Di depan sebuah rumah megah, Seorang gadis melangkah dengan wajah berseri-seri, Tangannya menggenggam tas kecil berwarna merah. Sesampainya di depan pintu, ia menekan pin dengan hati berbunga-bunga.
"Leon pasti di rumah saat ini," gumamnya pelan, lalu ia membuka pintu dan melangkah masuk.
Begitu memasuki ruang tamu, pandangannya seketika tertuju pada kekacauan yang tidak pernah ia bayangkan. Pakaian wanita berserakan di lantai, menyatu dengan sepatu bertumit yang tergeletak tak beraturan. Di lorong yang menuju kamar, tergeletak pula pakaian dalam—semua itu seperti serpihan kisah yang hancur. Gadis itu terdiam, menahan emosi yang bergejolak, tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Tak lama kemudian, langkah berat terdengar dari lorong. Seorang pria muncul, mengenakan jubah tidur, matanya menatap tajam. Gadis itu, dengan suara hampir pecah, menyuarakan keheranannya,
"Leon, apa semua ini?"
Tak lama kemudian, dari dalam salah satu kamar, seorang wanita muncul dengan langkah pasti. Tubuhnya hanya dibalut dengan selimut tebal.
ia berdiri di samping Leon dengan senyum yang terlatih.
Gadis itu, tak mampu menahan rasa sakit dan kebingungan, bertanya dengan nada serak,
"Kau... siapa? Apa yang kau lakukan di sini?"
Pria itu menghela napas, lalu dengan tenang menjawab, "Karena kau telah datang, aku tidak akan menyembunyikan apa-apa darimu lagi. Namanya Selena. Dia adalah tunanganku, Jade Valencia." Leon menatap Jade dan kemudian beralih ke Selena.
"Hai, Jade, Leon mengatakan kalian akan menikah dua minggu lagi. Maafkan semua yang terjadi. Aku dan Leon sebenarnya sudah lama saling mencintai. Jangan khawatir, aku akan segera pergi. Urusan kita telah selesai!"
Jade menatap tajam ke arah Leon dengan tajam. "Leon Harrington, katakan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Jade dengan suara bergetar, antara marah dan sedih.
"Hubungan kami sudah cukup jauh, seperti yang kau lihat. Kalau kau masih ingin menikah denganku, aku bisa menuruti keinginanmu. Tapi aku tidak bisa memberi hatiku padamu, karena hatiku telah menjadi miliknya."
Kata-kata itu menghantam Jade lebih keras daripada pukulan fisik. Matanya yang sudah dipenuhi air mata kini berkabut oleh luka yang semakin dalam. Tangannya bergetar, namun ia tetap melangkah mendekati Leon. Tanpa berpikir panjang, tangannya terayun dengan penuh emosi.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Leon, membuat kepala pria itu sedikit menoleh ke samping. Ruangan yang tadinya hanya diisi oleh ketegangan kini dipenuhi dengan dentuman emosi yang tak terbendung.
Air mata akhirnya mengalir deras di pipi Jade, namun tatapannya tetap tajam. Ia menggertakkan giginya sebelum akhirnya berteriak penuh amarah,
"Kalau kau mencintai wanita lain, kenapa melamarku dan memberiku janji-janji palsu? Apakah bersamaku membuatmu terhina dan menderita? Lalu, apa artinya kita bersama selama ini kalau kau tidak bisa menjaga hatimu!"
Suara Jade bergetar di antara isakannya, namun setiap kata yang keluar dipenuhi dengan luka yang nyata. Leon tetap diam sesaat sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Aku menyesalinya," katanya, kali ini suaranya terdengar lebih pelan, seperti bisikan di tengah badai. "Tapi semua sudah terlanjur. Karena kau sudah tahu, aku rasa kau pasti tidak akan sudi menikah denganku."
Jade menatap Leon dengan penuh kebencian. Tangan kecilnya merogoh tas yang ia bawa, menarik keluar setumpuk undangan pernikahan mereka yang telah dicetak dengan indah. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat kertas-kertas itu sebelum akhirnya melemparkannya ke udara dengan penuh kemarahan.
"Aku membatalkan pernikahan ini! Leon Harrington, aku membencimu!"
