NovelToon NovelToon

Become Mafia'S Wife

Bab 1 : Dena si Mahasiswi akhir

...****************...

“Saragas Evander, apakah engkau bersedia menerima Raviena Devitria sebagai istrimu, mencintai dan menjaganya dalam suka maupun duka, hingga akhir hayat?”

Tanpa ragu, Ragas menatap Viena dalam-dalam dan menjawab dengan suara mantap, “Aku bersedia.”

Pendeta lalu beralih ke Viena. “Raviena Devitria, apakah engkau bersedia menerima Ragas sebagai suamimu, mencintai dan mendampinginya dalam suka maupun duka, hingga akhir hayat?”

Viena tersenyum, matanya berbinar penuh haru. “Aku bersedia.”

Pendeta mengangguk. “Dengan ini, kalian telah resmi menjadi pasangan suami dan istri. Pengantin pria diperbolehkan mencium pengantin wanita.”

Ragas tersenyum lebar sebelum menarik Viena ke dalam dekapannya. Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang hangat, lembut, penuh janji dan kebahagiaan. Riuh tepuk tangan menggema, diiringi sorak-sorai dari para tamu yang menyaksikan kebersamaan mereka diresmikan.

Setelah beberapa saat, Ragas menatap Viena dengan mata yang bersinar penuh rasa syukur.

“Aku mencintaimu, Viena. Sangat.”

Viena tersenyum, membelai wajah suaminya dengan lembut.

 “Aku juga mencintaimu. Selalu.”

Dan di bawah gemerlap cahaya dan kebahagiaan, kisah mereka dimulai—bukan sebagai akhir, tetapi sebagai awal dari kehidupan baru yang akan mereka jalani bersama.

...~The End~...

“AAA.. Akhirnya tamat!!!”

Seorang gadis yang berbaring di kamar tidur kost nya menatap gemas sebuah novel di pangkuannya. Ending yang didapat sesuai dengan harapannya.

“Akhirnya setelah sekian purnama, nikah juga kalian berdua!” Ungkapnya senang.

Namanya Dena, mahasiswi semester akhir jurusan teknik elektro yang tengah pusing menyelesaikan skripsinya. Tapi sedari sore ini, gadis itu malah menghabiskan waktu membaca novel yang baru ia beli kemarin hingga tengah malam.

“Kasian juga si Ghariel, ganteng-ganteng malah jadi mayat,” gumam Dena sembari menyimpan novel itu di meja nakasnya.

Dena adalah maniak novel dengan genre romance, novel yang barusan ia baca berjudul ‘Mafia’s Love’. Di mana Ragas sang bos mafia terkenal jatuh cinta pada gadis polos nan lugu bernama Viena. Ada banyak rintangan yang di hadapi keduanya sampai akhirnya Ragas berhasil memikat Viena.

Salah satunya adalah melawan Ghariel, rival Ragas di pekerjaan maupun organisasinya. Ghariel juga menyukai Viena, di ceritakan Ghariel benar-bena lawan yang setara bagi Ragas, walau pada akhirnya pemeran utama tidak terkalahkan.

Ghariel berakhir mati di tangan Ragas, dan organisasi mafia kepunyaannya diambil alih oleh Ragas, membuat karakter Ragas semakin op.

Kalau dari ilustrasi novel, menurut Dena Ghariel dan Ragas itu sama tampannya. Latar belakang keduanya juga kuat. Dena cukup kasihan pada Ghariel yang di ceritakan memiliki keluarga yang berantakan. Ibunya Mati di tangan ayahnya sendiri, lalu ayahnya menjadi gila dan terus menyiksa Ghariel, hingga Ghariel menghabisi lelaki itu dengan tangannya sendiri.

Lalu dalam urusan asmara, Ghariel juga tidak beruntung. Viena memilih Ragas daripada dirinya, karena cara mencintai Ghariel yang salah. Yah, menurut Dena itu wajar mengingat bagaimana kehidupan yang dijalani Ghariel selama ini.

