NovelToon NovelToon

Balas Dendam Istri Yang Tersakiti

EPISODE 1

"Bang, kenapa Aini dikasih pisang?" teriak Amanda begitu sampai di rumah. Richard yang lagi tidur langsung terlonjak bangun.

"Nggak ada, Sayang," jawab Richard gugup, badannya bergetar lihat Amanda ngamuk.

"Ibu abang yang kasih pisang ke Aini!" Amanda menjerit lagi. Richard buru-buru bangun dan berdiri di depannya.

"Dari tadi Aini ada di samping abang, Sayang," Richard coba ngeles.

"Samping abang apanya?! Aku sendiri lihat ibu abang kasih pisang ke Aini!" suara Amanda makin tinggi, matanya merah penuh marah, air mata deras. Richard ngeri lihatnya.

"Ah, dulu ibu juga kasih abang pisang waktu umur dua bulan. Nyatanya sehat-sehat aja kan sampe sekarang," kata Bu Ratna masuk ke kamar dengan nada enteng.

"Itu dulu, Bu! Itu anak ibu, bukan anakku! Bayi belum boleh makan apa-apa sebelum umur enam bulan!" bentak Amanda.

"Kamu marahin ibu aku, Amanda?" Richard tarik tangan Amanda, pura-pura tegas. Padahal dia tahu, kalau Amanda ngamuk dan nggak mau kerja, mampuslah dia.

Tapi karena ada ibunya, dia harus kelihatan berani.

"Kalau soal anakku, aku nggak takut sama siapa pun! Ibu abang udah ngeracunin anakku!" Amanda membalas dengan suara menggelegar.

"Amanda! Kamu—" Richard angkat tangan, siap menampar.

"Tampar, Bang! Tampar aku!" Amanda nantang, matanya tajam menusuk. Tangannya ngepal, badannya bergetar nahan emosi. Richard kaku, tangannya berhenti di udara.

"Cuma karena aku nggak bisa kasih ASI, kalian seenaknya sama anakku?!" Amanda berteriak penuh luka.

"Aku udah beli susu buat Aini! Kenapa masih dikasih pisang?!"

"Halah, daripada buang duit beli susu, mending kasih ke ibu. Nanti ibu kasih ke Richard," sahut Bu Ratna santai.

Amanda pandang ibu mertuanya tajam.

"Ibu mau duit? Suruh anak kesayangan ibu kerja! Jangan andalin istri!" Amanda menyambar.

"Kenapa aku pula? Kau tahu aku baru dipecat, kan?" Richard coba ngeles.

"Udah berapa lama, Bang? Lima bulan?! Sampai kapan alasan itu?" sindir Amanda, bikin Richard terdiam.

"Untuk apa anakku kerja kalau kau udah kerja?" kata Bu Ratna makin jadi.

"Aku kerja buat anakku! Bukan buat ngasih makan suami pemalas sama keluarganya! Mau duit? Kerja! Jangan cuma duduk ongkang-ongkang kaki!" bentak Amanda pedas.

"Kau itu menantu aku! Kau wajib kasih duit ke aku, paham?!" Ratna menyergah lalu keluar kamar.

"Nggak bakal lagi!" Amanda berteriak. Ia langsung gendong Aini.

"Bang, kenapa Aini diam aja?" Richard mulai panik.

Amanda langsung lihat wajah anaknya.

"Aini!" jeritnya ketakutan.

Richard lompat dari tempat tidur, lihat wajah Aini udah pucat biru.

"Cepat ke rumah sakit!" Richard buru-buru ke mobil. Amanda ikut berlari sambil mendekap Aini.

"Bang, cepatlah!" desaknya.

"Pelan aja, Sayang. Yang penting selamat," Richard masih santai.

"Berhenti sekarang!!" teriak Amanda marah.

Richard terpaksa berhenti. Jalan di depan macet. Amanda langsung turun, lari sekencang mungkin bawa Aini.

"Amanda! Amanda!" Richard teriak kesal, tapi tetap nyetir pelan.

Beberapa menit kemudian, Richard sampai di rumah sakit.

Di ruang gawat darurat, dia lihat Amanda nangis histeris.

Tubuh kecil Aini udah ditutup kain putih.

Richard terpaku, tubuhnya lemas.

"Aku bakal buat perhitungan sama kalian," desis Amanda tajam, matanya penuh dendam.

