Mutia menjalani aktivitasnya pada pagi ini di dapur, setelah salat subuh gegas ia menuju dapur dan mulai memasak untuk sarapan keluarganya. Mutia memasak menu masakan ayam kecap dan sayur buncis, keributan di pagi ini terjadi saat kedua putrinya berebut untuk mandi duluan.
"Gak bisa Kakak dulu."
"Adik dulu, aku udah sampai di depan kamar mandi duluan!"
Mutia gegas menuju kamar mandi di mana kedua putrinya, Sephia dan Sania sedang bertengkar untuk siapa duluan yang berhak untuk menggunakan kamar mandi. Kamar mandi di rumah ini ada dua namun kamar mandi yang satu lagi sedang dipakai oleh Zulfikar, suami Mutia jadilah kedua anaknya ini ribut.
"Ada apa ini?"
"Ini Bunda, Kakak gak mau ngalah," adu Sania.
"Kalau aku ngalah nanti bisa telat ke sekolah," ujar Sephia.
Mutia kemudian mencoba mendamaikan keduanya namun tidak berhasil, untung saja Zulfikar sudah selesai mandi hingga perdebatan kedua putrinya ini bisa segera teratasi. Sania pergi ke kamar mandi yang lain dan Sephia menggunakan kamar mandi yang ini.
"Anak-anak selalu ribut kalau pagi begini," ujar Zulfikar yang sudah mengenakan pakaian formanya siap pergi ke kantor.
"Begitulah Mas, mereka sekarang kan sudah mulai beranjak remaja jadinya sering sekali cek cok begini, kayaknya kita bakal kangen masa-masa di mana anak-anak masih merangkak dan belajar jalan."
"Kamu gak perlu khawatir, aku akan selalu bersama kamu walau nanti anak-anak sudah besar dan menikah."
Mutia menganggukan kepalanya dan kemudian mereka gegas menuju meja makan dan menunggu kedua putrinya selesai mandi dan ganti pakaian. Suasana di meja makan nampak ramai dan penuh keceriaan hingga membuat Mutia rasanya senang sekali dan tidak ingin momen seperti ini harus berakhir.
****
Zulfikar mengantarkan anak-anak ke sekolah dengan mobilnya, Sephia dan Sania melambaikan tangan pada Mutia yang mengantar sampai gerbang rumah.
"Hati-hati di jalan, Yah."
"Iya Bunda, kami berangkat dulu."
Mobil yang dikemudikan oleh Zulfikar kini sudah menghilang dari pandangan Mutia dan wanita itu pun gegas masuk ke dalam rumah dan mulai melakukan aktivitasnya di rumah. Ia mulai menyapu, mengepel lantai, mencuci baju dan berbagai kegiatan yang menyita waktu namun ia sama sekali tak pernah mengeluh akan hal tersebut. Mutia menjalani semuanya dengan ikhlas dan bahagia, saat ia sedang mengelap meja dekat nakas tempat tidur secara tak sengaja tangannya menyenggol foto pernikahannya dengan Zulfikar dan membuat foto itu jatuh ke lantai.
"Ya Allah."
Mutia nampak terkejut dan buru-buru meraih foto tersebut untuk memastikan bahwa tidak retak dan syukurnya tidak terlalu parah rusaknya hanya sedikit retak saja namun ada hal aneh yang dirasakan oleh Mutia saat memandang foto pernikahannya dengan sang suami.
"Kok perasaanku jadi gak enak begini?" gumam Mutia.
Mutia menggelengkan kepalanya, ia tak mau terlalu berpikiran buruk atau yang aneh-aneh soal apa yang baru saja terjadi. Mutia kemudian melanjutkan pekerjaannya dan ia harus selesai sebelum kedua anaknya pulang sekolah karena saat ini saja ia belum memasak untuk makan siang keduanya.
****
Mutia menyambut kedua putrinya yang baru saja pulang dari sekolah, keduanya nampak antusias sekali saat disambut oleh Mutia di depan pintu. Sephia dan Sania berebut bercerita pada Mutia mengenai apa saja yang mereka lakukan hari ini di sekolah. Sebagai seorang ibu, tentu saja Mutia mendengarkan semua cerita kedua anaknya dengan seksama. Ia selalu senang mendengar kedua putrinya bercerita dengan antusias.
