NovelToon NovelToon

Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Bab 1

...****************...

Udara dingin di dalam ruang latihan membuat napasku berembus tipis. Kakiku meluncur di atas es, mengikuti irama musik yang mengalun pelan. Tanganku terulur, tubuhku berputar, dan saat momen yang tepat tiba—aku melompat.

Satu. Dua. Tiga putaran di udara.

Mendarat mulus.

Aku tersenyum kecil. Rasanya puas setiap kali gerakanku berjalan sempurna. Lelah? Pasti. Tapi ada sesuatu yang membuatku terus ingin menari di atas es—sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.

Tepukan pelan terdengar di belakangku. Aku menoleh dan melihat Coach Bram berdiri di dekat pintu masuk, tangan terlipat di dada dengan ekspresi seperti biasa—setengah puas, setengah serius.

“Ada tamu buat kamu,” katanya.

Aku mengernyit. “Siapa?”

Coach Bram menoleh ke belakang, memberi isyarat pada seseorang untuk masuk. Lalu, muncul seorang pria tinggi dengan jas hitam yang pas di tubuhnya. Langkahnya santai tapi tegas, auranya… entah kenapa terasa dingin.

Matanya abu-abu gelap, tajam seperti sedang mengamati mangsa. Wajahnya kaku, nyaris tanpa ekspresi.

“Sienna, ini Arsen Ludwig. Sponsor barumu,” ujar Coach Bram.

Aku mengerjap. Sponsor?

Arsen mengulurkan tangan, dan aku sedikit ragu sebelum akhirnya menjabatnya. Genggamannya kuat, dingin—persis seperti kesan pertama yang kudapat darinya.

“Senang bertemu denganmu,” katanya datar.

Aku mengangguk kecil.

“Senang bertemu juga,” balasku.

Pria itu diam sebentar, menatapku seolah sedang menilai sesuatu. Aku berusaha tetap tenang, meskipun rasanya sedikit canggung.

“Jadi… sponsor?” tanyaku akhirnya.

Arsen mengangguk kecil. “Aku tertarik dengan potensimu.”

Aku melirik Coach Bram, mencari kepastian.

“Maksudnya… dia bakal biayain aku?”

Coach Bram menghela napas. “Kurang lebih begitu. Arsen bersedia mendanai segala kebutuhan latihan dan kompetisimu. Dengan syarat tertentu, tentunya.”

Aku kembali menatap pria di hadapanku. “Syarat?”

Arsen tetap tak menunjukkan ekspresi apa pun.

“Aku ingin kau fokus. Tidak ada gangguan. Aku tidak akan membuang uang untuk seseorang yang setengah-setengah.”

Aku menaikkan alis. “Aku tidak pernah setengah-setengah.”

“Bagus,” balasnya singkat.

Aku menunggu dia mengatakan sesuatu lagi, tapi yang ada justru keheningan. Pria ini… dingin banget. Bahkan aku merasa berbicara dengan tembok batu.

“Jadi, kau bakal bayar semua biaya latihanku? Kostum? Akomodasi?” tanyaku, masih mencoba mencerna semuanya.

Arsen mengangguk. “Dan sebagai gantinya, aku ingin melihat hasil.”

Aku menggigit bibir. Tawaran ini terlalu bagus untuk ditolak, tapi juga terasa agak aneh. Pria ini tidak tampak seperti seseorang yang tertarik dengan dunia ice skating.

“Apa alasanmu melakukan ini?” tanyaku akhirnya.

Arsen menatapku lama sebelum menjawab, suaranya tetap datar. “Aku punya alasanku sendiri.”

Oke… jawaban yang sangat tidak menjawab.

Aku melirik Coach Bram lagi, dan dia hanya mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa ini kesempatan yang sebaiknya tidak aku sia-siakan.

Jadi, dengan sedikit keraguan tapi juga rasa penasaran yang besar, aku mengulurkan tangan. “Baiklah, aku terima.”