“Kayaknya besok aku harus mampir di gramedia lagi deh,” ujar Dena melirik review novel yang akan ia beli di ponselnya.

Sampai tatapan gadis itu beralih pada laptop yang masih terbuka di atas meja belajarnya, Dena meringis pelan, “Okay, gak ada novel untuk beberapa hari ke depan. Skripsiku sayang sudah menanti,” ungkapnya lelah.

Dena menghampiri laptopnya, untuk mengerjakan skripsi? Oh tentu saja tidak. Hanya untuk mematikan laptop yang terbuka sendirian beberapa jam itu. Setelahnya gadis itu kembali ke kasur kesayangannya dan menarik selimut.

“Semoga besok aku dapat ide ngerjain skripsi,” gumamnya sebelum memejamkan mata menuju alam mimpi.

Tanpa tahu kejutan apa yang menunggunya esok pagi.

***

“Akhirnya Nyonya sadar!!”

“Dokter apa Nyonya saya akan baik-baik saja?”

Dena mengerjapkan matanya yang masih terasa berat. Samar-samar ia bisa mendengar suara antusias di dekatnya.

Saat matanya terbuka sempurna, Dena mengernyit heran melihat plafon kamarnya yang berwarna putih dengan ornamen coklat. Gadis itu masih mengingat jelas plafon kamar kost sepetaknya tidak sebagus ini.

Saat menoleh ke kanan ia semakin bingung kala menyadari jika ia tak berada di kamarnya sekarang. Kamar yang ia tempati cukup luas, suami baru ibunya yang kaya raya juga tidak mungkin se kaya itu memiliki kamar sebesar ini.

Saat melihat di sisi lain, ada dua wanita yang menatapnya penasaran. Salah satunya mengenakan jas putih yang Dena yakini sebagai seorang dokter.

“Apa yang saat ini Nyonya rasakan?” Tanya ramah wanita berpakaian dokter itu.

“Nyo-nyonya?” Tanya Dena heran.

Kedua wanita itu terlihat saling pandang sebentar, “Apa kepala Anda masih terasa nyeri?” Tanya dokter itu lagi.

Refleks Dena menyentuh kepalanya yang sepertinya di perban, cukup ngilu sehingga ia mengangguk.

“Nyonya baru saja terjatuh dari tangga lantai dua, apa Anda ingat?” Tanya wanita di sebelah dokter itu dengan hati-hati.

Sebelum menjawab, Dena memfokuskan melihat wajah kedua wanita itu bergantian. Benar-benar asing, sangat asing malah.

Dan tempat ini, kondisi ini, Dena yakin seratus persen jika kegiatan terakhirnya malam tadi adalah membaca novel, tidak mungkin ia tiba-tiba jatuh dari tangga, mana kamar kost nya berada di lantai satu lagi.

Jangan-jangan.. Kemungkinan terburuk terlintas di pikirannya. Walau di luar akal sehat, tapi Dena tidak satu dua kali membaca novel tentang transmigrasi atau perpindahan jiwa.

“Ambilkan cermin.” Pinta Dena melirik wanita yang penampilannya jika di novel-novel di deskripsikan sebagai pelayan, wanita itu terlihat heran namun segera mengangguk. Mengambil kaca di atas meja rias dan segera memberikannya pada Dena.

“Ini, Nyonya.”

Saat melihat wajahnya di cermin, Dena tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Bibirnya menganga, memperhatikan potret seseorang di cermin ini.

“Apa Anda baik-baik saja?” Tanya Dokter khawatir melihat raut tak menyenangkan itu.

Dena menatap Dokter itu, belum ia bersuara kepalanya tiba-tiba berdenging nyeri. Sakit, sangat sakit. Gadis itu nyaris kehilangan kesadarannya.

Sampai ia menyadari, gambaran hidup seseorang memaksa masuk dalam ingatannya.

...****************...

tbc.

