“Satu miliar! Saya akan membayarmu satu miliar jika kamu bersedia mengandung benih milik saya!”
Sagara berseru tenang meski gadis berparas ayu di hadapannya telah menunjukkan raut permusuhan padanya. Bagaimana tidak, ucapan Sagara seolah-olah ingin membeli dirinya cukup membuat gadis itu sakit hati.
Memang saat ini dirinya tengah membutuhkan uang yang banyak untuk melunasi warisan hutang titipan sang ayah. Namun, tidak seperti ini caranya. Lisa, gadis cantik yang biasanya bersikap baik dan ramah itu tampak menatap Sagara dengan mata memerah karena memendam gejolak emosi yang semakin meradang.
“Saya memang butuh banyak uang, Tuan, tapi saya tidak akan menjual diri saya karena saya bukan pelac*r! Lebih baik anda mencari wanita yang siap untuk anda ti*duri dan mengan*dung benih anda!” tegas Lisa dengan suara bergetar, menatap lekat ke arah Sagara.
Sudah sejak tadi ia menahan untuk tidak memuntahkan isi hatinya, tetapi setelah mendengar ucapan Sagara barusan membuat Lisa tak bisa mengontrol ucapannya, hatinya terlalu sakit ketika seseorang dengan mudah menawar dirinya hanya karena orang itu memiliki uang dan kekuasaan.
Lisa meraih tas selempangnya kemudian beranjak dari duduknya. Masih dengan raut marah, gadis itu memilih pergi dari sana sebab merasa pembicaraannya dengan Sagara cukup sampai di sana. Ia tidak ingin kembali mendengar tawaran gila yang mungkin akan kembali diutarakan oleh Sagara jika ia berlama-lama dengan pria itu. Sudah cukup ia membuang waktu untuk hal yang tidak berguna dan itu membuatnya sangat menyesal. Lebih baik dirinya kembali bekerja sehingga pundi-pundi rupiahnya bisa cepat terkumpul.
Sebelum keluar dari ruangan itu, Lisa menghentikan langkahnya, tangan yang semula terulur pada kenop pintu pun urung menyentuh, kemudian menoleh ke arah Sagara.
“Harusnya saya tidak percaya begitu saja ketika Anda menawarkan pekerjaan untuk saya. Sudah cukup kemiskinan membuat saya rendah di mata orang lain dan saya tidak akan menjual diri saya pada siapapun termasuk anda!”
Setelah mengatakan hal itu, Lisa kembali berbalik. Namun, belum juga tangannya membuka pintu, seruan Sagara kembali mengalihkan atensinya.
“Jatuh tempo hutangmu pada rentenir akan berakhir lusa, kamu yakin tidak ingin menerima tawaran yang saya berikan?”
Sagara masih duduk tenang di kursinya. Sambil merapikan jasnya, pria itu menyunggingkan senyum samar karena bisa menghentikan Lisa yang akan pergi.
Sagara tentu tidak akan menyerah begitu saja, pria itu telah menyelidiki semua tentang Lisa sehingga ia akan lakukan apapun caranya agar Lisa mau menerima tawaran gilanya. Terdengar egois dan tak ingin dibantah memang, tetapi Sagara benar-benar menginginkan Lisa untuk menjadi istri sekaligus ibu untuk anak-anaknya kelak.
Pertemuan berulang tanpa sengaja, membuat Sagara tertarik pada Lisa yang begitu gigih dalam mencari uang. Di samping itu, Sagara juga bisa menilai betapa tulusnya Lisa ketika membantu orang lain. Puncaknya ketika Lisa menyelamatkan seorang anak kecil yang hampir terserempet mobil dan mengabaikan pesanan yang dibawanya berhamburan di jalanan. Pria itu benar-benar terpesona pada sosok Lisa yang terlihat tangguh dan pekerja keras.
“masalah hutang biar menjadi urusan saya, anda tidak perlu memikirkan hal itu,” sahut Lisa datar.