Arsen menjabat tanganku sekali lagi. Genggamannya sama seperti tadi—dingin, kuat, dan terasa seperti sebuah perjanjian yang lebih besar dari yang aku sadari.

...****************...

Aku melirik tangan yang baru saja kujabat, masih sedikit sulit percaya dengan apa yang baru terjadi. Ini bukan pertama kalinya aku mendapat sponsor, tapi biasanya mereka hanya perusahaan atau brand olahraga yang ingin menempelkan logo mereka di kostumku.

Tapi Arsen Ludwig? Dia bukan dari dunia ice skating. Aku bahkan tidak yakin dia benar-benar peduli dengan olahraga ini.

Namaku Sienna Rosella. 27 tahun. Seorang figure skater profesional yang hidupnya sudah dihabiskan di atas es sejak kecil.

Aku sudah memenangkan beberapa kompetisi di tingkat nasional, tapi itu belum cukup. Aku butuh lebih. Aku ingin bertanding di tingkat internasional dan membuktikan bahwa aku bisa bersaing dengan atlet kelas dunia.

Itulah kenapa aku di sini, berlatih lebih keras dari siapa pun. Tujuanku jelas—menjadi yang terbaik.

Dan jika sponsor baru ini bisa membantuku mencapainya… mungkin aku harus mengabaikan keanehan yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengannya.

Untuk sekarang.

...****************...

Setelah merasa cukup latihan, aku meluncur ke tepi arena dan duduk di bangku, melepas sepatu ice skating dengan gerakan santai. Begitu sneakers-ku terpasang, aku berdiri dan berjalan menuju ruang ganti.

Aku melepas pakaian latihan yang ketat, menggantinya dengan kaus dan celana jeans yang jauh lebih nyaman. Setelah itu, aku mengikat rambut panjangku menjadi kuncir kuda, mengambil tas olahraga, lalu berjalan santai menuju parkiran.

Hawa dingin di luar gedung menyentuh kulitku, tapi aku tidak terlalu memedulikannya. Dengan langkah ringan, aku mulai bersenandung pelan, sebuah lagu lama yang sering kudengar saat kecil.

“Mm~ mm~ mm~”

Tapi baru beberapa langkah keluar dari gedung, suara lain yang jauh lebih nyaring memecah ketenanganku.

“OEEEK!! OEEEK!! OEEEK!!”

Aku refleks menutup telinga. “Astaga, berisik sekali!”

Suara tangisan itu begitu kencang, hampir seperti sirene darurat yang meraung tanpa henti. Aku mengerutkan dahi, mencari sumber suara.

Lalu, langkahku terhenti.

Di sudut parkiran, berdiri seseorang yang tak asing lagi. Seorang pria dengan jas hitam yang sangat rapi, tapi kini terlihat sedikit kacau karena—

…karena ia tengah sibuk menggendong seorang bayi.

Bayi itu menangis sekuat tenaga, tubuh kecilnya bergerak-gerak gelisah dalam pelukan pria itu. Sementara itu, Arsen Ludwig—pria yang tadi siang terlihat begitu dingin dan tidak berperasaan—sedang berusaha menenangkannya.

Tangannya perlahan menepuk punggung si bayi, mulutnya bergerak seakan mengatakan sesuatu. Ekspresinya tetap datar, tapi ada sedikit kesabaran di sana, bercampur dengan kelelahan.

Aku berdiri terpaku.

Baru beberapa jam lalu aku melihatnya sebagai pria misterius tanpa emosi… dan sekarang dia ada di hadapanku dengan bayi yang terus menangis dalam pelukannya?

Aku masih berdiri di tempat, terlalu terkejut dengan pemandangan di depan mata.

Dan lebih mengejutkan lagi—dia melihat ke arahku.

“Sienna,” panggilnya.

Aku nyaris tidak merespons, masih sibuk mencerna semuanya. Tapi pria itu melangkah mendekat, ekspresi wajahnya tetap setenang es yang baru saja kutari tadi.

