"Mika, ayo!"
Tersadar dari lamunannya, Mika mengarahkan pandangannya pada satu-satunya pintu di ruangan tersebut. Berdiri seorang perempuan mengenakan dress panjang dengan rambut yang digelung dengan cantik.
"Kok diam aja? Sekarang giliran kamu buat masuk."
Tangan Mika ditarik oleh perempuan itu yang tak lain adalah saudari tirinya, Shella. Mengikuti langkah Shella, Mika ditarik menghampiri sosok sang Papa yang telah menunggunya.
"Kamu ini dipanggil dari tadi kok gak datang-datang," keluh Tama melingkarkan tangan Mika pada lengannya.
Dengan menggandeng sang Papa, Mika memasuki aula tempat pernikahannya. Berjalan menyusuri altar yang telah dihias dengan indah. Di ujung lain, seorang pria dengan jas hitam duduk di atas kursi roda. Walau duduk di kursi roda, wajah tampan dan mendominasinya tak kurang sedikitpun. Masih sama seperti yang ada di dalam ingatan Mika di kehidupan sebelumnya.
Tangan hangat yang menggenggamnya menyadarkan Mika dari kenangan kehidupan masa lalunya. Menatap pria di sampingnya Mika bertekad akan merubah kesengsaraan di hidup sebelumnya.
Setelah upacara pernikahan, Mika menemani Gavin, suaminya menemui kerabat mereka satu persatu.
Mika ingat disinilah pertama kali dirinya mempermalukan sang suami. Secara terang-terangan memasang wajah marah dan benci di hari bahagia itu. Bahkan terang-terangan mengeluh pada orang tuanya karena menikahkannya dengan Gavin yang cacat.
Namun, Mika yang sekarang bukanlah Mika di kehidupan sebelumnya. Sejak sadar jika dirinya kembali ke tujuh tahun lalu, Mika sudah membulatkan tekadnya untuk merubah semua hal buruk di kehidupan sebelumnya.
"Mika?"
Tubuh Mika tersentak. Matanya menatap Gavin yang menatapnya dengan dahi berkerut.
"Maaf. Ayo pergi."
Mika mendorong kursi roda Gavin untuk menemui orang tuanya lebih dulu. Walau matanya tak menunjukkan ekspresi apapun. Tapi, dalam hati Mika sudah memikirkan jika saat ini adalah waktu yang tepat untuk memutuskan hubungan yang mencekiknya.
"Pa, Ma..."
Pasangan paruh baya itu menatap pengantin baru dengan senyum dan haru di wajahnya. Sayangnya Mika sudah tahu orang seperti apa dua orang yang mengaku orang tuanya itu dan Mika tidak ingin terjebak lagi dalam tipu muslihat mereka.
"Mika, sayang~" Jena memeluk putri tirinya dengan tangisan bahagia. Sebagian tamu yang hadir dan mengenal keluarga mereka tahu jika Jena selalu memperlakukan Mika lebih baik dari putri kandungnya sendiri. Membuat sosok Jena selalu dipuji sebagai Ibu yang baik bahkan pada anak tirinya.
"Mama senang akhirnya kamu mau menikah dengan Gavin. Selamat ya sayang. Mama harap pernikahan kalian akan selalu diberikan keberkahan."
Dengan senyum palsunya Mika balas memeluk Jena. "Terima kasih karena Mama selama ini sudah merawat Mika dengan baik."
"Sama-sama sayang. Mama pasti merawat kamu dengan baik. Bagaimanapun juga kamu tetap anak Mama walau bukan Mama yang melahirkan kamu," ucap Jena haru.
"Benar. Bagaimanapun kamu dan Shella selalu sama dimata Mama dan Papa," Tama memperjelas perkataan istrinya lalu memeluk dan mendoakan kebahagian pernikahan Mika dan Gavin.
"Shella bahagia untuk Kak Mika. Shella harap kalian bahagia selamanya dan cepat punya momongan," malam Ini Shella berpenampilan cantik manis. Dengan gaun selutut bewarna peach membuatnya terlihat bersih dan polos.
