NovelToon NovelToon

Against The World: Initiation

Prologue

3rd April, E625 | Benua Es Gheata

Seorang individu berwujud layaknya manusia perempuan berfisik seperti gadis berusia tiga belas tahunan duduk tenang di atas sebuah singgasana emas yang terletak begitu saja di atas tumpukan salju abadi, memandang bosan pada naga putih kecil yang bermain-main dengan ekornya sendiri.

Gadis itu memiliki rambut hitam panjang sekelam malam tak berbintang, kulit seputih susu, dan iris yang sama hitamnya dengan rambut indahnya. Kedua daun telinganya seperti telinga manusia, tetapi dengan ujung yang runcing seperti elf. Kendati dia berada di benua yang diliputi bongkahan es dan diselimuti salju yang tidak pernah cair, pakaian yang dikenakannya hanyalah sebuah gaun hitam selutut yang diikuti oleh legging putih yang membungkus kaki mungilnya—tanpa ada sepatu yang melindungi telapak kaki.

Mengesampingkan sebuah rantai yang meliliti kaki kirinya, penampilan gadis itu layaknya seorang putri yang sedang kebosanan dalam kamar luasnya.

Gadis itu terus duduk diam seperti itu, tak peduli pada mentari yang sudah meninggi menyurahkan cahaya yang walaupun tak seintens di benua-benua hijau sana namun justru lebih menyengat. Sementara, naga putih kecil itu masih terus bermain-main dengan ekornya sendiri, memutar-mutar mencoba menggigit ekornya—yang tentu saja mustahil untuk dilakukannya. Seolah, berlalunya waktu sama sekali tidak berarti bagi kedua makhluk itu.

Dan sudah seperti kodrat alam, mentari terus menapaki langit hingga sampai di horizon yang satunya. Namun, kedua makhluk itu masih terus seperti tadi, sedetik pun mereka tiada pernah berubah.

Malam yang menyelimuti dunia pun datang, menutupi dunia dengan kegelapan. Cahaya berwarna-warni yang silih berganti seolah berjalan di langit sontak menghujani atap dunia, tetapi keindahan itu, aurora, tak dapat sedikit pun menarik perhatian wanita berambut hitam yang sekelam malam. Gadis itu tidak bereaksi sedikit pun, hanya duduk diam memandang bosan pada naga putih kecil yang tak pernah bosan mencoba mengejar ekornya sendiri.

Entah berapa lama sudah kedua makhluk itu terus seperti itu. Tidak ada yang tahu. Bahkan, mungkin tak ada siapa pun yang tahu keberadaan dua makhluk itu di situ.

Terisolasi, atau sengaja mengisolasi? Tiada yang tahu. Kedua sosok itu adalah misteri bagi siapa pun yang melihatnya. Dua buah keberadaan yang tak terpengaruh hukum semesta. Sosok-sosok yang melampaui esensi keabadian: keberadaan yang melampaui pemikiran.

Waktu terus berlalu. Perlahan-lahan langit di ufuk timur menjadi kemerahan, sebelum kemudian sang penguasa hari segera menampakkan kekuasaannya ke permukaan dunia. Namun demikian, kedua makhluk itu sama sekali tak tergerak untuk bangkit. Aktivitas mereka masih sama, tak sedikit pun berubah. Seolah, berlalunya waktu sama sekali tak ada hubungannya dengan mereka. Bukan urusan mereka.

Namun, tiba-tiba, kala matahari tepat berada di titik kulminasinya, kelopak mata gadis itu berkedip dua kali. Pandangan bosannya menghilang. Bibir datarnya sedikit melengkung. Cahaya yang tadi tak ada pada pancaran matanya, kini perlahan-lahan menerang. Sesuatu telah menarik perhatian gadis itu, sesuatu yang berada jauh dari tempat salju abadi itu berada.

“Thevetat, ayo pergi.”

Suara itu pelan, datar tanpa emosi, tetapi sang naga kecil langsung terbang ke pundak kanan gadis itu pada detik itu juga ‒ seolah takut jika tidak diikuti maka keberadaannya akan menghilang.

Dan tepat sedetik kemudian, kedua sosok itu menghilang begitu saja, seolah mereka tiada pernah berada di sana. Yang tersisa hanyalah singgasana emas megah, yang mungkin tak ada singgasana lain yang mampu menyamainya.

***

Sepasang suami-istri saling tersenyum bahagia kala tabib desa menyerahkan sesosok bayi mungil dalam balutan kain biru kepada sang istri yang terbaring lelah di sebuah ranjang. Bayi itu memiliki iris yang sama merahnya dengan iris sang istri, sementara rambutnya adalah perpaduan dari kedua warna suami-istri yang hari ini telah resmi menjadi orangtua: hitam dan merah, jadinya merah gelap. Kendati warna kulit dan pola wajah sang bayi lebih mirip kepada sang ibu, tetapi rahangnya cenderung kepada sang ayah. Sungguh, bayi itu adalah cerminan sempurna dari perpaduan kedua insan yang tengah berbahagia itu.

“Jadi, Nyonya Cera, Tuan Larent, siapa nama bayi kalian tercinta?”

Pertanyaan dari tabib desa—seorang wanita paruh baya yang rambutnya sudah pada beruban—sukses menarik perhatian pasangan bernama Cera dan Larent itu. Keduanya saling memandang untuk beberapa saat, sebelum kemudian kembali menjatuhkan pandangan mereka pada bayi mungil yang memandang keduanya bingung.

“Xavier,” ucap mereka berdua, kompak.

“Xavier, apakah itu artinya ‘bersinar’ ataukah ‘rumah yang baru’?”

“Bersinar.”

Jawaban mereka kembali datang dengan kompaknya, sang tabib tersenyum hangat melihat hal itu.

“Ini, minumlah ramuan ini, dengan demikian Nyonya Cera akan dapat berjalan pulang tanpa merasa sakit,” ucap sang tabib, menyerahkan segelas ramuan yang diraciknya untuk setiap wanita yang habis melahirkan.

Cera mengangguk pelan, meminum habis ramuan yang pahitnya bukan main itu. Namun, rasa pahit yang ditahannya itu langsung terbayarkan. Cera tak lagi merasakan sakit di tubuh bagian bawahnya, pun ia merasa keadaannya sudah kembali seperti sebelum melahirkan.