Bab 2 : Araya Rosetta

...****************...

“Apa Anda dapat mendengar saya?”

Setelah beberapa saat, nyeri di kepala Dena mulai menghilang. Ia menatap dua wanita yang menatapnya khawatir itu, “Ya, kepalaku hanya terasa nyeri,” jawabnya.

“Itu normal karena luka yang Anda dapat cukup lebar,” jelas Dokter itu.

“Untuk beberapa hari ke depan rasa sakitnya akan terus timbul. Saya sudah meresepkan antibiotik beserta obat penahan rasa sakit, Nyonya dapat menebusnya di apotek nanti,” lanjut sang dokter.

Dena hanya mengangguk, ia memperhatikan dokter wanita itu menuliskan sesuatu dan memberikannya pada pelayannya.

“Jika ada keluhan, Anda bisa langsung menghubungi saya kembali. Sekarang saya izin pamit, Nyonya Araya.” Setelahnya dokter itu berlalu pergi.

Araya, Araya Rosetta. Adalah nama pemilik tubuh yang kini Dena tempati. Dari ingatan yang masuk ke pikiran Dena, Araya tergelincir saat menuruni tangga rumahnya. Karena itulah ia ada di kondisi saat ini.

Dan ke mana Araya yang asli? Dena tidak tahu. Semua ingatan wanita itu sejak lahir hingga saat ini memenuhi pikiran Dena, bahkan rasanya sudah seperti ia yang menjalani sendiri.

Dena melirik wanita paruh baya di depannya, dari ingatan Araya wanita ini bernama Bi Laksmi, maid yang melayani Araya sejak ia memasuki rumah ini.

“Bibi yang memanggil dokter tadi?” Tanya Dena.

Bi Laksmi mengangguk, “benar, Nyonya. Namanya Dokter Sarah, beliau adalah dokter pribadi keluarga Smith.”

Wow, dokter pribadi? Dari sana saja Dena sudah bisa menebak sekaya apa keluarga Smith ini.

“Ini sudah hampir waktu makan siang, apa Nyonya ingin saya masakkan sesuatu?” Tanya Bi Laksmi dengan gestur sopannya.

“Ya, terserah saja,” jawab Dena.

Bi Laksmi yang sudah biasa mendapat jawaban acuh seperti itu dari sang Nyonya mengangguk mengerti, setelahnya ia izin keluar dari kamar Araya.

Setelah memastikan Bi Laksmi pergi dan pintu tertutup rapat, Dena perlahan bangun dari posisi berbaringnya. Sebelum turun dari ranjang, Dena memperhatikan kasur queensize yang ia tempati, seumur hidup mungkin ini adalah kasur ternyaman yang ia tempati.

Dena memperhatikan sekeliling kamar itu, benar-benar luas. Pertama, ia menuju meja rias di kamar ini, deretan make up yang terpajang tak berhenti membuatnya terpana.

“Omg, lipstick Dior shade 03?” Dena menatap terkejut lipstick impiannya itu, bahkan ada di berbagai shade.

“Cushion YSL? Gila ada juga saatnya aku coba barang-barang gini,” Dena membuka laci meja rias, isinya yang lebih lengkap tak berhenti membuatnya takjub. Sebelumnya Dena bukanlah orang miskin, kehidupannya cukup berkecukupan, tapi tentu tidak cukup membeli barang-barang mewah ini.

“Gimana isi lemari itu ya? Terus yang di sebelahnya juga?” Ada dua lemari besar yang bergaya luxury, Dena yakin isinya akan lebih membuatnya terkejut.

Namun, keantusiasan Dena berhenti ketika menatap kaca rias di hadapannya. Sebenarnya, tadi Dena bukan terkejut karena wajah ini berbeda, tapi karena wajah Araya ini begitu mirip dengan wajah aslinya. Hanya saja versi glow up dan lebih dewasa.

