NovelToon NovelToon

Benih Random Tuan Arogan

Bab 1. Pertemuan Yang Membingungkan

Mobil yang membawa Adam pulang, melewati sebuah jembatan yang cukup sunyi saat malam. Biasanya ada satu dua orang yang lewat di sana.

Mata Adam berhenti pada seorang gadis yang memakai kerudung putih yang sedikit melambai ditiup angin. Gadis itu melihat ke bawah jembatan dari tepi pagar. Saat mobil melewati gadis itu, sang gadis mulai berjinjit.

Bayangan masa lalu itu kembali berkelebat di kepala Adam. Ia panik! "Stop!"

Sang supir seketika menghentikan mobilnya. Adam bergegas turun dan meraih lengan gadis itu dengan kasar. "Apa yang kau pikirkan? Kau mau matti!?"

Mata gadis itu terlihat membola. "Apa?" Butuh beberapa detik untuk sang gadis mencerna pertanyaan Adam.

Diperhatikannya pria yang ada di hadapan. Seorang pria berusia matang sekitar 30 tahunan, dengan berpakaian jas lengkap. Terlihat mahal pula. Wajahnya berbrewok sedikit tebal. Walau begitu, brewok itu malah membingkai ketampanan wajah pria ini semakin rupawan. Jantung Eva sedikit berdetak saat melihat pria itu pertama kalinya.

"Apa aku sudah gilla?" Eva menghempas tangan Adam dengan cepat. "A-aku hanya sedang bingung saja. Aku tidak punya tempat untuk pergi. Mantan pacarku tidak mau mengakui bayi di perutku ini, padahal dia duluan yang membohongiku dengan meminumkanku obat peranggsang itu. Sekarang ...," gumamnya ragu.

"Bayi? Dia sedang hamil?" Adam memperhatikan wajah gadis itu. Tidak buruk. Lalu perutnya, masih rata.

Eva kembali memutar tubuhnya ke arah pagar jembatan. Karena pagarnya cukup tinggi dan tinggi tubuhnya hanya 155 sentimeter, ia butuh berjinjit untuk melihat derasnya air yang mengalir di bawah sana. "Eh!"

Pria itu kembali menarik tangan gadis itu sehingga tubuh Eva kembali dengan cepat ke arahnya. "Walau begitu, kamu tidak berniat untuk loncat dari situ 'kan?"

"Ya, enggaklah!" Eva kembali menghempas tangan pria itu tapi sang pria malah menggenggamnya erat. "Hei, lepas!" Ia berusaha membuka genggaman tangan pria itu dengan tangan yang satunya, tapi tiba-tiba saja sang pria malah mendorongnya ke belakang dan menahan pergelangan tangan Eva ke pagar. Eva terkejut. Gadis itu kini terkunci.

Adam mendekatkan wajah mereka dengan raut sedingin es. Bola mata Eva semakin melebar. Pria itu menatap wajah gadis itu sejenak. "Aku tidak suka disentuh!" Perlahan ia melepas kedua tangan Eva.

Eva masih syok dengan mulut menganga. "Lho, siapa yang nyentuh? Orang dia duluan. Ih, orang ini ...." "Yang nyentuh siapa ...." Ia mulai mengomel.

"Aku bisa membantumu," ujar Adam cepat.

Kembali Eva terkejut. "Maksudnya?"

"Berikan anak itu padaku."

"Apa?" Mata Eva membola. "Orang ini apa tidak salah bicara? Dia mau menampung anakku?" "Bapak mau anak Saya?"

"Mantan pacarmu tidak mengakuinya dan kamu juga tidak menginginkannya. Kalau begitu ... berikan saja anak itu padaku." Adam memberikan senyum datar.

Eva masih terkejut. Bukan apa-apa. Ia tak kenal pria ini. Apalagi, tempat itu sepi. Jangan-jangan pria ini, ah!

Mata Eva membola. Ia dengan cepat bergerak ke samping dan berlari.

"Kamu pikir aku tertarik padamu!?"

Langkah Eva seketika berhenti. "Benarkah?"

"Aku hanya ingin bayimu. Bukankah kamu tidak menginginkannya? Kamu juga tidak ingin menggugurkannya, 'kan?"

Eva memutar tubuhnya menghadap pria itu. "Tapi aku belum memutuskan apa-apa."

