"brengsek berani-berani nya kalian membodohi ku." Kata lelaki pria setengah baya dengan postur tubuh gemuk dengan marah. Kepada dua perempuan muda dan tua.
"Om ampun om, saya gak tau kalau kejadian nya akan begini, kami benar-benar gak bohong saya sudah mengantarkan perempuan yang om mau dengan gadis masih suci ke depan kamar om.!" Ungkap perempuan cantik dengan ketakutan.
"Iya om, kami benar-benar gak menyangka kalau kejadian nya akan begini.?" Sahut perempuan setengah baya yang ada di sebelah gadis cantik itu.
"Sudah saya gak mau tau, karena kalian telah mempermainkan saya. Kembalikan uang yang sudah saya transfer. Jika kalian tidak mau mengembalikan uang yang sudah saya transfer.!" Kata lelaki itu berhenti sambil menatap seluruh tubuh gadis cantik yang ada di depan nya itu dengan penuh nafsu.
Clara Pertiwi yang di tatap oleh lelaki setengah baya yang ada di hadapan nya itu merasa merinding. Apa lagi dengan postur kepala botak perut buncit. Clara langsung menatap ibu nya. Sandra. "Ma cepat kembalikan uang om Andreas.?" Pinta Clara dengan takut.
Bu Sandra yang juga menyadari kalau putri nya dalam bahaya jika tidak mengembalikan uang Andreas. Langsung mengeluarkan handphone nya. "Baik om baik, saya akan mengembalikan uang om. Tolong beri tau rekening om.!"
Setelah om Andreas memastikan uang nya sudah masuk ia langsung bergi. Sebelum pergi om Andreas mencaci anak dan ibu itu. "Untung saya sedang buru-buru jika tidak pasti kalian akan mendapatkan akibat nya telah berani membohongiku!"
Clara dan mama nya yang melihat Andreas sudah tak terlihat lagi. Sandra langsung memarahi putri nya.
"Kamu itu bagai mana sih Ra. Kenapa kamu membiarkan anak itu kabur.!"
"Ma aku juga gak tau kalau anak itu akan kabur. Setelah aku memastikan dia berdiri di depan kamar om Andreas aku pergi. Karena aku juga gak mengira kalau anak itu masih kuat, setelah aku kasih minuman dan juga obat.!" Ucap Clara yang tak mau di salahkan.
"Ini semua gara-gara kamu Ra, gak jadi mama beli mobil baru.." kata Sandra dengan kesal terhadap putri nya.
"Lah kenapa sekarang malah mama nyalahin aku Mulu sih, aku juga mau beli tas yang sudah aku inginkan ma, bukan mama doang. Lagian kita sama-sama gak bisa beli jadi jangan nyalahin aku terus." Sahut Clara tak terima.
"Ah Sudah, sudah mama pusing, anak itu memang nyusahin. Sekarang ayo pulang aja, tunggu anak itu di rumah saja.!" Ucap bu sandra akhirnya.
Sedangkan orang yang di maksud, Alana..? perempuan cantik yang sedang terpengaruh obat, entah bagai mana bisa, saat ini berada di dalam kamar dengan lelaki yang juga mabuk.
"oh nona ternyata kamu masih suci." Kata lelaki itu dengan lirih. "Sungguh ini keberuntungan ku.?" Kata lelaki itu sambil mencumbu Alana.
Alana yang meski terpengaruh obat yang di berikan Clara. Masih bisa berfikir sedikit jernih. "Oh tuan tolong berenti tuan.!" Pinta Alana dengan lirih. Tapi apa daya tangan dan tubuh nya justru menerima sentuhan lelaki tersebut. Bahkan tangan meremas rambut lelaki tersebut yang sedang bergerilya menyusuri tubuh Alana yang tanpa busana..
Semua sentuhan kecupan yang di berikan oleh lelaki tersebut ke kulit Alana. Semakin membuat Alana merasa panas. Tanpa sadar Alana merintih menerima apa yang di perbuat lelaki tersebut.
"Oh tuan jangan.!" Kata Alana lirih saat lelaki tersebut menggesek-gesekan pusaka nya ke Alana, hendak menerobos lubang buaya itu.
"Argh tuan sakit..?" Teriak Alana kesakitan. Sampai Alana menitik kan air mata, saat merasakan sangat sakit saat kesucian nya di Trobos begitu saja oleh lelaki tersebut.