"Sekarang ayo ganti baju kalian kemudian makan siang."
Sephia dan Sania gegas menuju kamar mereka untuk berganti baju dan kemudian menuju meja makan di mana makanan sudah tersaji di sana.
"Masakan Bunda enak banget," puji Sania.
"Iya masakan Bunda memang paling juara," timpal Sephia.
"Kalian ini bisa saja memuji Bunda," ujar Mutia.
"Tapi ini memang enak kok Bunda."
"Iya masakan Bunda selalu enak dan gak pernah gagal untuk membuat lidah bergoyang."
Mutia hanya bisa tersenyum mendengar semua celotehan anak-anaknya ini, setelah selesai makan siang maka Mutia meminta kedua putrinya untuk membawa piring kotor ke tempat cuci piring dan membantunya dalam merapihkan meja makan. Keduanya melakukan semua yang diperintahkan oleh Mutia dengan senang hati dan sama sekali tidak ada raut wajah terpaksa di wajah mereka. Mutia sangat bersyukur karena kedua anaknya adalah anak yang mudah untuk diatur dan disuruh, ia melakukan semua ini tentu saja bukan tanpa alasan, ia ingin anak-anak bisa disiplin untuk kehidupan dewasa mereka kelak.
****
Zulfikar melihat ada sebuah nama yang tertera di ponselnya dan nama itu adalah Lestari, ia tak bisa menjawab panggilan Lestari karena saat ini ia sedang meeting dengan direktur. Zulfikar mengirim pesan pada Lestari bahwa nanti ia akan menghubunginya lagi selepas meeting sudah selesai. Dan benar saja selepas meeting selesai maka Zulfikar langsung menghubungi wanita bernama Lestari itu namun ia menghubungi wnaita itu di tangga darurat yang sepi.
"Mas, kamu sudah selesai rapatnya?"
"Iya sayang, aku baru saja selesai rapatnya."
"Kamu tahu nggak, aku kangen banget sama kamu."
"Bukan cuma kamu saja sayang, aku juga kangen banget sama kamu."
"Kalau begitu nanti kamu bakal datang kan ke rumah?"
"Tentu saja, aku pasti akan datang, sayang."
"Aku akan masak yang spesial buat kamu. Pokoknya kamu pasti gak akan menyesal datang."
"Aku sudah nggak sabar deh rasanya mau mencicipi masakan kamu itu."
Mereka terus mengobrol untuk beberapa saat sebelum akhirnya, Zulfikar menyudahi obrolan itu karena ia harus kembali bekerja. Zulfikar gegas kembali menuju ruangan kerjanya dan kembali fokus pada laptop yang ada di depannya. Tujuannya adalah segera menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin supaya dirinya bisa memiliki banyak waktu dengan Lestari.
"Lestari, aduh rasanya aku mau cepat-cepat ketemu sama dia."
****
Seperti apa yang dikatakan oleh Zulfikar lewat telepon bahwa ia akan datang pada sore ini ke rumah Lestari. Tentu saja ia disambut oleh wanita yang menjadi selingkuhannya itu dengan tangan terbuka. Zulfikar masuk ke dalam rumah dan Lestari memeluk tubuh pria yang dicintainya itu tanpa merasa canggung.
"Aku tuh dari tadi kangen sama kamu, Mas."
"Aku tuh juga kangen banget sama kamu, di kantor tadi aku gak fokus bekerja karena aku kepikiran sama kamu."
Lestari terkekeh mendengar ucapan Zulfikar barusan, ia kemudian membawa Zulfikar ke ruang makan di mana ia sudah menyiapkan makan malam untuknya.
"Ayo Mas, dicobain dong masakan aku."
"Ngelihat makanan ini rasanya aku sudah lapar."
"Makanya jangan cuma dilihat, tapi dimakan juga. Aku ini buat semua ini dengan cinta, rasanya pasti enak."
"Terima kasih, sayang."