Amanda berdiri di depan tempat tidur rumah sakit dengan tubuh gemetar, tangan mencengkeram kain putih yang menutupi tubuh kecil Aini. Napasnya memburu, dada naik turun dengan amarah yang tak terbendung. Air matanya tak berhenti jatuh, membasahi wajah yang kini penuh luka.

Richard diam di tempat, tubuhnya lemas, matanya terpaku pada tubuh anak mereka yang tak lagi bernyawa. Hatinya mencelos, tapi ketakutannya lebih besar dari kesedihannya.

"INI SEMUA SALAH KALIAN!" jerit Amanda, suaranya menggema di seluruh ruangan.

Richard tersentak.

"Anakku mati karena kalian! Karena kebodohan kalian! Karena egois kalian!" suara Amanda pecah, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak.

Bu Ratna yang baru tiba di rumah sakit, terperanjat melihat pemandangan di depannya. Ia melangkah mendekat, tapi sebelum sempat bicara, Amanda berbalik, matanya menyala penuh kemarahan.

"Jangan dekati aku!" bentaknya, membuat Bu Ratna berhenti dengan wajah pucat.

"Kau bunuh anakku! Kau racuni dia dengan tanganmu sendiri! Aku tidak akan pernah memaafkanmu, bahkan sampai aku mati!"

Bu Ratna membuka mulutnya, ingin membela diri, tapi Amanda sudah lebih dulu mendekat dengan tatapan yang mengerikan.

"Kau pikir aku akan diam? Kau pikir aku akan melupakan ini? Tidak! Aku bersumpah, kau akan merasakan penderitaan yang lebih dari ini!" suaranya bergetar penuh kebencian.

Richard menelan ludah, tubuhnya gemetar melihat api di mata istrinya.

Amanda menatap mereka berdua satu per satu, lalu berkata dengan suara yang dingin menusuk, "Aku tidak butuh suami pengecut. Aku tidak butuh keluarga yang membunuh darah dagingku sendiri. Aku akan pergi, dan aku bersumpah... kalian akan menyesal telah menghancurkan hidupku."

Tanpa menunggu jawaban, Amanda berbalik, meninggalkan mereka dengan hati yang telah hancur.

Di belakangnya, Richard terduduk, wajahnya penuh ketakutan, sementara Bu Ratna berdiri membatu—untuk pertama kalinya, ia tahu bahwa hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.

EPISODE 2 pov richard

"Aini alah meninggal."

Terdengar Amanda menelpon orang tuanya.

"Mampus lah aku, bisa jadi rujak aku dibuat kakaknya."

Amanda masih terus menangis sampai kami membawa jenazah Aini ke rumah.

Di rumah, sudah ramai orang datang melayat. Tangisan Amanda makin kuat, dia memeluk jenazah anak kami erat-erat, seakan tidak ingin melepaskannya.

"Aku pun sedih, Yang," ucapku mencoba menggandeng tangannya.

Tapi Amanda tak menggubrisku. Aku hanya berharap dia tak membuka mulut soal ibu yang memberikan pisang pada Aini. Tadi ibu sempat berbisik padaku, meminta agar aku menahan Amanda supaya tak bicara di depan orang banyak.

Ibu sangat dihormati di komunitas ibu-ibu. Dia selalu menekankan bahwa bayi tak boleh diberi makanan sebelum enam bulan. Bahkan, ibu sering diundang jadi pembicara di seminar parenting.

Hari ini, teman-teman ibu semua hadir. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang. Wajah mereka semua tampak hormat pada ibu, tak menyangka kejadian ini bisa terjadi.

Sampai tiba-tiba...

"KALIAN PEMBUNUH! Kalau saja ibumu tidak memberi pisang pada Aini, anakku pasti masih hidup!" teriak Amanda histeris.

Ruangan langsung sunyi. Semua mata memandang tajam ke arah ibu.

Ibu cepat-cepat mendekat ke arahku, wajahnya mulai panik.

"Apa betul itu, Bu Ratna?" tanya salah seorang teman ibu, Bu Ayu.

"Bukan seperti itu ceritanya, Bu Ayu," jawab ibu dengan suara bergetar.

"Lantas, apa maksud ucapan menantu ibu itu?" tanya Bu Ayu lagi, matanya penuh selidik.

"Dia cuma salah paham, Bu," ibu makin tampak gugup.

Amanda masih memeluk tubuh Aini. Bahkan saat jenazah anak kami hendak dimandikan, dia bersikeras ingin tetap menggendongnya.

"Sudahlah, nanti kita bicarakan. Sekarang kita urus dulu cucuku," ucap ibu sambil menarik tangan Bu Ayu menjauh.