“Kenapa? Bukannya kamu menginginkan uang? Dengan menerima tawaranku, kamu bisa melunasi semua hutang-hutangmu bahkan juga melunasi tunggakan biaya sekolah adikmu.”
Lagi, ucapan yang keluar dari bibir Sagara berhasil mengoyak hati Lisa.
“Sudah saya katakan bahwa saya tidak akan menjual diri saya pada anda atau pada siapapun itu karena saya hanya akan dengan suka rela menyerahkan diri saya pada suami saya kelak, bukan pada pria hidung belang seperti anda contohnya!” tegas Lisa.
Sagara menaikkan sebelah alisnya, ia yang masih duduk membelakangi Lisa akhirnya beranjak dari duduknya, menghampiri Lisa yang masih berdiri di samping pintu dengan tatapan awas ke arah Sagara.
Jantung Lisa terasa bertalu ketika matanya bersibobok dengan Sagara yang menatapnya dengan tajam. Bukan tatapan membunuh, tetapi entahlah, Lisa sendiri tidak bisa mengartikannya. Gadis itu tetap waspada, meski bagaimanapun mereka hanya berdua di dalam ruangan itu dan tidak menutup kemungkinan Sagara akan melakukan kejahatan pada dirinya.
“Kamu pikir saya akan melakukannya tanpa ikatan pernikahan?” lirihnya.
Sagara menggeleng pelan. Sebelah bibirnya terangkat dengan tatapan masih tertuju pada netra Lisa yang bergerak gelisah.
Rupanya sedari tadi Lisa menganggapnya demikian, pantas saja gadis itu langsung meledak ketika Sagara mengatakan lebih detail akan maksud dan tujuannya mengajak Lisa bertemu. Memang awalnya Sagara mengajak Lisa bertemu karena masalah pekerjaan sebab hanya alasan itulah yang bisa membuat Lisa datang menemui dirinya. Namun, setelah itu Sagara mengutarakan maksud yang sebenarnya.
“Jadi, maksudnya, anda ingin menikahi saya untuk mengandung anak anda?”
“Ya, menikah dan jadilah istri saya, lahirkan keturunan saya, dan saya akan membantu kamu keluar dari masalah yang ada di belakangnya.”
Deg!
Jantung Lisa berdetak begitu kencang mendengar ucapan Sagara. Sekarang bukan hanya diminta melahirkan keturunannya saja, tetapi pria itu juga ingin menjadikan dirinya sebagai seorang istri.
Pria ini, kenapa semakin lama semakin ngelantur, apa dia lupa kalau dia punya istri cantik di rumah, batin Lisa.
Ia ingat sekarang siapa Sagara, seorang pengusaha manufaktur yang memiliki istri cantik seorang artis ternama.
Lisa kembali menggeleng, bukan hal bagus juga ketika Sagara memintanya menjadi seorang istri karena Lisa tahu, Sagara telah menikah dan istrinya sekarang menjadi seorang artis yang namanya belakangan ini tengah naik daun karena sinetron yang dibintangi meledak di pasaran.
Lisa tahu karena ia dan ibunya menjadi penggemar yang mengikuti setiap sinetron yang dibintanginya. Pun dengan seringnya Sagara dengan istrinya yang wara-wiri di televisi membuat Lisa mengetahui siapa Sagara di hadapannya.
Dengan segala yang dimiliki oleh istri Sagara, bukan hal sulit membuat Lisa menjadi buruk di mata semua orang karena menikahi pria beristri.
Pela*kor, wanita gat*al, wanita matre, bahkan mungkin gayung batok kelapa bisa saja menjadi nama penggantinya di masa depan karena bersedia menerima pinangan Sagara walaupun ada tujuan tersembunyi di baliknya.
Ah, memikirkan hal itu membuat Lisa hampir frustasi.