Zulfikar tidak hanya makan malam di rumah Lestari namun ia juga melakukan hal yang lain dengan wanita ini karena memang Lestari sudah sering menggodanya dengan kecantikan paras dan tubuhnya yang seksi tentu saja menggoda siapa pun termasuk Zulfikar. Pada akhirnya mereka berakhir di ranjang dan membuat Lestari kegirangan karena mendapatkan apa yang dia inginkan. Setelah puas melakukan aktivitas itu maka Zulfikar mandi dan segera mengenakan pakaiannya lagi namun Lestari memeluk pria itu dari belakang.
"Kamu mau pulang? Kenapa nggak menginap saja? Hari kan sudah malam, pasti istri kamu sudah tidur."
"Aku nggak bisa kalau nggak pulang, dia pasti menunggu aku di rumah."
"Kamu ini gimana, sih? Kenapa kamu nggak juga menceraikan dia? Katanya kamu mau menceraikan dia segera dan menikah sama aku?"
"Aku janji sama kamu akan segera menikahi kamu tapi tolong sabar."
"Gimana bisa aku sabar? Aku ini sudah menunggu lama dan yakin sama janji-janji yang selalu kamu ucapkan selama ini. Jangan-jangan semua yang kamu katakan selama ini hanya janji busuk?!"
"Nggak Lestari, aku akan menikahi kamu. Percayalah."
Namun Lestari merajuk dan tidak mau memercayai apa yang dikatakan oleh Zulfikar barusan. Pria itu kemudian meraih tangan Lestari dan kemudian ia menciumnya lembut, Zulfikar janji bahwa ia akan segera menceraikan Mutia dan mereka akan hidup bahagia selamanya sebagai pasangan suami-istri.
"Kalau begitu berikan aku kepastian, kapan kamu akan menceraikan Mutia dan menikah sama aku."
"Beri aku waktu satu bulan, aku janji setelah satu bulan maka aku akan menceraikan dia dan menikahi kamu."
****
Zulfikar tiba di rumah dan seperti yang ia duga sebelumnya bahwa Mutia pasti belum tidur juga saat ini. Hal itu terbukti karena lampu rumah masih menyala padahal harusnya sudah mati. Zulfikar masuk ke dalam rumah dan menemukan sang istri tengah tidur di sofa ruang tamu. Mutia yang mendengar suara pintu terbuka sontak saja membuka matanya yang tadi masih terpejam, ia bisa melihat sosok yang sejak tadi ia tunggu kedatangannya akhirnya muncul juga.
"Kenapa sih kamu ini suka keras kepala? Aku kan sudah katakan supaya kamu jangan menungguku."
"Bagaimana bisa aku nggak menunggu kamu, Mas? Aku khawatir kalau terjadi sesuatu sama kamu."
"Tapi kamu bisa lihat sendiri kan saat ini aku baik-baik saja."
Zulfikar gegas menuju kamar untuk mandi dan berganti pakaian dan tentu saja Mutia menyusul dia sampai ke dalam kamar. Ada hal yang mau ia bicarakan dengan sang suami namun entah mengapa ia ragu untuk mengatakannya.
"Kamu mau bicara apa?" tanya Zulfikar yang seolah paham bahwa saat ini Mutia sedang menyimpan sesuatu.
"Bukan apa-apa," jawab Mutia.
Zulfikar kemudian kembali cuek dan tak menanyakan lebih lanjut pada Mutia. Ia langsung tidur begitu saja di ranjang sementara Mutia menghela napasnya panjang. Ia ikut berbaring di samping sang suami namun matanya enggan terpejam lagi. Mutia memikirkan bahwa sikap sang suami sudah mulai berubah sekarang, entah firasatnya mengatakan kalau ada yang tidak beres dalam rumah tangganya dan Mutia harus segera mencari tahu di mana sumber masalahnya.
****
Hari ini Mutia memberanikan diri untuk bicara dengan Zulfikar, ia akan langsung bertanya pada sang suami mengenai apa yang mengganjal di dalam hatinya.
"Mas, ada hal yang mau aku tanyakan sama kamu."
"Kalau begitu kamu tanyakan saja."