"Aku bisa memberikanmu uang sebagai kompensasinya. Kamu butuh berapa? 10 juta? 100 juta?"

Eva terbelalak. Sebanyak itu? "Aku ...."

"Satu miliar?"

"Eh, satu miliar?" Mata Eva kebingungan.

"Akan kuberikan kalau kamu setuju."

"Tapi rasanya aku sedang menjual anakku," gumam Eva bingung. Ia mengusap perutnya yang masih rata.

"Daripada kamu malu membesarkannya? Aku sanggup memberikan lingkungan yang lebih baik untuknya." Adam memberikan argumen.

"Eh, aku juga kerja dan aku bisa membesarkan anakku sendiri."

Pria itu nampak tidak senang. "Jadi, kamu akan membesarkan bayi ini sendirian? Kamu kerja di mana?" Dilihatnya gadis itu berpakaian lusuh.

"Kerja di pabrik Himatex yang di sebelah sana." Eva menunjukkan arahnya.

"Apa? Kamu karyawanku?" Pria itu terbelalak.

"Apa? Bapak ... pemilik pabrik itu?" Tangan gadis itu gemetar saat menurunkan telunjuknya. Ia kembali terkejut. "Bapak, Pak Adam yang itu." Ia hampir tak percaya.

"Kamu tinggal di mess ya."

"Iya, Pak." Eva mengangguk berusaha sopan. Bagaimana bisa ia kini bertemu dengan bos pemilik pabrik tempatnya bekerja?

"Bagaimana dengan tawaranku?" Adam meluruskan lengan jasnya.

Eva termenung. Namun, benarkah pria ini pemilik pabrik Himatex tempat ia bekerja? Lalu tawaran itu .... "Maaf, Pak. Saya belum bisa memutuskan."

"Bukankah tadi kamu bingung karena mantan pacarmu tak mengakui ...."

"Bukan berarti aku ingin membuangnya, Pak. Dia darah dagingku."

"Tapi apa kamu tidak takut orang akan mengejek anakmu karena tidak punya ayah?" bujuk Adam lagi.

"Pikiranku belum sampai ke sana, Pak."

"Kalau begitu, sekarang pikirkan!" kata Adam mulai gemas. "Gadis ini ... sudahlah dia yang mengeluh, sekarang pas ingin dibantu malah cari gara-gara lagi! Padahal aku sangat butuh bayi itu. Dengan segala kekuranganku, hanya bayi itu yang aku inginkan." "Bagaimana kalau ku antar kamu pulang?"

"Apa? Oh, tidak. Aku sedang butuh jalan-jalan. Biarkan saja aku di sini. Nanti aku bisa pulang sendiri."

Namun Adam tak kehilangan akal. "Apa kamu tidak tahu, di sini ada hantu?"

"Apa?" Kedua mata Eva kembali melebar menatap Adam.

"Makanya, tidak baik kamu sendirian di sini. Kalau kamu butuh suasana yang berbeda, kamu menginap saja di rumahku." Adam menarik lengan sang gadis dan memasukkannya ke kursi belakang mobilnya. Setelah itu, ia bergerak memutar dan masuk di sisi yang satunya. Saking cepatnya, Eva hampir tak bisa menolak.

"Eh, tapi ...." Eva tak bisa berbuat banyak. Ia sudah masuk ke dalam mobil mewah itu dan mobil itu mulai bergerak maju. Hendak menghentikan mobil juga ia ragu, sebab ia memikirkan apa yang dikatakan pria itu barusan. Namun, tinggal di rumahnya apa itu pilihan yang baik?

"Pak, aku ...." Eva ragu-ragu.

"Sudahlah. Kamu sudah kenal namaku. Kamu sendiri?"

"Eva, Pak."

Pria itu berusaha tersenyum walau terlihat aneh. "Pikirkan apa yang ku tawarkan. Aku bukan orang jahat dan kamu tahu itu."

Eva terdiam. Walau begitu, tetap saja pria ini orang asing baginya, tapi membesarkan anak ini seorang diri juga bukan pilihan terbaik. Ah, bagaimana baiknya ini?

Mobil sampai di sebuah rumah besar dan mewah. Ketika seorang pembantu membukakan pintu, Eva dibawa masuk Adam ke dalam rumah. Pria itu kemudian berhenti di sebuah kamar tak jauh dari pintu masuk. "Ini kamarmu. Kamu bisa menginap di sini sambil berpikir ulang. Besok pagi, kamu bisa diantar salah satu sopirku ke mess." Adam membuka pintu.

