NovelToon NovelToon

Istri Yang Disia Siakan

suami ku pilih kasih

“Mas, tolong belikan HP untuk Amira, Mas,” pinta Anita yang entah sudah berapa kali memohon hal itu.

“Gak ada uang. Udah, pakai punyamu aja,” jawab Arman sambil membuka sepatunya.

“Tapi, Mas, HP-ku kameranya rusak. Amira gak bisa ikut Zoom meeting, Mas. Gurunya sudah beberapa kali mengingatkan,” lagi-lagi Anita memohon kepada suaminya.

“Udah, ah! Mas capek. Pulang kerja langsung disodorin masalah,” jawab Arman lalu berbalik badan dan masuk ke dalam rumah.

“Om... makasih ya, HP-nya bagus!” seru Salma yang baru saja datang bersama ibunya, Dewi, adik Arman. Ia menenteng plastik dari toko HP terkenal.

Anita merasa hatinya disayat sembilu. Bagaimana mungkin suaminya bisa membelikan HP untuk keponakannya yang baru berusia 10 tahun, sedangkan Amira yang sudah 15 tahun tidak dibelikan HP, padahal Amira sangat membutuhkannya?

Anita masuk ke kamar lalu membanting HP.

“Oke, Mas. Kalau itu mau kamu, aku sudah lelah. Lagi dan lagi kamu terus mendahulukan kepentingan keluargamu,” batin Anita.

Arman masuk ke kamar. “Anita, kamu kok gak bikinin aku kopi?” ucapnya seolah tak merasa bersalah.

“Mas, kenapa tega? Aku seperti pengemis minta uang buat HP Amira, sedangkan kamu dengan enteng membelikan HP untuk Salma,” ujar Anita, matanya nyalang menatap Arman.

“Oh, itu... Salma merengek terus sama Dewi minta HP baru. Suaminya belum ngirim uang, jadi Ibu nyuruh aku membelikan HP untuk Salma,” jawab Arman santai, seolah hal itu biasa saja.

“Oh, terus anakmu itu gak penting, gitu? Jahat kamu, Mas!”

“Tapi Ibu terus maksa aku buat beliin HP Salma. Bisa apa aku? Dia yang melahirkan dan membesarkan aku. Aku harus nurut sama Ibu.”

“Tapi, Mas, Salma kan punya ayah! Dia bukan anak yatim piatu. Dia tanggung jawab orang tuanya, Mas!”

“Iya, aku ngerti, Nita. Tapi aku gak bisa nolak perintah Ibu.”

“Iya, tapi kamu dengan entengnya menolak permintaanku. Padahal aku minta bukan untukku, tapi untuk anakmu sendiri, darah dagingmu, Mas!” ucap Anita, menekankan kata “darah daging” agar Arman sadar dan mengerti betapa sakitnya diabaikan.

“Sudahlah, aku lelah. Aku mau keluar dulu. Capek aku dengar ocehanmu,” ucap Arman lalu pergi meninggalkan Anita.

Anita membatin sambil melihat HP usangnya. Ia membuka aplikasi NovelToon.

“Wow, ada uang lima juta! Alhamdulillah, ya Allah. Ini rezekimu, Amira, anak Mama,” gumam Anita sambil menciumi HP usangnya.

Di luar, Arman termenung.

“Emang apa salahku? Aku cuma ingin berbakti pada ibuku. Dia yang melahirkan dan membesarkanku. Anita siapa? Dia ketemu aku setelah aku bisa menghasilkan uang. Selamanya aku gak akan bisa nurutin permintaannya,” pikir Arman.

---

Pagi datang. Anita sibuk sendiri di dapur. Ibu mertuanya, Laksmi, sudah jarang turun ke dapur sejak ada Anita. Sudah sekitar 16 tahun ia tak pernah lagi mengurus dapur. Sementara itu, Dewi kerjaannya hanya merias diri, padahal suaminya tidak ada di rumah.

“Anita!” suara melengking ibunya terdengar seperti geledek.