“Ramuan Anda memang yang terbaik, Tabib Sienna,” puji Cera, sang tabib hanya mengibas-ngibaskan tangannya menanggapi hal itu.

Setelah beberapa saat, kedua suami-istri berikut putra mereka yang sudah terbuai lelap itu pergi meninggalkan kediaman sang tabib. Meski mereka ingin lebih lama di sana, mereka harus rela pergi karena banyak pasien lain yang sudah mengantre untuk mendapatkan perawatan sang tabib. Dan hampir dua puluh menit berselang, akhirnya keduanya sampai di kediaman mereka tinggal.

“Siapa itu, Sayang, apa seseorang yang kau kenal?” tanya Larent, lensa matanya tertuju pada seorang individu berwujud layaknya manusia perempuan berfisik seperti gadis berusia tiga belas tahunan yang sedang bersandar pada dinding di sebelah pintu masuk rumah mereka.

Gadis itu memiliki rambut hitam panjang sekelam malam tak berbintang, kulit seputih susu, dan iris yang sama hitamnya dengan rambut indahnya. Kedua daun telinganya seperti telinga manusia, tetapi dengan ujung yang runcing seperti elf. Gadis itu memegang sebuah payung putih di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang sebuah buku hitam, ekspresinya memandang kosong pada langit nan biru di atas sana.

“Aku tidak tahu, Sayang, tetapi sepertinya dia memang sedang menanti kita.”

Seiring kalimat itu keluar dari mulut Cera, gadis itu menjatuhkan pandangannya pada mereka, sebelum kemudian menjatuhkan iris hitamnya pada bayi berambut merah gelap di gendongan Cera.

“Apa kamu sedang menanti pemilik rumah ini?” tanya Cera, berjalan memasuki halaman depan rumahnya, menghampiri gadis itu.

“Ya,” respons gadis itu. “Kebetulan saat saya sedang melewati desa ini, ada yang mengatakan kalau baru saja ada wanita yang melahirkan. Jadi, saya tertarik untuk mencaritahu, karenanya saya berada di sini sekarang.”

“Oh, apa yang membuatmu tertarik?” tanya Cera ingin tahu, Larent hanya diam melihat interaksi mereka.

Gadis itu tak lekas merespons, dia mengangkat tangan kirinya, lalu meletakkan buku hitam yang dipegangnya itu di atas dada bayi yang terlelap itu.

“Aku menulis sebuah buku sihir,” ucapnya, “tetapi tidak ada yang mau membelinya. Jika, aku tidak tahu harus mengapakan buku sihir ini. Karena itu, saat mendengar ada anak yang baru dilahirkan siang ini, aku berpikir mungkin memberikan buku ini untuknya adalah lebih baik daripada kusimpan di rak buku.”

Cera dan Larent sejenak saling berpandangan, sebelum kemudian keduanya mengangguk.

“Bagaimana kalau kami membeli buku sihirmu?” tanya Larent, mengeluarkan sebuah koin emas dari sakunya.

“Itu tidak akan menjadi pemberian jika aku menerima uang tersebut, bukan begitu?” Gadis itu tak menanti respons keduanya. “Siapa nama bayi ini?” tanyanya.

“Xavier,” jawab Cera.

“Hanya Xavier?”

“Hanya Xavier.”

“Kami tidak menggunakan nama belakang,” jelas Larent.

“Ah, bukankah itu sangat disayangkan? Di dunia ini, ada banyak orang yang memiliki nama Xavier. Terlebih lagi, nama belakang akan memberikan suatu identitas baginya, tidakkah kalian ingin bayi ini menjadi spesial? Oh, bagaimana jika aku memberinya nama belakang Hernandez, Xavier Hernandez ‒ petualangan yang bersinar, tidakkah itu bagus?”

***

Tak butuh banyak waktu untuk meyakinkan kedua orangtua itu untuk menambahkan “Hernandez” di belakang nama Xavier. Mereka mencintai putra mereka, tentu mereka sangat ingin yang terbaik baginya. Karena itu pula, meyakinkan mereka semudah meyakinkan anak kecil dengan sogokan sebuah kue.

Mengucapkan sepatah kata perpisahan dan harapan agar mereka hidup bahagia, gadis berkulit seputih susu itu lantas beranjak pergi.

Setelah beberapa saat, sejenak langkah gadis itu terhenti. Pandangannya beralih ke sisi lain desa, ke arah di mana berdiri sebuah kekaisaran besar.

“Lucifer….”

Gadis itu kembali melirik ke belakangnya.

“Luciel….”

Bibir gadis itu lantas melengkung tipis. “Pada akhirnya, semua makhluk di dunia ini tak lebih dari bidak-bidak dalam permainan, antara diriku yang ingin melenyapkan Kehendak Dunia dan pergi melewati batas semesta ‒ mencapai kebebasan hakiki, melawan Kehendak Dunia yang ingin tetap merantai diriku di semesta ini ‒ terkurung dalam isolasi yang sempurna.”

Sosok naga putih kecil yang tadinya tak terlihat, kini kembali menampakkan wujudnya di atas bahu gadis itu.

“Kali ini, kau harus bisa mengalahkan Phoenix, Thevetat,” gumam gadis itu, sang naga kecil lekas mengelus-eluskan pipinya pada pipi sang gadis. Dan sedetik kemudian, mereka menghilang tanpa jejak, seolah sebelumnya mereka tidak pernah berdiri di sana.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

*Volume 1: Truth, Magic, and Path of Revenge

[Edited]

Ini bukan novel terjemahan, murni original.

Catatan: Jika pembaca secara kebetulan googling dan menemukan "Against the World" karya Jin Shi Liang atau "Against the World" yang lain, itu semua tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita ini, hanya secara kebetulan judulnya sama.

Chapter 1: The Beginning, part 1

18th September, E635 | Kota Nevada, Vermillion Empire

Seorang pemuda berusia dua puluh tahunan berambut hitam panjang mengangkat pedangnya menangkis ayunan pedang seorang wanita seusianya yang berambut pirang pinjang. Pertemuan kedua bilah pedang itu menimbulkan bunyi “trang” dan percikan bunga api yang pasti tersulut jika seseorang menyemprot minyak di atasnya. Tebasan pedang sang wanita sangatlah kuat, jika pemuda itu tidak menggunakan Enhancement pada tubuhnya maka sudah pasti pedang di tangan kanannya akan terpental.