“Tolong aku.”

Aku berkedip, benar-benar tidak mengerti. “Hah?”

Arsen menghela napas, mengusap punggung bayi yang ternyata masih terus menangis.

“Nathan menolak dotnya. Dia tidak mau minum susu dari botol.”

Aku menatapnya tanpa paham. “Oke… dan aku bisa membantu bagaimana?”

Matanya menatapku lurus, seolah apa yang akan dia katakan adalah hal yang sepenuhnya masuk akal.

“Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya.”

Aku merasa seperti dipukul sesuatu di kepala.

“…Maaf, apa?”

“Anakku, Nathan,” ulang Arsen dengan nada yang sama dinginnya.

“Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”

Jantungku berdebar kencang. Aku bahkan tidak yakin apakah aku benar-benar mendengar ini dengan benar.

“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”

“Aku tahu,” potongnya cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikannya dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”

Aku membeku di tempat.

Otakku mencoba memproses kata-kata yang baru saja kudengar, tapi semua itu terasa seperti omong kosong yang tidak masuk akal.

Aku baru bertemu pria ini hari ini.

Dan sekarang… dia memintaku untuk melakukan APA?

Refleks, aku mengangkat tangan, menolak mentah-mentah. “Tidak. Minta saja ibunya!”

Arsen menatapku sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan cepat, nada suaranya tetap tenang, tapi entah kenapa ada sesuatu yang terasa… tajam.

“Nathan tidak punya ibu.”

Aku terdiam.

“…Hah? Kok bisa?”

.

.

.

Next 👉🏻

Bijaklah dalam memilih bacaan🤭

Bab 2

...****************...

“Nathan tidak punya ibu.”

Aku masih diam, mencoba mencerna kata-kata itu.

Apa maksudnya? Ibunya meninggal? Pergi? Atau—

“Terserah kau percaya atau tidak,” suara Arsen memotong lamunanku, terdengar sedikit lebih mendesak dari sebelumnya.

“Tapi sekarang bukan waktunya untuk mempertanyakannya. Kau tidak lihat? Dia sudah menangis sejak tadi.”

Seakan ingin menegaskan kata-katanya, Nathan kembali menangis lebih kencang.

“OEEEK!! OEEEK!! OEEEK!!”

Kepalaku mulai sakit. Aku menatap bayi kecil itu yang wajahnya sudah memerah karena menangis terus-menerus.

Aku tidak terbiasa menghadapi bayi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menenangkan mereka.

Dan satu hal yang lebih parah—aku benci disentuh.

Seumur hidup, aku selalu menghindari kontak fisik berlebihan. Itulah salah satu alasan kenapa sampai sekarang aku belum menikah. Bukan karena tidak ada yang mendekatiku, tapi karena aku selalu merasa tidak nyaman jika seseorang terlalu dekat secara fisik.

Tapi sekarang?

Arsen Ludwig, seorang pria asing yang baru kukenal hari ini, tiba-tiba memintaku untuk—

Aku menggeleng cepat, menolak keras.

“Tidak. Aku tidak bisa.”

Arsen menatapku dalam-dalam, lalu menghela napas. “Sienna.”

Nada suaranya berubah. Masih tenang, tapi ada sesuatu di sana yang membuatku tidak bisa mengabaikannya.

“Kau butuh sponsor untuk mimpimu, kan?”

Aku membeku.

Arsen melanjutkan dengan nada datarnya, “Aku akan jadi sponsormu. Hingga mimpimu terwujud. Sampai kapan pun.”

Mataku melebar.

“Tapi,” lanjutnya, matanya menatap lurus padaku. “Dengan satu syarat.”

Tenggorokanku terasa kering. Aku sudah bisa menebak jawabannya sebelum dia mengucapkannya.

“Hentikan tangis anakku.”

...****************...

Aku masih terdiam, menimbang segalanya dalam kepalaku.

