Hari ini sama menyebalkan seperti hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak? Pewaris satu-satunya keluarga Wijaya itu masih belum menikah juga. Sampai detik ini diusia yang ke 38 tahun pun ia masih bujang tak pernah ada gosip ia berpacaran atau menggaet seorang gadis untuk diajak kencan. Memang apa yang kurang dari Ardan Wijaya lelaki yang tampan dan mapan itu? Pria itu memiliki perusahaan yang besar bahkan berbagai usaha termasuk Cafe dan pusat perbelanjaan terbesar di kota itu.
Tentu saja hal itu tak pelak membuat orangtua Ardan bahkan turun tangan langsung mengatur kencan buta untuk anaknya yang semata wayang itu. Namun tetap saja hasilnya nihil. Bahkan banyak para gadis itu diberikan sejumlah uang agar tak mengganggunya lagi. Sontak saja hal itu membuat sang mami khawatir karna diusianya yang semakin senja ia bahkan belum bisa tenang sedikitpun.
" Ardan belum pulang, Bi?" tanya Greeta Wijaya.
Ibu tercinta dari Ardan Wijaya itu nampak lelah. Wanita tua tersebut menjatuhkan bokongnya di sofa. Bi Inah tergopoh-gopoh saat melihat Greta. Bi Inah adalah orang yang telah mengabdi pada keluarga Wijaya sejak Ardan masih kecil.
" Belum, Nyonya," jawab Bi Inah.
" Haduh, B. Gimana lagi ini? Aku capek, Bi. Banyak gadis-gadis model yang sudah aku bayar, buat ngajak kencan Ardan. Tapi semuanya gagal, Bi. Mana papi juga uring-uringan gak jelas lagi. Ini semua gara-gara Ardan mogok kerja sekarang," kesal Greta.
" Kalau menurut saya, mungkin belum waktunya, Nyonya. Mungkin Tuan Muda Ardan masih ingin bebas. " BI Inah mencoba menenangkan majikan perempuannya itu, yang terdengar beberapa kali membuang nafas berat. Kemudian imbuh Bi Inah," Nyonya mau minum dulu? Mungkin, biar agak fress dulu, Nyonya."
" Terserah, Bi." Greta mengibaskan tangannya.
" Sebentar, Nyonya." BI Inah kemudian pergi ke dapur. Selang beberapa saat kemudian, kembali mendekati majikannya. Namun, terlihat di belakangnya seorang gadis yang membawa nampan.
" Silahkan, Nyonya," ucap Bi Inah.
Greeta menoleh dan segera mengambil teh hijau. Kemudian meneguknya hingga tandas. Setelah itu mata tua Greta nampak fokus pada pelayan baru di belakang Bi Inah itu.
" Baru di sini? " tanya Greeta.
Wanita tua itu membuka percakapan dengan gadis pelayan baru. Namun, pelayan itu terlihat sedikit kebingungan. Mungkin agak grogi karena tahu, yang mengajak bicara adalah nyonya besar di rumah itu. Bi Inah menyikut gadis itu untuk segera menjawab pertanyaan nyonya besarnya. Terlihat jelas, jika gadis pelayan itu tersentak.
" I-iya, Nyonya," terbata ia menjawab.
Greeta mengamati sejenak pelayan baru itu. Dari ujung kaki, hingga ujung kepala. Seulas senyuman tipis terbit di bibirnya. Kemudian menambahkan , "Semoga betah ya di sini. Kembalilah."
"Baik, Nyonya." Gadis pelayan itu pergi ke dapur. Ia menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai. Greeta memandangi punggung gadis itu.
Melihat sang majikan tengah penasaran, Bi Inah menjawab, "Namanya Ani, Nyonya. Tepatnya Mariani. Baru bekerja dua hari disini. Dia datang dari desa dibawa pamannya, yang tukang kebun si Mamang Eko."
"Tapi kenapa mau bekerja sebagai pelayan, Bi? Dia masih muda dan masih cantik. Masa mau jadi pelayan? Bagaimana pekerjaannya? Tak masalah kan?" berondong Greeta.