Dengan wajah cantik dan perilaku manis di depan umum. Membuat Shella dikenal sebagai aktris yang bertutur kata lembut dan juga berperilaku baik di mata semua orang
Dengan wajah dan perilakunya Shella layaknya seorang putri di dalam industri hiburan. Memiliki banyak penggemar dan orang-orang yang merawatnya dengan baik. Apalagi tutur kata dan perilakunya membuatnya di sukai banyak orang.
Sedangkan Mika yang lebih dulu terjun ke dunia hiburan memiliki sikap seperti sumbu pendek. Meskipun dia bekerja secara profesional dan baik tapi dengan sifat pemarah dan mudah tersinggung membuat banyak orang kurang nyaman bekerja dengannya. Tak menutupi juga masih ada beberapa orang di industri hiburan masih suka bergaul dengan Mika karena menurut mereka kemarahan Mika bukanlah tanpa alasan. Apalagi keprofesionalan yang dimilikinya membuatnya cukup dikenal dikalangan para sutradara walau bukan seorang bintang besar.
"Makasih atas doanya untuk pernikahan Mika. Mika harap Papa dan Mama juga tetap sehat dan panjang umur untuk menjadi saksi kebahagiaan pernikahan Mika. Begitu juga kamu Shella, kakak harap kamu tetap sukses seperti ini."
"Walau Mika sebelumnya adalah putri kesayangannya Papa dan Mama. Mika tahu sekarang Mika adalah istri dan menantu orang lain. Jadi, Mika akan membiasakan diri dengan status Mika saat ini dan mencoba mengurangi mengganggu Papa dan Mama," Mika memasang wajah sedih menatap kedua orang tuanya.
"Walau kamu sudah menikah kamu masih anak Mama sama Papa. Pintu rumah tetap terbuka buat kamu jika kamu mau pulang kapanpun itu," Jena menepuk-nepuk pelan punggung tangan Mika.
Mika menggeleng dengan sedih, "gak, Ma. Bagaiman juga Mika sudah menikah. Secara hukum Mika bukan lagi keluarga kalian. Walau kita masih memiliki hubungan darah, tapi di beberapa hal lainnya Mika gak boleh usik kalian. Begitu juga Papa, Mama dan Shella."
Mika mengusapkan jari telunjuknya ke bawah mata seolah-olah hendak menangis, "Mika sama suami menemui keluarga yang lain dulu ya ..."
Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Mika segera mendorong kursi roda Gavin menjauh dari tiga orang yang tersebut.
Gavin tak banyak bicara selain mengobrol sepatah dua kata pada kedua mertuanya. Dia hanya duduk di kursi roda mendengar ucapan perempuan yang baru saja menjadi istrinya.
Tentu saja Gavin mencari informasi seputar keluarga istrinya tersebut. Bahkan dia tahu tentang penolakan Mika pada pernikahan mereka. Tapi dihadapannya saat ini bukan hanya mau menikah tapi Mika bahkan tersenyum bahagia membuat Gavin bertanya-tanya tentang keaslian informasi yang ia dapatkan.
"Ini Papa dan Mama saya. Kamu pasti sudah bertemu mereka kan?" Mika mengangguk lalu menyapa kedua orang tua suaminya bergantian.
Sebelum pernikahan, memang diadakan acara pertemuan keluarga. Sayangnya Gavin tidak pernah hadir sekalipun. Sedangkan Mika selalu hadir tapi berperilaku kasar dihadapan mereka.
Anita, Mama Gavin memasang wajah kesal saat memandang Mika yang saat ini sudah menjadi menantunya. Sedangkan suaminya masih memasang senyum dan memandang Mika dengan ramah.
Sejak awal Devano jugalah yang menginginkan putranya untuk menikahi Mika. Devano adalah orang yang sangat Mika hormati sejak bangun dari kehidupan sebelumnya. Jika bukan karena perhatian dan perawatan Devano di kehidupan sebelumnya Mika mungkin sudah lama menghembuskan nafas terakhirnya.
Walau Mika tak mengerti alasan Devano menikahkannya dengan Gavin atau alasan perhatian yang selama ini ia terima. Mika tetap menghormati Devano jauh di atas Papanya sendiri.
"Gavin, kamu harus jaga istri kamu bagaimana pun caranya. Jangan pernah sakiti dia. Paham kamu?"