“Wah, anda semakin ngelantur, Tuan. Sepertinya anda benar-benar salah orang, atau sebenarnya anda ini sakit?” Lisa terkekeh kecil, dirasanya Sagara cukup membuatnya naik tensi.
“Meskipun miskin, tapi saya tidak akan menggadaikan masa muda saya untuk menjadi seorang pelakor, bahkan untuk sekadar bermimpi pun tidak pernah terbesit di kepala saya. Jadi, lebih baik anda hentikan niat anda pada saya karena saya tidak akan menerima apapun yang anda katakan.”
Tanpa menunggu sanggahan lebih gila dari Sagara, Lisa bergegas membuka pintu dan keluar dari ruangan yang beberapa menit yang lalu membuatnya sesak luar biasa.
Sesampainya di luar restoran—tempat pertemuannya dengan Sagara—tubuhnya seketika ambruk, air mata yang selama ini ditahan pun akhirnya luruh deras, hatinya terlalu sakit ketika orang-orang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Apakah menjadi miskin sebuah dosa besar?
Apa hanya orang-orang yang memiliki banyak uang yang akan dihormati dan disegani?
Semua pertanyaan konyol itu mendadak bersarang di kepala Lisa.
“Ya Tuhan, rasanya sakit sekali,” rintih Lisa menahan sesak di dadanya.
Sementara itu, di ruangan VIP restoran, Sagara masih terpaku, pandangannya menatap kosong ke arah asisten pribadinya yang baru saja masuk menemui dirinya.
“Apa aku sudah keterlaluan padanya?”
Dering ponsel membuat Lisa terkesiap, entah sudah berapa lama dirinya menangis di sana, tetapi melihat banyak orang berlalu lalang sembari melirik ke arahnya membuat Lisa tersadar bahwa dirinya sudah cukup lama di sana. Sambil mengusap kasar pipinya yang basah, Lisa segera beranjak, mencari tempat sepi untuk menerima telepon yang belum diangkat.
“Ya, halo, Sel?” sapa Lisa setelah menggeser ikon hijau di ponselnya.
“Lis, kamu di mana?”
“Aku di luar, Sel. Baru aja ngurus surat faskes buat ibu sekalian nyari kerjaan tambahan. Ada apa, kenapa kamu kayak panik gitu?”
Seli, tetangga sekaligus sahabat Lisa yang setia, tiba-tiba menelepon dengan suara panik, bahkan napasnya terdengar memburu seolah tengah mengalami situasi yang menegangkan.
Menyadari ada yang tidak beres, Lisa tidak akan berbasa-basi menanyakan tujuan Seli menghubungi dirinya. Ia tahu, Seli tidak akan menelepon jika bukan urusan darurat.
“Ibu, Lis, ibumu kecelakaan. Sekarang sedang di bawa ke rumah sakit, ini aku lagi nyusul kesana sama adikku!”
“Hah? Bagaimana bisa ibu kecelakaan, tadi pas aku pergi, ibu masih ada di rumah, loh, Sel,”
Cemas? tentu saja, ibunya baru saja sembuh dari sakitnya dan sekarang harus kembali masuk rumah sakit karena kecelakaan. Hal itu benar-benar membuat nyawa Lisa seakan ditarik paksa untuk keluar dari tubuhnya.
Belum juga reda rasa bergejolak di dalam hatinya, Lisa kembali merasakan dentuman keras yang menghantam jantungnya. Tidak, Lisa tidak ingin hal buruk kembali terjadi dalam hidupnya.
“Ibumu dari pasar, Lis, kebetulan aku tadi sempat papasan sama ibu, kata orang-orang yang ada di tempat kejadian, ibu menjadi korban tabrak lari. Untungnya tadi ada yang gercep panggil ambulan, jadi ibu bisa segera dibawa ke rumah sakit. Sudah dulu, ya, aku udah hampir sampai, lebih baik kamu cepetan ke sini, Lis.”