Dena memperhatikan dengan detail, tidak ada kantung mata karena ia membaca novel semalaman. Tidak ada bekas bruntusan di jidatnya. Wajah ini benar-benar mulus, tapi Dena yakin ini tetap wajahnya.

Dena tidak tahu jelas tapi wajah Araya seperti wajahnya versi yang lebih dewasa. Mungkin karena make up ini? Atau gaya rambut panjang bergelombang yang tidak pernah Dena coba dulu? Selama ini Dena sering memanjangkan rambut hanya sampai sebahu.

“Araya Rosetta?” Gumam Dena. Tidak mungkin mereka kembar, Dena jelas tahu ia adalah anak tunggal, sedangkan ibu dan ayahnya bersama pasangan masing-masing mereka tidak mempunyai anak.

Apalagi ada ingatan yang masuk di pikirannya, tentang kehidupan Araya ini. Jadi, Dena dapat menyimpulkan jika ia mengalami perpindahan jiwa, agak lucu memang jika mengalaminya langsung seperti ini.

Araya adalah wanita berusia 27 tahun, cukup kontras dengan Dena yang sebelumnya berusia 22 tahun. Araya memang wanita cantik dan kaya raya, tapi hidupnya tak bahagia. Dena yang sudah menyaksikan bagaimana kehidupan Araya, membuatnya seolah dapat merasakan perasaan wanita itu.

Dan masalah besarnya, Araya sudah menikah!

Bahkan memiliki anak!

“Ck, ini kepala masih nyeri lagi,” decak Dena saat ia mulai mengingat-ingat kehidupan Araya.

“Araya itu nikah sama suaminya terpaksa. Namanya Gevan, eh kok namanya gak asing ya? Kayak pernah denger,” monolog Dena sembari melipat tangannya di dada.

“Terus karena itu dia jadi benci sama anaknya yang mirip Gevan. Jadi Araya ini sering lampiasin amarah ke anaknya, ckck.”

“Nama anaknya..” Dena mencoba mengingat-ingat, “Ghariel.”

Ghariel.

Ghariel Rayvandra Smith.

“WHAT?? Ghariel yang itu?!” Dena menutup mulutnya terkejut.

Ghariel Rayvandra Smith, nama tokoh antagonist di novel Mafia’s Love yang ia baca sebelum tidur. Yang berarti, itu adalah anaknya.

Seketika Dena melupakan semua Make up dari brand ternama di depannya ini. Araya diceritakan akan mati dibunuh oleh ayah Ghariel, yang tak lain adalah suaminya sendiri, seorang bos mafia besar di negara ini.

“Jadi, Aku transmigrasi gini cuman buat mati?” Gumam Dena tak percaya.

Lagi-lagi Dena menatap cermin. Sekarang ia adalah Araya Rosetta. Ia lah yang akan menentukan nasib untuk tubuh ini ke depannya.

...****************...

tbc.

Bab 3 : Suami?

...****************...

(Mulai sekarang kita panggil Dena \= Araya)

Sudah satu hari berlalu di mana Dena a.k.a Araya terbangun di tubuh ini. Tadinya Araya pikir setelah melewati alam mimpi seperti yang terjadi sebelum ia berada di sini, ketika terbangun ia akan kembali ke dunianya. Namun nihil, tak seperti yang di harapkan.

Pagi ini pertama kali Araya keluar dari kamarnya, setelah menikmati sarapan yang di bawakan Bi Laksmi.

Kamar Araya berada di lantai dua, yang diketahui sebagai wilayahnya. Sedangkan anaknya si antagonist Ghariel ada di lantai satu, dan suaminya di lantai tiga. Mansion mewah yang ia tempati memiliki tiga lantai, dengan lantai ke empat paling atas merupakan rooftop.

Dan rooftop adalah tujuan Araya saat ini. Ia menaiki lift untuk menuju lantai teratas itu.

Setibanya di sana, dapat Araya lihat tempat luas ini yang terjaga bersih. Sepertinya cocok untuk dijadikan tempat kumpul-kumpul keluarga ala orang kaya.