"Oh nona sungguh aku tidak menyangka wajah secantik dirimu masih lah suci. Sungguh Dewi Fortuna memberiku keberuntungan." Racau lelaki tersebut sambil memajukan mundurkan pinggul nya.
Setelah rasa sakit hilang. Alana yang merasa hati nya hancur. Justru membalas perlakukan lelaki tersebut. Tubuhnya sudah tidak bisa di kendalikan lagi. Karena obat yang di berikan Clara menguasai dirinya.
***
Keesokan pagi nya. Clara yang tertidur mulai mengerjakan mata nya. "Di mana ini.!" Gumam Alana dengan suara lirih. Hingga beberapa detik kemudian Alana tersadar dirinya tidak menggunakan sehelai pakaian.
Alana yang sadar tidak menggunakan pakaian langsung hendak bangun. "Aww tubuhku. Tubuhku kenapa sakit semua.!" Gumam lirih Alana, dan adegan panas semalam langsung melintas di pikiran.
Saat fikiran adegan panas semalam melintas, Alana langsung mencari lelaki yang telah merenggut kesucian nya semalam. Tapi saat melihat lelaki tampan dengan tubuh putih mulus. Hidung mancung dengan alis tebal dan rambut , masih tertidur di sampingnya. alana membelalakkan mata nya. "Dia,,,?? bukan kah dia Ronal davindo.! pengusaha ternama yang nama nya sudah terkenal di kota Beijing bahkan di manca negara." Gumam Alana dengan terkejut.
"Aku aku gak bisa meminta pertanggung jawaban nya. Jika aku meminta pertanggung jawaban dari lelaki yang terkenal kejam ini. Yang ada aku hanya di permalukan, bahkan nyawaku bisa dalam bahaya. Karena jika aku mengungkapkan itu bisa merusak citra Presdir muda kejam ini." Pikir Alana.
Setelah memikirkan semua itu, Alana langsung bangkit dari atas tempat tidur. Memakai pakaian nya kembali. meski menahan tubuhnya yang merasakan sakit luar biasa, apalagi di bagian vital nya sakit bercampur perih, akibat permainan panas semalam.
Davindo yang masih terlelap dalam mimpi indah nya. Tidak menyadari perempuan yang telah membuat dirinya puas semalam. Telah meninggalkan nya.
Alana yang keluar dari kamar hotel, berjalan tertatih-tatih sambil menahan perih di bagian vital nya.
Saat sudah sampai di parkiran Alana langsung memesan taksi online. Tak menunggu lama taksi yang di pesan Alana datang. Alana langsung memasuki taksi tersebut untuk pulang.
Di dalam mobil Alana selalu terbayang adegan panas semalam. Ia masih memikirkan bagai mana bisa dirinya bisa berada di dalam kamar hotel bersama davindo, dan juga bagai mana bisa dirinya mabuk. Seingat dirinya dirinya tidak meminum alkohol.
"pasti Clara telah memberi obat kepada minuman ku semalam.!" Gumam Alana yang ingat dirinya semalam pergi bersama Clara.
Alana perempuan cantik dengan tubuh sexy yang di tutupi gamis dengan juga jilbab selama ini. Tidak menyangka kalau kesucian yang ia jaga selama ini hilang begitu saja hanya karena dirinya mabuk. Apa lagi orang yang mengambil kesucian nya orang yang tidak ia kenal. Hanya tau nama lelaki itu, karena lelaki yang telah merenggut kesucian nya selalu muncul di majalah-majalah bisnis dan juga berita-berita bisnis di tv dan juga sosial media.
Alana yang memikirkan itu kepala nya merasa berdenyut. "Semua nya sudah terjadi aku tidak bisa selalu memikirkan semua ini.!" Gumam Alana akhirnya membuat keputusan.
Tanpa terasa taksi yang ia tumpangi sampai di rumah nya.
Setelah membayar taksi tersebut Alana berjalan ke pintu rumah nya.
Saat baru Alana membuka pintu tiba-tiba pintu rumah nya di buka terlebih dulu. "Kamu dari mana aja anak sialan.!" Bentak perempuan setengah baya. Bu Sandra dengan anak nya Clara. Sepupu dan juga bibi Alana. Karena sejak ke dua orang tua Alana meninggal akibat kecelakaan 13 tahun yang lalu. Bibi Alana dan sepupu nya itu tinggal bersama Alana.