Bagian diriku ingin menolak. Ini gila. Ini di luar nalar.

Tapi bagian lain dari diriku… mengingat kata-kata Arsen.

Aku akan jadi sponsormu. Hingga mimpimu terwujud. Sampai kapan pun.

Sebuah kesempatan yang tidak datang dua kali.

Aku menggigit bibir. “Baiklah,” gumamku akhirnya.

Arsen tidak bereaksi berlebihan. Dia hanya mengangguk singkat, lalu berjalan ke arah mobilnya. “Masuk.”

Aku mendengus pelan sebelum mengikuti langkahnya. Mobilnya adalah SUV hitam yang terlihat mahal, dan ketika aku masuk, aku melihat supirnya sudah duduk di kursi depan, menunggu.

Arsen masuk setelahku, lalu duduk di sampingku.

Tanpa banyak bicara, dia menoleh ke arah supirnya. “Keluar.”

Supir itu hanya mengangguk sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil, meninggalkan kami bertiga di dalam.

Aku menatap Arsen curiga. “Kenapa nyuruh dia keluar?”

Arsen tidak menjawab. Dia hanya menyerahkan Nathan ke arahku.

Aku menatap bayi mungil itu ragu-ragu, lalu dengan hati-hati mengulurkan tangan. Ini pertama kalinya aku mencoba menggendong bayi.

Begitu Nathan berpindah ke pelukanku, tubuhnya terasa begitu kecil dan rapuh. Tanganku sedikit gemetar, takut kalau aku salah gerakan dan malah membuatnya semakin tidak nyaman.

Aku menatap Arsen tajam. “Bayi sekecil ini kenapa bisa keluar-keluar? Kenapa gak di rumah aja dulu?” protesku.

Arsen menatapku sebentar sebelum menjawab, nada suaranya tetap datar. “Aku gak bisa meninggalkan anakku.”

Aku terdiam.

Aku menatap Nathan yang masih merengek kecil di pelukanku. Tubuh mungilnya bergerak gelisah, tangisannya belum mereda.

Masalahnya… aku gak tahu harus bagaimana.

“Terus gimana caranya?” tanyaku bingung. “Aku gak pernah gendong bayi sebelumnya.”

Arsen menatapku, lalu menjawab dengan sangat santai. “Aku akan buka kemejamu.”

Aku nyaris melempar bayi di tanganku.

“Apa?!” seruku kaget. “Gak mau!”

Arsen menghela napas, lalu menatapku seolah aku yang aneh di sini. “Dia nangisnya makin keras.”

Aku menoleh ke Nathan.

Benar saja—tangisannya semakin kencang, membuatku panik setengah mati.

Oke, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana sekarang.

Aku mengembuskan napas panjang, mencoba mengabaikan rasa panas di wajahku. Ini bukan waktunya untuk bersikap canggung atau mempertanyakan segalanya.

“Aku yang buka sendiri,” gumamku, masih merasa sulit percaya dengan apa yang akan kulakukan. “Tapi pegang dulu anakmu.”

Arsen tidak banyak bicara. Dia hanya mengambil Nathan kembali ke pelukannya, sementara aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

“Jangan lihat aku,” tegasku.

Arsen mengangguk datar, meskipun ekspresinya menunjukkan dia sama sekali tidak peduli. Tapi tetap saja, aku meliriknya curiga sebelum dengan tangan gemetar mulai membuka kancing kemejaku.

Nathan masih menangis, lebih histeris dari sebelumnya. Tangisan nyaringnya memenuhi seluruh mobil, membuatku semakin panik.

Begitu kancing atas terbuka, aku langsung merasakan udara dingin menyentuh kulitku. Aku buru-buru merapatkan kedua tanganku ke dada, berusaha menutupi bongkahan gunung kembar yang sekarang terekspos sebagian. Lalu membersihkan put***ku dengan tisu bayi.