"Sejauh ini pekerjaannya tak masalah, Nyonya. Dia bisa masak juga. Terlebih lagi, anaknya rajin. Dia memang masih muda, Nyonya. Umurnya baru 23 tahun ini. Dia membutuhkan uang untuk menghidupi anaknya, Nyonya. Karena dia seorang janda, Nyonya," terang Bi Inah.
Seperti tersambar petir disiang bolong. Greeta seketika membulatkan matanya. Benar-benar terkejut mendengar penuturan dari Bi Inah. Bagaimana tidak? Umur masih muda, tetapi sudah janda. Ditambah berparas ayu dan body masih oke. Kalau Bi Inah tak menjelaskan tadi, mungkin dia akan mengira pelayan baru itu masih lajang.
Greeta sedikit tertarik. Lalu ia kembali bertanya, "Kenapa begitu, Bi? Lalu bagaimana dengan anaknya?"
Greeta harus meminta Kaisar untuk menyelidiki identitas pelayan barunya itu. Tak habis fikir anaknya saja usia sudah memasuki hampir kepala 4 saja, terlihat anteng - anteng. Bahkan belum pernah mengajak seorang gadis untuk berkencan. Padahal Ardan memiliki segalanya.
"KDRT, Nyonya. Anaknya ikut orang tuanya. Usia anak itu masih 2 tahun dan anaknya laki-laki," jelas Bi Inah.
"Ya ampun, Bi. Tolong Bi. Berkas-berkas Ani bawa ke sini. Ya sudah, aku mau ke kamar tamu untuk istirahat." Greta bangkit dengan hati yang tak menentu.
Wanita tua itu ingin memperjelas siapa pelayan itu. Terlihat dia mengukir senyum yang entah apa artinya. Seakan menemukan jawaban yang selama ini dia cari. Toh wanita itu tak buruk juga. Pikirnya.
Greeta segera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Setelah pembicaraannya dengan Bi Inah, serta berkas-berkas pelayan baru tersebut, Greeta mencoba mencocokannya dengan Ardan.
"Mungkin ini satu-satunya jalan. Mungkin ini jalan dari Tuhan untukku. Untukku yang sudah tua ini." Batinnya. Selang berapa lama, ia mengambil hpnya dan menghubungi seseorang.
"Kaisar, Selidiki wanita itu siapa. Bagaimana latar belakangnya. Pastikan memberiku kabar secepatnya. Ingat, apapun itu. Jangan lewatkan satu informasi tentangnya. Oke. Terima kasih, Kaisar. Jangan bahas masalah itu. Yang jelas, kau sekarang pemimpin sementara. Tunggu aba-aba dari Ardan." Greeta menaruh ponselnya dengan senyum kemenangan. Kemudian bergegas menuju ke kamar mandi.
~ Pov Ardan Wijaya~
Sudah berapa hari ini aku minggat dari rumah, lagi-lagi mami belum nyerah juga. Kenapa segitunya sih? Semua perempuan sama aja kan? Cuma mau duit doang. Noh lihat gadis-gadis itu semua pergi begitu aku kasih duit. Huuuhhh.
"Hey, Bro. Tolong dong dikondisikan. Jangan lama-lama numpang di apartemen gue ya". Kevin terlihat frustasi. Dia pasti akan mengomel panjang lebar. "Huh gila ya? Ngapain sih minggat dari rumah segala. Ini lagi cecunguk satu ini, ngapain Lo ngekor Ardan Mulu hah? Gak punya rumah loe ?" Kevin sangat kesal karena nggak cuma aku saja yang minggat ke sini.
"Best friend dong." Dion berkata dengan entengnya.
"Sialan loe pada! Gue nggak mau tau, loe pulang berdua. Kasian tau orang tua nyariin loe pada." Kevin mulai berkacak pinggang. Aku meliriknya sebal.