Suara Jade menggema di seluruh ruangan, memenuhi setiap sudut dengan kepedihan yang tidak bisa dihapus begitu saja. Tubuhnya bergetar karena luapan emosi, matanya yang berkaca-kaca menatap pria yang dulu sangat ia cintai, namun kini hanya menyisakan luka.
Tanpa pikir panjang, tangannya meraih vas bunga kristal yang terletak di atas meja. Dengan penuh kemarahan, ia melemparkannya ke lantai.
Brak!
Suara pecahan vas menggema, serpihan kaca berhamburan ke segala arah. Seakan-akan menggambarkan hatinya yang kini juga telah hancur, berkeping-keping.
Jade menatap kekacauan di depannya dengan napas memburu. Hatinya sudah tidak bisa lagi menanggung sakit ini. Dengan langkah tegap, ia berbalik, menahan tangisnya agar tidak semakin pecah.
Tanpa menoleh sedikit pun, ia melangkah keluar, meninggalkan Leon dan kenangan yang telah berubah menjadi luka.
Selena menoleh ke arah Leon yang masih menatap kepergian Jade. Ia menyilangkan tangan di dada, matanya mengamati ekspresi pria itu yang seakan masih belum sepenuhnya tenang.
"Dia sudah pergi. Ini hasil yang kau inginkan," ucap Selena
Leon menghela napas pelan, lalu berbalik tanpa melihat Selena. "Dia harus pergi," jawabnya singkat sebelum melangkah menuju kamar lain.
Selena menatap punggung pria itu, merasa sedikit tidak puas dengan reaksinya.
"Apa kamu tidak menyesalinya?" tanya Selena, mencoba mengusik hati Leon.
Namun, tidak ada jawaban. Leon hanya terus berjalan, membuka pintu kamarnya, lalu menutupnya rapat-rapat seolah ingin mengurung dirinya dari segala perasaan yang berkecamuk.
Sementara itu, di dalam mobil yang melaju kencang, Jade menggenggam erat kemudinya. Air mata terus mengalir di pipinya, dan dadanya naik turun menahan amarah serta sakit hati yang membuncah.
"Leon Harrington, aku akan mengingat apa yang kau lakukan padaku. Aku membencimu sampai aku mati!" gumamnya dengan suara serak.
Tak lama, mobilnya memasuki halaman sebuah rumah mewah yang luas. Jade dengan tergesa melangkah masuk, masih dengan mata yang sembab dan wajah yang penuh emosi. Di ruang utama, tiga orang langsung menoleh ke arahnya—ayahnya, Marcus, ibunya, Sammy, dan saudari kembarnya, Jane.
Jane segera bangkit dari sofa dan menghampiri Jade dengan ekspresi cemas. "Jade, kamu sudah pulang. Apa yang terjadi? Kenapa menangis?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Jade mengusap air matanya sebelum berkata dengan suara tegas, "Jane, aku membatalkan pernikahan ini."
Ruangan itu langsung dipenuhi keheningan yang menegangkan. Marcus mengernyit, sementara Sammy memutar matanya dengan ekspresi tidak percaya.
"Membatalkan? Kau sedang bercanda?" tanya Marcus dengan nada tajam.
Sammy langsung menyusul dengan suara yang lebih sinis, "Jade, jangan menimbulkan masalah lagi! Sisa dua minggu sebelum acara, dan kau memilih membatalkan? Keterlaluan sekali! Bisa menikah dengan pria itu adalah keberuntunganmu. Dia seorang hakim yang tegas dan tangguh. Ke depannya, kita juga butuh dia."
"Apa artinya sebuah pernikahan kalau ada perselingkuhan dan pengkhianatan? Leon bukan pria yang tulus dalam hubungan asmara. Aku menolak menemuinya lagi dan aku akan tinggalkan tempat ini," jawab Jade, lalu berbalik menuju kamarnya.
Marcus menghela napas panjang, seakan masih tidak percaya dengan ucapan putrinya. "Berselingkuh? Apa mungkin seorang hakim berselingkuh?" gumamnya, masih berusaha mencerna situasi.