"Gavin paham, Pa."
"Mama harap pernikahan kalian bertahan lama," ucap Anita agak kesal dan terpaksa. Bahkan enggan menatap menantu perempuannya. Jika bukan karena menjaga wajah sang suami atau martabat keluarganya, Anita memilih tak datang ke pernikahan putra bungsunya.
Meninggalkan kedua orang tuanya. Gavin membawa Mika menemui keluarga Kakaknya. Pandangan Mika tertuju pada keponakan suaminya. Pria seumuran dengannya yang mengenakan jas biru tua.
Di kehidupan sebelumnya alasan Mika menolak mentah-mentah pernikahan ini adalah karena sosok Alan, keponakan suaminya. Mika jatuh cinta pada Alan sejak masa sekolah tapi itu hanya cinta sepihak karena Alan hanya menyimpan perasaannya untuk Shella. Walau begitu saat sudah menikah Mika masih saja memberikan perhatian kepada Alan dan membawa petaka untuk dirinya sendiri.
Tapi, di kehidupan ini tentu saja akan berbeda. Bukan hanya tak akan memberikan perhatian, Mika juga tak akan pernah berpikir untuk menatap Alan sedikitpun. Sebelumnya Mika tidak tahu jika Alan dan Shella menjalin hubungan. Membuatnya menjadi bidak catur mereka berdua dan membuat dirinya menjadi pelaku semua kejahatan.
Mika menatap pria yang duduk di kursi roda sekali lagi. Pria yang lebih tua sepuluh tahun darinya itu sekali lagi menjadi suaminya. Walau usia Gavin dua per tiga usia orang tuanya, menurut Mika wajahnya masih jauh lebih muda dan tampan. Bahkan tetap sama seperti terakhir kali dia melihat sebelum meninggal.
Sekarang Mika tahu yang sebenarnya dan Mika tidak ingin melakukan kebodohan yang sama. Dia bertekad akan sepenuhnya memihak sang suami dan membantu menyingkirkan orang-orang jahat tak berguna di sekitar mereka.
"Benar-benar cantik. Tuan Gavin tidak salah memilih istri," ucap salah satu tamu undangan di pesta pernikahan.
Acara pernikahan diadakan di sebuah hotel dan hanya dihadiri anggota keluarga. Sedangkan pesta pernikahan diadakan keesokan harinya di rumah utama keluarga Gavin dan mengundang pengusaha - pengusaha besar yang berhubungan dengan perusahaan keluarga mereka.
Mika sendiri tak mengundang siapapun. Dia tak memiliki teman dekat entah itu dari masa sekolah atau di industri hiburan. Apalagi karena status pernikahannya yang dirahasiakan Mika tak bisa memberi tahu manager atau perusahaannya. Jadi kebanyakan tamu adalah tamu dari Gavin atau orang tua kedua mempelai.
"Sayangnya kaki Tuan Gavin lumpuh dan harus duduk di kursi roda di hari pernikahannya."
Semenjak kecelakaan dan harus duduk di kursi roda Gavin sering mendengar ucapan kasihan dari banyak orang. Bagaimanapun sosok Gavin cukup dikenal dikalangan para pengusaha karena sudah sukses di usia mudanya.
"Memang agak disayangkan kondisi Tuan Gavin saat ini," sahut tamu lain yang masih didengar oleh Gavin dan Mika.
Gavin sudah terbiasa dan hanya diam mendengarkan. Tapi Mika yang sudah merasakan kesengsaraan hidup bahkan meningal mana mungkin diam saja saat mendengarkan. Apalagi sejak awal Mika mudah tersinggung dan tersulut emosi.
Mika berjalan di depan mereka sambil mendengus dan mengabaikan. "Lebih baik jauhi orang-orang seperti mereka. Mereka hanya mau memanfaatkan dan akan membuat rugi saja," keluh Mika mendorong kursi roda Gavin.
Pesta pernikahan tersebut diadakan begitu mewah. Karena kebanyakan tamu adalah para pengusaha, banyak dari mereka yang memanfaatkan acara tersebut sebagai tempat memperluas relasi.
