NovelToon NovelToon

JALAN HIJRAH SEORANG PENDOSA

Bab 1 Anak tanpa identitas

Walau mata sendiri telah mengantuk, tapi Firman masih menepuk pelan tubuh kecil di sebelahnya. Dan saat tubuh kecil di itu tidak lagi bergerak, Firman yakin bocah itu sudah hanyut ke alam mimpi.

Wajah bocah laki-laki kisaran 2 tahunan itu di renung Firman.

"Siapa kau sebenarnya?" bisik hati Firman sambil membelai wajah bersih tanpa dosa di depannya.

Hingga saat ini Firman belum tahu nama bocah itu, apalagi identitas lainnya. Bocah itu tadi di temukan pingsan di tepi jalan. Dan entah kenapa tergerak saja hatinya ingin membawa pulang.

Tadi sore, Firman juga sudah membawa bocah itu ke klinik untuk mengobati luka seperti bekas tusukan di bagian betis bocah itu. Namun, tidak tahu sebabnya dokter tidak mau menjahit luka itu, dikarenakan luka itu sudah lama dan agak membusuk. Dokter menyarankan agar Firman merawat luka bocah itu dengan baik, agar tidak terjadi infeksi.

Di perhatikan berkali-kali wajah kecil di depannya. Firman merasa seperti pernah melihat bocah itu sebelumnya. Tapi rasanya mustahil, karna 8 tahun belakangan ini, Firman tidak pernah bertemu dengan anak-anak.

"Huaaaam."

Firman menguap lebar. Matanya benar-benar sudah mengantuk.

Baru saja mata di pejamkan, suara berisik di luar kamar mengusik gendang telinganya.

"Sialan!" umpat Firman, lalu ia bangun dan segera menghentakkan kaki menuju ruang tamu tempat suara ribut berasal.

Prakk!

"Kalian bisa diam tidak!" bentak Firman setelah menendang meja di hadapan orang-orang yang berada di ruang tamu.

Hening. Semua pria dan wanita yang berada di sana memandang heran pada Firman. Botol bir yang tadinya berada di atas meja, jatuh ke lantai dan pecah. Seketika bau ruang tamu di penuhi bau minuman haram. Abu rokok pun tampak beterbangan menambah polusi udara di sana.

"Santailah, bro." Salah seorang pria bersuara. Tangannya memegang satu botol bir. Untung saja botol itu tidak di letakkannya diatas meja. Kalau tidak mungkin sudah ikut pecah juga akibat tendangan pria jangkung di depannya saat ini.

Sebenarnya keributan malam itu sudah biasa terjadi. Suara riuh gelak tawa tiga orang rekannya dengan para wanita yang di bawa mereka ke rumah ini sudah menjadi aktifitas hampir setiap malam.

Pada malam sebelumnya pun, Firman tidak pernah mempersalahkan hal itu. Tapi entah kenapa malam ini ia takut suara riuh mereka mengusik tidur bocah yang baru sore tadi di bawanya ke rumah ini.

"Kalian ada otak kan? Coba pakai otak kalian itu. Ini sudah  malam, orang juga ingin istirahat!" maki Firman pedas.

"Baiklah...baiklah. Kami diam." Pria yang bicara tadi mengangkat kedua belah tangan, seraya memandang dua orang temannya yang diam saja. Tiga orang wanita dengan pakaian seksi di sana pun tidak bersuara. Sudah pasti mereka takut dengan ancaman Firman barusan.

Firman memang di kenal paling emosian. Dia tidak pernah segan main tangan dan melayangkan benda apa saja pada orang yang mencari ribut dengannya.

"Kalau bocah dalam kamarku itu bangun. Kutendang kalian semua keluar!" Firman memberi peringatan sebelum kembali kekamar.

Keluhan berat di lepaskan Firman. Ia tahu tempat ini memang tidak layak untuk anak kecil tinggal. Sore tadi bocah itu tak henti batuk-batuk, mungkin karna ruangan ini penuh dengan asap rokok.

Tubuh kembali di jatuhkan ke atas ranjang, tapi malah hempasan tubuhnya membuat bocah yang baru saja terlelap itu terjaga.

Firman menepuk kening.

"Yayah," panggil bocah itu. Matanya yang telah terbuka melihat Firman yang berbaring di sebelahnya. Sejak siang tadi bocah yang masih cadel itu memang selalu memanggil Firman 'Yayah'.

