NovelToon NovelToon

Sepenggal Kisah Anak Haram

Chapter 1 Aku Tak Mengerti

"Eh, kamu itu anak haram yang ditemukan di tempat sampah!" ujar wanita itu sambil menunjuk kepala gadis kecil berusia 8 tahun.

Gadis kecil itu hanya tertunduk penuh ketakutan, sehingga meringkukkan badan menempel ke dinding. Ia sudah terbiasa dengan semua perlakuan wanita yang biasa ia panggil 'ibu' itu.

Dalam hati kecilnya ia selalu bertanya, mengapa wanita itu tega menyakitinya dengan perkataan yang kadang ia tak paham. Jujur, ia tak paham mengapa ia disebut anak haram. Ia juga tak pernah tau mengapa sikap ibu yang ia harapkan seperti ibu lainnya bisa membencinya.

****

Gadis itu terpekur di bawah pohon beringin yang rindang. Ia tatap kawan-kawannya yang sedang bermain dengan riang. Asril, anak laki-laki yang punya tubuh gempal dan berkacamata itu sedang bermain gundu dengan Tyo, Rully, dan Rusli. Asril selalu menang, tawanya lepas. 

Tak jauh dari tempat bermain Asril dan kawan-kawannya, Rani dan kelima kawannya bermain lompat tali. Mereka nampak semangat melompat, meski terkadang ada yang jengkel karena tak bisa melompat dan akhirnya jadi pemegang tali karet.

Nesa hanya tersenyum, betapa bahagia mereka. Seperti tak ada beban yang harus mereka tanggung. Tak seperti dirinya yang hari-harinya dipenuhi rasa takut oleh amarah yang sering ia terima.

Jika anak lain kena marah karena kesalahan mereka, namun tidak dengannya. Tak melakukan kesalahan pun tetap menjadi sasaran amarah ibunya.

"Tuhan, apa salahku hingga aku tak bisa memiliki kebahagian seperti mereka?" gumam Nesa sambil menghela nafas. 

Diusianya yang baru 8 tahun, Nesa telah melalui banyak hal yang menyakitkan. Ia menjadi pendiam tak seriang kawan-kawan sebayanya. Bahkan ketika sekolah pun ia tak pernah sarapan, dan ia sering menahan saliva ketika melihat teman-teman lain membeli banyak jajanan.

Ya, ibunya jarang memberi uang saku. Bukan karena tidak mampu memberi uang saku, namun memang begitulah Lasmi yang tak rela hasil jerih payah suaminya digunakan untuk keperluan Nesa.

****

"Bu, Nesa lapar," adu Nesa sepulang sekolah.

"Itu ada ubi, makan saja tapi jangan dihabiskan."

"Itu ada nasi dan ikan, bu."

"Itu buat Resti!" seru ibunya dengan nada tinggi.

"Boleh ambil nasinya sedikit, Bu? Aku makan pakai garam tak apa kok, ikannya biar buat Dek Resti."

"Kamu ini, ya. Ngelunjak terus, ambil satu centong saja, ga usah banyak-banyak!"

"Iya, Bu. Makasih ya, Bu."  Nampak wajah Nesa berbinar.

Ia segera mengambil piring dan nasi. Begitu lahap ia menikmati nasi yang telah ia taburi garam. 

"Alhamdulillah ... terimakasih Ya Allah, Engkau telah memberiku makan hari ini," puji syukur terucap dari bibir mungil Nesa sambil menengadahkan kedua tangan. Senyum manis mengembang bahagia di wajahnya.

****

"Ayah sudah pulang?" sapa Lasmi kepada suaminya.

"Sudah, Bu. Ini ayah bawakan pizza, anak-anak pasti suka."

"Nesa, Resti! Ayah bawa pizza, nak. Cepat kesini, ayo makan bareng-bareng," panggil Anarya kepada kedua putrinya seraya menarik kursi dan mendudukinya.

Nampak dua gadis kecil muncul dari kamar menuju ruang makan yang bersatu dengan dapur itu.