"Kamu dari mana saja, anak sialan?!" bentak Bu Sandra, suaranya menggema di ruang tamu.
Alana terdiam. Ia menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sejak tadi mendesak keluar.
"Kau tahu, karena ulahmu, aku harus mengembalikan uang lelaki itu! Uang yang seharusnya bisa aku dan Clara gunakan untuk membeli apa yang kamu inginkan. Tapi kamu malah menggagalkan nya, Dasar tidak tahu diri!" lanjut Bu Sandra sambil menunjuk wajah Alana.
Alana yang mendengar perkataan bibi nya terkejut. "Uang lelaki itu? Apa maksudnya, Bibi?" tanya Alana dengan suara bergetar.
"Jangan pura-pura bodoh kamu Alana." Clara menyahut dengan nada sinis. "Kau pikir kami membiarkanmu hidup di sini tanpa alasan? Kami sudah menjual mu pada Om Andreas, tapi kau malah kabur! Kau benar-benar tidak berguna, Alana! Gara-gara kau kabur aku gagal membeli tas apa yang aku impikan."
Kata-kata itu menghantam Alana seperti petir di siang bolong. Matanya membulat, dan tubuhnya terasa goyah. "Kalian... kalian menjual ku?!" tanyanya lirih, nyaris tak percaya apa yang keluar dari mulut sepupunya itu.
"Jangan lebay kamu Alana. Kamu selama ini selalu mendapatkan perhatian, pujian segala nya kamu dapatkan. Dan Lelaki itu kaya raya! Kau seharusnya bersyukur dia mau membayar mahal untuk gadis sepertimu." Kata Clara dengan tajam menusuk perasaan Alana.
Air mata Alana akhirnya tumpah. Perasaan dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi keluarganya begitu menyakitkan. "Kalian benar-benar tega," ucapnya sambil terisak.
"Tega?" Bu Sandra menyeringai sinis. "Kalau kau tidak suka, maka keluar saja dari rumah ini! Clara, kemasi barang anak ini sekarang!" Seru Bu Sandra.
Clara langsung bergerak menuju kamar Alana dengan langkah santai, seolah perintah itu adalah hal biasa.
Namun Alana tak tinggal diam. Ia melangkah maju, menatap tajam ke arah Bibinya meski tubuhnya gemetar. "Kalian mengusirku?" tanyanya dengan suara serak. "Ini rumah peninggalan orangtuaku! Rumah ini milik mereka, dan aku punya hak tinggal di sini!"
Bu Sandra mendengus sinis. "Rumah ini? Memang betul dulu milik orangtuamu. Tapi aku yang merawat rumah ini selama bertahun-tahun. Kau pikir kau punya hak atas semuanya? Kau tidak lebih dari beban, Alana."
Alana yang mendengar ucapan bibi nya tak terbendung kehancuran nya. "Bibi dulu kalian yang meminta tinggal bersama ku, setelah kedua orang tua ku meninggal. Tapi sekarang kalian ingin menguasai semua ini. Bibi benar-benar keterlaluan." Kata Alana dengan marah dan juga air mata.
"Diam!" bentak Bu Sandra. "Kalau kau tidak suka, pergilah! Jangan harap kau bisa hidup enak di sini lagi."
Alana menggigit bibirnya, menahan isakan. Ia merasa sendirian di dunia ini, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa menyerah. Dengan langkah tegas, ia menuju kamarnya, mengambil tas dan barang-barang pentingnya.
"Baik," ucapnya dengan suara gemetar namun penuh tekad. "Aku akan pergi. Tapi ingat, ini bukan akhir. Aku akan kembali suatu hari nanti, dan kalian akan menyesali apa yang kalian lakukan padaku. Kata Alana yang tak rela rumah satu-satu nya peninggalan kedua orang tau nya akan di ambil oleh bibi nya.
Saat Alana membawa koper nya. Tiba-tiba ia di dorong oleh Clara sampai jatuh di teras rumah.
Bruk.
"Cepat pergi jangan pernah berfikir untuk kembali, kamu di sini juga tidak ada guna nya." Kata Clara dengan kejam.
Alana tidak menyangka hanya karena rencana mereka gagal. Mereka menyalahkan Alana sampai mengusir dirinya dari rumah nya sendiri.