Melihat ayunan pedangnya gagal mengungguli lawannya, wanita berparas jelita itu mengarahkan telunjuk tangan kirinya ke dada sang pemuda. Hanya dalam sekejap sebuah lingkaran sihir kecil berwarna hijau muda tercipta di ujung jari telunjuk tersebut.

“Air Bullet,” bisik wanita itu pelan, dan—

—buum!

Tubuh pemuda itu langsung terpental belasan meter ke belakang. Kendatipun pemuda itu sudah memaksimalkan Enhancement menyelimuti tubuhnya, tenaga dari peluru angin itu masih mampu membuat tubuhnya terlempar jauh. Pemuda itu lantas merentangkan kedua tangannya menahan momentum serangan tersebut, mendarat dengan mulus.

“Kecepatanmu dalam mengaktifkan Air Bullet meningkat pesat, Elizabeth,” ucap pemuda itu sambil mengamati bekas peluru angin di dadanya.

Jika dia membuat peluru itu menjadi runcing, sudah pasti itu akan menembus Enhancement-ku, batin pemuda itu dengan ekspresi serius. Tetapi membuat peluru angin runcing adalah sesuatu yang sulit; Elizabeth harus meningkatkan kemampuan Manipulation-nya untuk bisa membuat peluru runcing.

“Itu karena saya hanya membuat satu peluru, Sir Dermyus. Saya memerlukan waktu lebih untuk membuat lebih banyak peluru. Tetapi tetap saja, Enhancement Anda sangat mengagumkan; jika itu commander yang lain, saya yakin Air Bullet saya dalam jarak sedekat itu akan mampu melukai mereka.”

“Tidak juga,” sanggah Dermyus. “Lilithia dan Gilbert, mustahil kau bisa melukai mereka. Setidaknya, kau harus mampu menembakkan peluru runcing dengan kekuatan maksimum untuk bisa mencoba menggores mereka. Tapi itu tetap tidak akan berguna, Gilbert bisa membuat kulitnya sekeras adamantite. Sedang Lilithia, gadis itu… aku tidak bisa membayangkan dia terluka, bahkan jika His Majesty sendiri yang menjadi lawannya.”

Elizabeth mengernyitkan keningnya. “Lilithia von Sylphisky, sang First Commander, sebegitu kuatkah dia?”

Dermyus mengeratkan genggamannya pada pedang kebanggaannya.

“Setidaknya, tak ada siapa pun yang bisa mengalahkannya di Vermillion Empire ini, akan hal itu aku tak sedikit pun ragu.” Dermyus menggelengkan kepalanya pelan dan mengalirkan petir hitamnya menyelimuti pedangnya. “Ayo, saatnya meneruskan latihan.”

Elizabeth mengangguk, menyelimuti pedang dengan energi sihirnya—membuat bilah pedang sedikit berpendar putih. Melapisi tubuhnya dengan Acceleration dan Enhancement, Elizabeth melesat cepat mengayunkan pedang mencoba menebas atasannya.

Dermyus mengayunkan pedangnya secara diagonal ke atas, menyambut ayunan pedang Elizabeth yang diayunkan secara vertikal dari atas ke bawah.

Trang!

Dermyus sedikit terdorong ke belakang. Elizabeth mendorong pedangnya memukul pedang Dermyus sebelum kemudian memutar tubuhnya ke kiri lalu menyabet pedangnya ke wajah Dermyus. Dermyus segera mundur ke belakang, berusaha menghindari sabetan pedang platinum Elizabeth. Kemudian ia melesat ke depan, berganti posisi dari bertahan menjadi menyerang.

Dermyus mengayunkan pedangnya dari kanan ke kiri, mencoba memotong Elizabeth menjadi dua. Trang! Bilah pedang Dermyus dengan mantap ditahan oleh pedang platinum wanita beriris biru yang kini dalam posisi bertahan itu. Dermyus menggerakkan tangan kanannya, kembali mengayunkan pedang besarnya. Elizabeth menangkis setiap ayunan pedang Dermyus dengan elegan.

Ayunan demi ayunan pedang Dermyus layangkan, tetapi Elizabeth dengan cekatan mengembalikan setiap ayunan pedang besar Dermyus dengan pedang platinumnya. Pertarungan keduanya terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang menari dalam tempo super cepat, memukau namun mematikan.

Elizabeth menggemeretakkan gigi-giginya, ia tahu kemenangan akan sangat jauh darinya jika ia melanjutkan mengayun pedang meladeni atasannya. Dibandingkan commander-commander yang lain, kemampuan berpedang Dermyus adalah yang terbaik. Bertarung dengannya hanya mengandalkan skill berpedang semata sama saja dengan mengakui kekalahan. Berpikiran seperti itu, Elizabeth memfokuskan pikirannya untuk mengaktifkan spell favoritnya.

“Wind Explosion!”

Buum!

Tekanan angin yang berpusat pada tubuh Elizabeth menghempaskan semua yang ada di sekelilingnya, sedang Dermyus yang menerima tekanan ledakan itu dari jarak nol terlempar hingga menghantam dinding puluhan meter dari tempat Elizabeth berdiri. Tak cukup sampai di situ, Elizabeth menggenggam gagang pedang dengan kedua tangannya. Pedang tersebut terhunus ke depan tepat ke arah Dermyus yang mencoba berdiri. Sebuah lingkaran sihir hijau muda seketika tercipta menyelimuti kedua tangannya.

“Extending Blade!”

Wusss, buum!

Dermyus membawa tangan kirinya menyentuh pipi kiri, kemudian membawa tangannya ke depan wajah.

“Kau berhasil membuatku berdarah, Elizabeth,” komentar Dermyus sembari melirik ke dinding di belakangnya.

Sebuah lubang kecil yang dikelilingi oleh retakan yang cukup luas dan dalam terlihat jelas di matanya. Padahal dinding itu sama sekali tidak retak sewaktu tubuhnya menghantam dinding, tetapi spell yang digunakan Elizabeth barusan benar-benar merusak dinding. Matanya tidak berbohong. Menyadari hal itu membuat bibir Dermyus sedikit melengkung.

“Apa aku boleh serius?” tanya Dermyus, pandangannya kembali tertuju pada Elizabeth.