Langkah kakinya membawa Araya ke tepi rooftop yang di batasi pagar besi setinggi dadanya.

Kedua tangannya terkepal kuat, “Sebenarnya aku gak mau coba ini,” gumamnya.

Ya, Araya bertekad untuk bunuh diri. Bodoh memang, tapi ia tidak ingin mati di tangan suaminya, yang entah dengan cara yang se kejam apa. Araya ingin mencoba peruntungan, jika ia mati sekarang, siapa tau kembali ke tubuh aslinya, kan?

Perlahan tangannya memegang besi pembatas, satu kakinya berangsur naik.

Saat kakinya yang lain hendak naik, Araya merasakan tangan seseorang menarik pinggangnya mundur.

“Akh..” Ia hampir kehilangan keseimbangan jika tidak ada sepasang tangan yang menahan tubuhnya.

“Bodoh!”

Setelah cekalan di pinggangnya terlepas, Araya berbalik melihat seseorang yang baru mengumpatnya itu.

Sial. Benar-benar sial, sosok malaikat pencabut nyawanya malah berdiri di hadapannya sekarang.

Pria dengan tinggi kisaran 185cm, dengan bahu lebar dan tubuh proporsional, memberikan kesan kuat tanpa terlihat berlebihan. Wajahnya tajam dengan garis rahang tegas, hidungnya lurus, dan mata dalamnya memancarkan sorot yang sulit ditebak.

Araya seolah melihat deskripsi Ghariel di novel secara langsung.

“Tidak bosan selalu melakukan percobaan bunuh diri, huh?”

Araya mengabaikan pertanyaan bernada datar itu. Tunggu, apa ia salah dengar? Selalu?

Apa artinya Araya asli juga sering melakukan percobaan bunuh diri? Tapi ia sama sekali tak menemukan ingatan itu.

“Kembalilah ke kamarmu.” Ucap Gevan setelah beberapa saat Araya hanya menatapnya lurus.

Araya mengalihkan pandangannya, lalu tanpa kata meninggalkan kawasan rooftop. Tanpa berbalik melihat Gevan yang terus melihatnya sampai hilang di pandangannya.

***

“Seremin banget, gilak.” Araya menungkupkan wajahnya pada bantal.

Mengingat pertemuannya dengan Gevan tadi, Araya dapat merasakan reaksi tubuh ini yang langsung freeze melihat suaminya sendiri. Hei, laki-laki itu mafia kejam, siapa yang tidak takut.

Sudah jelaskan, Araya juga takut pada suaminya? Dari ingatannya, saking bencinya Araya pada Gevan wanita itu selalu berteriak mengusir Gevan setiap masuk di penglihatannya.

Tok tok tok...

“Nyonya, ini saya Bi Laksmi.”

Suara dari balik pintu itu membuat Araya mengubah posisi menjadi duduk di tepi ranjangnya.

“Masuklah.”

Pintu terbuka, menampilkan Bi Laksmi dengan nampan obat di tangannya.

“Ini sudah waktu Nyonya ganti perban, apa Nyonya ingin mandi dulu?”

Araya menggeleng, “Tidak, langsung saja.” Toh ia dasarnya sudah cantik, tidak perlu mandi.

Bi Laksmi dengan pelan membuka perban yang mengelilingi kepala Araya, setelahnya lanjut membersihkan luka.

“Ssh..” desis Araya kala alkohol bersentuhan dengan lukanya.

“Maaf Nyonya, saya akan lebih berhati-hati.” Sahut Bi Laksmi yang terlihat agak panik?

Setelahnya perban baru di pasang, Bi Laksmi sudah di ajarkan oleh Dokter Sarah cara menukar perban kemarin. Untungnya luka Araya tidak terlalu besar, hanya saja masih sedikit mengeluarkan darah.

“Sudah selesai, Nyonya.”

Araya menyentuh perban barunya, “terima kasih, bibi.”