Alana tak menyangka bahwa kesalahan yang tidak pernah ia lakukan berujung pada pengusiran dirinya dari rumah sendiri. Air matanya terus menetes saat ia menyeret kopernya, berjalan tanpa arah di tengah kota. Langkahnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena hati yang penuh luka.
“Kenapa mereka begitu tega?” gumamnya lirih sambil menahan isakan. Ia teringat wajah kedua orangtuanya yang sudah lama tiada, seolah-olah menginginkan kehangatan dan perlindungan yang dulu pernah ia rasakan.
Hari itu terasa panjang. Matahari perlahan turun ke ufuk barat, menggantikan sinarnya dengan bayangan jingga yang memenuhi langit. Alana akhirnya berhenti di sebuah taman kecil. Pohon-pohon rindang dan bangku-bangku kosong menjadi saksi bisu kesedihannya. Ia duduk di salah satu bangku taman, membenamkan wajah di antara kedua telapak tangannya.
"Dengan siapa aku harus berbagi cerita ini? Ke mana aku harus pergi?" pikirnya putus asa.
Tanpa di sadari Alana, Di kejauhan, seorang pemuda memperhatikan sosoknya. Ia menghentikan mobil nya di pinggir jalan, matanya menyipit, mencoba mengenali perempuan yang duduk sendirian itu.
“Alana. Bukankah itu Alana?” gumam pemuda tersebut, Melvin, dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Melvin, yang tak sengaja melewati taman itu dalam perjalanan pulang, merasa ada yang aneh melihat Alana. Wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat penuh kesedihan. Pakaian sederhana yang ia kenakan sedikit berantakan, dan ada koper besar di sebelahnya.
Tanpa berpikir panjang, Melvin mendekat. "Alana? Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Mendengar suara yang familiar, Alana mendongak. Matanya membesar saat melihat Melvin berdiri di depannya. "Melvin?" gumamnya, suaranya serak karena menangis terlalu lama.
Melvin duduk di sebelahnya, matanya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi? Kenapa kau di sini sendirian? Dan... kenapa kau membawa koper?" tanyanya lembut. Kepada sahabat sekolah nya dulu itu.
Alana menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang hampir pecah lagi. “Aku... Aku diusir dari rumahku sendiri,” jawabnya lirih.
Melvin tertegun mendengar jawaban itu. Ia tahu bahwa Alana bukanlah tipe orang yang mudah menyerah, apalagi sampai terlihat begitu hancur. “maksud kamu. Bibi kamu itu.?" Tanya malvin
Alana mengangguk pelan.
"Jadi kamu beneran diusir sama bibi kamu, Al?" tanya Melvin sekali lagi, matanya penuh dengan kekhawatiran. Ia masih sulit percaya bahwa keluarga Alana, yang seharusnya melindunginya, justru tega membuangnya.
Alana hanya mengangguk pelan. "Iya, Vin. Mereka menyalahkan ku karena rencana mereka gagal... dan sekarang aku tidak punya tempat untuk pergi," jawabnya lirih, menunduk untuk menyembunyikan air matanya yang mulai menggenang.
"Rencana,,,? emang mereka merencanakan apa, sampai kamu si usir Al.?" Tanya Melvin penasaran.
Alana yang mendengar pertanyaan Melvin merasa ragu untuk cerita, hingga akhirnya Alana berbicara jujur. "Mereka,,,? mereka ingin menjual ku Vin.!" Kata Alana sambil terisak.
Melvin yang mendengar pengakuan Alana. Wajah nya langsung merah padam karena marah. Tapi saat melihat Alana sangat terpukul. Melvin menarik napas panjang, berusaha meredam amarahnya terhadap orang-orang yang telah menyakiti Alana. "Aku tidak menyangka mereka sepicik itu, tapi Ya sudah, kalau begitu, kamu ke rumahku aja, kamu bisa tinggal di rumah ku," ajaknya dengan nada tegas.
"Tapi, Vin... nggak apa-apa aku ke rumahmu?" tanya Alana ragu, matanya menatap Melvin dengan penuh kebingungan. "Aku nggak mau merepotkan kamu."
Melvin tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Nggak apa-apa kali, Al. Lagian, kamu ini kayak nggak kenal aku aja. Kamu butuh tempat tinggal, dan aku nggak bakal biarin kamu sendirian kayak gini. Ayo ikut aku!" ucapnya penuh semangat. Mencoba membuat Alana melupakan masalah nya sekejap.