“Cepat kasih kesini anaknya,” ujarku canggung.

Arsen menyerahkan Nathan tanpa banyak tanya.

Tapi aku masih sibuk menjaga agar dadaku tetap tertutup, tanganku bergerak canggung di antara mencoba menggendong Nathan dan tetap menutupi bagian tubuhku.

Melihat itu, Arsen hanya mendengus pelan.

“Lepaskan saja. Aku juga gak selera.”

Aku menoleh tajam, menatapnya penuh geram. Brengsek.

Aku mengumpat dalam hati, tapi situasinya terlalu genting untuk membalas ucapannya. Dengan pasrah, aku akhirnya menurunkan tanganku, membiarkan kulitku terekspos sepenuhnya di depan pria yang baru saja kutemui hari ini.

Astaga, ini gila.

Tapi aku tidak punya pilihan.

Dengan hati-hati, aku menggendong Nathan lebih dekat dan mengarahkan put*ngku ke mulut kecilnya.

Sejenak, tidak ada reaksi. Tapi begitu kulitku menyentuh bibirnya, naluri bayi itu langsung bekerja.

Sedetik kemudian, aku mengerang pelan saat Nathan mulai menyedot put*ngku.

“Akh… Aduh, sakit banget."

Aku menggigit bibir, menahan rasa tidak nyaman yang menjalar. Sensasinya aneh, perih, dan menusuk. Ini pertama kalinya bagian tubuhku disentuh seperti ini, dan aku sama sekali tidak siap.

Di sampingku, Arsen menatap tanpa ekspresi. Tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dijelaskan.

Ekspresi aneh.

Campuran antara keterkejutan, keheranan, dan… entahlah.

Namun lebih dari itu, aku bisa melihat kekhawatiran di wajahnya.

Dan benar saja—tak lama kemudian, tangisan Nathan mereda.

Bayi kecil itu kini hanya mengisap pelan, sesekali merengek kecil, tapi jauh lebih tenang daripada sebelumnya.

Aku menghela napas panjang, merasa seperti baru saja melewati ujian hidup yang paling absurd.

Aku menatap Arsen dengan ekspresi frustrasi.

“Terus ini gimana?” tanyaku lirih, suaraku masih bergetar karena sensasi aneh di tubuhku. “Gak ada susunya.”

Tanpa menjawab, Arsen merogoh sesuatu dari dalam tas perlengkapan bayi yang ada di sampingnya. Sebuah dot bayi muncul di tangannya—sudah berisi susu formula.

Aku mengerutkan kening. “Kau sudah siapkan ini dari tadi?”

Arsen menatapku sekilas. “Aku tetap mencoba. Siapa tahu berhasil.”

Aku menghela napas, lalu menoleh ke bawah, menatap Nathan yang masih dengan rakus mengisap putingku.

“Sekarang gimana cara melepaskannya?” tanyaku putus asa. “Dia nyedotnya terlalu kuat.”

Arsen menghela napas, lalu mengulurkan tangan.

Aku terdiam saat jari-jari panjangnya menyentuh dadaku.

Perlahan, dengan gerakan sangat hati-hati, dia menekan area di sekitar putingku, berusaha melepaskan isapan Nathan tanpa menyakitiku lebih parah. Tapi tetap saja—

“Akh!” erangku pelan.

Arsen menatapku, sedikit khawatir, tapi tetap melanjutkan usahanya.

Sentuhannya sangat lembut. Bahkan lebih lembut dari yang kubayangkan seorang pria seperti dia bisa lakukan.

Dan itu justru membuatku semakin membeku.

Aku tidak bisa berpikir jernih.

Ini pertama kalinya dadaku disentuh oleh pria.

Detik berikutnya, Nathan akhirnya terlepas. Dengan sigap, Arsen langsung memasukkan dot bayi ke mulutnya.

Bayi itu sempat rewel sebentar, tapi akhirnya mulai mengisap dotnya dengan tenang.