"Ishk, sudah berapa kali kubilang. Aku ini bukan Ayah kau! Berhenti memanggilku Ayah!" bentak Firman.

"Yayah," panggil bocah itu sekali lagi seakan tidak peduli dengan kemarahan pria di depannya. Baju dan tubuh yang kotor membuat bocah itu merasa tidak nyaman.

"Terserah kau lah! Aku ngantuk!" balas Firman. Mata di pejamkan erat, malas melayani bocah itu.

"Yayah." Air mata mulai menggenang, bocah itu takut berada di tempat ini. Suara tawa cekikikan di balik pintu kamar masih terdengar.

"Yayah." Tangan kecil itu mulai merayap menyentuh tubuh Firman. Ia berharap panggilannya tidak diabaikan pria yang di panggilnya ayah. Ingatannya terbatas. Tidak banyak wajah yang bisa di ingat kecuali wajah Firman yang menyapanya setelah sadar dari pingsan siang tadi.

"Kau mau apa, hah?! Aku capek, aku ngantuk, aku mau tidur! Kalau kau mau tidur, tidur sekarang! Atau kau mau aku tendang keluar?!" bentak Firman. Wajah polos bocah itu di cengkram dengan emosi yang memuncak.

Namun, keinginan untuk kembali memarahi tidak jadi ketika melihat air mata mengalir ke pipi bocah itu. Ketakutan jelas terpancar di wajah tak berdosa itu.

Dan, tangisan itu reda setelah Firman memeluknya. Hingga akhirnya bocah itu tertidur kembali dalam dekapan Firman.

***

Firman bergegas kekamar mandi setelah menyadari arloji di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 10 pagi.

Seharusnya ia tidak telat bangun, karna pagi ini ia harus  menemui--Togar, seorang bandar narkob@.

Kepala kran di putar, air dalam bak di tunggu penuh. Ketika membuka baju, sempat ekor mata Firman menangkap puntung rokok yang berserak di lantai kamar mandi. Keluhan berat di lepaskan, coba memaklumi keadaan kalau di rumah ini bukan dirinya sendiri yang tinggal.

Selesai mandi ala kadarnya, t-shirt hitam dan celana jeans biru muda di ambil dari dalam lemari. Lalu Firman melabuhkan duduk di pinggir ranjang. Baru akan menyarungkan baju, sudut matanya menangkap tubuh kecil yang masih berada di balik selimut.

Bocah yang di temukan kemarin masih nyenyak tidur walaupun matahari sudah terik di luar sana.

"Kira-kira siapa yang mau membeli bocah ini? Tidak mungkin kusembunyikan dia di dalam  rumah. Yang ada aku sendiri yang repot mengurusnya." Firman melamun memikirkan kemana harus membawa bocah itu.

Tok tok tok.

Firman menolah ke arah pintu kamar yang telah di buka dari luar, di susul hadirnya sosok pria berkulit sawo matang yang berdiri di ambang pintu.

"Bro, kenapa lama sekali? Buruan. Nanti si Togar marah kalau kita telat. Kau tau sendiri bagaimana si Togar, kan?" omel Jack. Nama aslinya Rizki, tapi dia lebih suka di panggil Jack. Padahal nama Rizki itu memiliki arti yang lebih baik.

Firman mengangguk, lalu cepat-cepat memakai celana.

"Eh, bro. Ini anak siapa? Kenapa dia di sini?" tanya Jack dengan kening berkerut. Ketika pulang jam 3 pagi, Jack sempat melihat ke dalam kamar sahabatnya. Betapa kagetnya dia saat melihat sosok tubuh anak kecil, tidur dalam pelukan Firman.

"Kemarin aku temukan dia pingsan di tepi jalan. Rencananya siang ini akan kujual dia pada Taleben, setelah kita menemui Bang Togar. Kau punya nomor Taleben kan?" balas Firman sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Ya, aku punya nomor dia. Tempat dia juga tidak jauh. Tapi? Kau serius mau jual bocah itu? Bagaimana dengan orang tuanya? Maksud aku, bagaimana kalau ayah dan ibunya mencari? Apa kau tidak kasihan?" tanya Jack meminta kepastian.

"Itu bukan urusanku. Siapa suruh mereka lalai menjaga anak, sampai membiarkan pingsan di tepi jalan. Aku yang menemukan dia, jadi sekarang bocah ini milikku. Mau aku jual atau apakan dia, itu urusanku," balas Firman. Lalu ia berdiri untuk menggantung handuk. Sisir diatas meja di ambil dan di sisirkan ke rambut. Tidak lupa parfum juga di semprot ke badan.