Sammy mendengus sinis dan berkata dengan nada meremehkan, "Mungkin saja Jade mengarang cerita. Dia paling suka berbohong. Dulu dia juga yang tergila-gila pada hakim itu."
Beberapa saat kemudian, suara koper yang diseret terdengar di tangga. Jade melangkah menuju pintu utama dengan mata yang penuh keteguhan.
Jane buru-buru menghampirinya, mencoba menahan kepergiannya. "Jade, jangan pergi! Apa pun masalahnya, pasti ada penyelesaiannya," bujuknya dengan nada khawatir.
Jade menatap saudari kembarnya dengan lembut, namun penuh ketegasan. "Jane, aku tidak bisa tinggal di sini. Aku tidak ingin mendengar semua tentangnya. Melupakan dia dan menyembuhkan diri adalah tujuan utamaku."
Sebelum Jane bisa membalas, suara tajam Sammy terdengar. "Kalau kau pergi, maka jangan pernah kembali."
Jade berhenti sejenak, menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Ma, putrimu sedang terluka. Mama bukannya menghiburku, tapi malah bicara seperti itu?" suaranya bergetar, tetapi ada kekecewaan yang jelas di sana.
Sammy mengangkat dagunya dengan angkuh. "Pernikahan yang sudah tersebar tiba-tiba dibatalkan? Kejadian ini akan mempermalukan keluarga kita. Bagaimana lagi ayahmu dan aku bisa berhadapan dengan para pebisnis lainnya?"
Jade tertawa sinis. "Jadi ini semua tentang reputasi kalian? Bukan tentang kebahagiaanku?"
5 Tahun Kemudian
Malam yang dingin semakin kelam. Hujan deras mengguyur tanpa henti, menciptakan genangan di jalanan sempit gang yang gelap itu. Kilatan petir menerangi sesaat, menampakkan wajah ketakutan seorang gadis yang tengah berlari dengan sisa tenaganya. Napasnya tersengal, kakinya yang telanjang terluka karena menginjak bebatuan tajam, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin melarikan diri.
Di belakangnya, lima pria berwajah kasar dan bertato terus mengejar dengan tawa merendahkan.
"Hei, Cantik! Jangan lari!" teriak salah satu dari mereka dengan suara serak, seakan menikmati ketakutan gadis itu.
Gadis itu menggigit bibirnya, menahan isak tangis yang hampir pecah. Matanya terus mencari jalan keluar, tetapi gelapnya gang dan hujan yang semakin deras membuatnya sulit melihat dengan jelas. Langkahnya tersendat, dan dalam sekejap—
Bruk!
Ia tergelincir.
Tubuhnya terhempas ke tanah yang basah dan berlumpur. Rasa sakit menjalar dari kedua lututnya yang terbentur keras, tetapi ia tetap berusaha bangkit. Namun, sebelum ia bisa berdiri, lima pria itu sudah mengelilinginya dengan tatapan penuh niat jahat.
"Akhirnya kau jatuh juga," ujar salah satu dari mereka sambil terkekeh.
Dengan sigap, dua pria langsung menahan kedua tangannya, mencengkeram erat hingga Gadis itu tak bisa bergerak. Ia menjerit ketakutan, tubuhnya menggigil karena dingin dan rasa ngeri yang menjalar di seluruh tubuhnya.
"Lepaskan aku!" suaranya bergetar, tetapi pria-pria itu hanya tertawa.
"Mau ke mana? Malam-malam begini, hujan sedingin ini... bukankah lebih menyenangkan kalau kita bersenang-senang?" pria yang tampak lebih tua mendekat, wajahnya menjijikkan di bawah temaram lampu jalan yang redup.
Tangannya meraih bagian atas dress putih yang ia kenakan, lalu dengan sekali tarik—
Brett!
Kain itu robek begitu saja, menampakkan kulit pucat gadis itu yang mulai membiru karena dinginnya malam. Gadis itu menjerit dan mencoba menutupi tubuhnya, tetapi pria-pria itu semakin menindihnya dengan kasar.
Salah satu dari mereka menunduk, mengambil sesuatu dari tanah—dompet kecil yang terjatuh dari saku dress gadis tersebut. Ia membukanya, kemudian membaca isi kartu identitas di dalamnya.