Sedangkan aku masih diam, tubuhku terasa kaku.

Bingung.

Syok.

Dadaku… baru saja disentuh pria lain!

Dan aku bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa!

.

.

.

Next 👉🏻

Amankah post gini di bulan puasa 😭

Bab 3

...****************...

Arsen masih fokus memberikan susu pada Nathan, memastikan bayi itu tetap nyaman di pelukannya. Namun, dari sudut matanya, dia menyadari sesuatu.

Sienna masih membeku di tempatnya.

Matanya kosong, seperti masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi. Kemejanya masih terbuka, memperlihatkan sebelah dadanya yang tadi menjadi ‘korban’ hisapan Nathan.

Arsen menghela napas, lalu berkata dengan nada datar, “Tutup bajumu.”

Suara beratnya membuyarkan lamunanku.

Aku langsung tersadar, dan begitu melihat ke bawah—

Astaga!

Dengan cepat, aku menarik kemejaku kembali, menutup tubuhku dengan wajah panas menahan malu.

Sial! Aku sampai lupa!

Aku melirik Arsen yang masih terlihat tenang, seolah semua ini bukan masalah besar baginya.

Tapi bagiku? Ini gila.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, lalu menatap pria itu serius. “Kau harus menepati janji.”

Arsen menoleh sekilas. “Janji apa?”

Aku mendengus.

“Jadi sponsor tetap untuk mimpiku.”

Arsen diam beberapa detik, lalu mengangguk. “Tentu.”

Jawabannya sederhana, tapi cukup untuk membuatku sedikit lega.

Tanpa berkata apa-apa lagi, aku langsung membuka pintu mobil dan keluar, berjalan cepat menuju mobilku sendiri.

Aku butuh menjauh. Aku butuh napas.

Karena serius…

Baru kali ini dalam hidupku aku mengalami kejadian seabsurd ini.

Begitu duduk di dalam mobil, aku langsung mengacak rambutku sendiri, merasa frustrasi dengan semua yang baru saja terjadi.

Apa-apaan hari ini?

Aku masih bisa merasakan sensasi aneh di dadaku, bayangan tatapan datar Arsen, dan suara tangisan Nathan yang begitu nyaring di telingaku.

Tapi detik berikutnya, aku menarik napas dalam, lalu dengan gerakan centil, merapikan rambutku kembali.

“Oke, anggap aja gak pernah terjadi,” gumamku pelan, berusaha menghapus kejadian absurd ini dari kepalaku.

Tanpa pikir panjang, aku menginjak pedal gas, melajukan mobilku menyusuri jalanan sore yang mulai ramai. Tujuanku hanya satu: pulang ke apartemen, mandi air panas, lalu tidur…

Dan berharap besok pagi semuanya terasa seperti mimpi buruk belaka.

...****************...

Tentang Arsen.

Setelah memastikan Nathan tenang dalam pelukannya, Arsen menghela napas panjang.

“Jalan,” perintahnya singkat pada supirnya.

Mobil mulai melaju meninggalkan tempat parkir, menyusuri jalanan sore yang mulai dipenuhi kendaraan.

Arsen menatap lembut bayi kecil di pelukannya, mengusap kepalanya dengan hati-hati. Nathan hanya berusia tiga bulan, masih sangat kecil dan rapuh. Tatapan matanya polos, tidak mengerti betapa kacaunya hidup mereka sekarang.

Arsen mendesah, lalu menurunkan tangannya. Tapi kemudian matanya tertuju pada jari-jarinya sendiri—jari yang tadi sempat menyentuh kulit Sienna.

Sekilas, ia bisa mengingat sensasi lembut itu.

Ia langsung menggelengkan kepala, menghapus bayangan yang tidak perlu.

Fokus, Arsen.

Sienna hanya alat, seorang atlet yang kebetulan menarik perhatiannya karena ambisinya yang tinggi. Dia butuh sponsor, dan Arsen membutuhkannya untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak ada hal lain.