Rokok dan dompet diatas meja tidak lupa di sambar. Dalam diam, sudut mata Firman masih memperhatikan bocah itu tanpa di sadari Jack. Hatinya terasa berat meninggalkan anak kecil itu seorang diri di dalam kamar.

"Jack, aku mau bawa bocah ini."

Kata-kata Firman menghentikan kaki Jack yang akan keluar dari kamar. Jack kembali menoleh ke arah sahabatnya dengan kening berkerut. "What? Coba kau ulang lagi?" tanya Jack. Rasanya ia salah dengar.

"Aku mau bawa dia," balas Firman santai.

Jack melepaskan keluhan. Pria kulit sawo matang itu tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Kau sudah gila? Kita mau ke tempat Togar, bro? Kau tau Togar bagaimana kan?" Jack mengingatkan siapa bos mereka. 8 tahun bekerja pada mafia itu, tentu saja Jack hapal bagaimana karakter Togar yang arogan dan sadis.

"Tapi siang hari di rumah kita ini tidak ada orang. Aku hanya khawatir bocah ini berbuat yang aneh-aneh nanti," balas Firman memberi alasan. Ia duduk di pinggir ranjang dan menyibakkan selimut yang menutupi tubuh bocah kecil itu.

Tanpa sadar Firman tersenyum sendiri melihat wajah belepotan dan pakaian bocah itu yang kotor, karna dari semalam tidak di gantinya.

"Man, kau jangan macam-macam!" peringat Jack. Pria itu masih berdiri di depan pintu kamar.

"Siang nanti kan kita mau jual dia. Aku rasa tidak ada salahnya kalau kita bawa dia sekalian," balas Firman sambil membangunkan bocah itu.

Firman juga melihat luka di kaki bocah itu yang di tutup perban. Dokter yang mengobati bocah itu kemarin mengatakan harus membersihkan luka itu setiap hari agar tidak terjangkit kuman.

Kelopak mata bocah itu terbuka ketika kakinya di pegang Firman. Di meringis sambil memandang sekeliling termasuk melihat Jack yang masih berdiri di ambang pintu.

"Man, cepatlah! Aku tunggu di luar!" seru Jack sebelum pergi keluar.

Bab 2 King Cobra

Firman masih memandang bocah.itu yang baru saja bangun tidur.

"Ayo bangun." Tubuh kecil itu di bawa ke dalam dekapan dan di bawa Firman ke dalam kamar mandi.

Kran di putar, wajah bocah itu di bilas dengan air, tak lupa rambut yang berantakan juga di seka tangan.

"Yayah."

"Aku bukan Ayah kau! Berhenti memanggilku Ayang!"

Bocah itu terdiam mendengar suara dingin Firman. Dia mengecilkan diri dalam dekapan pria itu. Perlahan kepala di sandarkan ke dada bidang pria yang di panggilnya 'Yayah'

Setelah merapikan bocah itu, Firman bergegas keluar rumah. Mobil yang terparkir di halaman rumah menjadi tujuan kakinya melangkah. Pintu mobil di buka dengan sebelah tangan yang mana sebelah tangan lagi menahan tubuh bocah yang berada dalam gendongan, lalu Firman masuk kedalam mobil.

"Kau serius, mau membawa bocah ini bertemu Togar?" tanya Jack memastikan . Tubuh bocah dalam pelukan Firman di pandangnya sekilas. Perlahan gas di injak bersamaan dengan kompling dan mobil mulai bergerak memasuki jalan raya.

Firman melamun memikirkan sesuatu. Tanya Jack tidaklah di jawabnya.

Jack pun sudah malas bicara. Lagian sahabatnya juga sudah mengatakan setelah bertemu Togar, bocah itu akan di jual pada Taleben.

***

Ponsel di dekatkan ke telinga sementara menunggu panggilan yang tak kunjung di jawab. Sekali lagi Firman menekan tombol panggil di ponselnya lalu ia tersenyum ketika panggilannya di jawab oleh seseorang di ujung sana.

"Halo. Nia sibuk gak hari ini? Hmm, Abang mau minta tolong sesuatu," ucap Firman. Hanya gadis itu yang terpikir olehnya saat ini.