"Kalau aku lihat-lihat belakangan ini sikap kamu kok jadi berubah? Aku merasa kamu lebih cuek, kamu kalau pulang ke rumah selalu malam. Kamu juga sering main ponsel kemudian saat aku melihat ponsel kamu kayak langsung panik sambil marah. Sebenarnya apa yang terjadi?"
"Mutia, apakah kamu baru saja menuduh aku tengah melakukan hal yang tidak-tidak?"
"Bukan begitu, Mas. Hanya saja aku ini sedang bertanya sama kamu supaya kita ini saling terbuka dan nggak ada gesekan lain di masa yang akan datang."
"Sudahlah Mutia, kamu jangan mengelak lagi. Aku tahu kalau sekarang kamu ini sedang menuduh aku ini tengah berselingkuh! Dari pertanyaan kamu saja aku sudah bisa langsung menyimpulkannya. Dari mana sih kamu bisa mendapatkan pikiran begitu?!"
Mutia terdiam sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan dimarahi oleh sang suami seperti ini padahal niatnya barusan itu bertanya baik-baik tapi kenapa sekarang malah ia yang kena marah? Mutia yakin bahwa apa yang menjadi kecurigaannya terbukti. Ia yakin bahwa memang ada yang tidak beres di sini dan ia harus mulai mencari tahu.
****
Perlahan tapi pasti Mutia mulai mencari tahu apa yang sebenarnya dirahasiakan oleh sang suami darinya walau ia sendiri tidak yakin apa yang ia lakukan ini adalah benar namun Mutia tidak mau kalau sampai ia mengetahuinya belakangan dan pada akhirnya malah membuatnya akan semakin sakit. Mutia mendapatkan sebuah pesan dari sebuah nomor asing yang tidak dikenalnya namun dari pesan itu maka Mutia mengetahui sebuah alamat yang asing baginya. Mutia agak ragu untuk datang ke alamat yang asing itu apalagi jaraknya cukup jauh dari rumah ini. Tapi berbekal dengan rasa penasaran yang tinggi mala Mutia pun gegas menuju alamat itu dengan menggunakan taksi. Mutia sepanjang perjalanan nampak sangat gelisah bukan main.
"Ya Allah, sebenarnya di sana itu ada apa? Kenapa hatiku jadi nggak tenang begini?" gumam Mutia dalam hati.
Taksi yang membawa Mutia pada akhirnya berhenti juga di depan rumah yang alamatnya adalah alamat persis yang disebut dalam pesan asing itu. Mutia turun dari dalam taksi dan kemudian melihat di halaman rumah itu ada sebuah mobil yang sangat ia kenali.
"Mobilnya mas Zulfikar ini," gumam Mutia.
Melihat mobil suaminya di rumah ini tentu saja membuat perasaan Mutia mulai berkecamuk, ia mulai berpikir bahwa apa yang menjadi ketakutannya selama ini akan menjadi nyata.
****
Mutia perlahan melangkahkan kakinya masuk ke dalam pekarangan rumah, ia berjalan terus sampai ke pintu masuk dan tangannya mengepal di udara untuk mengetuk pintu rumah. Ada rasa ragu dalam diri Mutia saat ia hendak mengetuk pintu rumah itu. Tak lama kemudian ia mendengar suara dari dalam rumah itu, ia jelas sekali tak mungkin salah dalam mengenali suara itu.
"Mas, aku senang sekali kamu ada di sini."
"Aku juga senang sekali di sini."
"Tolong jangan pulang malam ini, kamu menginap saja di sini."
"Baiklah, aku akan segera kirim pesan pada istriku."
Tak lama kemudian ponsel Mutia menampilkan sebuah pesan dari sang suami yang isinya permintaan maaf kalau ia tidak bisa pulang malam ini karena lembur. Seketika Mutia marah dan tak bisa menahan diri lagi, ia menggedor pintu dengan kasar sampai pintu terbuka dan rupanya yang membuka adalah Zulfikar.
"Mutia? Kok kamu bisa di sini?"