“Apa, Bu?” jawab Anita.

“Ini kenapa cuma ada sayur kangkung dan tempe doang?” ucap Laksmi dengan muka merah padam.

“Aku kemarin beli tempe, Bu. Sedangkan kangkung aku petik di pinggir sawah. Uang dapur udah habis, Bu,” jawab Anita.

“Arman...!” teriak Laksmi.

Arman keluar kamar dengan pakaian rapi, siap untuk bekerja. “Ada apa sih, Bu, teriak-teriak?” tanyanya sambil merapikan bajunya.

“Si Anita ini boros banget! Masa uang dapur udah habis? Harusnya dua juta per bulan lebih dari cukup buat makan ayam setiap hari!”

“Anita, kenapa bisa begini?” tanya Arman.

Anita memandangi suaminya. “Mas lupa? Uang dua juta yang Mas kasih itu diambil lagi sama Mas. Katanya Dewi pinjam 500 ribu dan bakal diganti, tapi sampai sekarang belum diganti-ganti, Mas.”

“Oh, iya. Aku lupa,” jawab Arman.

“Dewi!” teriak Arman.

Dewi keluar masih dengan daster yang sama.

“Mana uang Mas yang kamu pinjam? Balikin sekarang! Kalau enggak, sampai akhir bulan kami dan Ibu bakal makan kangkung terus!”

“Bang Dani belum kirim uang, Mas,” jawab Dewi dengan alasan klise, seperti biasa. Pinjam uang, ujung-ujungnya gak bayar.

“Pakai uang kamu dulu, Nita,” perintah Laksmi.

“Mana ada uang aku, Bu? Aku aja ngandelin Bang Arman,” jawab Anita.

“Dasar menantu tak berguna! Coba dulu Arman nikah sama wanita karier, pasti hidupnya gak bakal serepot ini!” ucap Laksmi tanpa sedikit pun mempertimbangkan perasaan Anita.

Anita pergi ke dapur. Percuma berdebat dengan ibu mertuanya, ujung-ujungnya dia yang disalahkan. Di dalam dapur, Anita menangis.

“Kenapa aku tak dihargai? Hanya karena aku ibu rumah tangga? Hanya karena aku memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, dan mengurus semua kebutuhan penghuni rumah? Apa setidak berharganya seorang ibu rumah tangga di mata mereka?”

“Kenapa aku tak dihargai? Apakah hanya karena aku lulusan SMP? Atau karena aku anak yatim piatu?”

“Andai tidak ada Amira, tak sudi aku tinggal di sini. Aku hanya ingin Amira hidup dengan keluarga utuh, punya ibu dan bapak. Aku tak ingin Amira sepertiku, sejak lahir hanya mengenal pengasuh panti.”

Arman datang ke dapur. Buru-buru Anita menyeka air matanya.

“Nih, aku tambah uang 200 ribu. Harus cukup sampai akhir bulan,” ucap Arman lalu pergi meninggalkan Anita tanpa bertanya:

“Apakah kamu baik-baik saja, istriku?”

“Kenapa kamu menangis, istriku?”

“Ceritakanlah padaku tentang masalahmu. Aku ini suamimu.”

Mengharapkan ungkapan seperti itu sepertinya hanya angan-angan Anita. Sesuatu yang sederhana, tetapi seolah tak mungkin terwujud.

Dewi datang ke dapur.

“Sini, aku minta uang 100 ribu.”

