi lain, Yuki jatuh berlutut, tubuhnya bergetar hebat. Sementara Riana hanya berdiri di sampingnya—tidak mengatakan apa pun, tidak menunjukkan apa pun. Matanya tetap menatap lurus ke depan, tetapi dalam kediamannya, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.
Sesuatu yang bahkan lebih membara dari api yang baru saja padam.
Derap langkah pasukan yang semakin mendekat memenuhi udara yang masih dipenuhi jejak asap dan abu. Di belakang Jenderal Aiden dan pasukannya, barisan prajurit lain datang—pasukan Bangsawan Voldermon dan Bangsawan Xasfir, diikuti oleh Pendeta Serfa.
Bangsawan Voldermon melangkah maju, matanya menyapu medan yang baru saja dilanda kehancuran. Ia menghela napas lega begitu melihat Pangeran Riana masih berdiri tegap di sana.
“Riana, akhirnya kau berhasil menarik segel suci,” katanya, suara penuh kelegaan seolah beban besar telah terangkat dari pundaknya.
Namun, respons yang ia dapatkan tidak seperti yang diharapkannya.
Pangeran Riana meliriknya sekilas—tatapan dinginnya menusuk, membuat suasana di sekitar mereka terasa lebih mencekam daripada api yang baru saja padam. Dengan suara rendah dan datar, ia berkata, “Bukan aku yang melakukannya. Tapi Sera.”
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Bangsawan Voldermon mengerutkan kening, sedikit terkejut, namun ia dengan cepat meredakan keterkejutannya. “Benarkah?” katanya, sebelum menghela napas. “Tapi untunglah semuanya sudah berakhir.”
Saat ia menoleh, matanya menangkap sosok Yuki yang berlutut di tanah, tangannya berlumuran darah, bahunya bergetar hebat. Bangsawan Voldermon terdiam, ekspresinya berubah ketika ia benar-benar memperhatikan keadaan Yuki.
Wajahnya pucat. Matanya kosong, seakan sedang menatap sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh orang lain. Sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh seseorang yang baru saja melewati batas antara kehidupan dan neraka.
Bangsawan Voldermon mendekatinya, perlahan berjongkok di sampingnya. “Yuki… apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara lebih lembut, mencoba membangunkannya dari keterpurukan.
Yuki tetap diam.
Bangsawan Voldermon menatapnya lebih lama, lalu menelan ludah, firasat buruk menggerogoti hatinya. Dengan suara yang sedikit bergetar, ia bertanya, “Di mana Sera?”
Diam.
Tak ada jawaban.
Hanya suara angin yang berembus, membawa serpihan abu yang masih berputar di udara.
Bangsawan Voldermon mencoba lagi. Kali ini, suaranya lebih tegas, lebih mendesak. “Yuki, di mana Sera?”
Lama, Yuki tetap dalam kebisuannya.
Lalu, dengan suara lirih, hampir tak terdengar, ia akhirnya membuka mulut.
“Pangeran Sera sudah tidak ada.”
Kata-kata itu jatuh seperti pisau yang menusuk ke dalam hati siapa pun yang mendengarnya.
Pendeta Serfa menundukkan kepalanya, sementara para pasukan mulai saling bertukar pandang dengan kegelisahan yang tak bisa mereka sembunyikan. Jenderal Aiden mengepalkan tinjunya, rahangnya mengatup erat.
Bangsawan Voldermon sendiri terdiam, seolah kata-kata itu membutuhkan waktu untuk benar-benar meresap dalam benaknya.
Tidak ada.
Pangeran Sera sudah tidak ada.
Bangsawan Voldermon masih menatap Yuki, wajahnya dipenuhi kebingungan dan kegelisahan. Ia tidak bisa menerima jawaban itu begitu saja. “Tidak ada? Apa maksudmu, Yuki?” desaknya lagi, suaranya meninggi.
Yuki masih terisak, tangannya mencengkeram erat tanah di bawahnya, kukunya yang berlumuran darah menciptakan bekas di permukaan yang hangus. Dadanya naik turun dalam tangisan tertahan, sebelum akhirnya ia berbicara lagi, suaranya parau dan penuh kepedihan.