Arsen Ludwig adalah pemilik sebuah agensi ternama, menaungi beberapa model terkenal, serta memiliki perusahaan yang menampung para desainer berbakat. Dalam dunia bisnis, namanya dihormati, disegani, dan bahkan ditakuti.

Di usia 37 tahun, dia memiliki segalanya—uang, kekuasaan, dan status.

Namun, satu hal yang tidak pernah ia miliki adalah ketenangan.

Dan sekarang, setelah kehadiran Nathan, hidupnya berubah sepenuhnya.

...****************...

Keesokan paginya, ponselku bergetar di atas nakas, memaksa mataku terbuka dengan berat. Dengan gerakan malas, aku meraih ponsel tanpa melihat layar dan menempelkannya ke telinga.

“Halo…” gumamku dengan suara serak.

“Sienna, datang sekarang. Latihan pagi ini jangan sampai telat,” suara Coach terdengar tegas seperti biasa.

Aku melirik jam di layar ponsel—baru jam enam pagi.

“Coach… ini masih terlalu pagi,” keluhku, suara masih setengah mengantuk.

“Pagi apa? Atlet profesional gak boleh malas,” balasnya tanpa ampun.

Aku mengembuskan napas pasrah. “Iya, iya, aku datang sebentar lagi.”

“Bagus. Aku tunggu di arena.”

Tanpa menunggu jawabanku, Coach langsung menutup telepon.

Aku mendesah, menatap langit-langit apartemenku. Masih terlalu pagi untuk menghadapi dunia. Tapi aku tahu, kalau aku tidak segera bangun, Coach bisa saja datang dan menyeretku langsung ke arena.

Dengan enggan, aku akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi.

Latihan hari ini pasti akan terasa panjang.

Aku menyeret langkah menuju kamar mandi, masih setengah sadar. Begitu melihat wajahku di cermin, aku mengerang pelan.

Rambut berantakan. Mata sedikit bengkak. Dan…

Aku menatap dadaku yang terasa sedikit nyeri. Seketika bayangan kejadian semalam kembali memenuhi kepalaku.

Sial.

Aku buru-buru menggeleng, berusaha mengusir pikiran itu, lalu menyalakan air dan mencuci wajah.

Itu cuma kejadian absurd yang tidak akan terulang lagi. Fokus, Sienna.

Setelah mandi, aku mengenakan pakaian latihan—legging hitam dan kaus lengan panjang—lalu mengikat rambutku tinggi. Kuambil tas olahraga dan jaket tebal, lalu keluar apartemen menuju arena latihan.

Saat aku tiba di arena ice skating, suasana masih sepi. Beberapa staf sedang membersihkan es, dan Coach berdiri di dekat rink dengan tangan terlipat. Begitu melihatku, ia langsung mendengus.

“Kau telat.”

Aku mendengus balik. “Aku hanya lima menit lebih lambat dari biasanya.”

Coach menatapku tajam, lalu mengangguk ke arah rink. “Pemanasan sepuluh menit. Setelah itu, kita latihan kombinasi lompatan.”

Tanpa membantah, aku meluncur masuk ke atas es. Begitu sepatu pisau menyentuh permukaan dingin itu, aku mengembuskan napas lega.

Di sinilah tempatku.

Aku mulai bergerak, tubuhku mengikuti ritme yang sudah tertanam sejak kecil. Meluncur, memutar, melompat kecil—semuanya terasa natural.

Namun, di tengah-tengah latihan, pintu arena terbuka.

Aku tidak terlalu peduli, sampai kudengar suara berat yang sudah mulai kukenal.

“Sienna.”

Aku berhenti mendadak, hampir terpeleset.

Di sana, berdiri dengan jas mahalnya, adalah Arsen Ludwig.

Aku mengerjapkan mata, tak percaya.

Serius? Dia lagi?

.

.

.

Next 👉🏻

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!