"uang apa?" tanya Anita sambil menyembunyikan uang yang diberikan Arman

"mas Arman tadi memberikan uang sama kamu 200.000 KA, sini aku minta 100.000"

"ga ada uangnya mau aku pakai buat makan 10 hari kedepan sebelum mas Arman gajihan"

"ibuuuu" teriak Dewi

Laksmi datang ke dapur "ada apasih teriak teriak" ucap Laksmi

"nih si Anita ga mau ngasihin duit ke aku Bu" adu Anita pada Laksmi

"Anita cepet kasihkan uangnya"

"tapi Bu ini uang untuk kita makan selama 10 hari Bu"

"pakai 100.000 makanya kamu jangan boros"

Anita mengeluarkan uang 200.000 dari sakunya

"ini ibu pegang aja uangnya, aku ga tanggung jawab kalau kita makan sama garam setiap hari" ucap Anita

Mata Dewi berbinar melihat itu

"urusan menyediakan makanan itu adalah urusanmu, " ucap Laksmi lalu pergi bersama Dewi ke ruang tengah

Anita mengepalkan tangannya

"ok akan ku buat kalian kelaparan, sekarang aku autor novel toon, saldoku sudah 5 juta, untuk makan aku dan Amira sudah lebih dari cukup" pikir Anita

Dia melanjutkan pekerjaan rumahnya, diam dan merenungi ketidak Adilan dirinya hanya membuat dia sakit hati dan sakit badan lebih baik bergerak agar hati dan pikiran terbuka, sambil mencerna beberpa ide yang muncul untuk dia jadikan tulisan.

bersambung

beli HP baru

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, Anita bersiap-siap keluar rumah. Amira belum pulang, sedangkan Laksmi tidur di kamar. Dewi juga berada di kamarnya seperti biasa, sibuk mengurus kukunya.

Dengan naik ojek, Anita pergi ke pasar. Pertama, ia menuju ATM untuk mengambil uang sebesar tiga juta rupiah, sedangkan dua juta rupiah lainnya ia simpan sebagai pegangan.

Ia kemudian pergi ke toko ponsel. Setelah tawar-menawar harga dengan Engko, pemilik toko ponsel, akhirnya Anita mendapatkan ponsel yang cukup bagus untuk anak sekolah.

"Amira, apa pun akan Mamah lakukan untukmu, Nak. Ada yang bilang anak perempuan adalah cinta kedua bagi seorang suami, tetapi tidak dengan Amira. Sejak kecil, Amira selalu diabaikan. Hanya aku yang peduli padanya," pikir Anita sambil menenteng ponsel barunya.

Setelah itu, Anita pergi ke warung nasi Padang. Ia membeli dua bungkus nasi Padang untuk dirinya dan Amira.

"Nak, hari ini kita akan makan enak. Kamu adalah kebanggaan Mamah. Sekarang Mamah sudah bisa menghasilkan uang. Hanya Amira yang Mamah sayangi," pikir Anita.

Lalu, ia melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.

"Belum ada yang keluar kamar. Heran, betah sekali mereka di dalam kamar. Sebenarnya mereka sedang apa, ya?" pikir Anita penasaran.

Setibanya di rumah, Anita juga masuk ke kamarnya. Selama satu jam, ia menulis cerita rumah tangga dengan ponselnya. Meskipun beberapa kali novelnya ditolak, ia tidak menyerah. Selain karena hobi, ia juga ingin menghasilkan uang. Setiap kali ditolak, ia semakin giat belajar dan menerapkan setiap tips kepenulisan yang ia pelajari.

Pukul dua siang, Amira pulang.

"Nak, sudah pulang?" tanya Anita.

"Mah, bagaimana? Bapak mau membelikan aku ponsel atau tidak?"

"Bapakmu belum punya uang, Nak."

"Belum punya uang, kok, bisa membelikan Salma ponsel, Mah?"

"Dari mana kamu tahu?" tanya Anita penuh selidik.

"Salma sendiri yang cerita, Mah."

"Oh, begitu. Ya sudah, jangan kecil hati, Nak. Mungkin nanti Bapakmu akan membelikan ponsel untukmu," ucap Anita sambil mengelus rambut Amira.

"Mamah punya hadiah untuk Amira," ucap Anita dengan senyum penuh haru.

"Apa, Mah?" jawab Amira.

Anita lalu memberikan sebuah kotak ponsel.

"Mamah, ini untuk Mira?"