"Asyik ... Ayah tahu saja kesukaan kami," seru Nesa sambil tangan kecilnya meraih sepotong pizza di atas meja.

"Ehm ... ehm ... ehm ...." Lasmi berdehem.

Nesa tahu kode itu, Nesa juga paham apa yang harus dia lakukan.

"Nesa ambil satu saja ya, Yah."

"Kenapa?"

"Nesa kenyang, Yah. Tadi sudah makan nasi." 

"Oh, sayang dong ayah beli. Ya udah, tak apa, Nesa makan secukupnya saja. Ambil lagi 2 potong dan simpan buat sarapan besok pagi," kata Anarya lembut sambil mengusap kepala anak kesayangannya itu.

"Resti juga mau ya, Yah." Resti pun ikut usul.

"Iya, boleh sayang," jawab Anarya dengan senyum mengembang.

Anarya adalah sosok ayah yang begitu sayang kepada kedua anaknya. Terlebih pada Nesa, anak yang begitu ia kasihi, buah hati yang ia jadikan sebagai penebus rasa bersalahnya.

"Nesa, ayah janji akan terus menjagamu, Nak," janji Anarya dalam hati.

Ada goresan luka yang menyayat saat Anarya mengatakan itu. Kilatan-kilatan masa lalu berkelebat melibas kenangan di memorinya. Banyak torehan luka yang belum kering hingga kini.

Secepat mungkin Anarya menyeka titik bening di sudut netra agar tak terlihat oleh istrinya, istri yang tak mampu memiliki hatinya.

Chapter 2 Potongan Masa Lalu

Malam telah larut, angin bertiup dingin menusuk hingga ke tulang. Sejenak pria itu memandangi gadis kecil yang tertidur lelap di hadapannya. Ia benarkan selimut hingga menutup tubuh bidadari kecil yang selama ini menjadi penyemangat hidup baginya.

Oh, tidak! Mata pria itu berkaca-kaca, nampak raut wajah penuh rasa bersalah dan berjuta penyesalan tergambar jelas. Kembali ia usap rambut putri kecilnya penuh kasih.

Sejenak ia terpegun. Bayangan masa lalu kembali melintas berkelebat dalam ingatan. Seandainya waktu bisa diputar, maka ia ingin membenahi seluruh kebodohannya di masa silam.

*flashback on

"Hai, kenalkan aku Anarya Putra Bramantyo. Panggil saja aku Anarya," ucap Anarya menghafal dialog yang akan ia gunakan untuk mendekati seorang gadis.

Detak jantungnya berdegup tak wajar, berpacu dengan nyali yang kembang kempis dalam niat.

Saat itu Anarya ada di depan sebuah toko kue, ia sering membeli kue disana hanya demi melihat gadis pujaannya itu. Gadis manis yang senyumnya mampu merenggut nyenyak tidurnya selama dua bulan ini.

Hari ini Narya bertekad harus mengungkapkan perasaan, ia sudah tak sanggup menahan perasaannya lagi.

"Ah, terlalu formal!" serunya pada diri sendiri sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Sedang bingung Anarya memilih dialog yang tepat, dari dalam toko ada seorang gadis muda yang sedari tadi memperhatikan Anarya. Ia pun melangkah keluar untuk bertanya.

"Permisi, maaf ada yang bisa dibantu, Mas?" sapa gadis manis pemilik suara renyah itu.

Narya yang mendengar suara gadis itu pun kaget dan berhenti dengan gerak tak jelasnya. Ia masih dalam posisi membelakangi gadis itu. Mulutnya komat kamit entah merapal mantra apa, sungguh ia jadi salah tingkah.

"Eh, i-iya, Mbak. Aku Anarya." Anarya Membalik badan dan tergagap seraya mengulurkan tangan.

"Daneesa, panggil saja Neesa." Gadis manis itu menyuguhkan senyum manisnya yang membuat jantung Anarya berdegub semakin kencang.

"A-aku suka kamu!" Anarya kaget dengan perkataannya sendiri. Dia menunduk merutuki kebodohannya, kenapa secepat ini dia mengatakan.