Namun, lelaki berusia dua puluh satu tahun itu tidak menunggu respon wakilnya; ia menghilang dalam kilatan petir hitam dan muncul tepat di sebelah kanan Elizabeth dengan pedang terayun siap memotong lehernya. Tetapi bukan Elizabeth namanya jika ia tidak bisa mengikuti kecepatan sang commander. Ia tidak dianggap sebagai vice-commander terkuat yang bisa bertarung satu lawan satu dengan sebagian besar commander tanpa alasan.

Dengan mata yang terlatih dan refleks yang memukau ia bisa menggerakkan tangannya memblok ayunan pedang Dermyus dengan pedangnya. Namun, tenaga di balik ayunan pedang Dermyus jauh lebih besar, membuatnya dengan mudah menggungguli Elizabeth dan membuat gadis itu terlempar belasan meter ke samping. Tak cukup sampai di situ, Dermyus kembali muncul di kiri Elizabeth dan dengan tanpa ragu menendang sang wanita, membuatnya terlempar ke sisi lain ruang latihan.

Tak ingin memperpanjang latihan, Dermyus melemparkan pedangnya layaknya seorang petombak melembar tombak mengincar target. Pedang besar yang diselubungi petir hitam itu melesat tajam menerjang Elizabeth yang menghantam dinding.

Buum!

Mata Elizabeth membelalak, pedang itu menancap di dinding tepat belasan centi di sisi kiri kepalanya. Meskipun terlihat seperti meleset, Elizabeth tahu betul kalau commander-nya itu sengaja membuat pedangnya meleset. Ia sudah pasti mati jika mereka adalah musuh, minimalnya ia akan terluka parah.

“Sepertinya saya masih jauh dari sejajar dengan Anda, Sir,” gumam Elizabeth serius, senyum tipis terlukis di bibirnya.

Prok. Prok. Prok.

Dermyus mengernyitkan keningnya dan refleks berbalik memandang orang yang baru saja bertepuk tangan terhadap kemenangannya atas wakilnya.

“Edward Penumbra,” gumam Dermyus hati-hati.

Ia sungguh tidak merasakan kehadirannya; jika dia tidak bertepuk tangan maka ia tidak akan menyadari keberadaan tangan kanan sang emperor itu.

“Apa yang kau lakukan di sini, ada pesan dari His Majesty?”

“Waktunya telah tiba. Pastikan Anda sudah berada di ruang singgasana sebelum matahari setinggi tombak, Seventh Commander Dermyus von Haneth.”

***

Xavier Hernandez, seorang anak lelaki berambut merah gelap pendek acak-acakan berusia sepuluh tahun lebih, duduk bersila sambil mendekatkan kedua telapak tangannya mengontrol aliran sihir di dalam tubuhnya. Iris merah darahnya terfokus pada buku sihir dasar—buku yang dihadiahkan ibunya saat ia menginjak usia ke sepuluh pada beberapa bulan yang lalu. Xavier sudah membaca habis buku bersampul hitam itu berulang-ulang, pun ia telah menguasai dua hal dasar dari tiga aspek sihir dalam buku tersebut.

Acceleration, aspek sihir yang mempercepat reaksi dan kecepatan tubuh. Enhancement, aspek sihir yang membuat tubuh seseorang menguat dan mengeras—semakin hebat seeorang dalam Enhancement, semakin solid pula seseorang bisa membuat tubuhnya. Dan yang terakhir: Manipulation.

Acceleration dan Enhancement sangat diperlukan dalam pertarungan jarak dekat tanpa senjata, tetapi mereka tidak akan bisa disebut sebagai ahli sihir jika mereka tidak bisa menguasai Manipulation. Karena, syarat utama untuk bisa merapal sebuah spell adalah Manipulation. Tanpa Manipulation, seseorang tidak akan tahu sihir apa yang mereka miliki, dan hasilnya mereka tidak akan bisa merapal spell.

Xavier sendiri masih belum menguasai Manipulation. Ia sudah menyelesaikan latihan tahap pertama (membuat energi sihir terlihat) dan tahap kedua (duduk melayang), ia hanya perlu menyelesaikan tahap ketiga: menemukan jenis sihirnya (elemental atau unik).

Tahap pertama dan kedua memang mudah, tetapi tahap ketiga lebih sulit dari yang ia perkirakan. Bagaimana ia bisa menemukan jenis sihirnya?

Menurut buku aspek sihir dasar tersebut: jika seseorang memiliki sihir jenis elemental, unsur elemen tersebut akan muncul di antara kedua telapak tangan. Sementara, jika seseorang memiliki sihir jenis unik, akan muncul sesuatu yang melambangkan keunikan tersebut. Tetapi setelah berminggu-minggu mencoba memanifestasikan sihirnya, Xavier tidak menemukan apapun yang muncul di antara kedua telapak tangannya. Xavier berniat menyimpulkan kalau ia tidak memiliki jenis sihir, tetapi itu mustahil; setiap makhluk hidup memiliki minimal satu jenis sihir.

“Vier!”

Xavier lekas menghentikan latihan dan menutup buku yang dibaca begitu teriakan yang memanggil namanya menginvasi indra pendengarannya.

“Aku segera ke sana!” teriaknya seraya memasukkan buku itu ke dalam laci, bergegas ke luar kamar menuju sumber suara di lantai satu.

Xavier menuruni tangga dengan cepat, berlari kecil ke dapur. Ibunya akan sangat menyeramkan jika dia marah. Karenanya ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan ibunya tercinta.

Membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh detik baginya untuk tiba di dapur. Ibunya, seorang wanita cantik berambut merah panjang sepinggang dan beriris merah darah, sudah berdiri berkacak pinggang dengan ekspresi setengah marah menghiasi wajahnya.

“Ya, Ibu?” Suara Xavier rendah, sangat sopan.

“Pergi cari ayahmu, seret dia pulang!” perintah wanita beriris merah darah itu.

“Baik, Bu.”

Xavier berbalik, melangkah menuju pintu depan. Tidak perlu baginya bertanya mengapa sang ibu memintanya membawa pulang sang ayah sampai seperti itu; untuk keselamatannya sendiri, ia lebih baik tidak bertanya. Tetapi tetap saja, Xavier tidak mengerti bagaimana ibunya bisa berubah dari ibu yang penuh kasih menjadi manusia paling menyeramkan dalam sekejap mata. Ia sungguh tidak mengerti itu, pun ia tak punya niat untuk mengerti. Terkadang, hal yang tidak diketahui lebih baik tetap menjadi hal yang tidak diketahui.