"Siapa juga yang mau lama-lama di sini? Nih gue beberes mau pulang juga." Aku bersungut-sungut. "Temen macam apa loe ngusir gue segala? Nggak banget deh."
"Eh loe pulang? Ikut donk, di sini ada orang frustasi tuh mulai gila gara-gara diputusin." Dion beranjak dari tempatnya terlihat mulai berkemas, sama sepertiku.
"Eh ******! Gue udah nampung Lo berdua tau. Kenapa malah gue yang dikatain?" Kevin tak mau kalah karna selama satu Minggu ini dia menampung kedua sahabatnya diapartemennya. Apartemen kevin sudah kayak kapal pecah karna dihuni 3 cowok. Aku paham itu, tetapi 'kan aku ini sahabatnya.
"Ya udah, gue cabut dulu ya. Thanks, udah nampung gue." Aku langsung ngeloyor pergi meninggalkan Dion yang masih berkemas.
"Eh bro tunggu." Dion berlari menyusulku.
"Jangan pada balik oke, Bro! Apartemen gue bukan tempat penampungan!" Sekilas terlihat Kevin melemparkan bantalnya.
Sesampainya di rumah setelah mobil memasuki parkiran. Aku melihat mobil mami ada di garasi. Berarti mami masih ada di sini. Fuuuuhh. Kenapa lagi sih? Kenapa belum menyerah?
"Dari mana saja?" Pertanyaan dari mami langsung membuka percakapan kami. Padahal aku ini baru saja sampai.
"Eh mami di sini. Sejak kapan, M?" Aku lihat mami di meja makan. Mungkin sedang menungguku pulang. Sebenarnya aku tidak tega. Sayangnya, aku cukup malas untuk mendengarkan keluhannya karena aku belum menikah.
"Hm. Kenapa gak ke kantor? Kenapa gak hubungi mami? Udah mulai gak sayang ya sama mami?" Mami memojokkanku lagi.
" Mi... bukan begitu. Mana ada Ardan gak sayang Mami? Nih buktinya Ardan udah pulang kan? Lagian mami juga sih kenapa ngeyel banget sih pengen jodohin Ardan. Kan Ardan bukan anak kecil lagi." Karena haus, langsung kusambar minuman mami.
"Nah itu tau bukan anak kecil lagi. Cepetan cari istri biar ada yang jaga kamu. Mami bisa gendong cucu. Gak tau apa kesampaian gak cita-cita mami ini buat gendong cucu sebelum mami mati nanti."
"Uhuk ... uhukkk... " Sialan! Mami mulai lagi. " Aduh, Mi. Nanti Ardan pikirin lagi ya. Jangan ngomongin yang enggak-enggak." Kulihat sosok wanita dihadapanku. Guratan guratan karna usianya yang sudah mulai senja terlihat rapuh. Mungkin memang sudah waktunya bikin mami bahagia. Aku membatin sendu.
"Mami ada satu calon buat kamu. Udah mami pastikan latar belakangnya. Umur kamu udah segitu nggak sembarang gadis juga yang mau sama kamu meskipun kamu punya materi." Mami menjelaskan dengan pelan berbeda sekali dari sebelumnya. Apa aku coba aja ya? "Yah... ini yang terakhir buat kamu. Mami udah nggak ada calon lagi, kalau kamu gak mau yaudah. Mami nggak maksa kamu. Biarin papi mami tenang dengan rasa kesepian karna di rumah utama, cuma ada dua orang yang sudah tua. Bahkan nggak bisa melihat menantu." Raut wajah mami berubah jadi mendung.
"Yaudah, kalau Mami pengen aku bisa secepatnya ketemu dengan gadis pilihan mami ini, Ardan ikut Mami aja. Mami jangan sedih lagi dong." Aku menyerah deh. Bagaimanapun juga, bener apa yang mami bilang. Papi dan mami udah tua semua. Waktunya gue cari pendamping hidup. Yang bisa merawat mami dan papi nanti.
"Yaudah makan ya. Ani, mana makanannya? Anakku mau ikut makan juga." Mami terlihat sedikit bahagia.