Setelah beberapa saat ragu, Alana akhirnya mengangguk. "Terima kasih, Vin. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu," katanya dengan suara yang hampir berbisik.
Melvin tersenyum tipis, lalu mengarahkan Alana menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari taman. Ia membukakan pintu mobil untuk Alana dengan sopan, lalu memasukkan koper Alana ke bagasi.
Sepanjang perjalanan, Alana duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Perasaan sedih dan lega bercampur aduk di dalam hatinya. Sementara itu, Melvin meliriknya beberapa kali, mencoba mencari cara untuk membuat suasana menjadi lebih baik.
"Jadi, Al... setelah ini, kamu mau ngapain?" tanya Melvin, memecah keheningan.
"Aku belum tahu, Vin," jawab Alana jujur. "Yang jelas, aku harus cari cara untuk memulai hidup baru. Tapi untuk sekarang, aku cuma mau istirahat dan mencoba berpikir jernih."
Melvin mengangguk. "Ya sudah kalau begitu. Tapi kalau kamu butuh sesuatu. Bilang aja sama aku. Gak perlu merasa gak enak. Kita berteman. Gak cukup 1 tahun 2 tahun.!" Kata Melvin akhirnya
Alana tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kesedihan. "Terima kasih, Vin. Aku nggak tahu harus bilang apa lagi."
Hingga akhirnya Melvin membawa Alana ke rumah nya.
Tanpa terasa Alana yang diam seribu bahasa dalam perjalan menuju rumah melvin.
Tanpa di sadari Alana Mobil Melvin sudah masuk ke halaman rumah melvin.
"Lana ayo turun !" kata Melvin dengan suara lirih.
"oh iya vin." jawab Alana.
Setelah mereka turun. Melvin membantu membawa ransel Alana. Untuk masuk ke dalam rumah melvin.
Setelah Alana sudah berada di dalam rumah Melvin, ia merasa sedikit lega. Melvin mengantarnya ke sebuah kamar yang tampaknya sudah tidak asing baginya.
"Alana..? kamu istirahat aja dulu. Kamarnya masih sama seperti dulu, nggak banyak berubah," ucap Melvin dengan nada lembut.
Alana mengangguk pelan, menatap Melvin dengan mata yang masih sembab karena tangis. "Terima kasih, Vin," jawabnya singkat.
"iya sudah aku keluar dulu ya." ucap Melvin yang langsung berbalik.
Melvin yang sudah keluar, meninggalkan dirinya sendiri di kamar.
Di dalam kamar, Alana duduk di tepi ranjang, memandangi ruangan yang penuh kenangan masa remaja nya bersama Melvin. Di mana dulu sebelum mama nya Melvin pergi ke luar negri ikut suami baru nya. Alana sering menginap di rumah ini waktu masih SMA, Alana yang mengenang masa lalu itu, ia menarik napas panjang, mencoba mengusir semua rasa sakit dan pikiran buruk yang menghantui benaknya.
Sementara itu, di tempat lain, suasana jauh berbeda. Di sebuah ruangan kerja mewah dengan dinding kaca yang memandang kota Beijing, seorang lelaki tampan dengan jas tuxedo duduk di kursi besar. Wajahnya merah, matanya menyiratkan amarah yang tak terkendali.
"Kalian itu bodoh!" bentaknya kepada orang-orang kepercayaannya yang berdiri di depannya. "Menemukan wanita seperti itu saja kalian nggak becus. Periksa CCTV hotel, telusuri setiap lorong dan jalan, cari dia, di mana pun dia berada!"
Tomy, asisten paling setia Ronal, menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Tuan, kami sudah memeriksa CCTV hotel, tapi wanita itu pergi tanpa meninggalkan jejak. Kami tidak bisa menemukan ke mana dia pergi," jawabnya dengan suara pelan, takut memperparah kemarahan Ronal.
Ronal mengepalkan tangannya di atas meja, menahan diri untuk tidak melempar sesuatu. "Aku nggak peduli! Aku nggak mau dengar alasan kamu. Gunakan semua cara, cari dia di seluruh kota ini! Aku ingin dia ditemukan secepat mungkin," katanya dengan nada yang lebih tegas.
Tomy mencoba menyembunyikan keterkejutannya, tetapi memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, jika kami menemukannya, apa yang akan Anda lakukan terhadap wanita itu?"