“Seharusnya aku yang ada di sana… Seharusnya dia tidak boleh mengetahuinya… Tapi dia ke sana, dan dia tahu semuanya…”
Kata-kata itu membuat udara seakan semakin menekan. Bangsawan Voldermon mengernyit, matanya menyipit tajam. “Apa maksudmu, Yuki?” tanyanya, mencoba memahami situasi yang semakin tidak masuk akal. “Sera hanya menarik segel suci… Lalu kenapa dia bisa terbunuh?”
Sebelum Yuki sempat menjawab, sebuah suara dingin memotong pembicaraan.
“Serfa.”
Pangeran Riana akhirnya membuka mulut, nada suaranya sedingin es, penuh kecurigaan yang tajam. Ia mengalihkan pandangannya pada Pendeta Serfa, yang berdiri sedikit di belakang Bangsawan Voldermon.
Pendeta itu terdiam sejenak, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya menundukkan kepala dengan berat hati.
“Ya, Yang Mulia.” suaranya terdengar tenang, namun ada ketegangan yang tersembunyi di baliknya. “Siapapun yang menarik segel suci itu akan mati karena kekuatannya.”
Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka.
Bangsawan Voldermon membelalak, rahangnya mengatup rapat. Beberapa pasukan di belakangnya saling berpandangan dengan keterkejutan yang jelas.
Riana tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Namun matanya yang tajam dan berbahaya semakin menusuk saat ia melangkah maju.
“Dan apa tujuanmu memberitahu Sera… tapi menyembunyikannya dariku?”
Nada suaranya tidak berubah—datar, dingin, dan berbahaya.
Pendeta Serfa menelan ludah, namun ia tetap diam, tidak langsung menjawab.
Semua orang kini menatapnya, menunggu jawaban. Sementara di tengah mereka, Yuki masih berlutut, menggenggam dadanya yang terasa kosong. Tidak peduli bagaimana pertanyaan ini berkembang, kenyataan tetap sama.
Pangeran Sera telah pergi.
Pendeta Serfa menghela napas pelan sebelum akhirnya membuka mulut, suaranya tetap tenang meski situasi di sekitarnya dipenuhi ketegangan.
“Putri Yuki tidak bisa melakukannya. Kita masih membutuhkannya untuk melahirkan dua anak lagi bagi Garduete… Jadi, tidak ada pilihan lain, terpaksa saya memberitahu Pangeran Sera…”
Plakk!
Suara tamparan keras menggema di udara.
Pendeta Serfa terhuyung sedikit ke samping, pipinya langsung memerah akibat hantaman telapak tangan Yuki.
Seisi medan pertempuran yang tadi penuh bisik-bisik dan gumaman mendadak membeku. Mata semua orang kini tertuju pada Yuki, yang berdiri dengan napas memburu, tangannya masih terangkat di udara.
Matanya merah, berkilat dengan kemarahan yang berusaha ia tahan. Bibirnya bergetar, suaranya terdengar parau ketika ia berbisik tertahan, “Apa kau puas sekarang…?”
Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani mengeluarkan suara.
Yuki menarik napas gemetar, lalu menggeleng, matanya masih menatap Pendeta Serfa dengan tatapan nanar yang dipenuhi amarah dan kepedihan. “Apa kau puas… Dia telah mati sesuai keinginanmu?”
Kata-katanya menusuk seperti pisau, membawa dingin yang membuat Pendeta Serfa hanya bisa menundukkan kepalanya.
Tubuh Yuki terasa ringan, namun juga berat di saat bersamaan. Seluruh kekuatannya seperti tersedot keluar dari tubuhnya. Ia mundur beberapa langkah, kakinya terhuyung, hampir terjatuh.
Jenderal Aiden spontan melangkah maju, refleks ingin menahan Yuki, tapi ia ragu untuk menyentuhnya. Wajah Yuki tampak seperti seseorang yang baru saja kehilangan separuh jiwanya.
Yuki menggelengkan kepala. Air mata kembali memenuhi matanya.
Ia seharusnya tahu.
Seharusnya ia menyadari sesuatu sejak awal. Seharusnya ia menaruh curiga saat melihat Pendeta Serfa dan Pangeran Sera berbicara dengan serius di lorong waktu itu.
Seharusnya ia bertanya lebih jauh.
Seharusnya ia menggali lebih dalam.
Seharusnya ia tidak membiarkan Pangeran Sera mengetahui rahasia itu.
Sebab jika saja ia melakukannya—jika saja ia sedikit lebih waspada—mungkin Pangeran Sera tidak akan pernah pergi ke kubah itu.