Tanpa menunggu waktu lagi, Lisa segera menyusul Seli setelah mendapatkan alamat rumah sakit tempat ibunya dilarikan. Sambil terus mengayunkan kakinya, Lisa menoleh ke kanan, ke kiri, barangkali ada angkutan umum atau ojek yang tengah mencari penumpang.
Beruntung seseorang berjaket ojek online tengah duduk di atas motor, berhenti di pinggir jalan, tanpa banyak bicara, Lisa segera naik dan menepuk-nepuk pundak tukang ojek itu.
“Mas, ke rumah sakit Husada, ya, cepetan!”
Pria di depannya hanya mengangguk tanpa suara kemudian mengulurkan helm pada Lisa.
Setelah memastikan Lisa duduk dan mengenakan helm dengan aman, motor pun mulai melaju dengan kecepatan tinggi untuk mengantar Lisa sampai tujuan dengan cepat. Di perjalanan Lisa merasa keheranan pada tukang ojek yang mengantarkan dirinya ke rumah sakit.
Pakaiannya tampak bersih dan wangi, kaki dibalut sepatu pantofel terlihat kinclong, bahkan motor yang dikendarai bukanlah motor biasa, melainkan motor sport yang Lisa yakini harganya mencapai ratusan juta rupiah.
Kayaknya nih orang sultan yang lagi gabut terus ngojol deh. Nggak mungkin ada orang pakai motor sport mewah kayak gini dibuat ngojek, sayang banget, batin Lisa.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Lisa tiba di rumah sakit dengan kurun waktu kurang dari sepuluh menit. Ketika Lisa hendak membayar, pria itu langsung tancap gas, pergi meninggalkan gadis itu begitu saja.
“Loh, eh, mas! Ini saya belum bayar!” teriak Lisa sambil mengibaskan uang lima puluh ribuan di tangannya.
“Duh, kayaknya beneran dia sultan yang lagi gabut deh. Tapi syukur, deh kalau dia nggak mau dibayar, itu berarti uangku nggak jadi berkurang. Terima kasih orang baik.” Lisa mengembuskan napasnya lega kemudian bergegas masuk menghampiri Seli yang masih setia berdiri di depan pintu UGD
“Seli.”
Seorang gadis yang tengah mondar-mandir di depan pintu langsung menoleh, raut cemas tergambar di wajahnya membuat Lisa kembali merasa lemas.
“Lis, kamu ke mana aja, astaga... aku benar-benar cemas sekarang,”
“Ibu sekarang gimana Sel?”
“Masih ditangani dokter, Lis, kamu yang tenang, ya, semoga ibu baik-baik saja.”
Lisa mengangguk, dalam dekapan sang sahabat, gadis itu kembali menumpahkan air matanya. Hatinya begitu pilu mendapati badai yang terus menerjang hidupnya.
Ibu, Satu-satunya orang tua yang ia miliki kembali mendapatkan musibah, padahal baru minggu lalu ia keluar dari rumah sakit karena terkena serangan jantung.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, seorang dokter keluar bersama perawat di belakangnya.
“Dengan keluarga pasien?”
“Saya, Dok. Saya anaknya,”
Dokter itu pun mengangguk. “Kondisi pasien cukup serius. Pasien mengalami pendarahan otak dan harus segera dilakukan operasi darurat untuk mengangkat darah yang terkumpul di dalam otak dan memperbaiki kerusakan pada jaringan otak.”
Tubuh Lisa terasa sangat lemas, bagaimana bisa ibu yang pagi tadi masih sehat bugar, kini justru terbaring lemah dan harus segera dioperasi. Memikirkan hal itu membuat Lisa diserang rasa cemas yang luar biasa.
“Selamatkan ibu saya, Dok, lakukan apapun yang terbaik untuk ibu saya,” pinta Lisa memohon.
“Tentu saja, kami akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan pasien dan memastikan pasien mendapatkan perawatan yang optimal.”