"Tolong apa?" tanya suara di ujung sana.

"Hmm, menjaga anak kecil," balas Firman ragu-ragu. "Sebentar saja kok. Mungkin dalam waktu satu sampai dua jam saja," sambung Firman membujuk sang kekasih. Wajah bocah yang bersandar ke dadanya di intip beberapa kali.

"Hari ini Nia sibuk."

"Apa tidak bisa di undur. Nanti Abang traktir. Nia mau apa saja nanti Abang belikan," bujuk Firman memberi umpan.

"Gak bisa. Nia sibuk. Dah ya, Nia pergi dulu."

Bersamaan dengan itu sambungan telepon terputus.

Firman mengeluh dengan jawaban pujaan hatinya itu.

Tok tok tok.

Ketukan kaca mobil membuat Firman tersentak. Ia menoleh ke samping, di sana Jack sudah resah berdiri di samping mobil sejak tadi.

"Apa kata dia?" tanya Jack. Selama ini Jack tidak pernah bertemu dengan teman wanita sahabatnya itu, entah bagaimana rupa kekasih sahabatnya itu, Jack tidaklah tau. Ia hanya mendengar gadis itu dari cerita Firman saja.

"Dia tidak bisa. Dia sibuk seharian ini. Biasalah, anak kampus, kan?" Firman keluar dari mobil dengan menggendong bocah yang tampak nyaman bersandar di dada bidangnya. Ia masih ragu masuk ke dalam restoran di hadapan mereka saat ini. Bayangan wajah bengis Togar yang sedang menunggu mereka hadir di kepala.

"Kalau begitu tinggal saja bocah ini di dalam mobil. Urusan kita dengan bang Togar juga tidak lama," saran Jack.

"Tidak, bahaya kalau aku tinggal dia sendiri di dalam mobil. Baru-baru ini ada kasus anak kecil pingsan karna lemas di tinggal orang tuanya di dalam mobil. Sudah, ayo kita masuk."

"Kau yakin mau membawa anak kecil ini bertemu dengan bang Togar?" tanya Jack memastikan.

"Tidak ada pilihan lain. Ayo masuk," balas Firman dan mulai melangkah masuk ke dalam restoran.

Jack mengeluh kecil, lalu mengekor di belakang sahabatnya.

Baru saja membuka pintu restoran yang selama ini di jadikan tempat pertemuan rahasia. Seluruh mata yang berada di dalam tertuju pada Firman dan Jack, terlebih pada anak kecil yang berada dalam gendongan Firman.

Jack tersenyum kecil ketika seorang pria berbadan besar yang bertugas menjaga pintu turut melayangkan tatapan elang pada mereka. "Awas saja kau, Man. Kalau bang Togar marah," bisik hati Jack seraya berjalan beriringan dengan Firman.

Dalam restoran itu ada yang sedang bermain kartu dengan uang taruhan diatas meja. Botol-botol minuman keras mahal tampak juga tersusun rapi di rak kayu jati. Jika di lihat dari luar, restoran ini memang tampak sederhana, tapi kalau sudah masuk kedalam. Pengunjung akan terpesona dengan furniture dan dekorasi mewah tak ubah seperti restoran bintang lima.

Seorang pelayan restoran berkemeja putih mendekati mereka berdua. Kening pria itu berkerut melihat bocah yang di gendong Firman.

"Man, anak siapa ini?" tanya pria pelayan itu.

"Fal, kalau kau tidak sibuk. Bisa tolong aku untuk menjaga bocah ini sebantar." Firman bersyukur ketika bertemu dengan pelayan restoran itu yang sedang menghidangkan wine pada para tamu yang hadir.

"Sebenarnya aku mau saja, Man. Aku juga suka anak kecil. Tapi masalahnya sekarang aku sibuk. Kau lihat sendiri, kan?" balas pelayan itu. Kepala bocah yang membenamkan wajah ke dada Firman di usapnya sekali. "Lain kali aku jaga dia. Sekarang aku kerja dulu," tambah pria itu sebelum berlalu pergi.

Suasana dalam restoran itu di terangi cahaya lampu berwarna kemerahan, membuat bocah dalam pelukan Firman merasa tidak nyaman. Sejak masuk ke dalam restoran, bocah itu memejamkan mata dalam gendongan Firman.