Mika yang memang tak mengundang satupun temannya hanya mengikuti kemana suaminya pergi. Mendorong pria itu kemanapun yang ingin dituju lalu ikut berbasa-basi sebentar dan kemudian diam saat mereka mulai membicarakan bisnis yang tak terlalu dimengerti olehnya.
Pesta tersebut berakhir saat hampir tengah malam. Mika yang sejak awal sudah lelah dengan pesta kemarin dan hari ini memilih masuk kamar sebelum semua tamu pulang. Saat Gavin masuk ke dalam kamarnya, Mika sudah tidur dengan nyenyak di atas ranjang mereka.
Setelah membersihkan dirinya Gavin tidak langsung menuju ranjang untuk istirahat. Melainkan menuju meja kerja yang berada di ruangan sebelah kamar tidur.
Tempat tinggal Gavin adalah sebuah bangunan tersendiri yang terhubung dengan ke rumah utama dengan koridor pendek. Bangunan tersebut hanya berisi kamar tidur beserta kamar mandi dan ruang ganti. Lalu ruang kerja yang terhubung langsung dengan kamar tidur. Di salah satu sisi koridor adalah sebuah taman bunga dan tempat santai untuk minum teh atau bersantai. Sedangkan sisi lain adalah sebuah kolam renang.
Jarang ada yang menuju tempat Gavin tinggal, selain karena pintu utama bangunan terhubung langsung dengan tempat tidur yang merupakan tempat pribadi. Tapi juga karena Gavin tidak suka kehadiran orang asing. Biasanya dia membereskan barang-barangnya sendiri. Lalu Bibi Pim yang merupakan pembantu lama di rumah utama sesekali masuk untuk mengantarkan barang-barang milik Gavin. Selain beliau tak ada lagi pembantu yang masuk ke bangunan pribadi milik tuan muda kedua itu.
Mika menatap pintu kaca yang tertutup gorden. Kemudian dia membalik badan untuk melihat jam yang menunjukkan lewat tengah malam. Dengan setengah kesadarannya Mika bangun dari tempat tidur dan menuju asal suara yang agak mengganggu tidurnya.
Melalui pintu ruang kerja yang tidak tertutup, Mika melihat pria yang menjadi suaminya lagi itu mengenakan kacamata frame emas dan fokus menatap laptop di depannya. Jari-jarinya bergerak cepat dan pasti di atas keyboard. Membuat suara-suara pelan yang terdengar keras karena malam yang sunyi.
"Belum tidur?" suara Mika yang tiba-tiba membuat Gavin terkejut. Selain kepalanya yang tiba-tiba menoleh dan tangannya yang berhenti, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Mika sendiri hanya berkedip menatap balik pria itu. Tubuhnya ia sandarkan sepenuhnya pada dinding antara ruang kerja dan kamar tidur yang memang tak ada pintu pemisah.
"Bangun?"
Mika menggeleng pelan dan bergumam tak jelas. Daripada kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Mika menuju sofa di ruangan tersebut dan meringkuk di sana. Membuat Gavin penuh tanda tanya melihat perilakunya.
Mika kembali tidur di sofa dengan nyaman. Mendengar suara Gavin membuatnya merasa tenang dan aman.
Di kehidupan sebelumnya, keduanya tidak memiliki banyak interaksi. Bahkan karena sifat Mika yang terang-terangan menolak pernikahan tersebut keduanya jarang terlibat pembicaraan. Gavin sendiri lebih menyibukkan diri dengan urusan perusahaan. Bahkan terkesan tak peduli dengan apa yang istrinya lakukan.
Beberapa kali Mika terlibat rumor jelek dan Gavin tidak pernah turun tangan atau bertanya apapun pada Mika. Terkahir mereka terlibat adalah saat Gavin terpuruk karena perusahaan dan itu karena Mika.
Mika yang masih belum bisa melupakan Alan mencoba melakukan banyak cara untuk mengambil perhatian pria yang merupakan keponakan suaminya itu. Karena hal itu Alan memanfaatkannya untuk mengambil sebuah berkas penting dari Gavin. Membuat perusahaan Gavin hampir bangkrut. Saat Gavin mati-matian menyelamatkan perusahannya, Mika bersenang-senang dan tidak peduli dengan suaminya.