Mungkin Pangeran Sera masih hidup.
Pendeta Serfa masih memegang pipinya yang perih akibat tamparan Yuki ketika suara tenangnya kembali terdengar.
“Ramalan Putri Duyung tidak mungkin salah. Kita akan mendapatkan keuntungan jika anak-anak Putri Yuki dimiliki oleh kerajaan Garduete.”
Brak!
“Brengsek kau!!”
Bangsawan Voldermon, yang sejak tadi mencoba memahami situasi dengan ekspresi gelisah, akhirnya kehilangan kesabaran. Ia bangkit dengan kemarahan yang meluap, tinjunya menghantam wajah Pendeta Serfa tanpa ragu.
Pendeta Serfa jatuh ke tanah, bibirnya pecah, darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Suasana di sekitar mereka semakin panas. Para pasukan dan bangsawan lainnya hanya bisa menatap dengan keterkejutan, tapi tak ada yang berani menghentikan amukan Bangsawan Voldermon.
Mata pria itu kini berkilat dengan amarah yang mendidih, rahangnya mengatup keras saat ia menuding Pendeta Serfa dengan penuh kemuakan.
“Kau mengetahuinya dari awal! Tapi kau baru menceritakannya pada Sera setelah mendengar ramalan Putri Duyung!” suaranya bergemuruh, penuh emosi yang tak terbendung.
Pendeta Serfa mencoba membuka mulut, tetapi Voldermon tidak memberinya kesempatan.
“Kau tidak peduli dengan nyawa Yuki! Yang kau inginkan hanyalah rahimnya saja!”
Sekali lagi, Bangsawan Voldermon mendekat, menggenggam kerah Pendeta Serfa dengan kasar. Nafasnya memburu, wajahnya memancarkan kemarahan yang nyaris meledak.
“Jika Putri Duyung tidak meramalkan semuanya di depan kita, pasti kau akan diam saja dan membiarkan Yuki yang menarik segel suci itu, bukan!?”
Tak ada yang bisa membantah kata-kata itu.
Pendeta Serfa terdiam, tidak membenarkan, tetapi juga tidak menyangkal.
Keheningan yang melingkupi mereka terasa semakin mencekam.
Yuki, yang masih berdiri dengan tubuh lemah, menundukkan wajahnya. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya terasa sesak, dipenuhi kemarahan yang bercampur dengan kesedihan yang nyaris menelannya hidup-hidup.
“Jadi semua ini… karena ramalan itu? Karena rahimku?”
Suara Yuki terdengar lirih, hampir seperti bisikan. Matanya yang redup menatap kosong ke depan, seolah jiwanya perlahan menghilang bersama api yang telah padam di dalam kubah.
Kepalanya terasa berat. Dunianya berputar.
Pusing.
Begitu pusing.
Tubuhnya tiba-tiba melemas, napasnya pendek dan tidak beraturan. Sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, kegelapan menyelimuti pandangannya.
Bruk.
Tubuh Yuki ambruk tanpa daya.
Namun sebelum tubuhnya menyentuh tanah, sepasang tangan kokoh dengan sigap menangkapnya.
Pangeran Riana.
Gerakannya cepat dan tegas, namun matanya yang biasanya dingin kini menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak saat ia menatap wajah Yuki yang tak sadarkan diri di dalam dekapannya.
Ia mengangkat tubuh Yuki tanpa ragu, membopongnya dengan mudah dalam gendongannya.
Tanpa melihat Pendeta Serfa yang masih terkapar di tanah, tanpa menanggapi tatapan kaget Bangsawan Voldermon dan Xasfir, Riana hanya berkata dengan suara rendah dan tajam, “Vold, Xasfir. Aku serahkan yang di sini padamu.”
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi.
Di kejauhan, seekor naga hitam dengan mata merah menyala telah menunggu. Radolft, makhluk buas yang hanya tunduk pada Pangeran Riana, merentangkan sayapnya yang besar seolah siap menerkam siapa pun yang mendekat.
Pangeran Riana melompat naik ke atas punggung naganya, tetap membopong Yuki dalam dekapannya.
Sekali hentakan, Radolft mengangkasa, membawa mereka pergi meninggalkan medan pertempuran yang masih dipenuhi debu dan kepedihan.
Membawa mereka kembali ke Kuil Suci.