Firman dan Jack melanjutkan langkah menuju ruang bawah tanah. Satu tangga kecil di lewati mereka berdua hingga tiba di pintu jati kembar dengan ukiran ular cobra yang merupakan simbol lambang dari kekuasaan Togar sebagai seorang mafia yang berkuasa.

Saat pintu di buka, Firman dan Jack menapak ke dalam ruangan itu. Senyum sinis Togar, pria berusia 50 tahunan menyambut kehadiran mereka. Sudah lama pria itu menunggu kehadiran mereka berdua.

Beberapa orang wanita berpakaian minim berdiri mengelilingi meja billiard dan mereka akan bersorak ketika Togar berhasil memasukkan bola.

Dua orang bodyguard  pribadi dengan badan besar dan berotot, berdiri di belakang para wanita dengan pistol terselip di pinggang.

Bola putih di atas meja billiard perlahan mengenai bila warna merah lalu terus bergerak sampai masuk ke dalam lobang di sudut meja. Wanita berpakaian seksi yang ada di sana bersorak sambil melompat-lompat lalu mencium pipi Togar.

Togar tersenyum, sebelum menghampiri Firman dan Jack yang baru datang.

Stik biliar yang di pegang Togar di gesekkan ke belakang leher Firman, sambil mata tajamnya menikam bocah yang berada dalam gendongan Firman.

"Sejak kapan kau ada anak?" tanya Togar.

"Hm, ini bukan anakku. Aku menemukan-"

Belum selesai Firman bicara Togar sudah memotong.

"Jadi kenapa kau bawa dia ke sini? Kau tau kan dia masih di bawah umur? Atau kau mau mengajak dia bekerja denganku?" sinis Togar, lalu pria itu tertawa. Tawanya di sambut oleh para wanita yang ada di sana.

Firman diam saja mendengar tawa ketuanya.

"Setelah ini jangan pernah lagi kau bawa anak kecil itu ke sini. Kalau kau tidak mau dagingnya aku jadikan santapan makan malam," ancam Togar. Masih sempat sebelah tangannya menolak kepala bocah itu sebelum kembali ke meja biliard.

Bola-bola yang sudah masuk ke dalam lobang meja biliar diambil oleh pera wanita dan di susun kembali di atas meja.

"Setengah kilo. Kalian harus habiskan barang itu dalam Minggu ini. Ingat berhati-hatilah dengan polisi. Aku dengar, mereka sudah mencium aktifitas kalian. Jadi kalian harus lebih berhati-hati. Pasti sudah banyak Intel yang di tempati mereka di lokasi kalian."

Kemudian dua pucuk senjata api tipe Glock 20 yang bisa memuat 15 peluru berdiameter 10mm di letakkan di sebelah tas hitam. Stok peluru juga di letakkan bersamaan dengan senjata tersebut sebagai pelengkap set senjata.

"Aku berikan senjata ini untuk kalian jaga diri. Ingat, dalam minggu ini kalian harus menghabiskan semua barang itu," sambung Togar.

Jack tampak senang melihat pemberian ketuanya. Dia memegang pistol tersebut dan memeriksanya dengan teliti. Kecepatan peluru 375m/s, makin seru jika dia bertemu musuh nanti.

"Man, kau tau tidak ini senjata jenis apa? Glock-20, bro! Sudah lama aku menginginkan pistol semi automatis seperti ini. Biasanya senjata jenis ini hanya di gunakan FBI saja," bisik Jack pada Firman.

Plak!

Seketika kepala Jack di hantam grip pistol oleh Togar.

Membulat kepala Firman melihat tindakan yang di lakukan ketuanya itu. Ia mendekati Jack yang mengerang kesakitan.

"Lain kali jangan pernah datang telat!" peringat Togar dengan senyum sinisnya.

Cairan merah pekat, mengalir menuruni pelipis Jack. Firman mengeraskan rahang. Rasanya ingin sekali ia membalas, dengan memecahkan kepala Togar.

"Sekali lagi kalian telat. Lihatlah apa yang akan terjadi. Waktu aku bukan untuk menunggu kalian saja. Banyak orang yang bisa mengganti tempat kalian berdua," tambah Togar. Ujung stik biliar di tangannya di dekatkan ke kepala Firman dan di tolaknya kepala itu, lalu menyuruh dua orang bodyguardnya membawa Firman dan Jack keluar.

Bab 3 Wanita laknat

Sunyi. Sepenjang perjalanan pulang, baik Firman maupun Jack saling mendiamkan diri satu sama lain. Yang terdengar hanya suara radio yang bertukar-tukar frekwensinya karna tangan Firman terus saja bermain di sana.