Setelah menjelaskan beberapa hal terkait operasi pasien, dokter itu pun pamit undur diri. Seli masih setia menemani Lisa yang tampak seperti orang linglung. Gadis itu terus menepuk pelan pundak Lisa untuk menyalurkan kekuatannya.
“Sekarang segera urus administrasi dan persetujuan wali, biar aku yang mengabari adik-adikmu di rumah. Mereka juga pasti cemas karena ibumu tak kunjung pulang,” ucap Seli setelah memastikan Lisa kembali tenang.
Lisa mengangguk. Ia pikir dari pada berlarut dalam kesedihan lebih baik ia segera mengurus semuanya.
“Makasih, ya, Sel. Kamu udah banyak bantuin aku.”
Lisa tidak menolak niat baik Seli, baginya sekarang, sang ibu harus segera ditangani dan adik-adiknya di rumah ada yang mengabari. Seli pamit pulang bersama adiknya sementara Lisa segera ke ruang administrasi.
“Enam puluh lima juta?” lirih Lisa begitu melihat tagihan yang harus segera ia bayar. Itu pun belum termasuk biaya obat-obatan yang digunakan setelah operasi.
Belum juga lunas hutangnya pada rentenir yang setiap hari selalu berbunga, kini Lisa harus kembali dibuat pusing karena biaya operasi sang ibu yang membuatnya sesak.
Beruntung pihak rumah sakit memberikan Lisa keringanan, meski belum membayar penuh tagihannya, sang ibu masih bisa dioperasi. Ya, setelah Lisa memohon-mohon agar tidak menunda perawatan sang ibu, akhirnya dokter Roni, dokter yang menangani sang ibu pun menjadi penjamin untuk Lisa karena merasa kasihan.
***
Motor sport hitam mengkilap tampak memasuki halaman perusahaan besar bertingkat, disusul mobil Mercedes-Benz E-Class di belakangnya. Seorang pria turun dari mobil, menghampiri pengendara motor yang masih duduk di atas motornya.
“Anda harus bergegas, Tuan, lima belas menit lagi rapat akan segera dimulai,” ucap Bara, asisten pribadi yang merangkap menjadi seorang sekretaris.
Pria itu mengangguk kemudian melepas helm dan juga jaket yang dikenakannya barusan dan menyerahkan pada Bara. Wajahnya terlihat segar meskipun baru saja mengendarai motor dalam cuaca panas.
“Kembalikan jaket ini dan berikan dia lima juta sesuai kesepakatan tadi,” ucap Sagara.
“Baik, uangnya sudah saya berikan, Tuan.”
***
halo semuanya... akhirnya setelah sekian lama, Nad buat novel baru lagi🥳
Gimana nih kabar kalian, semoga sehat selalu, ya.
Sekadar informasi, Novel BPB insyaallah akan Nad up setiap jam 6 sore, ya😉
Tiga puluh menit sebelumnya…
Sagara memutuskan untuk keluar dari restoran, tetapi netranya justru terpaku pada sosok Lisa yang tengah berjongkok di luar restoran sambil menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Bahunya terlihat bergetar dengan suara isakan kecil mendampinginya. Ia yang ingin kembali ke kantor pun urung dan memilih menunggu Lisa tenang meski ia tidak menemuinya.
Tak berselang lama kemudian pria itu melihat Lisa yang sudah berdiri dan menatap ponselnya dengan raut kebingungan. Sagara segera mengikuti Lisa dan mencuri dengar apa yang Lisa bicarakan dengan orang di dalam ponselnya itu.
“Ibunya kecelakaan?” bisik Sagara yang berdiri tak jauh dari Lisa.
“Sepertinya begitu, Tuan,” jawab Bara yang mendengar ucapan Sagara.
Satu ide terbesit di kepalanya, pria itu menoleh ke arah sekitar kemudian menoleh ke arah Bara.