Ronal menatap Tomy tajam, lalu menjawab dengan suara yang keras dan jelas, "Aku akan menikahinya. Aku sudah mengambil kesuciannya, jadi aku akan bertanggung jawab." Kata Ronal dengan padat. "tugas kamu cukup temukan keberadaan wanita itu. Jangan banyak tanya." kata Ronal yang tak mau di bantah.
Tomy terbelalak mendengar jawaban itu. Tuan muda Ronal, yang selama ini dikenal sebagai pria dingin, kejam, dan penuh ambisi, ingin menikahi seorang wanita yang bahkan tidak ia kenal hanya karena sebuah insiden kecil yang tanpa di sengaja. Memikirkan itu Tomy merasa kalau keputusan tuan muda nya itu konyol. Tetapi Tomy tahu, mempertanyakan keputusan Ronal hanya akan membuatnya tuan nya itu semakin marah.
"Baik, Tuan. Saya akan melakukan apa pun untuk menemukan wanita itu," kata Tomy akhirnya sambil menunduk hormat.
"Bagus. Jangan kembali sebelum kau menemukannya," ucap Ronal tajam sebelum mengusir Tomy keluar dari ruangan an nya
Setelah Tomy pergi, Ronal bersandar di kursinya, wajahnya sedikit melunak saat pikirannya kembali ke malam sebelumnya. Ia teringat bagaimana dirinya bersikap kasar, lalu bagaimana wanita itu menangis di bawahnya.
"Kenapa dia pergi tanpa membangunkan ku? Apakah dia bodoh, atau dia tidak ingin aku bertanggung jawab?" gumam Ronal, matanya penuh dengan kekesalan terhadap alana. pandangan mata Ronal sangat merah.
Di sisi lain, Alana mulai menata hatinya di kamar Melvin, tanpa menyadari bahwa di luar sana ada seorang pria yang sedang memburunya, siap mengubah hidupnya sekali lagi.
***
Berminggu-minggu telah berlalu sejak malam yang mengubah hidup Ronal dan Alana., selama itu pula, Ronal terus diliputi kegelisahan. Emosi kekesalan. Usahanya menemukan Alana berujung sia-sia, dan setiap kali Tomy melaporkan kegagalannya, Ronal semakin tak bisa menahan emosi.
"Tomy, aku nggak mau dengar alasan lagi! Aku mau dia ditemukan, apa pun caranya!" bentak Ronal pada asistennya di ruang kerjanya.
Tomy, dengan wajah lelah, hanya menunduk. "Kami sudah menyisir semua tempat yang mungkin wanita yang tuan maksud berada Tuan. Tapi kota ini terlalu besar, dan wanita itu tidak meninggalkan jejak yang jelas. Sehingga menyulitkan kan kami untuk menemukan keberadaan nya." jawab Tomy tak berdaya.
"Aku nggak peduli! Cari lagi! Cari sampai dapat." ujar Ronal sambil menghempaskan dokumen kerja di atas mejanya.
Di sisi lain, hidup Alana perlahan mulai beranjak normal meski hatinya masih penuh luka. Dalam beberapa minggu terakhir, ia bekerja di sebuah restoran kecil sebagai pelayan. Alana berusaha keras menyembunyikan masa lalunya dan menjalani hidup sederhana, menghindari siapa pun yang mungkin mengenalnya.
Namun, malam-malam sering kali menjadi waktu terberat bagi Alana. Saat Melvin sudah tidur, ia sering duduk di balkon kamar kecilnya di rumah Melvin, menatap bintang sambil memikirkan kejadian yang terus menghantuinya.
Sementara itu, di rumah keluarga Alfaris, suasana canggung mulai terasa. Pak Renaldi Alfaris, ayah Ronal, memperhatikan perubahan perilaku putranya merasa ada yang aneh dengan ronal. hingga akhirnya ia memanggil Ronal ke ruang kerja keluarga.
setelah menunggu beberapa waktu akhirnya Ronal datang. "ada apa pa. Kenapa mencari ku.!" tanya Ronal datar. Dan langsung duduk di depan papa nya.
"Ronal, sebenarnya ada apa dengan kamu akhir-akhir ini?" tanya Pak Renaldi sambil menatap anaknya tajam. "Papa lihat kamu sering memarahi Tomy. Apa yang kamu sembunyikan dari Papa dan Mama?"