Sampai Gavin meninggal akibat kecelakaan saat pulang dari bisnis di luar kota. Saat itu hujan deras dan guntur menggulung di langit yang gelap. Gavin sempat bertengkar dengan Mika melalui telfon karena sebuah rumor kedekatannya dengan Alan dan kecurigaan atas keterlibatannya dengan masalah di perusahaan.
Saat itu Mika tidak menyangkal apa yang Gavin katakan. Bahkan marah dan membentak pria di ujung sana dengan penuh kebencian. Entah apa yang terjadi, saat Mika mendengar sebuah suara benturan keras dan memekikkan telinga dia mematung sejenak. Di ujung sana tidak ada suara apapun selain tetesan hujan yang jatuh begitu deras.
Setelah itu semua kehidupan Mika berubah. Entah bagaimana semua orang tahu tentang dirinya yang mencuri berkas penting perusahaan membuat Gavin menderita. Lalu berita pernikahannya terkuak bersama berita kebersamaannya dengan Alan. Tapi, Alan membantah berita tentang hubungan mereka dan mengungkapkan hubungannya dengan Shella membuat Mika dihujat oleh semua orang. Bahkan kedua orang tuanya tak peduli dengan kehidupannya. Mama mertuanya memandangnya begitu rendah dan hina. Papa mertuanya adalah satu-satunya orang yang merawat Mika dan tetap memberikan tempat tinggal Gavin untuk ia tempati.
Walau akhirnya karena rasa menyesal dan takut yang datang, Mika tidak sengaja jatuh ke dalam danau buatan yang ada di belakang rumah utama suaminya. Saat itu awal musim dingin, salju turun dan danau hampir beku. Danau yang hanya lapisan atasnya yang membeku itu pecah seketika saat tubuh Mika terjatuh ke dalamnya. Rasa dingin menyeruak begitu cepat membuat tubuh Mika kaku dan tak bisa meraih apapun. Awalnya tangan dan kakinya mencoba meraih ke atas namun lama kelamaan gerakannya semakin lambat dan melemah.
"Mika."
Seperti mendapat satu nafas, Mika yang saat itu terengah-engah karena menghirup banyak air mencoba kembali meraih ke atas.
"Mika!"
Tepukan yang entah keberapa kalinya, membuat Mika tersadar. Matanya langsung menatap sang suami yang mengerutkan wajah dengan tak nyaman.
"Mimpi buruk?"
Saat itulah Mika sadar, itu hanya kilasan dari kehidupan sebelumnya dan dia kembali takut jika hal itu akan terjadi di kehidupan ini.
Dia takut.
Mika takut mendengar hujan dan guntur dari seberang ponselnya.
Mika takut akan hujatan dan makian yang ditunjukkan padanya.
Mika takut saat pria dihadapannya itu terbaring kaku di atas sebuah peti mati.
Nafas Mika kembali cepat, Matanya kosong dan memerah. Air matanya kembali keluar tanpa disadari.
"Mika, hei!" Gavin menepuk pelan pipi istrinya.
"Mik-"
Sebelum kata-katanya selesai, tubuh dingin dan gemetar istrinya memeluknya begitu erat.
"Jangan pergi," tangisan pelan itu memecah keheningan malam keduanya.
Gavin tertegun sesaat sebelum meraih tubuh istrinya dengan erat. Entah apa yang Mika mimpikan tapi tubuh gemetarnya membuat Gavin tak nyaman saat memeluknya.
Kebencian dan sikap malu atau ragu Mika sudah hilang. Begitu tersadar dari mimpi buruk kehidupan sebelumnya, Mika benar-benar takut. Walau tubuhnya tak lagi bergetar seperti sebelumnya tapi matanya berair dan memberi kesan kesedihan yang mendalam.
Matahari mulai menunjukkan dirinya. Setelah berpelukan sambil menangis. Mika tak ingin melepaskan suaminya. Perasaan takut akan ditinggalkan sendirian membuatnya kembali menangis.
Demi menenangkan Mika, Gavin tak lagi melanjutkan pekerjaannya. Dia membawa Mika kembali ke ranjang dan menyuruhnya istirahat. Namun, Mika benar-benar tidak ingin beranjak jauh dari Gavin. Begitu dia merebahkan tubuh di ranjang, Mika segera meraih tangan Gavin dan menggenggamnya dengan erat.