“Kamu tadi kesini dengan motorku, ‘kan Bar?”
Sagara teringat tadi sebelum berangkat menemui Lisa, ia meminta Bara—asisten pribadinya—membawakan motornya dari apartemen ke rumah utama.
Bara mengangguk. “benar, Tuan, sekarang ada di parkiran.”
“Bawa kesini, aku akan membantu Lisa untuk cepat ke rumah sakit,”
“bukankah anda baru saja ditolak, Tuan, kenapa anda masih baik dengan wanita itu?”
“Ditolak bukan berarti saya harus membenci dia, bukan?” geram Sagara.
Bara tampak gelagapan. “Ba-baik, saya akan segera mengambilnya, Tuan.”
Sementara Bara pergi ke parkiran, Sagara memutuskan untuk menyeberangi jalan dan menghampiri seorang ojek online yang tengah beristirahat. Dengan imbalan uang lima juta dan menyerahkan kartu namanya, Sagara meminta jaket beserta helmnya untuk disewa.
Meski kecewa dengan penolakan Lisa, tetapi Sagara tetap tidak bisa mengabaikan Lisa yang tengah kesulitan. Ia pernah melihat gadis itu sering membantu orang lain dan kini saatnya Lisa mendapatkan pertolongan.
Sedikit konyol memang, di saat rumah tangganya tidak baik-baik saja, pria itu justru memerhatikan wanita lain alih-alih sang istri. Namun, Sagara tidak peduli, bukan dia yang memulai retaknya hubungan dengan sang istri.
Sagara duduk tenang di atas motornya, memerhatikan Lisa dari kejauhan yang terus berlari sambil menoleh ke kanan kiri hingga kemudian Lisa melihat dirinya dan menghampiri.
***
Lisa bersama kedua adiknya duduk di bangku panjang di luar ruang operasi, matanya terus-menerus memandang ke arah pintu yang tertutup. Ia menunggu ibunya yang sedang menjalani operasi.
“Ibu bakalan baik-baik saja, kan, kak?” tanya Leo, adik bungsu Lisa yang berusia sepuluh tahun.
“Ibu akan baik-baik saja. Kamu jangan putus doa, ya, buat keselamatan dan kesembuhan ibu,” jawab Lisa sembari mengusap kedua tangan adiknya yang digenggam.
Gadis itu menoleh ke arah Liam yang terus menatap ke arah pintu ruang operasi. Hatinya ikut teriris karena membebani kedua adiknya dengan hidup yang kesusahan. Lihatlah, Liam yang tidak pernah menuntut, dan Leo yang patuh harus diuji sedemikian rupa di usianya yang masih belia.
Masa di mana mereka seharusnya menghabiskan waktu dengan bermain, tetapi mereka memilih membantu Lisa mencari uang. Ya, Liam yang masih duduk di bangku SMA itu pun turut bekerja mencari uang tambahan agar hutang-hutang sang ayah bisa segera dilunasi.
Menit demi menit berlalu, gadis itu terus menunggu dengan sabar. Ia mendengar suara-suara dari dalam ruang operasi, namun ia tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Lisa harap semua berjalan dengan lancar dan sang ibu bisa segera sembuh.
Tiba-tiba, pintu ruang operasi terbuka, Lisa dan kedua adiknya segera beranjak dari duduknya dan menghampiri dokter Roni yang baru saja keluar dari sana.
“Syukurlah, operasinya berjalan dengan lancar, untuk saat ini pasien masih belum bisa ditemui karena harus segera dibawa ke ruangan pemulihan, setelah nanti kondisinya membaik dan pasien dipindahkan ke ruang rawat, keluarga bisa menemuinya,” jelas dokter Roni.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dokter. Kalau bukan karena anda, ibu saya pasti belum bisa dioperasi, sekali lagi terima kasih banyak, Dok.” Lisa berulang kali membungkukkan badannya, ia begitu bersyukur karena masih ada orang baik yang mau membantu dirinya.