Daneesa yang mendengar langsung melongo kaget. Mulutnya membulat karena tak percaya. Ekspresi yang tak dapat dibayangkan karena ditembak oleh cowok yang baru semenit lalu memperkenalkan diri.

"Hahaha ... Mas ini lucu, ya. Baru juga kenal sudah bilang suka," tawa Daneesa memecah kebekuan yang sejenak terjadi.

"Tapi aku menyukaimu sejak dua bulan lalu," terang Anarya, ia menatap lekat wajah gadis di hadapannya itu.

Gadis manis dengan rambut sebahu itu makin tertegun. Netranya menelisik wajah Anarya, menelusuri setiap lekuk ekspresi dan sorot mata. Ia berharap menemukan sesuatu di sana.

"Bisakah kita berteman dulu?" tanya Daneesa datar.

"Oh, tentu. Aku tahu kamu pasti butuh waktu. Aku siap kok menunggu." Seperti mendapat lampu hijau Anarya yang tadinya kikuk justru berubah menjadi begitu semangat, lidahnya tak lagi kelu.

Semburat bahagia membias di wajah tampannya, dewa amor telah berpihak padanya.

*flashback off

Anarya mengusap titik bening yang jatuh dari sudut netra, dia tersenyum jika mengingat kenangan bersama wanita yang teramat begitu ia cinta.

Rasa rindu pada sosok Daneesa menjalar di hatinya. Sudah delapan tahun lebih ia tak mampu menjumpai pujaan pencuri hatinya.

"Sayang, kenapa kamu pergi? Aku merindukanmu disini. Lihatlah putri kecil kita, dia cantik sepertimu. Matanya bulat dan bulu matanya lentik, sama persis denganmu." 

Kembali airmata Anarya berurai hingga tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara dari pintu kamar.

"Kamu kenapa, Yah? Kangen sama wanita itu?"

Anarya mengusap airmatanya, berdiri dan membalikkan badan. Ia tatap istrinya yang sedang berdiri bersedekap sambil bersandar ke pintu.

"Aku istrimu, Yah. Kenapa kamu ga menghargai aku? Sudah lima tahun ini aku mendampingimu. Tapi kalau perasaanmu selalu ke wanita itu, bagaimana aku bisa bertahan? Aku punya perasaan yang bisa terluka," cerocos Lasmi dengan nada emosi.

"Aku hanya melihat Nesa dan Resti saja, Bu. Jangan berpikir yang aneh-aneh." Anarya mencoba berbohong dan sesekali berusaha menyembunyikan matanya yang sembab.

"Terus kenapa menangis?"

"Kasian saja dengan Nesa, Bu."

"Kamu tahu? Aku benci saat kamu panggil nama anakmu. Kenapa tak kau panggil saja dengan nama lain?"

"Nama dia Nesa Putri Anarya. Jadi, wajar kalau aku panggil 'Nesa' lah, Bu."

"Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kenapa kamu beri nama dia Nesa, agar kamu bisa memanggil nama wanita itu terus menerus!"

"Apaan sih, Bu. Udah yuk, tidur. Jangan marah di sini, nanti anak-anak bangun," ucap Anarya sambil merengkuh pundak istrinya.

Malam itu Anarya harus kembali pada kenyataan bahwa Daneesa tak akan pernah ia miliki kembali. Dia harus berusaha menjaga perasaan Lasmi, wanita  pilihan ibunya. Ya, pilihan ibunya. Bukan pilihan hatinya.

Chapter 3 Tangis Nesa

Sabtu sore semburat jingga mewarnai langit senja di bagian barat. Tampak dua bocah sedang duduk di atas tumpukan buis beton yang ada di area terbuka. 

Gadis kecil dengan rambut tergerai sepanjang pinggang terlihat menikmati pemandangan layang-layang yang terbang di awan. Sesekali ia membetulkan anak rambutnya yang tertiup lembut angin sore itu.