...****************...
Di dalam kamar yang sunyi, hanya suara angin malam yang menyelinap dari celah jendela.
Pangeran Riana duduk bersandar di sofa dengan tubuh tegap, tetapi sorot matanya tajam dan penuh bahaya. Di depannya, pendeta suci duduk, tidak berani menatap langsung ke mata pria itu.
Di ranjang besar di sisi ruangan, Yuki masih terbaring tanpa sadar. Sejak kemarin, dia belum juga bangun. Nafasnya teratur, tubuhnya dalam kondisi baik menurut Dokter Aurelian, tetapi jiwanya seakan menolak kembali.
“Dia hanya terlalu bersedih,” kata Dokter Aurelian kemarin, setelah selesai memeriksa Yuki. “Dia menolak bangun dari kegelapannya. Dia butuh waktu. Jangan paksa dia sampai dia sendiri yang ingin kembali.”
Namun, waktu bukan sesuatu yang bisa ditunggu dengan tenang oleh Pangeran Riana.
Ia mengalihkan tatapannya dari Yuki ke arah pendeta di hadapannya, lalu berkata dengan suara rendah, tetapi begitu dingin hingga udara di dalam ruangan terasa menegang.
“Jadi kau serta semua pendeta dari awal sudah mengetahui semuanya…”
Mata Pangeran Riana menyipit, napasnya dalam dan terkendali, tetapi kemarahan mengintai di balik ketenangan itu.
“…dan kau menceritakan semuanya hanya pada Yuki. Lalu Sera.
Dan hanya aku yang tidak mengetahui masalah segel suci?”
Suasana dalam ruangan semakin mencekam.
Pendeta itu tetap diam. Tidak ada kata-kata yang bisa diutarakannya untuk membela diri.
Karena apa yang dikatakan Riana benar.
“Kau dan Sera adalah seorang Pangeran yang menjadi harapan rakyat negeri kalian….”
Kata pendeta suci terdengar bergetar, namun belum sempat ia melanjutkan, suara Pangeran Riana membelah udara, lebih tajam dari angin dingin yang berhembus melalui jendela.
“Apa kau pikir Yuki tidak penting hanya karena dia bukan seorang Pangeran sepertiku?”
Pendeta suci terdiam.
“Dia adalah duniaku. Hidupku.”
Kedua tangan Pangeran Riana mengepal, jemarinya bergetar menahan amarah yang membuncah.
“Beraninya kau menyodorkan pisau dan menyuruhnya untuk membunuh dirinya sendiri seperti itu, sementara aku dan Sera berjuang mati-matian untuk ketidakbecusanmu dan kuil ini.”
Tatapan Pangeran Riana semakin gelap. Rahangnya mengeras.
Pendeta suci itu menundukkan kepala, tidak mampu berkata apa-apa. Tidak ada yang bisa ia jadikan alasan untuk membela dirinya kali ini.
Di atas ranjang, Yuki masih tertidur. Diam. Tak bergerak.
Namun di dalam tubuhnya, luka itu tetap ada. Luka yang tidak terlihat, tetapi lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ia derita.
“Sekarang bukan saatnya menyalahkan siapa,” suaranya bergetar, tetapi ia memaksakan dirinya untuk tetap berbicara. “Takdir telah bekerja, tetapi Pangeran… kematian Pangeran Sera akan berakibat fatal untuk Putri Yuki.”
Pangeran Riana tidak menjawab, tetapi sorot matanya membara dengan kemarahan yang tertahan.
“Kerajaan Argueda tidak akan membiarkan ini begitu saja,” lanjut pendeta itu. “Putri Yuki adalah istri Pangeran Sera. Kematian Pangeran Sera akan menjadi api yang membakar dendam mereka.”
Ruangan terasa semakin sunyi.
Pangeran Riana menyandarkan tubuhnya ke sofa, matanya masih tajam menatap pendeta itu. Ia tahu. Ia sudah memikirkan itu sejak api di dalam kubah suci padam. Sejak ia melihat tubuh Yuki yang menggigil dalam tangisnya. Sejak nama Sera menjadi abu bersama segel suci.
Argueda akan datang.
Mereka tidak akan tinggal diam.
Dan Yuki…
Yuki mungkin akan membenci dirinya lebih dari yang pernah ia lakukan sebelumnya.