Kini saatnya Lisa memikirkan biaya rumah sakit sang ibu. Entah harus dengan apa gadis itu membayarnya, uang yang ia tabung pun tidak ada setengahnya dan itu pun harusnya ia bayarkan ke rentenir besok, memikirkannya saja membuat Lisa kembali linglung. Bebannya begitu berat, tetapi ia harus terus kuat demi ibu dan kedua adiknya.
Apa yang harus hamba lakukan Ya Allah, batin Lisa.
***
Sagara baru saja menyelesaikan rapatnya bersama semua kepala divisi dan sekarang pria itu kembali berkutat dengan laptop untuk mengerjakan pekerjaannya yang tertunda. Hari yang cukup melelahkan bagi Sagara, tetapi itu lebih baik daripada ia harus terus menerus bertemu dengan sang istri, wanita yang dinikahinya tiga tahun yang lalu.
Jari jemari yang tengah menekan tombol pada laptop pun terhenti, ia hempaskan punggungnya pada sandaran kursi dan mengusap wajahnya kasar.
Tok!
Tok!
Ceklek!
“Tuan, apa anda sibuk?”
Sagara melirik malas ke arah Bara yang menyembulkan kepalanya di sela pintu yang sedikit terbuka. Rasanya ia ingin memukul kepala Bara yang bertanya seperti itu. Bukankah pria itu juga tahu, seberapa sibuknya dirinya, tetapi kenapa harus bertanya lagi, seolah tidak ada pertanyaan lain yang bisa diucapkan.
“Menurutmu?”
Bara tersenyum canggung, setelah itu mulai melebarkan pintu dan membawa tubuhnya masuk menemui Sagara.
“Menurut saya, anda sekarang sedang sibuk, Tuan,”
“Kamu sendiri tahu, kenapa harus bertanya lagi. Ada apa sekarang? Bukannya undangan dari Tuan Antonio masih nanti malam, apa ada jadwal yang terlewat?”
Bara selalu menerangkan semua jadwal kesibukan Sagara mulai dari pagi hingga malam, tidak mungkin pria itu ceroboh dan melewatkan agendanya. Pasti ada sesuatu hal yang ingin pria itu sampaikan.
“Tidak ada Tuan, saya kesini ingin melaporkan mengenai nona Lisa,”
Sebelah alis Sagara terangkat. “Ah, masalah ibunya? Bagaimana, apa yang terjadi sebenarnya?”
“Menurut informan, ibu nona Lisa mengalami kecelakaan di dekat pasar, Tuan. Beliau menjadi korban tabrak lari dan saat ini tengah menjalani operasi. Bukan hanya keadaan sang ibu yang memprihatinkan, nona Lisa juga harus segera membayar tagihan rumah sakitnya,”
“Memangnya dia tidak memiliki kartu jaminan kesehatan?”
Bara menggeleng. “Nona Lisa baru tadi pagi mendaftarkan ibunya, Tuan. Mengingat kesibukan Nona Lisa dalam bekerja setiap hari sepertinya dia melupakan hal itu.”
Mendung yang beberapa saat lalu menggelayut di sekitar Sagara mendadak sirna. Kini, yang ada hanyalah senyum tipis dengan tatapan menerawang, membuat Bara keheranan.
“Anda baik-baik saja, Tuan?”
“Ya, tentu saja, semua baik. Kita tunggu sebentar lagi, Lisa akan segera datang menemuiku dan bersedia menjadi istriku.”
Bolehkah Sagara bersorak atas hal itu?
“Anda benar-benar sudah yakin dengan keputusan anda, Tuan? Bagaimana dengan nyonya Dewi, apakah beliau akan setuju dengan keinginan anda menikahi nona Lisa?”
***
Jangan lupa Like, vote, dan komen yang banyak ya temen-temen😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!