Xavier menutup pintu dan melangkah pergi.

Hari masih muda, hanya ada dua kemungkinan terkait keberadaan ayahnya saat ini: kebun atau sungai. Kebun letaknya lumayan jauh dari rumahnya, sedang sungai bisa ia capai hanya dengan berjalan kaki selama beberapa menit. Karenanya, Xavier memutuskan untuk ke sungai terlebih dahulu.

Carnal Village—desa makmur yang difungsikan sebagai batas terdamai antara Vermillion Empire dan Maggarithaz Kingdom, desa tempatnya tinggal—adalah sebuah desa yang cukup indah dengan sebuah sungai memisahkan bagian timur dan barat desa.

Secara teritori, Desa Carnal adalah sebuah kawasan netral yang memiliki aturannya sendiri, tetapi kedua negeri besar yang desa ini pisahkan tidak berpikir demikian.

Masing-masing dari negeri tersebut membuat benteng di masing-masing sisi desa: Vermillion di sisi barat dan Maggarithaz di sisi timur. Secara bertahap masing-masing negeri itu memaksa penduduk desa untuk mengikuti aturan mereka. Terbiasa dengan kehidupan damai tanpa peperangan, Desa Carnal tidak memiliki prajuritnya sendiri, karena itu mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain tunduk pada kedua negeri penjajah itu: bagian barat desa mematuhi Vermillion Empire, sedang bagian timurnya mematuhi Maggarithaz Kingdom.

Kedua negeri itu memperlakukan para penduduk desa layaknya anjingg peliharaan yang setia, yang dengan senang hati menggonggong jika diperintah tuannya untuk menggonggong.

Xavier sendiri tinggal di desa bagian barat, di bawah kekuasaan kekaisaran.

Xavier mendengus sebal memikirkan dirinya dianggap seperti anjingg peliharaan oleh kekaisaran, apalagi mengingat bagaimana ayahnya dulu mengemis kepada prajurit kekaisaran untuk tidak merampas perkebunan mereka. Mengingat hal itu membuatnya ingin membantai para prajurit itu, Xavier ingin memijak-mijak kepala mereka. Desa ini dari dulu milik penduduk desa, mereka adalah tuan tanah, bukan bajingann tengikk dari kekaisaran ataupun Maggarithaz. Suatu saat... suatu saat dirinya pasti akan membuat kedua negeri itu enyah dari tanah kelahirannya ini.

Xavier sampai di dekat sungai sekitar delapan menit kemudian. Suara derasnya aliran air menginvasi gendang telinga miliknya, seolah itu adalah suara absolut yang harus ia dengarkan. Mungkin itu benar. Karena, sekuat apa pun ia menutup telinganya, suara air mengalir tetap saja terdengar.

Xavier berjalan mendekat lalu berdiri di tepi sungai. Irisnya memandang ke kanan dan ke kiri mencaritahu keberadaan ayahnya. Tetapi nihil. Bukannya menemukan sang ayah, irisnya justru menangkap siluet teman satu-satunya yang duduk menendang-nendang air di tepi dermaga kecil di tepi sungai—puluhan meter ke kanan tempatnya berdiri.

Namanya Monica Elsesky, dia adalah cucu dari kepala desa tempatnya tinggal ini.

Sejenak Xavier berpikir untuk berbalik arah dan pergi. Namun, sebagian kecil suara di pikirannya menjerit memintanya untuk mendekati anak yang paling dekat yang bisa ia panggil teman itu. Itu adalah sesuatu yang menimbulkan dilema.

Menghela napas panjang, akhirnya Xavier melangkahkan kakinya dengan pelan memangkas jarak di antara mereka. Xavier tiba di sisi kiri gadis seusianya itu semenit kemudian, irisnya memandang wajah gadis itu untuk melihat reaksinya. Tetapi tak ada reaksi apapun di wajahnya. Pandangannya setia memandang aliran air, seolah-olah dia tidak menganggap dirinya ada di sampingnya.

Xavier berpikir kalau ada sesuatu yang salah, atau, sebaiknya ia tidak mendekati gadis ini sejak awal?

“Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?” tanya sang gadis tiba-tiba, matanya tak pernah berpindah dari air yang mengalir.

“Apa yang harus kukatakan?”

“Mengatakan tentang betapa besarnya kau merindukanku atau hal lain yang senada…?”

“Sangat mengejutkan jika aku merindukan sesuatu,” respon geli Xavier.

“Tapi kau tak bisa menahan dirimu dari merindukanku, kan, Vier?”

Bibir Xavier melengkung dengan sendirinya.

“Mungkin,” katanya, “siapa lagi yang akan kurindukan jika itu bukan dirimu, Monica?”

Monica tertawa geli mendengar pertanyaan teman baiknya. Meskipun dia bertanya dengan nada sarkastik, Monica tahu betul bahwa Xavier mengatakan yang sebenarnya. Karena, temannya ini tidak memiliki teman lain selain dirinya: ia adalah teman satu-satunya Xavier di desa dan dunia ini. Anak-anak yang lain bukannya tidak mau berteman dengan Xavier, hanya saja Xavier sendiri yang tak punya niat berteman dengan anak-anak yang, menurut Xavier, memuakkan. Hanya dengan dirinya seorang ia bisa bicara tanpa perlu merasa kesal.

“Jadi, apa yang kau lakukan di sini, Vier? Bukannya aku tidak senang atau apa, aku hanya sedikit penasaran.”

“Aku sedang mencari ayah,” jawab Xavier sambil mendudukkan dirinya di samping Monica. “Sepertinya ibuku sangat marah padanya, entah apa yang dilakukan ayah.”

“Oh, begitu rupanya.”

“Um.”

“…”

“…”

“Kau tak mau menanyakan apa yang sedang kulakukan di sini?”

“Ah, apa yang kau lakukan di sini?”

Xavier selalu saja seperti itu. Dia tidak akan pernah berbasa-basi atau membicarakan hal yang menurutnya tak penting. Jika ia tidak memaksanya untuk sekadar berbasa-basi, dia tidak akan berbicara sama sekali. Tentu saja terkecuali jika itu menguntungkan Xavier: temannya ini tidak akan membuang kesempatan untuk memanfaatkan orang-orang untuk memenuhi keinginannya.