"Jane Valencia... namanya secantik wajahnya," gumamnya dengan seringai mengerikan.
"Tidak, tolong! Lepaskan aku!" Jane meronta sekuat tenaga, tetapi percuma.
Pria yang lebih muda, dengan senyum bengis di wajahnya, menekan kedua kaki Jane ke tanah dengan paksa.
"Jangan berontak. Layani kami dengan baik, dan mungkin aku akan membayarmu sesuai dengan pelayananmu," bisiknya dengan suara penuh hinaan.
Jane ingin berteriak lagi, tetapi hujan deras dan angin kencang menelan suaranya. Ia menangis, ketakutan dan pasrah, tetapi mereka tidak peduli.
Dengan buas, mereka merobek sisa kain yang membalut tubuhnya hingga Jane tak lagi memiliki sehelai benang pun untuk menutupi dirinya.
"Aahh!" jeritannya menggema di malam itu, memenuhi gang sepi yang tak seorang pun mendengar.
Kelima pria itu tertawa, menikmati jeritan dan air mata gadis malang itu. Mereka memperlakukannya dengan kasar, bergantian merusak harga dirinya tanpa belas kasihan.
Jane menangis, tubuhnya terasa sakit luar biasa. Kedua tangannya masih ditahan erat, sementara mereka terus melakukan hal menjijikkan itu.
Hujan yang turun deras tidak mampu menyamarkan suara tawa mereka, juga tidak bisa menyapu bersih dosa yang mereka lakukan malam itu.
Tubuh Jane yang lemah hanya bisa menggigil, menerima semua rasa sakit yang tak terperi.
Hujan masih turun dengan deras ketika kelima pria itu akhirnya puas melampiaskan kebiadaban mereka. Nafas mereka terengah-engah, tetapi wajah mereka dipenuhi senyum puas. Jane terbaring lemah di atas aspal basah, tubuhnya penuh luka dan lebam.
Salah satu pria, yang tampaknya menjadi pemimpin mereka, meludah ke tubuh gadis malang itu dengan jijik.
"Uang ini milikmu!" katanya dengan nada mengejek sambil melempar selembar uang sepuluh dolar ke wajah Jane yang sudah tak berdaya.
Tawa mereka masih terdengar di tengah hujan sebelum akhirnya langkah kaki mereka menghilang di balik gelapnya gang. Mereka pergi begitu saja, meninggalkan Jane dalam kondisi yang mengenaskan—hancur, terluka, dan sekarat.
Darah mengalir deras dari tubuh bagian bawahnya, bercampur dengan air hujan yang terus mengguyur. Jane ingin menangis, tapi air matanya seakan sudah habis. Seluruh tubuhnya terasa mati rasa, hanya menyisakan nyeri yang tak tertahankan.
Dengan sisa tenaga, tangannya yang gemetar meraba tanah, mencari sesuatu. Jemarinya yang dingin akhirnya menemukan ponselnya yang basah karena hujan. Ia berusaha keras mengangkatnya, bahkan sekadar menekan layar terasa begitu sulit.
Dengan napas yang terputus-putus, Jane membuka daftar kontaknya. Pandangannya kabur, kelopak matanya terasa berat, tapi ia masih bisa melihat satu nama yang selalu memberinya ketenangan—Jade.
Adik yang paling ia percaya. Satu-satunya orang yang bisa ia andalkan.
Tangan Jane bergetar saat hendak menekan tombol panggil, tetapi sebelum ia bisa melakukannya, tubuhnya semakin melemah. Rasa sakit begitu menusuk, seakan menyedot sisa kehidupannya.
"Jade... Aku tidak sanggup lagi... Sakit sekali... sangat sakit..."
Suara hatinya menggema di dalam kepalanya. Ia ingin berbicara, ingin berteriak, tapi suaranya sudah tak mampu keluar.
"Tolong... balas dendam untukku...dan... aku bersalahmu, Maafkan aku, Adikku!"
Dalam detik terakhir, kelopak matanya perlahan menutup.
Panggilan keluar belum sempat ia tekan.
Dan di tengah hujan yang terus mengguyur, napas Jane pun terhenti.