Zulfikar membuka pintu rumah dan ia sangat terkejut saat melihat sosok Mutia berdiri di depan sana dengan mata merah dan menahan air mata, ekspresinya sudah pasti menahan amarah yang siap untuk meledak saat ini.
"KAMU BOHONG! RUMAH SIAPA INI?!" pekik Mutia keras.
"Jangan keras-keras nanti tetangga dengar," ujar Zulfikar.
"BIAR SAJA SEMUA DENGAR! APA-APAAN MAKSUDNYA INI? SIAPA YANG TINGGAL DI SINI?!"
"Mutia tolong jangan bikin keributan!"
"KAMU SELINGKUH, MAS?! KAMU TEGA MENGHIANATIKU?! AKU SUDAH SETIA SAMA KAMU SELAMA 12 TAHUN! APAKAH SEMUA YANG AKU LAKUKAN SELAMA INI GAK PERNAH TERNILAI DI MATA KAMU SAMPAI-SAMPAI KAMU TEGA MELAKUKAN INI SAMA AKU?!"
Suara Mutia yang menggelegar membuat tetangga keluar rumah dan menatap ke arah mereka, tentu saja hal itu membuat Zulfikar panik dan merasa tidak enak serta malu. Ia menarik Mutia untuk masuk ke dalam rumah dan mereka bisa bicarakan itu dengan baik-baik. Di dalam rumah nampak Lestari yang sudah menyiapkan makanan untuk Zulfikar. Lestari sama sekali tidak terkejut melihat Mutia datang, ia nampak santai seolah tak terjadi apa pun.
"Mas, ayo makan. Aku sudah siapkan makanan untuk kamu."
"Jadi dia wanita itu? Wanita simpanan kamu yang sudah membuat kamu berpaling dariku?!"
"Mutia, tolong hentikan!"
"Hentikan bagaimana?! Kamu yang memulai semua ini, Mas! Bagaimana bisa kamu tega!"
"Mbak tolong jangan bikin drama di rumah orang," tegas Lestari.
Mutia menatap Lestari dengan tatapan tajam, ia tak menyangka akan bertemu dengan pelakor tidak tahu diri seperti Lestari ini. Ia berjalan maju untuk memberi pelajaran pada Lestari namun tangannya ditarik oleh Zulfikar.
"Lepasin! Aku mau memberikan pelajaran sama dia!"
"Jangan bikin onar di rumah orang, Mutia!"
"Mas, kamu membela dia?! Aku ini istri kamu!"
"Aku sudah nggak mencintai kamu, baguslah kalau sekarang kamu sudah tahu yang sebenarnya, aku nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi," tegas Zulfikar membuat Mutia terkejut.
****
Zulfikar mengatakan ia akan segera mengurus perceraian dengan Mutia dan ia tidak akan memperebutkan hak asuh anak-anak. Anak-anak bisa tinggal dengan Mutia, dunia Mutia serasa runtuh saat ini juga, ia sama sekali tidak menyangka rumah tangga yang sudah berusia 12 tahun ini akhirnya usai sudah. Mutia menangis melampiskan semua kepedihan dan kesedihan yang ia rasakan namun tentu saja ia berjanji bahwa setelah ia menangis dan merasakan kesakitan ini maka ia akan bangkit, ia akan buktikan bahwa ia bisa hidup tanpa Zulfikar.
"Baiklah kalau memang itu yang kamu mau, aku gak akan menghalangi."
Mutia berbalik badan dan pergi dari rumah Lestari dengan hati yang hancur, bayang-bayang rumah tangga bahagia selama ini musnah sudah. Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Mutia hanya bisa menangis sepanjang jalan, ia tak menyangka kalau semua akan berakhir dengan cara yang seperti ini. Sampai di rumah, ia langsung mengemasi semua pakaiannya dan pakaian anak-anak. Ia tak mau tinggal di rumah ini dan berniat untuk mencari rumah kontrakan untuk hidup bersama kedua anaknya.
"Bunda, kenapa ada tas di sini? Kita mau ke mana?" tanya Sephia.
"Kita akan pergi," jawab Mutia tegas.
"Pergi ke mana?" tanya Sania.
"Pokoknya kita akan pergi dari rumah ini," jawab Mutia.