Eva mencoba masuk dan melongo. Betapa tidak, ruangan itu sangat besar dibanding kamarnya di mess yang hanya seperempat dari ruangan itu. Apalagi dengan barang-barang mewah seperti ranjang besar dan perabot yang mahal. Ia hanya bisa memandangi ruangan itu dengan mulut terbuka.

"Ruangan ini ada kamar mandinya, jadi kamu tidak harus keluar mencari kamar mandi lagi."

"Iya, Pak. Terima kasih."

Namun, sebelum kalimatnya selesai, pria itu telah menutup pintu. Eva terlihat senang hingga duduk di tepi ranjang dan tersenyum sendiri. Ia sendiri bingung, kenapa kesedihannya membawanya berakhir di sini.

****

Adam baru saja selesai mandi ketika ia mendengar keributan di lantai bawah. Ia segera turun. Ternyata keributan ada di dapur. "Ada apa ini?"

Eva di kelilingi orang-orang dapur. Ia nampak gugup. "Eh, a-aku hanya meminta makanan sedikiit ... saja." Ia memperlihatkan ibu jari dan jari telunjuknya yang menyatu dengan mata dipicingkan sebelah.

Seorang pria sedikit gemuk dengan baju santainya mengomel. "Dia lancang membuka lemari es, Pak!"

"Kalau begitu, buatkan dia makanan!" ucap Adam dengan tegas.

Pria gemuk itu terkejut. "Eh ... di-dia tamu, Bapak?" Ia menunjuk Eva.

Bersambung ....

Bab 2. Kabur

"Tentu saja. Sudah, aku mau tidur, dan jangan lagi ada keributan." Adam berbalik dan meninggalkan dapur.

Seorang pembantu mencolek temannya sambil berbisik. "'Kan sudah aku bilang tadi. Gak percaya sih ...."

"Mana ada yang percaya, orang bajunya lusuh gitu. Orang pasti mikir, ada pengemis nyasar masuk ke dalam rumah." Temannya balik berbisik.

***

Pagi itu, Adam sarapan. Ia tak melihat Eva keluar kamar. Ia bertanya pada pembantu yang menghidangkan makanan. "Di mana tamuku? Kenapa dia gak keluar?"

"Sudah berangkat dari subuh, Pak."

"Apa?" Adam melempar sendoknya ke arah meja dengan kesal. Terdengar dentingan besi beradu dengan kayu. "Siallan! Kenapa dia bisa kabur!?" Dahinya berkerut dengan wajah tidak senang.

Pembantu itu ketakutan hingga bergerak mundur. Sambil bibir gemetar ia menjawab pertanyaan Adam. "Eh, ka-katanya Bapak sudah tau. Tapi dia pergi diantar supir, Pak." Terbata-bata bicara.

"Barata?" Satu alis pria itu terangkat. Ia meraih ponselnya di meja dan segera menyambungkan.

Sementara itu, Eva di mobil sedang membayangkan steak ayam yang ia makan semalam. Betapa enaknya sampai hampir saja air liurnya keluar, tapi tiba-tiba matanya melihat ke depan. "Eh, sudah sampai, Pak! Di sini saja. Jangan terlalu dekat, nanti aku digosipin macem-macem lagi sama orang-orang di sana!"

Mobil mewah itu berhenti sedikit jauh dari pintu masuk mess. Sambil melihat kanan kiri memastikan tidak ada orang yang mengenalnya, Eva turun dari mobil. Ia bergerak ke kaca depan. "Terima kasih ya, Pak." Eva kemudian menyeberang.

Baru saja gadis itu pergi, sang supir mendapati ponselnya berbunyi. "Iya, Pak?"

"Kau mengantar gadis itu ke mess?" Suara Adam terdengar di ujung sana.

"Iya, Pak."

"Kalau begitu, pastikan dia tidak ke mana-mana."

"Eh, kalau ke pabrik, Pak?"

"Ikuti saja!"

"Baik, Pak!"

Adam menutup ponselnya dan berpikir sejenak. Setelah itu ia menelepon seseorang. "Jefry, coba cek pegawai pabrik yang bernama Eva. Aku ingin datanya secepatnya!"

"Baik, Pak," sahut pria diujung saja.