Tidak tahu apa alasannya, Ia meminta maaf pada adik kembarnya, seakan-akan ia pernah melakukan kesalahan terhadap adiknya itu!
Kanada, tengah malam.
Di dalam sebuah apartemen sederhana, seorang gadis tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Nafasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya meskipun udara malam terasa dingin. Ia merasakan sesuatu yang aneh—sebuah firasat buruk yang membuat dadanya sesak.
Gadis itu adalah Jade, adik Jane, yang telah meninggalkan Los Angeles lima tahun lalu.
Tangannya menyentuh dadanya yang berdebar kencang. Rasa takut yang tak bisa dijelaskan merayap dalam dirinya.
"Kenapa... kenapa aku merasa seperti mendengar suara Jane? Seperti dia sedang memanggilku... Suaranya penuh kesakitan... dan balas dendam? Apa yang sebenarnya terjadi?" gumamnya pelan, masih dalam kebingungan.
Dengan cepat, ia meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jemarinya bergerak lincah mencari kontak Jane dan segera menekan nomor itu.
Namun—
"Nomor yang Anda tuju tidak aktif atau berada di luar jangkauan."
Jade mengerutkan kening, jantungnya semakin berdebar tidak karuan.
"Larut malam begini... seharusnya Kakak sudah tidur. Tapi... kenapa perasaanku tidak enak sekali? Apakah terjadi sesuatu?" pikirnya.
Kecemasan semakin menguasainya. Tanpa berpikir panjang, ia segera bangkit dari tempat tidur, menarik koper kecil dari bawah lemari, dan mulai memasukkan beberapa pakaian ke dalamnya.
"Selama ini aku tidak pernah merasakan firasat seperti ini... Kenapa sekarang tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres dengan Kakak? Mudah-mudahan aku hanya berlebihan... Tidak! Aku harus memastikan keadaannya!"
Sambil menggigit bibir, ia segera menekan nomor keluarganya. Dering panjang terdengar sebelum akhirnya panggilan tersambung.
"Hallo? Ada apa? Kau tidak lihat sudah pukul berapa?" suara wanita di seberang terdengar gusar.
Jade menelan ludah. "Ma, di mana Kakak?" tanyanya cepat.
Sejenak, ada keheningan. Lalu, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih ketus.
"Apa kau sudah gila? Sekarang sudah pukul 2 pagi! Tentu saja Jane sudah tidur! Jangan mengira dia sepertimu yang suka berkeluyuran di luar!" ujar Sammy, ibunya, dengan nada dingin sebelum memutuskan panggilan.
Tuut... tuut... tuut...
Jade terdiam. Ponselnya masih menempel di telinganya, tetapi panggilannya sudah terputus.
"Hallo? Ma?" panggilnya, tapi tidak ada jawaban.
Jade menggeram, menatap layar ponselnya dengan frustrasi.
"Kenapa cepat sekali memutuskan panggilanku?" gumamnya, hatinya semakin tak tenang.
Setelah cuaca kembali cerah, Jade langsung menuju bandara. Ia berulang kali mencoba menghubungi keluarganya, tetapi tak satu pun panggilannya dijawab.
"Kenapa tidak ada yang menjawab? Papa ke mana? Mama juga tidak mau mengangkat teleponku?" gumam Jade sambil menarik kopernya, berjalan menuju resepsionis.
Los Angeles
Sebuah penemuan mayat menggemparkan warga. Lokasi kejadian telah dipasangi garis polisi, dan orang-orang berkerumun di sekitar area tersebut. Tim forensik dan polisi tampak sibuk memeriksa jasad seorang wanita yang sudah kaku dan pucat.
"Korbannya bernama Jane Valencia, usia 26 tahun. Diperkirakan kematiannya sudah lebih dari tujuh jam," ucap salah satu petugas kepolisian.
"Segera cari pihak keluarganya. Bawa jasadnya untuk diautopsi!" perintah seorang perwira polisi.
Tak lama kemudian, berita tentang penemuan mayat itu tersebar luas, mengungkap identitas korban.
---
Di sebuah kantor yang luas dan rapi, seorang pria bernama Leon duduk sambil menatap layar laptopnya. Berita siang itu terpampang jelas di hadapannya.