“Tidak ada makhluk hidup yang bisa hidup tanpa menggunakan makhluk hidup lainnya, terlebih manusia: kita adalah makhluk yang memandang satu sama lain sebagai alat, baik secara negatif maupun positif.” Begitu bunyi kata-kata Xavier sewaktu ia bertanya mengapa. Tetapi dia cepat untuk mengatakan “kau itu pengecualian” begitu ia menanyakan apakah Xavier menganggapnya sebagai alat juga.

Namun demikian, Monica masih tetap menjawab pertanyaan Xavier, “Aku memancing.” Bibirnya langsung merekah begitu dua kata itu terlepas dari mulutnya.

“Oh, aku tidak melihat sa—ah, aku mengerti, betapa malangnya diriku sampai terpancing olehmu.”

“Apa?! Seharusnya kau merasa senang!”

“Oke, aku senang, sekarang apa?”

“Geeezzzz, oke, ayo kita cari ayahmu!” teriak Monica sembari berdiri. Ia tidak menunggu respons Xavier, kakinya melangkah memimpin jalan ke arah perkebunan.

“Aku tidak mengatakan apa pun tentang perkebunan!” Xavier menyempatkan diri berteriak, tetapi Monica mengabaikannya dan tetap melangkah.

Menghela napas pelan, Xavier membiarkan bibirnya melengkung tipis lalu berdiri dan menyusul Monica.

Mereka kemudian berjalan berdampingan menuju ke perkebunan.

Di perjalanan ke sana, mereka berpapasan dengan banyak orang. Monica menyapa mereka semua baik anak kecil maupun orang dewasa. Bahkan para prajurit kekaisaran pun tak lepas dari sasaran sapaan Monica, yang membuat Xavier sangat kesal. Bagaimana bisa coba Monica beramah-tamah pada penjajah? Ia sungguh tidak habis pikir.

“Apa perlu menyapa mereka semua, terlebih para anjingg itu?” tanya Xavier tatkala mereka berdua memasuki area perkabunan.

“Tentu saja itu perlu! Tidak sepertimu yang tidak peduli pada orang lain, aku peduli. Sebagai sesama penduduk desa, kita harus peduli pada satu sama lain. Kenapa aku juga menyapa ‘para anjingg’ itu? Tentu saja agar mereka tidak agresif terhadap kita.”

Kau lupa kalau ayah dan ibumu dibunuh mereka? Kau lupa bagaimana mereka menyiksa kakekmu hingga ia menyerahkan tampuk kepemimpinan desa pada mereka?

Ingin sekali Xavier mendaratkan pertanyaan itu pada temannya ini, tetapi ia tahu kalau Monica hanya tidak ingin melihat ada warga desa yang terluka lagi. Lagipula, ia masih belum bisa menggunakan sihir selain aspek sihir dasar (acceleration dan enhancement). Ia tidak akan bisa melakukan banyak hal jika para anjingg itu menjadi agresif.

“Ya, ya, terserah apa kata Nona Monica,” jadilah ia berkata.

“Jangan hanya mengiya-iyakan, kau juga harus meniruku!”

“Hm, mungkin suatu saat nanti jika aku sudah berhasil memotong leher induk para anjingg itu.”

“Geeezz, aku akan mengatakan pada ibumu untuk menyuruhmu menyapa setiap orang yang melewati rumahmu.”

Xavier menghentikan langkahnya dan menatap gadis berambut pirang itu yang kini menampilkan senyum penuh kemenangan di bibir tipis dan mungilnya.

“Aku akan berhenti bermain denganmu jika kau lakukan itu; aku sangat tidak suka blackmailing, Monica."

Monica menggembungkan pipinya mendengar ancaman monoton tersebut, membuat anak lelaki berambut merah gelap itu mendesah kalah.

“Baiklah, akan kucoba untuk menyapa, oke?”

“Nah, itu baru Xavier-ku!” seru Monica seraya menggenggam tangan kanan Xavier, menariknya pergi secara paksa. “Ayo kita seret ayahmu pulang!”

Tidak punya pilihan lain, Xavier membiarkan dirinya ditarik oleh gadis ceria itu layaknya orang bodoh. Tentu saja ia tidak bodoh, tetapi memenangkan argumen dengan temannya itu tanpa merasa bersalah hampir mustahil. Terlebih ketika gadis itu memasang wajah imutnya untuk ngambek, ia tak cukup dingin untuk mengabaikan hal itu. Tentunya ia bisa jika seseorang itu bukan Monica. Namun Monica, dia terlalu spesial; gadis itu terlalu baik, bahkan untuk kebaikannya sendiri. Xavier khawatir kalau suatu saat nanti ada sampah yang memanfaatkan kebaikan Monica.

Nah, ia hanya perlu memastikan tak ada sampah yang mencoba mendekati gadis yang menariknya paksa ini.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

[Edited]

Chapter 1: The Beginning, part 2

Xavier dan Monica akhirnya sampai di gudang di tengah-tengah perkebunan.

Di sana, di bangku yang diletakkan di depan gudang, duduk seorang pria berusia empat puluhan dengan sebatang rokok di antara bibirnya. Tampaknya ia sedang melamun. Pasalnya, kedua mata pria itu terlihat memandang kosong pada ketiadaan jauh di hadapannya.

Monica meminta Xavier mengikutinya diam-diam dari sisi kanan gudang, mencoba untuk membuat ayah Xavier terkejut. Dengan senyum jahat, di mata Xavier, Monica membawa kedua tangannya mencoba mendorang lelaki berambut hitam pendek itu. Tetapi bukannya mengejutkan, Monica justru terkejutkan oleh ayahnya Xavier yang tiba-tiba menolehkan wajahnya sambil berekspresi seram lalu meneriakkan “whoa!”—yang lantas mengakibatkan Monica jatuh terduduk.

“Paman tega sekali!” teriak Monica sembari mendelik pada sang pelaku.

“Hahahaha….”

Bibir Xavier sedikit berkedut melihat adegan yang tersaji di hadapannya, sebelum kemudian ia tertawa terbahak-bahak sampai matanya sedikit sembab.

Melihat temannya menertawakan dirinya, Monica memasang wajah kesal lalu berkata, “Vier, aku akan mengatakan pada ibumu kalau kau mencoba mengintipku sewaktu aku mandi!”