"Iya, Sayang. Ini buat kamu. Mamah beli untukmu. Pergunakan dengan baik, ya. Mamah akan kecewa jika kamu menggunakan ponsel untuk hal-hal yang tidak berguna."

"Iya, Mah," jawab Amira lalu memeluk Anita erat. Air mata haru menetes. Akhirnya, ia tidak perlu menyisihkan uang lagi untuk pergi ke warung internet jika ada tugas. Tanpa Anita tahu, Amira sering tidak jajan hanya untuk bisa mengerjakan tugasnya.

Amira adalah anak yang pandai, selalu juara kelas. Namun, apakah itu membuatnya menjadi cucu kesayangan Laksmi? Jawabannya tidak. Kenapa? Karena Amira adalah anak Anita.

"Ngapain jadi juara kelas kalau ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga?"

Itulah kalimat yang sering diucapkan oleh Laksmi.

"Nak, kita makan dulu, tapi makannya di sini," ucap Anita.

Lalu, Anita mengeluarkan dua bungkus nasi Padang dengan lauk rendang.

"Wah, ini makanan kesukaanku, Mah!"

"Ya sudah, makanlah, Nak. Habiskan, ya. Besok Mamah belikan lagi kalau kamu suka."

Kunyahan Amira terhenti. Anita melihatnya dengan heran.

"Kenapa, Nak? Tidak enak, ya?"

"Tidak, Bu. Ini enak sekali."

"Lalu kenapa, Nak?"

"Aku ingat hari Minggu kemarin, Nenek, Tante Dewi, Salma, dan Bapak makan nasi Padang dengan rendang."

"Lalu, kamu ikut menyamperin mereka tidak, Nak?" tanya Anita, mulai merasa tidak enak.

"Aku menyamperin."

"Lalu?" ucap Anita penasaran.

"Bapak menyuruhku pulang. Katanya, untukku akan dibungkus saja. Aku tidak diajak makan bersama, Bu. Padahal, waktu itu aku ingin sekali makan nasi Padang dengan rendang," ucap Amira dengan mata mulai berkaca-kaca.

Hati Anita terasa sakit, bagaikan luka yang disiram air garam.

"Tenang, Sayang. Selama ada Mamah, kamu mau makan rendang setiap hari pun Mamah akan belikan untukmu, Nak," ucap Anita sambil memeluk Amira.

"Sekarang kamu makan, ya, Sayang."

"Iya, Mah. Aku sayang Mamah."

"Mamah lebih sayang kamu, Nak."

Mereka berdua makan dengan tenang dan penuh haru, meskipun hati Anita tergores luka. Suaminya telah menginjak-injak kebahagiaan Amira.

Sore tiba, Arman pulang dengan wajah kelelahan. Sepertinya ia sedang menghadapi masalah besar.

"Anitaaa!" teriak Arman.

"Ada apa, Mas?"

"Ini kenapa masih tempe dan kangkung saja makanannya? Uang yang kuberikan ke mana?"

"Uangnya dipegang Ibu," jawab Anita.

"Kenapa kamu berikan ke Ibu?"

"Pusing aku, Mas. Uang dua ratus ribu dipinta lagi oleh Dewi seratus ribu. Lalu, kalau nanti makanannya itu-itu saja, mereka akan menyalahkan aku, Mas. Jadi, aku kasihkan semuanya ke Ibu," jawab Anita.

"Dewi!" teriak Arman.

Dewi keluar dari kamarnya.

"Ada apa lagi, Mas? Kenapa marah-marah?"

"Dewi, kenapa kamu ambil uangku?" hardik Arman.

"Mas, ngasih uang ke Mbak Anita, masa ke aku tidak? Tidak adil itu, Mas!"

"Tapi, itu uang untuk makan kita selama sepuluh hari ke depan, Dewi!"

"Ah, seratus ribu sebenarnya cukup, Mas, untuk makan kita sepuluh hari kalau dikelola dengan benar," jawab Dewi santai.