Ronal yang baru saja duduk, tertegun. Ia tahu cepat atau lambat pertanyaan ini akan muncul. Namun, ia masih belum siap untuk mengungkapkan semuanya. "Nggak ada apa-apa, Pa," jawabnya singkat sambil menggelengkan kepala.
Pak Renaldi mengerutkan alis tak percaya begitu saja dengan jawaban putra nya. "Ronal, kamu pikir Papa nggak tahu? Kamu terlihat jelas sedang menutupi sesuatu. dari sikapmu ke Tomy papa tau itu . Kalau kamu ada masalah, jadi lebih baik kamu cerita sekarang." kata pak Alfaris
Ronal menggigit bibirnya, berpikir keras. "Ini cuma soal pekerjaan Pa. Ada beberapa proyek yang belum berjalan sesuai rencana. Nggak perlu khawatir," katanya dengan nada yang dipaksakan tenang.
Pak Renaldi menghela napas, menyadari Ronal belum mau terbuka. "Baiklah, kalau kamu nggak mau cerita sekarang, Papa nggak akan paksa. Tapi ingat, selama ini papa mengenal kamu tumbuh dewasa memiliki keegoisan yang tinggi, keinginan yang tak bisa di kacau kan. apa pun yang kamu mau,, pasti kamu mendapatkan nya. Jadi sikap seperti ini bukan lah kamu.." kata pak Alfaris kepada Ronal.
Ronal yang mendengar perkataan papa nya, diam tak menanggapi nya. Justru Ronal keluar dari ruang kerja papa nya.
Pak Renaldi yang melihat kepergian putra semata wayang nya. Hanya bisa menghela nafas panjang. kemudian pak Alfaris berjalan ke jendela. menatap ke luar jendela. Nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar urusan pekerjaan yang di hadapi putra nya.
Di sisi lain, Tomy tidak berhenti mencari Alana. Dengan waktu yang terus berjalan, akankah takdir kembali mempertemukan mereka? Atau justru Alana akan menemukan jalan hidup baru tanpa Ronal?
***
Dua minggu kembali berlalu dengan begitu cepat. Ronal masih belum mendapatkan kabar apa pun tentang Alana, dan itu semakin membuat emosinya tak terkendali. Setiap laporan dari Tomy yang berisi kegagalan hanya menambah rasa frustrasi di hatinya.
“Tomy, berapa lama lagi aku harus menunggu? Kamu dan anak buah kamu benar-benar nggak berguna!” bentak Ronal sambil membanting telepon ke meja.
Sementara itu, di sisi lain kota, Alana juga menghadapi tantangan baru dalam hidupnya. Akhir-akhir ini, tubuhnya sering terasa lemas, dan rasa mual hampir selalu menyapanya di pagi hari. Namun, ia berusaha menyembunyikan kondisinya, terutama di tempat kerja.
"Alana, kamu yakin baik-baik saja? Akhir-akhir ini kamu sering kelihatan pucat," tanya Meri, rekan kerjanya yang juga mulai khawatir.
Alana memaksakan senyum. "Aku nggak apa-apa kok Meri. Mungkin cuma masuk angin. Nanti juga sembuh sendiri." jawab Alana.
Namun, Meri mengerutkan dahi, tak yakin dengan jawaban alana. "Kalau kamu terus begini, kamu bisa jatuh sakit Lana. Harusnya kamu periksa ke dokter ini sudah beberapa hari loh aku lihat wajah kamu pucat dan sering ingin muntah." kata Meri menasehati Alana.
Alana yang mendengar nasehat Meri, hanya mengangguk kecil tanpa menjawab. Dalam hatinya, ia juga merasa ada yang aneh dengan tubuhnya, tetapi ia terlalu takut untuk mencari tahu.
Malam itu, setelah pulang kerja, Alana duduk di tepi tempat tidurnya, memegang perutnya yang terasa aneh. Ia mencoba mengingat kembali siklus terakhirnya. Semuanya terasa kabur sejak kejadian malam itu.
"Jangan-jangan.." gumam Alana. " nggak..! itu gak mungkin mungkin," gumamnya sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.
Pikiran itu membuat Alana gelisah sepanjang malam. Ia tidak tahu harus bagaimana jika kemungkinan itu benar. Hidupnya sudah cukup sulit, dan ia tak yakin bagaimana menghadapi masalah yang lebih besar lagi jika kecurigaan nya benar. "jangan..! Jangan sampai aku hamil." gumam Alana enggan untuk menerima jika itu benar-benar terjadi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!