Mata Xavier melebar ngeri. “Ja-Jangan kau berani… lebih tepatnya, aku tidak pernah sekali pun mengintipmu mandi!”

“Xavier.”

“Jangan memandangku seperti itu, Ayah, aku tidak pernah melakukan apa yang Monica tuduhkan!” geram Xavier, matanya mendelik pada Monica yang memeluk tubuhnya seolah-olah melindungi diri. “Monica, cepat katakan kalau kau hanya bercanda!”

“Bagaimana bisa kau mengancamku seperti itu, Vier?” Ekspresi Monica menjadi sendu. “Kau bilang nanti ketika dewasa kau akan menikahiku, karenanya aku membiarkanmu mengintipku. Kau lupa…?”

“Xavier, ayah tidak perca-”

“Ibu marah, ayah harus cepat pulang.”

Sepenggal kalimat itu sukses menutup mulut ayahnya rapat-rapat.

“Kau benar, ayah harus pulang. Tetaplah di sini sampai ayah kembali, Xavier.”

Dengan itu, ayahnya Xavier berlari terburu-buru meninggalkan perkebunan.

Melihat ayahnya pergi, Xavier menghela napas lega dan memandang Monica dengan senyum jahatnya. “Nah, coba ingatkan aku lagi, kapan aku pernah mengintipmu, eh, Monica?”

Menyadari tidak ada yang bisa menolongnya, Monica melakukan apa yang biasa ia lakukan.

“Eh, kapan kau mengintipku, Vier, kenapa aku tidak pernah sadar?” tanyanya dengan muka polos.

“…”

“…”

Xavier mendudukkan dirinya di bangku, mengabaikan pertanyaan Monica. Ia sudah berpikir kalau ia telah memenangkan hal kecil ini, tetapi satu pertanyaan pura-pura polos dari Monica sukses melenyapkan senyum jahatnya.

Tersenyum puas melihat senyum jahat Xavier menghilang, Monica mendudukkan dirinya di samping teman terbaiknya itu.

“Tadi malam aku bermimpi yang aneh sekali,” ucap Monica tiba-tiba, matanya memandang jauh ke depan.

“Mimpi aneh yang seperti apa?” tanya Xavier. Bukan karena tertarik, melainkan karena ia tak ingin Monica memaksanya untuk merespons.

“Dalam mimpiku,” Monica bercerita, “aku melihat diriku memiliki dua pasang tanduk bagai tanduk domba yang mencuat dari kepalaku. Sepasang sayap hitam tak berbulu tertancap kokoh di punggungku – layaknya iblis yang merangkak keluar dari gerbang neraka. Dalam mimpi itu aku tak sendiri, seekor iblis wanita bernama Ellette mengawasi perubahanku dan mengatakan kalau aku adalah cucu dari cucu dari cucu cucunya.

"Dibandingkan dengan keturunannya yang lain, Ellette mengatakan kalau jiwaku mewarisi hampir setengah dari jiwanya. Yang artinya, aku bisa berubah menjadi iblis jika aku membiarkan jiwaku ditelan oleh jiwa Ellette—atau sebaliknya. Aku bersikukuh kalau aku bukan keturunan iblis, dan aku tak akan pernah menjadi iblis. Tetapi Ellette dengan senyum meyakinkan mengatakan kalau suatu saat nanti aku pasti akan meminta agar jiwanya menelan jiwaku dan berubah menjadi iblis.”

“Itu mimpi yang sangat aneh,” lanjut Monica. “Para iblis sejak dahulu sudah dibantai habis oleh Malaikat Agung Luciel dan Seraphim Emiliel, bagaimana mungkin aku keturunan iblis, kan, Vier? Lagipula, jika mimpi itu masuk akal, bagaimana mungkin sang dewa, Edenia, menganugerahiku dengan sihir penyembuh? Hahahaha, sungguh mimpi yang aneh.”

Sebelum mengenal sihir, Xavier dengan tanpa ragu akan mengatakan kalau itu cuma mimpi, bualan semata. Tetapi kini ia tak menutup kemungkinan kalau mimpi itu adalah akibat sihir iblis yang bernama Ellette itu. Pihak gereja sejak dahulu telah mengajarkan kalau Malaikat Agung Luciel dan Seraphim Emiliel telah membasmi habis para iblis, gerbang neraka telah disegel selamanya. Sama sekali tak menutup kemungkinan kalau satu atau dua iblis selamat dari keduanya. Namun, iblis menjadikan manusia sebagai pasangan untuk meneruskan keturunan, sedangkan mereka itu bisa hidup selamanya? Sama sekali tak bisa dipercaya, sesuatu yang mustahil.

“Tentu saja,” jadilah ia menjawab, “Monica tak mungkin keturunan iblis; Monica adalah Monica.”

“Yap, Monica adalah Monica.”

Bibir Xavier melengkung tipis, selamanya Monica adalah Monica, bahkan jika mimpi itu menjadi kenyataan sekalipun.

***

Dermyus bersama dengan kedelapan siluet lainnya keluar dari ruang singgasana dengan ekspresi yang berbeda-beda. Dermyus sendiri memasang wajah datar, tetapi sorot matanya tampak seperti mereka-mereka yang sedang tertekan. Bukan tanpa alasan; pertemuannya barusan dengan penguasa kekaisaran membuat dirinya dalam dilema. Dermyus tahu kalau cepat atau lambat hal ini akan terjadi selama dirinya menjadi bagian dari Imperial Army. Tetapi mau mempersiapkan diri sebaik apa pun, ia sangat tahu kalau dirinya tak akan pernah siap.

Tanpa memusingkan rekan-rekannya yang lain, ia menelusuri lorong istana menuju ke pintu keluar sebelah barat—ia tak bisa mencapai ruang kerjanya lebih cepat jika pergi dari pintu lain.

Begitu tiba di kantor utama bangunan besar dua lantai yang menjadi markas utama Divisi 7 Imperial Army, Dermyus memerintahkan sekretarisnya untuk memanggil kapten dari semua skuad di bawah kuasanya. Tak lama kemudian, sepuluh orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan berbaris rapi penuh hormat di depannya.

“Kami siap menerima perintah Anda, Seventh Commander!” seru mereka bersamaan.