"Tuh, dengar, Nita. Katanya, seratus ribu cukup sampai sepuluh hari ke depan," ucap Arman.

"Ya iya, makanya aku kasih ke Ibu uangnya. Ibu kan pandai mengatur uang, Mas," jawab Anita.

"Lalu, kenapa sekarang makanannya masih seperti ini?" tanya Arman.

"Ya, karena Ibu tidak memberikan uang belanja ke aku, jadi aku masih menggunakan bahan makanan tadi pagi, Mas."

"Bu... Ibu... Ibu!" panggil Arman.

Laksmi keluar dari kamarnya dengan wajah malas.

"Bu, kasihkan Amira uang untuk belanja. Aku lapar, Bu, mau makan."

"Uang yang mana?" tanya Laksmi.

"Tadi uang dua ratus ribu yang aku kasih ke Anita, Bu."

"Sudah habis. Seratus ribu buat Dewi, seratus ribu lagi Ibu belikan daster. Dapat lima buah, nanti kamu bayarin cicilannya setiap minggu lima puluh ribu selama tiga bulan."

Arman meremas kepalanya. Pusing sekali dia. Arman memang pelit bin medit. Gajinya delapan juta, dua juta untuk Anita, dua juta untuk ibunya, satu juta untuk adiknya.

Uang dua juta yang dipegang Anita digunakan untuk membayar listrik, membeli sabun mandi, sabun cuci, beras, dan kebutuhan dapur lainnya. Amira kadang mendapat uang jajan, kadang tidak. Namun, Dewi sering meminjam uang ke Arman tanpa pernah mengembalikannya, padahal suaminya seorang pelaut yang pulang setahun hanya dua kali dan kadang tidak mengirim uang.

Arman pergi ke teras dan memesan makanan secara online untuk dirinya sendiri, tanpa memikirkan apakah Anita dan Amira sudah makan atau belum.

Tak lama kemudian, makanannya tiba. Arman makan di teras tanpa mengajak siapa pun.

Tiba-tiba terdengar teriakan Salma.

"Mamah, Kak Amira punya HP baru!" adu Salma kepada Dewi, ibunya.

Arman segera menuju kamar Amira. Di dalam, ia melihat Amira sedang belajar menggunakan ponselnya. Amira tampak sangat antusias menyalin informasi dari ponselnya ke buku catatan, hingga ia tidak menyadari kedatangan Arman.

"Wah, benar! Amira punya HP baru," ujar Dewi dari belakang Arman. "Gimana sih, Mas? Katanya nggak punya uang, tapi bisa beliin Amira HP?"

Amira baru sadar bahwa dirinya menjadi pusat perhatian. Ia segera bangkit dan merapikan buku pelajarannya.

"Mas lebih mengutamakan istri sekarang, ya?" ucap Dewi dengan nada marah.

"Ada apa ini?" tanya Laksmi yang tiba-tiba muncul.

Bersambung...

3 dia anak mu bukan

"Astaga, Arman! Kamu pelit banget sama Ibu. Tahu-tahunya kamu beliin HP buat Amira!" Nada suara Laksmi meninggi saat mengatakan itu.

"Iya, Bu! Mas Arman sekarang sudah nggak sayang sama Ibu. Ibu dan aku dibiarkan makan kangkung, sedangkan Mas Arman bisa beli HP buat Amira!" Dewi menambahkan api dalam pertengkaran.

Arman melirik ke arah Anita.

"Lho, memang kenapa kalau Mas Arman belikan HP untuk Amira? Amira kan anaknya," jawab Anita, ingin tahu lebih dalam reaksi mereka.

"Tapi buat apa Amira dibelikan HP? Kan HP Anita juga masih ada. Bisa gantian sama Anita," ujar Dewi.

"Arman, jelaskan! Kenapa Amira dibelikan HP, sedangkan kami dibiarkan makan kangkung?" ujar Laksmi.

"Aku nggak belikan HP untuk Amira, Bu," jawab Arman, bingung.