****
Mutia membawa kedua anaknya ke rumah kontrakan yang ada di pinggir kota, nampak kedua anaknya heran kenapa harus tinggal di rumah kontrakan seperti ini. Mutia nampak sabar menjelaskan bahwa ia dan Zulfikar sudah berpisah dan tak bisa tinggal di rumah itu lagi.
"Kenapa ayah dan bunda pisah?"
"Iya, kenapa?"
Mutia terdiam, ia tak tahu jawaban apa yang harus ia berikan pada kedua anaknya saat ini. Mutia hanya bisa diam dan kemudian mengatakan bahwa suatu hari nanti saat kedua anaknya sudah dewasa maka kelak mereka pasti akan paham. Mutia segera mengambil wudhu dan membentangkan sajadah setelah mengenakan mukenanya, ia melaksanakan salat dan kemudian berdoa pada Tuhan.
"Ya Allah, hamba tahu bahwa engkau sedang menguji hamba, tolong kuatkan hamba untuk dapat menghadapi semua cobaan ini."
Mutia terisak dalam doanya, ia berharap diberikan kekuatan dan kemudahan dalam menghadapi cobaan yang diberikan padanya. Setelah berdoa dan berkeluh kesah kepada sang pencipta, Mutia merasa jauh lebih lega. Ia dapat berpikir lagi setelah sebelumnya ia terasa buntu dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Mutia tentu saja tidak bisa berpangku tangan saja, ia harus mulai memikirkan apa yang dapat ia lakukan demi membuat ia dan kedua anaknya bisa tetap hidup.
****
Mutia memberanikan diri datang ke rumah orang tuanya dan di sana ia disambut oleh Ahmad dan Leha, kedua orang tuanya. Ahmad bertanya ada masalah apa dengan Mutia dan Mutia yang awalnya agak ragu pun mau secara terus terang berkata pada kedua orang tuanya bahwa ia dan Zulfikar akan berpisah dan ia mau datang ke sini meminjam uang untuk modal usaha. Ahmad dan Leha nampak terkejut mendengar apa yang Mutia katakan soal perpisahan ini.
"Kalau boleh Ayah tahu kenapa kamu mau bercerai dengan suami kamu?"
"Semua masalah bisa dibicarakan, jangan langsung cerai saja," ujar Leha menimpali.
"Sudah nggak ada hal yang bisa dibicarakan dan untuk apa dipertahankan kalau itu akan membuatku sakit dan menderita. Suamiku selingkuh dan dia sudah menjatuhkan talak untukku, untuk apa aku harus mengemis padanya yang sudah memilih wanita lain?" tegas Mutia.
Sontak jawaban Mutia barusan membuat Ahmad dan Leha terdiam tak menyangka, mereka kemudian memeluk Mutia dan menenangkan Mutia mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mutia adalah langkah yang sudah tepat.
"Maafkan kami barusan, Nak. Kami benar-benar nggak tahu apa yang terjadi," gumam Leha.
Mutia menggelengkan kepalanya, ia meminta pada kedua orang tuanya untuk jangan menyalahkan diri sendiri.
"Nggak, Ayah dan Ibu jangan menyalahkan diri sendiri. Aku baik-baik saja."
****
Zulfikar tiba di rumah dan tidak menemukan Mutia dan anak-anak, ia mencari mereka ke semua penjuru rumah dan ketika ia membuka lemari nampak semua pakaian dan koper Mutia sudah lenyap. Zulfikar tahu bahwa saat ini artinya Mutia dan anak-anak sudah pergi dari rumah ini.
"Jadi mereka sudah pergi."
Zulfikar meraih foto pernikahannya dengan Mutia dan kemudian menatap foto keluarga bersama kedua anaknya. Zulfikar merasa sedih dengan semua yang terjadi saat ini namun tentu saja semua sudah terjadi dan memang sepertinya harus seperti ini akhir dari rumah tangganya dengan Mutia yang sudah berlangsung selama 12 tahun.
"Selamat jalan Mutia, semoga kamu akan mendapatkan kebahagiaan di luar sana dan semoga kamu kelak bisa memaafkan aku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!