Dermyus memandang lamat-lamat para kaptennya. Ia tahu apa yang akan dikatakannya adalah perintah sang emperor, tetapi kenyataan kalau ia akan meminta pasukannya untuk menumpahkan darah dan menundukkan paksa orang-orang tak berdosa membuat hatinya tidak tenang. Sejujurnya, ia ingin menolak mengemban perintah sang emperor. Tetapi perintah adalah perintah, mengingkarinya sama saja dengan melanggar aturan. Sebagai bangsawan yang hidup dengan penuh ketaatan pada aturan, Dermyus harus rela menutup hatinya meski berat.

Dermyus membulatkan tekadnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, perintah adalah perintah, batin Dermyus dengan tangan terkepal.

“His Majesty Emperor telah memerintahkan untuk mengambil alih Desa Carnal sepenuhnya,” ucapnya dengan ekspresi sedatar yang ia bisa. “Kemudian, kita akan bergerak menginvasi Maggarithaz Kingdom dari sisi barat ke timur. Kematian Emperor Nevada el Vermillion sepuluh tahun lalu, His Majesty Emperor Nueva el Vermillion menginginkan kepala King Heclith III dan tanah kekuasaannya sebagai balasan.”

Berbagai ekspresi memenuhi wajah para kaptennya, tetapi tak satu pun yang seperti dirinya. Bukannya Dermyus berharap demikian, tetapi ia ingin orang-orang hidup dengan moral. Meskipun dirinya terlihat munafik, Dermyus sungguh ingin hidup damai tanpa peperangan dan pertumpahan darah: kehidupan yang teratur yang dilandasi aturan-aturan yang adil dan bijak. Ia tahu itu mustahil, tetapi… itu adalah impian ibunya yang telah wafat, impian yang kemudian diwariskan kepadanya tanpa sepengetahuan ayahnya.

Dermyus dulu mendaftarkan diri menjadi anggota Imperial Army karena itu adalah tradisi utama Keluarga Haneth. Sebelumnya, ayahnya adalah pemegang gelar Seventh Commander. Sebelum ayahnya, titel Seventh Commander berada di tangan kakeknya, dan seterusnya. Semenjak didirikannya Imperial Army oleh pendiri kekaisaran berabad-abad yang lalu, posisi Seventh Commander selalu dipegang oleh pewaris utama Keluarga Haneth.

Meskipun kekaisaran menganut sistem meritokrasi, keluarga Haneth adalah satu-satunya bangsawan yang diberikan hak khusus mengelola sebuah wilayah – artinya mereka diberikan status kebangsawanan sejak lahir. Jika royal family menyematkan “el” di antara nama depan dan belakang mereka sejak lahir, maka setiap anak yang dilahirkan dalam keluarga Haneth menyematkan “von” pada nama mereka tatkala lahir ke dunia.

Dengan alasan itu, Dermyus sama sekali tidak punya pilihan selain meneruskan estafet keluarganya. Perintah adalah perintah, melanggarnya sama dengan melanggar perintah pendiri Keluarga Haneth, sama saja dengan melanggar aturan.

“Kapan kita berangkat, Commander?”

Sepenggal pertanyaan itu sukses mengembalikan perhatian Dermyus pada para bawahannya.

“Terkecuali Kapten Emily,” ucapnya, “kalian dan pasukan kalian akan meninggalkan ibukota esok pagi, Vice-commander Elizabeth akan memimpin kalian. Sementara, aku sendiri dan Kapten Emily beserta pasukannya akan beranjak ke Desa Carnal siang ini. Ada pertanyaan lain?”

Melihat tak ada yang bertanya, Dermyus mengizinkan semuanya—selain Kapten Emily—untuk meninggalkan ruangan.

“Ayo, Kapten, kita akan menemui Vice-commander Elizabeth di kediamannya.”

Dermyus lekas keluar ruangannya, Emily mengikutinya dalam diam.

Dari kesemua kapten pilihannya, hanya Emily yang tidak pernah menampilkan ekspresi berarti setiap kali menerima perintah. Ekspresi wanita berambut merah muda pendek sebahu yang dua tahun lebih muda darinya itu selalu datar, bisa dibilang tak jauh beda dengannya. Gadis itu selalu melaksanakan perintahnya tanpa pernah bertanya, tak peduli se-absurd apa itu. Karena itu, dari semua kaptennya, Dermyus lebih suka memilih Emily untuk menyertainya.

Ia dan kaptennya itu tiba di depan kediaman Elizabeth sekitar lima belas menit kemudian.

Meskipun berasal dari keluarga terpandang, kediaman Elizabeth terkesan sederhana jika dibandingkan dengan kediaman-kediaman petinggi kekaisaran lainnya. Hal itu bisa dimengerti, sangat dimengerti malah. Seperti dirinya, Elizabeth tidak berasal dari ibukota, mereka berasal dari kota yang sama: Verena. Itu adalah kota paling selatan kekaisaran, kota itu menjadi batas antara kekaisaran dan Hutan Besar Amarest, hutan di mana kerajaan para elf terletak. Dibandingkan dengan semua kota, Verena adalah kota teraman ke dua setelah ibukota kekaisaran: Nevada.

“Commander Dermyus, Sir!” salut Elizabeth tatkala menemukan atasannya bertamu.

“Kapten Emily,” sapanya pada perempuan yang berdiri di sisi kiri, dua langkah di belakang Dermyus. “Silakan masuk,” ucapnya mempersilakan, membuka pintu lebar-lebar.

Dermyus dan Emily masuk tanpa ragu.

Dermyus tak berbasa-basi, setelah duduk ia langsung memberitahu Elizabeth apa yang harus dia lakukan.

Setelah memberikan instruksi pada Elizabeth, Dermyus meminta Emily untuk mempersiapkan pasukan di bawah komandonya dan menemuinya di gerbang utama ibukota tepat ketika mentari berada di titik kulminasinya.

“Aku akan bertemu dengan Commander Lilithia dan Commander Reinhart untuk memantapkan rencana penaklukkan Maggarithaz Kingdom,” ucapnya sebelum mereka berpisah.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

[Edited]

Halo. Kamu suka kucing? Suka fantasi berbumbu sci-fi? Ingin membaca kucing dalam fantasi yang penuh aksi dan komedi? Ingin mengikuti bagaimana para kucing super menguasai dunia? Boleh banget cek instagram saya: @nearfunn.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!