"Terus siapa yang belikan HP Amira? Nggak mungkin kan Anita?" ucap Laksmi.

"Mungkin saja, Bu, itu Anita. Mungkin aja selama ini Amira korupsi uang dapur dan membelikannya HP," Dewi memberi pendapat.

Laksmi menatap Anita tajam, penuh kemarahan.

"Benar juga! Pasti kamu nilep uang dapur, kan? Pantas saja kami hanya makan kangkung dan tempe!" ujar Laksmi.

"Benarkah itu, Anita?" ucap Arman dengan emosi.

"Hahahaha..." Anita tertawa.

Anita menatap Arman tajam. "Aku korupsi uangmu yang nggak seberapa itu? Hah! Pernah nggak kamu hitung kebutuhan rumah ini per bulan? Baiklah, aku akan buka satu per satu!"

"Listrik 455.000, ini struknya."

"Beras 50 kg 600.000, ini struknya."

"Sabun mandi, sabun cuci 150.000, ini struknya."

"Uang jajan Niken 5.000 × 20 hari \= 100.000."

"Sisa 700.000 dibagi 30 hari, kurang lebih 24.000 per hari."

"Uang 24.000 itu untuk beli lauk, makan tiga kali sehari. Dan kalian masih protes karena nggak makan enak? Tuh, kuli bangunan aja sekali makan 15.000 paling murah! Lalu apa yang bisa aku korupsi?"

Anita menatap Dewi tajam.

"Kenapa kamu mempermasalahkan Amira punya HP baru? Apakah aku protes saat Mas Arman membelikan Salma HP? Salma itu siapa? Hanya keponakan! Sedangkan Amira itu anak Mas Arman! Kamu kira siapa yang paling berhak dibelikan HP oleh Mas Arman, hah?"

"ya karena aku ini adik mas Arman, jadi mas Arman harus mementingkan aku ketimbang kamu hanya seorang istri"

"ok aku ga masalah di nomer duakan, karena aku sudah biasa di nomer duakan oleh mas Arman, tapi bagaimana dengan Mira, siapa Mira?, kalian pernah ada di posisi Mira ga, bagaimana mungkin dia mengemis ngemis ke bapaknya minta dibelikan ponsel tapi tidak dikasih, sedangkan mas Arman dengan entengnya membelikan ponsel anak orang lain"

"Salma bukan orang lain Nita, Salma itu keponakan aku, dan wajar mas Arman memprioritaskan Salma"

"Salma itu punya bapak, dan kamu itu bukan janda kamu itu punya suami, kenapa kamu ga minta sama suami kamu, kenapa Minta sama suami orang" hardik Anita mengeluarkan semua unek uneknya, sudah cukup kesabaran dia, pokoknya demi Amira dia akan lakukan apapun termasuk perang dengan keluarga mertuanya.

"Cukup, Anita! Jangan bentak anakku!" hardik Laksmi.

"Oke, aku diam. Tapi kalau kalian mengungkit lagi soal HP Amira, aku nggak akan diam. Demi anakku, aku siap berhadapan dengan siapa pun, termasuk Ibu!" tegas Anita.

"Lancang kamu, Anita! Cepat masuk kamar!" bentak Arman.

Rasa sedih menyelimuti hati Anita. Lagi-lagi, dia merasa sendirian. Dia berlari ke kamar, tapi bukan ke kamar dirinya tapi ke kamar Amira, anaknya. Malam ini, dia kecewa pada Arman—orang yang seharusnya berada di garda terdepan membela anaknya, malah membela keluarganya.

"Mah, maafin Anita ya. Mamah jadi dimarahin Nenek sama Bapak," Amira merasa bersalah. Keinginannya telah menyebabkan mamahnya dimarahi oleh semua orang.

"Mamah akan lakukan apa pun untuk kamu, Nak. Kamulah satu-satunya alasan Ibu bertahan."

"Makasih, Mah. Amira janji akan belajar dengan rajin. Amira akan bahagiakan Ibu."