Sudah berjam-jam sejak Mika menangis. Matanya yang basah sudah terpejam sejak lama. Namun tangannya tak melepaskan tangan Gavin sedikitpun. Membuat Gavin hanya bisa duduk bersandar diam dengan tangan yang digenggam erat oleh istrinya.
Entah karena mimpi buruk atau terbangun di tengah malam. Begitu Mika kembali tertidur, dia tidak bangun sampai matahari menunjukkan sinarnya sepenuhnya. Membuat keduanya dibicarakan di meja makan di rumah utama.
"Gavin belum bangun juga?" Anita berkata dengan tak percaya.
"Mereka kan pengantin baru. Jadi wajarlah," Devano mencoba menenangkan istrinya yang kesal di pagi hari.
"Tapi ini gak biasa, Pa! Gavin gak pernah bangun siang. Pasti gara-gara menantu baru Papa itu! Padahal baru satu hari di sini tapi bangunnya kesiangan buat orang-orang nungguin dia di meja makan!" geram Anita.
"Kan baru kemarin lusa mereka menikah. Apalagi pesta kemarin selesai sampai malam. Lagian pengantin baru pasti maunya berduaan aja."
"Benar kata Mama. Sikap Mika ini terlalu gak menghormati yang lebih tua. Papa gak bisa belain Mika gitu aja," imbuh Nana, istri Derry.
Semua orang yang tinggal di rumah itu sudah duduk di meja makan bersiap untuk sarapan. Namun dua orang yang merupakan sepasang pengantin baru bahkan belum bangun dari tidurnya.
"Ya udah. Kalau gitu kita sarapan dulu aja. Biar mereka sarapan nanti kalau udah bagun." sebagai kepala keluarga Devano mengambil jalan tengah dan tak ingin membuat keributan di meja makan.
Setelah menghabiskan sarapan, hampir semua orang pergi untuk melakukan pekerjaan masing-masing. Devano pergi ke perusahaan menggantikan Gavin yang cuti menikah. Derry dan putranya, Alan juga pergi ke kantor cabang seperti biasanya. Sedangkan Nana adalah mantan model yang saat ini memiliki brand fashion sendiri. Anita sendiri mantan wanita karir yang suka bersosialisasi dia sering menghabiskan waktunya berkumpul dengan wanita-wanita seusianya hanya untuk sekedar mengobrol atau pamer kehidupan mereka.
Saat Gavin membuka matanya cahaya matahari menembus gorden yang menutupi pintu kaca. Di sampingnya sang istri masih tidur dengan menggenggam tangannya. Gavin melepaskan genggaman Mika dengan perlahan. Kemudian ke kamar mandi sebelum menuju rumah utama.
Semenjak kecelakaan dua tahun lalu, Gavin sudah terbiasa dengan aktivitas terbatasnya. Selama itu juga Gavin tidak pernah mengabaikan pekerjaannya kecuali saat dia harus terbaring lemah di rumah sakit. Tapi, sekarang Gavin memiliki banyak waktu luang selama beberapa hari karena sang Papa yang memaksanya untuk cuti.
Setelah menghabiskan sarapannya di meja makan sendirian. Gavin kembali ke kamar dengan sebuah nampan berisi sarapan untuk Mika di pangkuannya.
"Dari mana?" Mika sudah bangun dan bahkan sudah membersihkan dirinya juga. Dia duduk di meja rias sedang menyisir rambutnya yang hampir kering. Semalam karena pesta selesai hampir tengah malam, Mika tidak mau mencuci rambutnya dan pagi ini begitu bangun Mika merasakan gatal karena sisa semprotan rambut semalam.
"Ambil sarapan."
Gavin meletakkan sarapan di meja depan sofa. Di sisi kamar yang berhadapan langsung dengan kolam renang terdapat sofa panjang dan meja yang berada dalam bangunan pribadi Gavin. Sedangkan sisi lain yang berhadapan dengan taman dan kebun terdapat kursi santai di luar ruangan.
"Makasih!" Mika duduk dengan santai di sofa dan menyantap sarapannya. Bahkan tanpa menoleh pada Gavin yang duduk diam di kursi roda menatap aktivitasnya.