"Kau lihat, apa yang terjadi hari ini!" bentak Jack yang tengah mengemudi. Sejak tadi pria itu sudah menahan rasa yang berombak di dada. Mulutnya berkumat-kamit menahan amarah terhadap Firman yang seperti tidak ada simpati terhadap dirinya.

Sudah kepalanya benjol akibat di pukul Togar tadi, malah sekarang di suruh mengemudi.

"Kau kenapa? Luka di kepala kau kan hanya luka ringan saja," balas Firman, lalu ia bernyanyi kecil mengikuti lagu yang baru di putar.

"Kau bilang apa? Luka ringan?" Jack berdecak lidah. Sejak di pukul Togar dengan grip senjata pandangannya berubah gelap dan sampai sekarang masih terasa berdenyut.

"Aku tidak ingin ada masalah lagi setelah ini. Sekarang juga kita jual bocah itu!" tambah Jack, seraya mengeluarkan ponsel dalam saku celana. Sambil terus mengemudi sebelah tangannya memegang ponsel, menghubungi nomor seseorang.

"Halo, Taleben. Kau dimana? Aku mau ketempat kau sekarang," ucap Jack pada seseorang di sambungan telepon.

Firman melihat bocah yang sejak tadi menyandarkan wajah ke dadanya. Ia pun tidak tahu kenapa dengan bocah itu, seperti ingin bermanja dengan dirinya. Apa bocah itu tau kalau Firman ingin menjualnya?

"Taleben bilang apa?" tanya Firman sambil menolak wajah bocah yang terus saja memandangnya. Ia takut hatinya akan luluh dengan pandangan mata bocah itu.

"Dia bilang hari ini sibuk. Besok baru dia ada di rumah," jawab Jack.

"Berhenti sekarang. Kita tinggal saja bocah ini di tepi jalan," perintah Firman. Ia sudah muak dengan bocah itu yang selalu saja menempel padanya.

"Baiklah." Jack pun mengetepikan mobil dan berhenti di bahu jalan. Tidak jauh dari mobil mereka, terdapat deretan pedagang yang menjual gorengan.

Pintu mobil di buka Firman, lalu menurunkan bocah itu terlebih dahulu.

Bocah itu pun berdiri dengan kedua kakinya di rumput tepi jalan tanpa alas kaki.

"Eh, kau dengar aku baik-baik! Aku mau saja menjaga kau, tapi bos aku tidak mengizinkan. Kau lihat di sana ada Ibu-Ibu, pergilah kesana. Dia bisa menjaga kau lebih baik dari pada aku yang menjaga kau." Firman menggunakan tangannya memutar kepala bocah itu agar melihat ke arah wanita penjual gorengan yang dimaksudnya. "Sudah, pergi sana!" bentak Firman.

"Yayah-" Terisak-isak bocah itu memandang Firman. "Yayah."

"Heisk, kau ini! Aku bukan ayah kau!" Firman turut keluar. "Aku bilang pergi sana!" tambah Firman membentak.

Air mata bocah itu mulai mengalir. Hatinya remuk mendengar bentakan Firman. Dia hanya bocah kecil yang belum tahu apa-apa. Dia belum mengerti apa yang di katakan Firman.

Tubuh kecil itu di dorong Firman agar bocah itu mulai melangkah.

Mau tidak mau sepasang kaki kecil itu melangkah juga. Dia takut dengan sorot mata Firman yang menghujam padanya. Meski luka pada betis terasa sakit saat kaki mulai di langkahkan. Tapi, dia lebih takut dengan bentakan Firman yang di panggilnya ayah.

Firman tersenyum senang. Ia segera masuk ke dalam mobil. "Jangan pergi dulu. Kita lihat, apa yang akan terjadi." Kedua tangan di silangkan ke dada sambil memperhatikan bocah itu yang terus berjalan menghampiri wanita yang di tunjuk Firman tadi.

Bocah itu terus melangkah sambil menangis. Sesekali kepala masih menoleh ke arah mobil yang berdiri di tepi jalan. Perkataan pria yang di panggilnya ayah, masih terngiang di telinga. Membuat hati semakin takut.

Bruk!

Tubuh kecilnya di tabrak seseorang hingga terduduk di tanah, bersama satu kantong plastik gorengan berserak di tanah.