Di sampingnya duduk anak laki-laki seusianya, berbadan sedikit tambun, berkulit putih bersih, dan berlesung pipit. Tampak tawa suka cita selalu hadir di wajah pria kecil itu. Tangannya asyik menarik ulur tali senar yang terkait pada layangan miliknya, layangan yang telah membumbung tinggi dengan ekor panjang.

"Nesa, kamu suka layanganku?" tanya Asril sambil menoleh ke arah Nesa.

"Ya, aku suka. Kamu pandai membuat dan menghias layangan," jawab Nesa sambil tersenyum manis pada kawan baiknya itu.

"Kalau kamu suka, besok akan aku buatkan untuk kamu. Jadi, kamu bisa main bareng denganku."

Nesa hanya menggangguk dan tersenyum. Pandangannya kembali ke layangan milik Asril yang bergambarkan robot transformer kesukaannya. Disana ia lihat sebaris tulisan nama Asril dan Nesa.

"Asril, kamu tahu nggak apa itu anak haram?" 

"Hm ...." Nampak Asril berfikir, jari telunjuknya menggaruk hidung tanda ia sedang mengingat sesuatu.

"Kamu dapat kata-kata itu dari siapa?" tanya Asril menyerah karena tak menemukan jawaban.

"Dari ibu. Ibu sering bilang aku ini anak haram."

"Coba kamu tanya ke ibu kamu."

Nesa hanya terdiam. Tatapannya kembali ke matahari yang bersiap-siap kembali ke peraduan.

"Asril, udah sore. Kita pulang, yuk!" ajak Nesa seraya berdiri.

Tanpa diminta lagi, Asril pun menggulung layangan dan mengantar Nesa pulang ke rumah dengan naik sepeda miliknya .

"Nesa, besok kita ke sekolah bareng, ya. Kamu nggak usah naik sepeda sendiri. Biar aku saja yang jemput," anjur Asril sesampai di depan rumah Nesa.

"Kamu nggak ngerasa capek boncengin aku terus?"

"Nggak kok, Nes. Malah aku seneng ada teman yang bisa diajak bercanda di jalan."

"Oke, Asril. Tapi ...."

"Tapi kenapa?"

Nesa menengok ke arah rumahnya, seolah ada yang ia takutkan. Ia pun mendekat ke Asril dan berkata setengah berbisik.

"Besok aku harus mampir dulu ke rumah Mbok Jum, ambil kue yang akan aku jual di sekolah. Aku harus diam-diam jualan kue biar ibu nggak tahu. Jadi, jangan bilang ke siapa-siapa, ya."

"Memangnya uang sakumu kurang?"

"Ibu nggak pernah kasih uang saku."

"Kenapa?"

"Kata ibu, aku nggak boleh jajan sembarangan di sekolah. Selain itu, kata ibu aku harus belajar hemat."

"Oh ... tak apa, Nes. Besok aku siap mengantar," ujar Asril semangat.

"Makasih banyak ya, Asril."

"Sama-sama. Sampai jumpa besok ya."

Asril pun mengayuh sepeda meninggalkan Nesa yang masih berdiri memandangi kepergian sahabatnya, sahabat yang selama ini selalu peduli dengannya.

Ya, hanya Asril kawan yang dekat dengan Nesa. Rumahnya tak jauh dari tempat tinggal Nesa. Hanya saja Nesa tak pernah main ke rumah Asril yang besar itu karena ibunya Asril sering menunjukkan wajah tak sukanya.

Gadis kecil itu juga tidak mengerti kenapa beberapa tetangga tidak menyukainya, sedangkan dia hanyalah anak kecil yang tak tahu apa-apa. Dia hanyalah anak polos yang tidak mengerti kesalahan apa yang telah ia perbuat.

"Eh, anak haram! Ngapain kamu disitu? Nunggu ayahmu pulang? Ayahmu lima hari ke depan tak akan pulang, jadi tak perlu kamu tungguin disitu!"

Nesa kaget, ia menoleh ke arah suara yang telah ia kenal dan hafal.