Pangeran Riana menegakkan tubuhnya, tatapannya dingin dan tajam bagaikan pedang yang baru diasah. Ia menyusupkan jemarinya ke rambutnya sejenak, seolah berusaha menahan amarah yang semakin memuncak.
“Jika mereka datang, biarkan saja datang.”
Suaranya rendah, tetapi penuh dengan ancaman yang tidak terbantahkan.
“Jika mereka berani menyentuh Yuki, meskipun hanya seujung rambutnya tanpa izinku…”
Pangeran Riana menatap lurus ke arah pendeta suci, ekspresinya tidak terbaca, namun hawa membunuh yang menguar dari dirinya begitu nyata.
“Aku akan menghancurkan mereka.”
Pendeta suci bergidik, merasakan udara di dalam ruangan seakan menipis.
Tidak ada yang bisa membantah kata-kata Pangeran Riana.
Bagi dunia, Yuki mungkin hanya seorang istri yang kehilangan suaminya.
Tetapi bagi Pangeran Riana, dia adalah dunianya. Dan ia tidak akan membiarkan dunia itu hancur untuk kedua kalinya.
Setelah pendeta suci pergi. Riana tetap duduk di sofa dan berpikir, jari-jarinya mengetuk sandaran kursi dengan ritme yang lambat dan teratur. Pikirannya berkelana, mengulang kembali setiap percakapan, setiap tatapan, dan setiap kata yang pernah Yuki ucapkan.
Akhirnya, dia mengerti.
Kata-kata Yuki yang dulu terdengar samar kini terukir jelas dalam benaknya.
“Aku tidak kembali untuk merusak hidup kalian.”
Saat itu, Riana menganggap ucapan itu sebagai bentuk kepasrahan. Sebuah alasan yang Yuki gunakan untuk menjaga jarak darinya dan Sera. Tapi sekarang dia tahu… itu bukan sekadar alasan.
Yuki benar.
Dia tidak kembali untuk berada di sisi Riana atau Sera.
Dia kembali untuk menarik segel suci.
Untuk mengorbankan dirinya sendiri, daripada harus melihat salah satu dari mereka mati.
Dan Sera…
Sera mengetahuinya.
Sera yang lebih dulu menyadari niat Yuki dan memilih melangkah lebih dulu ke dalam api, mengorbankan dirinya sebelum Yuki sempat melakukannya.
Sera telah mengambil tempat Yuki di dalam neraka itu.
Riana membuka matanya perlahan, menatap kosong ke depan. Pikirannya masih berputar, menelusuri setiap kejadian dengan ketelitian yang mengerikan.
Semuanya terasa seperti rantai yang saling terhubung, ditarik oleh tangan yang tak terlihat.
Serfa…
Saat itu, dia ada di sana—bersama rombongan yang menyelamatkan pendeta suci.
Dia mendengar ramalan Putri Duyung.
Mungkin… Putri Duyung itu memang sengaja meramalkan semuanya di depan banyak orang.
Bukan untuk keuntungan Garduete.
Bukan untuk keseimbangan dunia.
Tapi untuk menyelamatkan Yuki.
Karena Putri duyung adalah bibi Ferlay—adik dari ibunya.
Karena selama ini, Yuki telah merawat Ferlay dengan tulus. Menganggapnya seperti anak sendiri di saat Lekky gagal menjadi ayah yang seharusnya.
Siapa yang akan mengorbankan diri tidak pernah menjadi masalah.
Putri Duyung itu pasti tahu bahwa di antara semua orang yang mendengar ramalannya, ada Pendeta Serfa—seseorang yang lebih mementingkan Negeri Garduete dibandingkan apapun.
Jadi jika Serfa tahu bahwa anak-anak yang akan dilahirkan Yuki adalah harapan bagi Garduete, maka dia pasti akan melakukan apapun untuk memastikan Yuki tetap hidup.
Dan satu-satunya cara… adalah dengan menyingkirkan penghalang lain.
Sera.
Sera adalah pilihannya.
Bukan karena dia lebih lemah.
Bukan karena dia lebih mudah dimanipulasi.
Tapi karena dia mencintai Yuki dengan cara yang tidak akan pernah membiarkan gadis itu mati.
Dan sekarang…
Ramalan itu telah menjadi kenyataan.
Sera telah pergi.
Yuki masih hidup.
Dan Riana…
Riana menggenggam tangannya erat.