"Jane? Bagaimana bisa ini terjadi?" Leon bergumam dengan ekspresi tak percaya.
Seorang pemuda tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa.
"Tuan, apakah Anda sudah melihat berita siang ini?" tanyanya.
"Jane Valencia menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan… Berita buruk bagi mereka," jawab Leon seraya menutup laptopnya.
"Apakah Nona Jade sudah tahu? Dia pasti tidak bisa menerimanya… Mereka adalah saudara kembar," ucap pemuda itu dengan raut cemas.
Leon menghela napas panjang. "Jacob, awasi keluarga Valencia. Cari tahu sejauh mana kasus ini berkembang. Aku ingin tahu hasil autopsinya. Dan pastikan tidak ada yang tahu bahwa kita menyelidikinya," perintahnya tegas.
"Baik, Tuan," jawab Jacob sebelum pergi.
Leon kembali memejamkan matanya sejenak. Jade… Kakakmu meninggal dengan mengenaskan.
Tak lama kemudian, Leon meninggalkan kantornya.
---
Di lokasi kejadian, Leon berdiri di tengah area yang masih dipenuhi garis polisi. Matanya menyapu setiap sudut gang sempit itu, memperhatikan setiap detail yang mungkin menjadi petunjuk.
"Semalam hujan deras. Gang ini jarang dilewati warga… Tidak ada rekaman CCTV… Pelaku bisa bebas melakukan kejahatan. Tapi tidak mungkin tidak ada petunjuk sama sekali… Hujan bisa saja menghilangkan bukti, tapi pasti ada sesuatu yang tertinggal," pikirnya dalam hati.
Sementara itu, di tempat lain, Marcus dan Sammy duduk santai di ruang tamu sebuah rumah.
"Kenapa Jade terus menghubungi kita? Apa kau tidak bilang padanya agar berhenti menelepon?" tanya Marcus.
"Dia mengira Jane tidak ada di rumah," jawab Sammy santai.
Marcus mengernyit. "Kenapa Jane belum bangun? Apa dia masih tidur?"
"Iya. Biarkan saja dia tidur lebih lama. Jane sangat penurut, berbeda jauh dengan Jade yang keras kepala dan bertindak sesuka hati," jawab Sammy dengan nada meremehkan.
Tak lama kemudian, ponsel Marcus berdering. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut.
"Nomor siapa ini? Apa Jade sengaja menggunakan nomor lain?" tanyanya kesal.
"Tidak perlu menjawab panggilan itu. Biarkan saja!" kata Sammy tegas.
Namun, panggilan itu terus berdering tanpa henti, baik di ponsel Marcus maupun Sammy. Meski merasa terganggu, mereka tetap mengabaikannya.
Satu jam kemudian, suara bel rumah mereka berbunyi nyaring. Saat Marcus membuka pintu, ia dikejutkan oleh kedatangan pihak kepolisian. Jantungnya berdegup kencang, firasat buruk langsung menyergap benaknya.
Begitu mendengar kabar yang menimpa putri kesayangan mereka, tubuh Sammy melemas. Wajahnya pucat, napasnya memburu, lalu dalam sekejap ia jatuh pingsan. Marcus dengan sigap menangkap tubuh istrinya sebelum ia terjatuh ke lantai.
***
Setelah menempuh penerbangan selama enam jam, Jade akhirnya tiba di Bandara Los Angeles.
Matanya menelusuri keramaian bandara, mencari seseorang atau sekadar petunjuk arah. Suasana hiruk-pikuk khas LAX menyambutnya—suara pengumuman, langkah tergesa para penumpang, serta deretan koper yang meluncur di ban berjalan.
Jade merapatkan jaketnya, lalu melangkah mantap menuju pintu keluar. Hatinya gelisah karena kakaknya tidak bisa dihubungi.
Saat tiba di luar bandara, Jade baru saja menarik koper dari bagasi ketika ponselnya bergetar. Nomor yang tidak dikenal terpampang di layar. Dahinya berkerut, tetapi ia tetap menjawab.
"Halo," sahutnya dengan nada sedikit ragu.
Hening sejenak sebelum suara seorang wanita terdengar dari seberang. "Apakah Anda Nona Jade Valencia, adik dari korban, Nona Jane?"