"Nggak, Bu."

"Buruan masuk kalau tak mau aku kunci pintunya!"

"I-iya, Bu." Bergegas Nesa berlari masuk ke rumah.

****

Senja berganti malam saat gadis kecil itu berdiri di dekat jendela. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.45, namun mata gadis kecil itu masih basah airmata.

"Ayah ...." gumamnya sambil kembali terisak. 

"Ayah, Nesa ikut ayah. Jangan tinggalin Nesa, Yah." Masih dengan sesenggukan gadis kecil itu berulang-ulang memanggil ayahnya.

"Nesa takut sendirian, Yah. Perut Nesa juga lapar." Airmata semakin membanjiri pipinya. Sesekali ia menyeka dengan punggung tangan.

Lama ia terisak di dekat jendela, berharap ayahnya mendengar tangisannya dan segera pulang. Namun harapannya pupus, hanya suara binatang malam yang terus bersahutan yang ia dengar.

"Nesa!" panggil seseorang dari luar jendela sambil mengetuk daun jendela yang membuat Nesa kaget bukan kepalang. Sesosok pria kecil telah berada di luar jendela.

"Asril?"

"Tolong buka jendelanya, Nes."

"Kamu ngapain, Asril?" tanya Nesa setelah membuka jendela.

"Aku bawain kamu makanan," tutur Asril sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam.

"Kamu makan ya, Nes. Aku harus buru-buru pulang, takut kalau ibu nyari."

"I-iya, makasih ya, Asril."

"Iya, sama-sama. O iya, jangan nangis lagi, Nes. Makan yang kenyang terus tidur. Itu tadi aku bungkusin kamu nasi ayam dan jus alpukat. Sudah, ya. Dagh!" 

Kesedihan Nesa sedikit terobati, malam ini ia bisa tidur dalam perut terisi. Ia membelalak saat membuka kotak makanan yang berisi nasi dan ayam paha goreng.

Segera ia santap makanan yang jarang ia makan, bukan karena ibunya tak pernah memasak, namun karena ibunya selalu bilang itu untuk Resti, jadi ia harus mengalah.

Selama ini, ia bisa menikmati makanan enak jika ayahnya di rumah. Itupun harus dengan rasa takut karena tatapan ibunya yang seolah memberi kode agar tidak mengambil banyak.

Tetapi sayang, sang ayah sering bepergian keluar kota karena pekerjaannya sebagai seorang pengusaha properti. Harusnya dengan profesi ayahnya, ia tak akan berada dalam kekurangan.

Lasmi, wanita yang selama ini ia panggil ibu selalu membuatnya dalam kekurangan dan kelaparan. Bahkan Nesa tak pernah mengerti kenapa ibunya begitu membenci dirinya bahkan sering marah tanpa sebab.

Untuk kesekian kalinya Asril datang sebagai dewa penolong. Asril tahu karena seringkali melihat Nesa memegangi perut saat sekolah ataupun bermain. Jika ayahnya Nesa tak ada di rumah, maka Asril yang diam-diam mengirim makanan.

Selesai menyantap nasi dan ayam dengan lahap, ia menikmati segarnya jus alpukat. Malam ini benar-benar luar biasa baginya dapat menikmati makanan mewah seperti ini.

Ya, mungkin bagi anak lain ayam dan jus alpukat adalah hal biasa. Namun bagi Nesa adalah hal yang luar biasa. Ia bisa ikut makan di meja makan saja ketika ayahnya ada, selebihnya ia makan apa yang diberikan ibunya.

"Ya, Allah ... Nesa bersyukur hari ini Allah kirim Asril untuk mengirim makanan untuk Nesa. Nesa kenyang, Ya Allah. Malam ini Nesa bisa tidur nyenyak," ucap syukur Nesa sambil menengadahkan tangan. 

Senyumnya kembali tersembul dari bibir mungilnya dan sejenak kemudian ia telah terlelap dalam mimpinya. Mimpi yang selama ini ingin ia rasakan dalam kehidupan nyatanya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!