"Makasih, Sayang. Malam ini Mamah mau tidur sama Amira, ya?"

"Oke, Mamah! Mira senang sekali. Tenang, Mah, Mamah nggak sendiri. Mira akan selalu bersama Mamah."

Malam itu, Amira dan Anita tidur bersama. Jika berjalan di luar, mungkin orang akan mengira mereka kakak dan adik. Anita menikah muda saat usianya 16 tahun. Waktu itu, saat sedang berjualan keliling, dia bertemu dengan seseorang yang membuat hatinya bergetar—yaitu Arman.

Padahal, saat itu ada seorang mahasiswa kaya yang mengejar Anita. Namun, Anita takut pada orang kaya. Dia tahu diri—hanya anak panti, rasanya tak layak memiliki suami dari keluarga kaya. Akhirnya, dia memilih Arman, berharap hidupnya akan lebih baik, berharap ada seseorang yang melindunginya. Namun, kenyataan tak sesuai dengan harapan.

Pagi tiba. Anita bangun paling pagi. Sebelum subuh, dia sudah terjaga—memasak nasi, mencuci baju, dan mengepel. Saat memilah-milah pakaian, dia melihat struk belanja dari sebuah mal di kota ini. Tertera di sana baju gamis seharga Rp550.000.

"Gamis siapa ini? Mas Arman beliin Ibu baju semahal ini? Tega banget dia! Aku saja daster sudah lima tahun nggak ganti-ganti, tapi dia beliin Ibu baju seharga Rp550.000?" Anita membatin.

"Anitaaa!" teriak Laksmi.

"Apa, Bu?"

"Ini lauk nasinya mana?"

"Lho, Ibu nggak ngasih aku uang. Bagaimana aku beli lauknya?"

"Astaga! Uang lagi, uang lagi! Bulan depan, aku yang pegang uang makan!"

"Ya, Bu. Silakan," jawab Anita datar.

"Arman!" teriak Laksmi lagi.

"Apa sih, Bu?" Arman keluar dari kamar.

"Ibu minta uang. Ini cuma ada nasi doang, nggak ada lauknya!" ucap Laksmi.

Arman melirik ke arah Anita. Anita melengos, seolah tak mau adu pandang dengannya.

"Nita, belikan lauk," ucap Arman sambil memberikan uang Rp50.000.

"Sini! Ibu aja yang beli!" Laksmi langsung merebut uang itu dari tangan Arman.

Laksmi sumringah dapat uang dari Arman, ah "belikan saja lauk asin 20.000 sisanya aku buat jajan" pikir Laksmi lalu berjalan ke mpo leha

"ibu...ibu..." teriak Dewi

Laksmi yang baru datang habis belanja kaget kenapa anak bungsunya meneriaki dia.

"Bu mas Arman beliin baju gamis Anita mahal banget Bu" lapor Anita

"Anita makin hari makin ngulanjak kamu ya, segalan memaksa Arman membelikan baju gamis mahal untuk kamu" ucap Laksmi

"mana buktinya aku dibelikan gamis mahal Bu, bajunya juga enggak ada"

"alah pasti gamisnya sudah kamu sembunyikan" ucap Dewi

"ya trus apa dasarnya kamu menuduh aku dibelikan gamis baru oleh mas Arman" ucap Anita marah

lalu Anita memberikan struk pembelian gamis yang tadi di temukan Anita di saku baju mas Arman

Arman datang dengan pakain rapi siap bekerja dia

"ini ada apa sih ribut ribut masih pagi juga?" tanya Arman

"Arman kamu semakin hari makin ga sayang sama keluarga ya, kamu belikan Anita baju gamis yang mahal sedangkan kami saja tidak pernah kamu belikan baju semahal itu,"

"mas aku kira kamu belikan baju gamis itu untuk ibu atau Dewi ternyata salah, lalu kamu belikan gamis semahal itu bukan untuk ibu, lalu baju itu untuk siapa mas?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!