"Korban? Ada apa dengan kakakku?" suaranya mulai bergetar, napasnya tercekat di tenggorokan.
Beberapa detik berikutnya terasa begitu panjang. Saat wanita di ujung telepon menjelaskan situasi sebenarnya, tubuh Jade mendadak terasa lemas. Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya.
"Jane... kenapa kau pergi begitu cepat?" suaranya lirih, hampir tak terdengar, bibirnya bergetar hebat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya sebelum jatuh membasahi pipinya.
Ruang Autopsi
Marcus dan Sammy berjalan masuk ke dalam ruangan dengan langkah berat. Mata mereka masih sembab akibat tangisan yang terus mengalir sejak mendengar kabar buruk itu. Udara dingin di ruangan itu semakin menambah rasa nyeri di dada mereka.
Di hadapan mereka terbujur sebuah tubuh yang tertutup kain putih. Sammy menatap lekat-lekat, menolak kenyataan yang ada di depannya. Ia menggelengkan kepala keras, air mata kembali tumpah.
"Tidak... aku tidak mau lihat. Jane ada di rumah. Dia tidak mungkin ada di sini!" suaranya penuh kepanikan, seolah berharap ada kesalahan.
Marcus menelan ludah, berusaha menguatkan diri meskipun kedua tangannya gemetar hebat. Dengan perlahan, ia meraih kain putih itu dan menariknya ke bawah.
Saat wajah pucat Jane terlihat, napas Marcus tertahan. Tubuhnya membeku. Seketika, tangisan pecah di ruangan itu.
"Jane... tidak...!" suara mereka bergema, dipenuhi kesedihan dan ketidakpercayaan.
Di saat yang sama, Jade berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan memilukan itu dengan mata berkaca-kaca. Tangannya mengepal erat, jemarinya bergetar menahan emosi.
Dalam hatinya, ia bersumpah.
"Jane, siapa pelakunya? Aku akan mencarinya sampai dapat."
Ia melangkah pergi dengan tatapan penuh tekad. Air mata masih mengalir, tetapi kini bukan hanya kesedihan yang memenuhi hatinya—melainkan dendam yang membara.
"Siapa pun kalian, aku tidak akan membiarkan kalian lolos," gumamnya penuh kemarahan.
Di kantor polisi, Jade dan kedua orang tuanya duduk di ruangan yang berbeda, memberikan keterangan. Mata mereka sembab, wajah mereka dipenuhi kesedihan. Ruangan itu terasa begitu dingin dan mencekam.
Seorang petugas polisi yang duduk di hadapan Jade membuka berkasnya, lalu menatapnya dengan ekspresi serius. "Korban mengalami kekerasan seksual sehingga kehilangan banyak darah. Selain itu, ada luka cukup parah pada bagian vitalnya. Diperkirakan, korban meninggal tak lama setelah kejadian."
Jade membeku di tempat. Tangannya mencengkeram lengan kursinya, kukunya hampir menembus kulitnya sendiri. Dadanya sesak. Ia tidak sanggup membayangkan penderitaan yang dialami Jane di saat-saat terakhirnya.
Sebuah foto diletakkan di atas meja. Foto Jane—pucat, penuh luka lebam, dan terbujur kaku.
Air mata kembali mengalir di wajah Jade. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang hampir pecah.
"Apakah tersangka telah ditemukan? Atau ada seseorang yang dicurigai?" suaranya terdengar serak, tetapi nada tegas dalam suaranya tidak bisa disembunyikan.
Polisi itu menghela napas. "Kami masih menunggu hasil autopsi. Sampel darah dan sperma sedang kami periksa untuk mengidentifikasi pelaku."
Di saat yang sama, Leon sedang berdiri di ruangan sebelah memperhatikan Jade yang sedang menunduk sedih.
"Tuan, apakah ingin bertemu dengan keluarga korban?" tanya seorang polisi yang berdiri di sampingnya.
"Tidak perlu! Kedatangan saya hanya ingin mendengar bagaimana pihak kepolisian menangani kasus ini," jawab Leon." Saya berharap kalian bisa berusaha semaksimal mungkin!" ucapnya tegas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!