Apakah dia harus merasa bersyukur karena Yuki masih di sisinya?
Atau seharusnya dia membenci kenyataan bahwa seseorang harus mati demi memastikan Yuki tetap hidup?
Sial.
Sera mati bukan karena takdir.
Sera yang mengetahui ramalan itu…
Serfa mungkin mengira Sera akan bertindak sesuai harapannya—mengorbankan dirinya demi memastikan Yuki tetap hidup.
Tapi Sera bukan orang yang bisa dikendalikan begitu saja.
Dia tidak akan diam saja menerima kematiannya.
Kebenciannya pada Riana dan Lekky tidak pernah padam.
Tapi kali ini, dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Dia tidak ingin kehilangan Yuki lagi.
Jadi dia membuat rencana.
Dia menceritakan sebagian kecil tentang segel suci pada Riana, cukup untuk menariknya masuk ke dalam jebakannya.
Dan Lekky…
Sera pasti sudah memperhitungkan segalanya.
Menjebak Lekky agar masuk ke dalam kubah, seolah-olah itu bagian dari pertempuran.
Dan kemudian… ledakan itu.
Jika semuanya berjalan sesuai rencananya, dia dan Lekky akan mati bersama.
Dunia akan percaya bahwa itu adalah takdir.
Dan Yuki…
Yuki tidak akan pernah tahu bahwa Sera-lah yang membawa Riana ke dalam kematian.
Dia akan tetap hidup, bebas dari ancaman Riana dan Lekky.
Dan pada akhirnya, dia bisa bersama Yuki…
Tanpa ada yang menghalangi.
Tanpa ada yang curiga.
Termasuk Yuki sendiri.
Riana tertawa pelan, tapi bukan karena merasa lucu.
Ironis.
Bahkan dalam kematiannya, Sera masih mencoba merebut Yuki darinya.
Mayat Sera telah ditemukan.
Tubuhnya masih utuh.
Sementara Lekky…
Dia masih hidup.
Sekarat, tapi tetap bernapas.
Riana mengepalkan tangannya, giginya bergemeletuk menahan emosi yang hampir meledak.
Jadi pada akhirnya, Sera gagal menyingkirkan Lekky.
Dan yang lebih menyakitkan—alasan Lekky masih hidup.
Darah Yuki.
Darah yang seharusnya menjaga hidup Yuki, malah menyelamatkan pria yang paling pantas mati.
Dokter Aurelian berkata bahwa Yuki telah berkali-kali mendonorkan darahnya untuk Lekky.
Tanpa sadar, dia telah memberikan kekuatan pada pria itu.
Meningkatkan kekuatan perinya hingga cukup untuk bertahan dari kehancuran yang bahkan membakar Sera sampai mati.
Sial.
Seberapa dalamnya hubungan mereka sampai Yuki mau melakukan itu?
Seberapa banyak pengorbanan yang Yuki berikan untuk seorang Lekky—orang yang bahkan tidak pantas mendapatkannya?
Riana memejamkan mata, menarik napas dalam.
Lalu dia tertawa pelan.
Tentu saja.
Tentu saja takdir tidak akan membiarkannya menang begitu saja.
Sera telah mati, tapi Lekky masih hidup.
Lekky masih menjadi duri dalam daging.
Dan Yuki…
Apa yang akan dia lakukan saat tahu Lekky masih bernapas?
Riana melirik ke arah tempat tidur, di mana Yuki masih terbaring tak sadarkan diri.
Dia harus bersiap.
Karena cepat atau lambat, Yuki akan bangun.
Dan saat itu terjadi, Riana tidak akan membiarkan satu orang pun mengambilnya darinya.
Tidak lagi.
...****************...
Yuki melihatnya.
Pria itu berdiri di atas altar yang tinggi, sosoknya menjulang di antara cahaya yang berpendar lembut di sekelilingnya.
Sera.
Matanya menatap ke arahnya—hangat, penuh cinta, tapi juga memancarkan keteguhan hati yang begitu dalam.
Yuki merasakan napasnya tercekat.
Dia berteriak, memanggil namanya.
Tangannya terulur, mencoba meraihnya, mencoba mendekat, tapi rantai-rantai yang membelenggunya menahannya dengan kuat.
Dia tidak takut pada rantai itu.
Bukan itu yang membuat dadanya sesak.
Tapi cahaya di belakang Sera.