"Ishk, bocah! Kau itu gak ada mata, ha?" bentak seorang wanita. Nyaris dia terjatuh karna menabrak bocah yang entah datang dari mana dengan pakaian dan wajah yang belepotan.

"Ishk, jijiknya. Mana orang tua kau, hah?" maki wanita itu. Matanya tajam menatap bocah itu yang masih terduduk di tanah. "Sekarang kau pungut lagi makananku!" Suara wanita itu semakin meninggi. Orang-orang sekitar yang memperhatikan, cuek tidak peduli, ada juga yang menggelang kepala melihat sikap kasar wainita itu. Apakah tak ada kepedulian di hati orang-orang, hingga membiarkan saja kemungkaran di depan mereka terjadi?

Bocah itu diam. Di cobanya berdiri kembali meski kakinya terasa sakit.

"Apa kau tuli, hah?" Satu pisang goreng yang berada di tanah diambil dan di masukkan kedalam mulut bocah itu.

Perbuatan yang di lakukan wanita itu menjadi perhatian orang-orang di sekitar. Namun mereka hanya mengeluarkan ponsel masing-masing untuk merekam perbuatan yang di lakukan wanita itu. Tidak ada satu pun yang berani menegur.

Tak cukup sampai di sana, wanita itu kembali memasukkan beberapa pisang goreng ke dalam mulut bocah itu secara paksa. Tangan kecil yang berusaha menolak tidak menghentikannya. Wanita itu malah tertawa melihat bocah itu menangis dan terbatuk-batuk.

"Setan kau!"  bentak Firman. Tangan wanita itu di tepiskan dan pisang goreng yang memenuhi mulut bocah itu di keluarkannya dengan paksa.

Pakaian bocah itu juga di bersihkan Firman dari tanah, sebelum beralih pada wanita yang masih berdiri di hadapannya.

Satu pisang goreng diatas tanah sengaja di injak, lalu diambil dan di masukkan ke dalam mulut wanita itu secara paksa.

"Biadap kau!" Tidak cukup satu pisang goreng saja, satu lagi pisang goreng yang sengaja di injak-injak di masukkan lagi ke dalam mulut wanita itu sampai mulutnya penuh dengan pisang goreng yang bercampur tanah.

"Ini yang kau mau kan?" bentak Firman setalah hatinya puas.

Wanita itu terduduk di atas tanah sambil menangis keras, meminta simpati pada orang-orang yang hanya menonton saja tanpa ada satu pun yang menolongnya.

"Pergi! Sebelum kau mati di tanganku!" bentak Firman mengancam wanita itu.

Tanpa membuang waktu, wanita itu pun segera berdiri dan berlari dari sana sambil terus menangis.

Firman memijat pelipis, tidak habis pikir dengan wanita tadi. Sekajam dan sekotor dirinya, ia tidak akan tega melakukan perbuatan yang di lakukan wanita tadi terhadap bocah ini.

"Hiks...hiks...Yayah. Hiks...hiks," tersendat-sendat tangis bocah itu. Kedua telapak tangan di gunakan menutup mata karna ketakutan.

"Sudah, jangan nangis lagi," bujuk Firman seraya menggondong bocah itu. Lalu langkah di ayunkan menuju mobil yang masih terparkir di bahu jalan.

"Kenapa kau bawa lagi bocah itu?" tanya Jack menyambut kehadiran Firman yang baru masuk ke dalam mobil bersama bocah itu.

"Kau tidak lihat? Bocah ini hampir mati tersedak karna wanita setan itu!"

"Masalah kau apa? Mau dia mati tersedak. Mati tercekik. Mati tergantung. Masalah kau apa? Dia bukan anak kau, kan?" omel Jack.

Firman tidak lagi membalas. Tangannya sibuk mengusap punggung bocah itu gara tangisnya reda.

"Ingat, Man! Besok kita mau jual juga bocah ini. Apa bedanya dengan kau tinggalkan dia sekarang?" Jack masih belum puas hati.

Firman masih diam, mengabaikan omelan pria berkulit sawo matang itu.

"Kau kenapa sebenarnya, Man?" Hampir menangis Jack bicara, karna geram dengan sahabatnya yang malah menulikan telinga.

"Sssst. Bocah ini demam." Firman memberi isyarat Jack agar diam.

"Aaaaaaa!" Teriak Jeck. Sengaja biar bocah itu bangun sekalian.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!