Kemudian kulihat seorang pelayan ... baru? Itu menyiapkan makananku. Masih muda juga. Mungkin umurnya masih 23 atau 24 tahunan. Gue lihat sekilas cantik juga. Tubuhnya mungil. Mungkin tipe lelaki umumnya. Ngomong-ngomong mau kerja jadi pelayan? Sejak kapan? Gila! Tahun berapa ini masih mau jadi pelayan? Mengucapkan permisi dan kemudian pergi kembali ke dapur. Pikiranku masih ke arah gadis itu menghilang ada berbagai pertanyaan yang berkecamuk.
"Dia pelayan baru. Di sini kerja dua hari ini. Namanya Mariani. Keponakan Mang Eko. Ini masakan dia, ayo dicoba." Mami menyunggingkan senyuman.
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa mami seakan senang dengan gadis itu? Di meja makan ada masakan rumahan. Masakan diakah? Aku memandangi semua menu yang tersedia di atas meja.
"Sayur asem pindang goreng mujair bakar sama ayam panggang ini ada sambal juga. Kamu mau yang mana?" Mami menawariku. Kelihatannya enak.
"Sayurnya, Mi. Sama mujair bakar dong." Mami masih dengan telateb mengambilkan makanan untukku. Mulai kusendokkan ke mulutku. Enak kok. Huuhh sambalnya sepedes ini, perasaan masakan bibi beda nggak gini. Hm, kalau dimasakin kayak gini terus mending makan di rumah aja terus. Batinku.
"Enak kan sambelnya? Ini sambel janda namanya soalnya yang bikin janda." Kata-kata Mami membuatku terbatuk.
"Uhuk... uhukk...uhukkk..." Kaget aku. Aku pun langsung mencari minuman. "Yang bener aja, Mi? Ardan lagi makan sambel ini. Mana ada namanya sambel janda gini, bercanda juga lihat situasi dong. Mami ini aneh-aneh aja ngasih nama sambel." Aku meletakkan gelas yang isinya telah kosong.
"Siapa juga yang bercanda. Ll? Orang emang sambel janda kok. Yang bikin tadi mami panggil kesini buat siapin." mlMami tetap ngeyel nggak mau kalah.
"Di sini gak ada kok yang janda, Mi. Udah deh jangan ngomong yang aneh-aneh. Ayok habisin makanannya. Habis ini Ardan mau beberes mau mandi. Badan gerah." Aku mulai makan lagi.
"Lah yang bikin emang janda, Ardan. Mami nggak bohong kok. Itu tadi si Ani." Mami mengucapkannya dengan wajah yang serius.
Nggak mungkin bercanda juga sekarang. Aku diam. Umurnya berapa? Kok udah janda aja? Nggak kerasa mukaku merah padam, malu karna belum laku sampai sekarang. Bujang tua. Sekelebat bayang permintaan mami untuk mencari istri muncul. Ternyata jika dibandingkan dengannya, aku bukan apa-apa ya. cih. Pikiran tentang tubuh mungil nan molek itu berkeliaran mesum di otak. Ah kenapa juga sih pikiran jorok ini. Ah udah ah lanjut makan.
Selesai makan aku langsung menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri malam semakin larut. Mami juga sudah pamit pulang setelah makan tadi.
Malam semakin larut. Ardan belum bisa memejamkan matanya,sekalipun pikiran tentang pembicaraan sore hari dengan maminya. Ia masih penasaran dengan pelayan barunya itu. Wajah oke. Body gitar spanyol. Kulit kuning Langsat mulus lagi. Gimana sudah jadi janda? Suami gila macam apa yang bisa segoblok itu ceraiin istrinya? Fix goblok yang hakiki. Begitu pikiran Ardan berperang.