Tiba-tiba Mika menoleh dan menatap mata Gavin dengan berbinar. "Kita mau bulan madu ke mana?"
Ekspresi Gavin tiba-tiba terkejut mendengar perkataan Mika. Bagaimana tidak, perubahan sikap Mika membuat Gavin penuh tanda tanya. Sebelumnya Mika menolak rencana pernikahan ini dengan terang-terangan. Namun, sekarang bukan hanya menerimanya dia juga terlihat bahagia dengan pernikahan mereka membuat Gavin mencurigai Mika.
"Gimana kalau ke negara P? Oh oh atau ke negara K aja? Eh tapi liburan di dalam negeri juga boleh!" ucap Mika tanpa menatap ekspresi Gavin yang semakin terlihat aneh.
"Gimana? Kamu mau kemana?"
"Gavin!" panggil Mika keras saat tak mendapat jawaban apapun.
"Terserah," balas Gavin acuh tak acuh.
Mika tersenyum bahagia mendengar jawaban suaminya. Tak mempedulikan wajah datar Gavin Mika dengan bahagia terus menyebutkan nama tempat yang menarik perhatiannya.
Saat makan malam, Mika dan Gavin hadir lebih awal di meja makan. Gavin hanya diam, sesekali bergumam atau mengucap beberapa kata. Sedangkan Mika terus saja berceloteh dengan pembahasan yang sama seperti pagi tadi yaitu tentang tempat tujuan bulan madu mereka.
"Kalau gitu aku mau ke pantai! Main pasir, main air. Sama aku mau makan seafood di restoran yang dekat pantai di sana. Katanya bahan-bahan yang dipakai selalu fresh semua jadi rasanya enak banget!"
"Bahas apa kalian?" Nana tiba-tiba datang dan menyela ucapan Mika.
Mika menatap Nana yang duduk di seberangnya. Saat pesta pernikahan Mika tak terlalu memperhatikan wanita cantik yang merupakan ipar dari suaminya itu. Kali ini Mika bisa menatap Nana dengan lebih baik.
Wajah Nana tak terlalu berubah entah itu saat ini atau masa depan di kehidupan sebelumnya. Wajahnya tetap terlihat cantik dan anggun. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun dengan jelas.
Tapi, Mika tahu seperti apa Nana dari kehidupan sebelumnya. Walaupun ucapan dan wajahnya menunjukkan ketidaksukaan dan menghina, wanita berkepala empat yang masih cantik di depannya ini memiliki hati yang lembut dan baik. Bahkan bisa dibilang saat banyak orang terang-terangan menjauh atau menghinanya, Nana adalah salah satu pihak netral yang tak pernah membantunya tapi juga tak pernah menyudutkannya.
"Kami lagi bahas tempat untuk bulan madu. Kak Nana ada rekomendasi tempat yang bagus gak?"
"Siapa yang mau bulan madu?" Alan datang menyela dan duduk di kiri sang Mama.
Melihat wajah Alan entah kenapa Mika tak ingin menyembunyikan ketidaksukaannya. Karena keponakan suaminya ini adalah awal dari semua masalah yang akan terjadi suatu saat nanti. "Tentu aja kami berdua!" Mika merangkul lengan Gavin tiba-tiba membuat sang empu cukup terkejut. Apalagi menatap wajah Mika yang dengan sombong menunjukkan hubungan mereka pada Alan.
Seperti Gavin sebelumnya, Alan saat ini juga merasa aneh dengan sikap Mika. Sebelumnya Alan bisa pastikan Mika selalu mengejar-ngejarnya sejak bangku sekolah menengah pertama. Tapi, saat ini Mika dengan bangga dan bahagia menunjukkan kemesraannya dengan Gavin di hadapannya.
"Kalian? Paman kalian mau bulan madu?" ucap Alan terkejut tak percaya.
Gavin menatap ekspresi Alan yang menunjukkan keterkejutannya. Tapi, hal itu entah kenapa membuatnya sedikit bahagia. Menelan kembali penjelasan atau bahkan kata-kata tolakkan, Gavin mengatakan hal lain yang membuat wajah Alan semakin suram.
"Hmm. Kami mau pergi bulan madu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!