Amanda terlihat lemas. Dari keterangan dokter tadi, Aini meninggal karena tersedak. Kemungkinan pisang yang ibu berikan tidak cukup halus, sehingga menghambat pernapasannya.

Bukan cuma itu, ususnya juga bermasalah. Dan yang paling fatal, pernafasannya terhenti.

Aku diam selama beberapa hari. Kupikir takkan ada masalah, sebab ibu sudah berpengalaman membesarkan anak. Tapi ternyata aku salah. Peringatan dari tenaga kesehatan selama ini bukan sekadar omong kosong.

Kini aku hanya bisa melihat Amanda menangis tanpa henti.

Setelah dimandikan, jenazah Aini dikafani. Aku yang menggendongnya untuk dibawa ke pemakaman.

"Anakku… anakku… jangan bawa anakku!" jerit Amanda histeris. "Semalam saja… biarkan aku tidur dengan anakku…"

"Aku cuma mau anakku… tolong…" pintanya sambil bersujud di kakiku.

Hatiku nyaris hancur melihatnya seperti ini. Walaupun cintaku pada Amanda tak begitu besar, tapi dia istriku. Melihatnya begini, aku tak sanggup.

"Sudahlah, Manda. Jangan buat drama dan memperkeruh suasana. Anakmu itu tabungan surgamu," ucap ibu berusaha menenangkan.

Mendengar ucapan ibu, Amanda langsung bangkit dan menatap tajam.

"KAU PEMBUNUH ANAKKU!!!" bentaknya.

"Ibu kasih pisang ke anakku bukan sekali dua kali!" Amanda berteriak dan langsung lari ke kamar.

Aku sudah siap berangkat ke pemakaman, tapi langkahku terhenti saat Amanda keluar membawa piring.

"Lihat ini! Masih ada bekas pisang yang dikerok kasar! Kamu lihat, hah?!" Amanda menunjuk piring itu ke arah ibu.

"Ini yang kau berikan ke anakku! Satu pisang sudah habis, satu lagi hampir habis! Apa kau memang berniat membunuh anakku, ibu?!"

Ibu makin gugup. "Amanda! Kau benar-benar keterlaluan!" bentaknya sambil menampar piring di tangan Amanda hingga jatuh dan pecah.

Beberapa orang langsung memeluk Amanda yang kembali menangis histeris.

"Ikhlaskan, Nak, ikhlaskan… Semua kita pasti akan pergi…" ucap seorang ibu menenangkan.

"Sudah, Nduk… nanti ya. Kalau pemakaman anakmu selesai, baru kita bicara," bujuk yang lain.

EPISODE 3

"Bu, anakku..."

"Bu, anakku..."

Amanda menarik lengan orang-orang di sebelahnya. Richard dituntun supaya jalan terus, membawa jenazah Aini ke kuburan. Tapi Richard taragak cuek aja.

Entah napa, hatinya kosong bana. Apalagi pas tanah mulai menimbun tubuh mungil anaknya. Richard masih berperang dengan pikirannya sendiri.

"Kenapa ini? Ada yang benar-benar aneh di hatiku," gumam Richard.

Sesudah pemakaman, orang-orang pun pulang. Amanda tadi tak diizinkan ikut ke kuburan.

Sampai di rumah, suasana makin kacau. Kakak dan adik Richard malah membela Ratna, melawan Amanda. Sementara, keluarga Amanda masih dalam perjalanan.

"Alah, kami aja aman makan pisang. Cuma anak kau aja yang mati," celetuk kakak Richard.

"Harusnya sih ndak bakal mati hanya karena pisang," tambahnya lagi.

Amanda yang sedang dipegang langsung bereaksi.

"Ibumu pembunuh!!" teriak Amanda.

"Ibu cuma mencoba-coba aja. Kau kan tahu ibu sering jadi pembicara," jawab Bu Ratna santai, tanpa ada rasa bersalah.

"Ibu cuma ingin mencoba aja. Apakah yang ibu lakukan dulu masih aman dilakukan sekarang."

"Ndak ada yang salah. Cuma kebetulan aja kecelakaan tak terduga," tambahnya.

"Amanda, kita ini keluarga. Kau sudah kuanggap anakku sendiri. Berarti aku ibumu juga kan? Ndak selayaknya kau bersikap kayak gini padaku."

"Aku juga sedih cucuku meninggal," ujar Bu Ratna.

Amanda melepaskan diri dari pegangan orang-orang dan langsung lari menuju mobil.