Entah ada hasrat apa yang membuatnya segitu penasarannya dengan gadis pelayan di rumahnya. Memang di rumahnya ada banyak pelayan, namun itupun sudah lama ikut kerja dirumah utama. Kemudian saat Ardan membutuhkan pelayan untuk membantunya di rumah baru, sebagian dia ambil dari pelayan maminya itu. Jadi jelas sebagian sudah berumur paruh baya.
"Kenapa gue ngrasa sekarang, gue jomblo ngenes ya tiap malam cuma bisa peluk guling melulu? Sialan!" Ardan menggulingkan badannya ke sana kemari di atas ranjang.
"Ngomong-ngomong siapa calon terakhir dari mami ya? Jangan samai deh kayak dulu-dulu." Ardan menatap langit-langit kamar.
"Gue memag sudah seharusnya mencari istri. Mami papi sudah waktunya punya menantu. Umur juga kenapa cepet banget sih jalannya? Lagian susah tau cari yang bisa nerima gue sebagai diri gue sendiri, bukan sebagai pewaris keluarga wijaya."
Drrrtt...ddrrtt ... Benda pipih itu bergetar. Ardan segera menyambar benda itu. Dilihatnya siapa yang tengah malam menelponnya. Kevin.
"Halo? " Terdengar suara dari ujung sebrang sana.
" Hmmmm," sahut Ardan yang sebenarnya malas meladeninya.
"Loe tidur ?"
" Hmmm."
" Oh loe bisa tidur juga ya."
"Sialan! Bengek, kenapa malam-malam nelpon ? Penting kagak? Gue ngantuk." Ardan bersungut-sungut kesal.
"Alah palingan juga kagak ada yang loe peluk. Loe gak pengen gabung sini? Gue lagi di club' nya si Dion ni."
"Enggak deh gue tidur aja, besok mo ngantor nemenin bokap. Awas ya kalo loe besok gak masuk kerja, gue potong tu gaji loe." Ardan mematikan telponnya. Sebelum mendengar ocehan Kevin yang jelas seperti emak-emak itu.
Malam mulai beranjak pelan. Ardan pun sebisa mungkin memejamkan matanya untuk tidur karena besok harus menemui papinya yang jelas bakal mengamuk karena tingkah kekanakannya itu.
Suasana pagi di rumah itu berjalan seperti biasa. Namun kali ini ada yang menggelitik hati kecil Ardan untuk sarapan di rumah. Biasanya ia tak mau sarapan di rumah. Karena siapa lagi? Kalau bukan karna daun muda yang mulai sedikit menarik perhatiannya itu.
"Pagi, Bi Inah... mau dong sarapan di rumah." Ardan membuka percakapan di dapur.
Matanya mencari kearah di mana daun muda itu berada. Tampilan sederhana dengan polesan make up tipis menyapu kulitnya yang indah, membuatnya mencolok dari pelayan yang lainnya.
"Baik, Tuan Muda. Tapi, kalau mendadak begini BI Inah cuma bisa bikin nasi goreng aja. Waktunya mepet, Tuan Muda." BI Inah sedikit kaget dengan sikap Ardan karna biasanya dia memang tak sarapan di rumah.
"Biar dia aja Bi yang masak." Ardan menunjuk Mariani yang menunduk. "Kemarin aku udah coba masakannya kok. Enak, sesuai selera lidah Ardan. Hm siapa namamu ?" Pertanyaan Ardan sontak membuat semua mata menoleh ke arah yang dituju Ardan. Sosok daun muda yang membuatnya penasaran dan terus penasaran. Gadis itu membatu. Kemudian dengan tangan gemetar menunjuk wajahnya sendiri.
"Dia kaget? Oh astaga! Jantungku!" Ardan membatin gemas.
"Hm, iya. Nama loe siapa ? Biar enak juga gue manggilnya." Lagi, Ardan menunjuk Mariani.
"Mariani, Tuan Muda." Wanita itu masih menundukkan kepala.
"Oke bikinin gue nasi goreng ya, gue tunggu di ruang makan. Santai aja, lagian gue nggak ada jadwal penting kok." Ardan tersenyum agar pelayan baru itu tak secanggung itu.