Bi Laksi tertegun sebentar. Tumben sekali Nyonya nya yang angkuh ini mengucapkan terima kasih, pikirnya.

Tapi ia tetap tersenyum sungkan menjawab.

Araya menggigit bibir bawahnya, ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Dan sepertinya menanyakan pada Bi Laksmi yang sudah melayaninya tujuh tahun di sini adalah pilihan yang baik.

“Bi Laksmi, apa sebelumnya saya pernah mencoba untuk bunuh diri?” Tanya Araya langsung.

Terlihat pelayannya itu terkesiap dengan pertanyaan tiba-tiba Araya.

“Jawab saja, Bi. Atau mungkin, pandangan bibi selama saya tinggal di rumah ini?” Tanya Araya lagi, “sebenarnya, saya sedikit melupakan beberapa hal.” Bohongnya.

Bi Laksmi meletakkan obat-obatan yang ia bawa ke nampan, “sebelumnya, maaf jika saya lancang Nyonya.”

Araya mengangguk menanggapi, “sebenarnya, luka yang Nyonya dapat sekarang bukan karena jatuh, tapi Nyonya yang memang berniat untuk bunuh diri.” Ungkap Bi Laksmi hati-hati.

“Apa?” Araya refleks berucap karena terkejut.

Ia jelas-jelas mengingat dalam ingatan Araya jika ia tergelincir, bukan karena berniat untuk bunuh diri.

Bi Laksmi yang mengira majikannya marah segera menundukkan takut, “Maaf Nyonya, tapi itu adalah praduga saya dan para pekerja di mansion ini. Tapi saya yakin, Tuan pun sependapat.” Jelasnya.

Dapat Araya lihat jika pelayannya ini sedikit ragu membawa-bawa kata ‘Tuan’ karena Araya memang sangat sensitif menyangkut suaminya itu.

Araya menghela nafasnya, “Selain itu, apa sebelumnya juga pernah?”

Bi Laksmi mengangguk pelan, “Nyonya pernah menceburkan diri di kolam renang belakang. Karena itu Tuan kini memasang cctv di bagian kolam.”

Araya mengangguk mengerti. Ia mencoba menggali ingatan tentang itu, dan agak samar. Karena terjadi beberapa tahun yang lalu.

Sebenarnya tidak heran mengapa orang-orang mansion ini mengiranya akan bunuh diri. Araya menikah dengan Gevan secara paksa.

Fakta lebih parahnya, lelaki itu memperkosa Araya hingga hamil anak mereka, agar Araya mau menikahinya.

Lelaki itu sampai membunuh ayah Araya karena tidak merestui pernikahan mereka.

Bisa dibayangkan bagaimana mental Araya, bukan? Araya bahkan harus di damping psikolog selama satu tahun untuk mengembalikan kewarasannya.

Mungkin tidak sempurna, nyatanya setiap bertemu Gevan ia selalu berteriak kesetanan, melempar barang apa yang terlihat.

Bahkan menyiksa anaknya sendiri, seterganggu itu mental Araya.

Ia jadi sangat simpatik pada Ghariel, anak sekecil itu menghadapi rumah besar sesuram ini, ibu dan ayahnya tidak waras.

Tapi ia penasaran, apa alasan Gevan menikahi Araya? Apa ia se terobsesi itu? Karena jika mereka saling mencintai, tak mungkin Araya sangat menolaknya.

Ingatan Araya memang memenuhi pikirannya, tapi akan sempurna ketika terdistrak bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengannya.

Baiklah, karena Araya memang pada dasarnya takut untuk mati. Ia akan menerima alur novel ini, dengan menghindari kematiannya. Serta mulai menyelesaikan masalah-masalah hidup Araya yang penuh misteri.

Dan memberikan sedikit kebahagiaan untuk antagonist tampan yang masih belia itu.

Araya menatap Bi Laksmi, “Di mana putraku?”

...****************...

tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!