"Amanda! Mau ke mana kau!" teriak Richard, tapi Amanda tak peduli.

Ratna tiba-tiba menangis histeris.

Richard merasa ada yang aneh dalam hatinya. "Kenapa rasanya kayak ada yang hilang?" gumamnya.

Richard pun masuk ke kamar. Bau minyak telon masih tercium.

"Kenapa aku jadi rindu sama anakku," gumamnya lagi.

Dua jam berlalu. Suara gaduh terdengar lagi. Richard langsung keluar kamar.

"Aku sudah melaporkan ini ke polisi! Yang bersalah harus dihukum!" teriak Amanda.

Orang-orang langsung terkejut.

"Kau laporkan ibuku? Kau laporkan mertuamu sendiri? Kau gila, Amanda! Sudah hilang akal!" bentak Arin, kakak Richard.

Amanda tak menjawab. Dia tetap berjalan, melewati Richard.

"Dasar menantu durhaka!" teriak Lisa, adik Richard.

Amanda berbalik. "Kalian semua, silakan pulang. Aku mau istirahat," ucapnya pelan.

Arin dan Lisa wajahnya memerah.

"Kau berani??" Arin maju, tapi Richard langsung menahannya.

"Sudah..." kata Richard pelan.

Ratna menatap anaknya dengan tajam. "Kau membela istrimu itu?" tanyanya.

Richard menggeleng. "Biarkan dia istirahat dulu, Bu. Amanda juga manusia, butuh ketenangan."

"Sekarang aku tanya sama Ibu, apa Ibu kuat kalau ini terjadi sama Ibu?" tanya Richard. Ratna salah tingkah.

"Istri yang kau bela itu sudah melaporkan Ibu ke polisi. Kau mau biarkan Ibu masuk penjara?" tanya Arin.

Richard menggeleng. "Nanti kita urus soal itu. Tapi untuk sementara, jangan ganggu Amanda dulu. Biarkan dia tenang."

Arin membuang muka. Richard melihat Amanda yang kini begitu lemah. Tatapannya kosong. Seakan dia tak ada lagi di dunia ini.

"Ah, perasaan ini tak boleh ku biarkan lama-lama. Cukup hari ini saja," gumam Richard.

Arin dan Lisa masuk ke kamar masing-masing. Begitu juga dengan Ratna.

Sekarang, hanya Richard yang masih duduk di ruang tamu. Tetangga sudah pulang, begitu juga keluarga lain.

Richard mencoba berbaring di sofa sambil menonton televisi.

"Semoga masalah ini cepat selesai," ucap Richard dalam hati.

Baru saja hampir tertidur, terdengar suara ketukan di pintu.

Richard langsung bangkit.

"Siapa malam-malam begini?" pikirnya.

Saat pintu terbuka, wajahnya langsung pucat.

"Alamak, matilah aku..."

"Mama?" tanya Richard.

BUGH!

Satu bogem mentah mendarat di perutnya.

BUGH!

Satu kali lagi, kali ini tepat di wajahnya. Entah berapa gigi yang akan patah.

"Keluargamu sudah membunuh cucuku!" teriak Melisa, ibu Amanda, penuh emosi.

Sementara itu, Rangga, abang Amanda, masih ingin memukul Richard lagi.

Richard mencoba menahan tangan Rangga, tanda menyerah.

Tiba-tiba, Ratna keluar dari kamarnya. "Eh, berani kali kau memukul anakku!" teriaknya, langsung memeluk Richard.

"Bang!" Amanda langsung berlari memeluk Rangga.

"Ada abang di sini, dek. Ada abang," ujar Rangga sambil mengelus kepala Amanda.

Sementara itu, Bu Melisa melangkah ke arah Ratna.

"Oh, jadi ini yang membunuh cucuku?" tanyanya sinis.

"Jaga mulutmu! Aku ndak membunuh! Aini meninggal karena sesak nafas, bukan salah aku!" bentak Ratna.

"Kau penyebabnya!!" teriak Melisa.

"Sudah, Bu, sudah," Richard berusaha menenangkan.

Tapi Ratna malah berteriak. "Amanda, kau laporkan aku ke polisi, ya? Baiklah, kalau gitu aku juga akan laporkan abangmu! Dia sudah memukul anakku!"

Mata Amanda menatap Ratna tajam.

"Laporkan saja!" Rangga menyahut.

Richard mencoba menarik ibunya masuk ke kamar. Dia tak mau ada keributan lagi.

Tak lama, polisi pun datang, membawa surat panggilan untuk Ratna.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!