Karena mungkin dia pelayan baru, untuk itu sikapnya agak kaku dan terlalu menaruh hormat takut membuat kesalahan. Padahal Ardan dan mami papinya selalu baik dalam memperlakukan pelayan mereka. Maka dari itu tak sedikit juga yang betah bekerja di keluarga Wijaya.
"Baik, Tuan Muda." Wanita itu membungkuk kemudian berlalu mengerjakan tugas membuat sarapan tuan mudanya itu.
"Sepertinya lidah tuan muda cocok dengan masakanmu, Ani. Kalau begitu setiap hari sepertinya tugas memasak, aku serahkan ke kamu. Karana nggak biasanya memang tuan muda mau sarapan di rumah. Keluarga ini baik, jadi jangan terlalu kaku menghadapi tuan muda. Bersikap hormat seperti biasanya saja. Jangan terlalu kaku. Kamu mengerti?" Memang hanya Bi Inah yang paling peka dengan situasi apapun.
"Baik saya mengerti."
Kamu gadis yang baik Ani. Jika kelak perasaanku ini benar mungkin kamu akan menjadi nyonya muda di keluarga ini. Dan sepertinya, tuan muda sedikit menaruh perhatian padamu. Semuanya tentu saja karena mata tidak dapat berbohong. Bi Inah membatin seraya mengamati gerak-gerik Mariani.
Akhirnya nasi goreng seafood tersaji. Dengan taburan udang yang memang kesukaan Ardan. Dia tersenyum puas.
Hmmm dia tau apa yang gue suka. Sepertinya mulai malam ini gue bakal makan di rumah deh. Enak.
Ardan sarapan dengan senyum yang terus menghiasi bibirnya. Karena daun muda itu tau apa yang dia suka. Padahal, Ani hanya iseng menambahkan sedikit sentuhan akhir supaya nasi goreng itu terlihat lebih menarik.
Sesampainya di kantor Ardan langsung menemui direktur utama perusahaan Wijaya itu. Karena Ardan tahu mungkin saja papinya itu bakal ngamuk besar lantaran dia "Minggat" dari rumah selama satu minggu. Didampingi sekretaris pribadinya. Hermansyah. Selama menuju ruang direktur Ardan melangkahkan kakinya dengan senyum yang terus ia sungging membuktikan bahwa dia sedang dalam keadaan baik dan bahagia. Tentu saja karena daun muda itu.
Para karyawanpun menundukkan kepala dengan hormat ketika Ardan melewatinya, akan tetapi sungguh diluar dugaan, seperti es Kutub Utara yang kini sedang mencair begitulah situasi yang digambarkan para karyawannya. Sosok Ardan yang dingin dan cuek itu kini tengah merekahkan senyumnya.
Sekretaris Herman membukakan pintu untuk Ardan. Terlihat di dalam ruangan itu ada sosok yang sangat ia cintai. Sosok yang dari kecil menjadi pahlawan baginya.
" Papi." Ardan membatu tentu saja. Bakal ada beruang ngamuk nih.
"Kemarilah.... Anakku. Kenapa kamu kekanakan sekali hah? Mau bikin papi diusir mamimu karna kamu nggak pulang-pulang?" Suara Nico terdengar ramah.
Ardan melotot. Sikap papi biasanya tak seperti ini. Bakal mengamuk membuang apa saja di depannya, saat tau anak semata wayangnya ngambek dan minggat dari rumah setelah acara "Kencan buta" yang diatur maminya.
Memang hubungan ayah dan anak itu sangat baik. Namun satu hal yang membuat mereka terkadang adu argumen tentang " Ardan yang belum kawin " tentu saja.
"Kok diam? Kenapa? Belum cukup mainnya?" Papi menambahkan.
"Aneh ini aneh. Sumpah. Kenapa papi gak marah ? " Ardan menatap sekretarisnya meminta jawaban. Sekretaris Herman bergeming. Ia tetap berdiri tegap mengabaikan Ardan yang bingung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!