Cahaya yang kian lama kian terang, perlahan menelan sosoknya.
Tidak.
Jangan.
Jangan pergi.
Sera tetap diam, hanya menatapnya dengan senyum lembut yang menyakitkan.
Tidak!
Yuki menjerit, meronta, berusaha membebaskan diri, tapi rantai itu semakin mengencang, seakan menertawakan ketidakberdayaannya.
Lalu cahaya itu menelan Sera sepenuhnya.
Menghapus sosoknya dari pandangan.
Dan dunia Yuki runtuh.
“Seraaaaa!!!”
Yuki terbangun.
Dadanya naik turun, napasnya tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Pandangannya masih buram saat ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mengenali sekelilingnya.
Sebuah kamar.
Familiar, namun terasa asing di saat yang bersamaan.
Udara di dalamnya terasa dingin, senyap, seakan menahan sesuatu di balik ketenangannya.
Kemudian pintu terbuka.
Yuki tersentak, matanya langsung tertuju pada sosok pria yang berdiri di ambang pintu.
Rambutnya hitam, namun saat terkena cahaya, ada semburat biru keabu-abuan yang samar—seperti sinar bulan di malam musim dingin.
Tatapan pria itu tenang, sulit ditebak.
Lalu suaranya terdengar, dalam dan dingin, namun entah mengapa terasa hangat di telinga Yuki.
“Kau bangun?”
Yuki menatap pria itu dalam diam. Ada sesuatu yang familiar dalam dirinya—sesuatu yang jauh di dalam ingatannya, tertimbun oleh waktu dan peristiwa.
Kemudian, perlahan, potongan-potongan ingatan itu kembali.
Pria ini… Dia adalah orang yang membawanya ke dunia ini. Dunia yang dikatakan Bibi Sheira sebagai dunia asal mereka.
Dia seorang pangeran.
Namun Yuki tidak tahu siapa namanya.
Suaranya terdengar serak ketika akhirnya ia membuka mulut.
“Siapa kau?”
Pangeran Riana terdiam sesaat. Matanya yang tajam menatap Yuki yang terlihat kebingungan dan ketakutan.
Sikapnya canggung—sedikit gemetar, napasnya tak beraturan.
Dia selalu seperti itu ketika dia ketakutan dan bingung.
Riana mengenalnya lebih dari siapa pun.
Namun, kali ini… kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Ada jarak di antara mereka yang tidak pernah ada sebelumnya. Seolah-olah Yuki bukan hanya takut atau bingung, tapi juga… hilang. Seolah-olah dia telah melupakan sesuatu yang seharusnya dia ingat.
Riana dengan tenang memanggil prajurit penjaga di dekatnya. Suaranya datar, tetapi ada ketegangan yang tersembunyi di baliknya.
“Panggil Aurelian sekarang.”
Prajurit itu segera memberi hormat dan bergegas pergi, meninggalkan Riana dan Yuki dalam keheningan yang canggung.
Yuki masih menatapnya, ekspresinya menunjukkan kebingungan yang mendalam. Dia tidak mengerti mengapa pria di depannya terlihat begitu familiar, tetapi pada saat yang sama, terasa begitu asing.
...****************...
Yuki meringkuk di dekat tempat tidur, tubuhnya gemetar halus, seolah udara di ruangan itu terlalu dingin untuknya. Dia tampak ketakutan dan tidak nyaman, seperti seekor anak kucing yang tersesat di tempat asing. Dengan perlahan, dia menelusupkan wajahnya di antara kedua lututnya, mencoba mengecilkan dirinya sendiri, seakan berharap bisa menghilang.
Di ruang sebelah, samar-samar terdengar suara percakapan. Suara pria berambut hitam dengan semburat biru-keabu-abuan itu mendominasi pembicaraan, tegas namun tetap tenang. Ada beberapa orang lain bersamanya, tetapi Yuki tidak bisa mendengar jelas apa yang mereka katakan. Hanya gumaman-gumaman yang sesekali terdengar, seperti angin yang berbisik melewati celah pintu.
Tiba-tiba, suara derit pintu yang terbuka membuat tubuh Yuki menegang. Langkah kaki memasuki ruangan, dan pria itu muncul bersama dua orang lainnya—seorang pria dengan jubah dokter dan seorang pria tampan berambut hitam, dengan gaya khas seorang playboy yang menampilkan senyuman menggoda.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!