Adam kembali menutup ponsel. "Gadis ini ... kondisinya sepertinya sangat cocok dengan kebutuhanku. Tapi, bagaimana caranya aku bisa mendapatkan bayi itu? Haruskah aku mengikatnya dengan sesuatu?" Ia mendesah pelan. "Dasar gadis labil ...."

***

Adam sedang berada di mobil ketika ponselnya berdering. Diangkatnya ponsel itu dan diletakkan di telinga. "Iya."

"Mungkin yang Bapak maksud, Evalina Malika. Umur 20 tahun. Baru setahun jadi buruh di pabrik Bapak."

"Bagaimana dengan keluarganya?"

"Dia punya seorang ayah dan kakak laki-laki."

"Berarti ibunya sudah meninggal," batin Adam. "Ya sudah." Ia menutup telepon.

Sementara itu, Eva keluar dari mess karena sudah mandi. Ia merapikan baju dan bersiap pergi ke pabrik karena sudah telat.

"Eva!"

Gadis itu membalik tubuhnya dan terkejut. Dua sosok pria yang ada di hadapan, sangat ia kenal. Matanya seketika membulat sempurna. "Ayah? Kakak?"

"Mau kabur ke mana lagi kamu, hah!?" Sang pria paruh baya yang bertubuh kurus mendatanginya dengan tergesa.

Demikian juga dengan pria yang berada di sampingnya. Keduanya langsung menangkap Eva hingga sulit melarikan diri.

"Ayah ...." Kedua tangan Eva dipegang ayah dan kakaknya.

"Kamu sudah tidak bisa kabur lagi, Eva! Orang itu menuntut kami mencarimu! Dia sudah bersedia membayar 500 juta sebagai mahar, bila kamu menikah dengannya. Kamu harus cepat karena kakakmu butuh modal untuk menikahi pacarnya."

"Itu curang namanya! Aku tidak mau menikah dengan kakek itu. Istrinya juga sudah banyak!" ucap Eva ketus sambil berusaha melepaskan diri tapi tak bisa. Mana mungkin kekuatan seorang wanita bisa menumbangkan dua orang laki-laki yang memeganginya. Itu tidak mungkin!

"Itu tidak penting, yang penting kakakmu bisa nikah. Siapa lagi yang mau dengan perempuan boddoh dan kumal seperti kamu! Ada saja yang mau menikah denganmu saja sudah untung! Kamu tidak cantik dan tidak ada yang bisa dibanggakan darimu!" Sang ayah mulai menyeret anak gadisnya.

"Tapi ayah, aku sedang hamil!"

Kedua pria itu terkejut hingga berhenti bergerak. Sang pria paruh baya tersenyum miring. "Sudah kabur, kamu mau menipu ayahmu pula dengan mengaku menikah dengan orang lain, heh!? Kamu pikir ayah percaya!?"

"Aku belum menikah dengannya, Ayah, tapi kami sudah putus." Eva masih berusaha melepaskan diri tapi cengkraman sang kakak memang sangat kuat.

"Pacaran!? Kamu mau bilang kamu cuma pacaran!? Apa gunanya jilbabmu ini kalau kamu jadi perempuan nakal di sini! Kamu jual diri ya!?" Sang ayah menatap Eva sambil menjambak kerudungnya.

"Tidak, ah!"

"Jangan membohongiku!" Sang ayah geram.

"Untuk apa aku bohong, Ayah. Aku 'kan kerja di pabrik ini. Untuk apa aku jual diri?" Eva menunjuk dengan mulutnya ke arah pabrik yang tidak jauh dari sana dengan wajah sedih.

"Jadi?"

"Juragan kambing itu pasti takkan mau karena aku sudah hamil dari orang lain."

"Kau jangan menipuku ya, anak nakal! Kamu berani membohongi orang tuamu!" Sang ayah memukkul bahu Eva dengan keras.

"Ah!!"

Sang kakak hanya tersenyum miring. "Syukurin!"

"Aku tidak bohong, ayah!"

"Anak tidak tahu di untung!" Sang ayah kembali memukul bahunya.

"Ah!"

"Ayo, ikut ayah! Awas kalau berani kabur lagi."

"Ayah ...." Percuma saja Eva meronta. Ia dimasukkan ke dalam mobil oleh sang ayah dan sopir Adam melihatnya. Ia langsung menelepon Adam. "Pak."

"Ada apa?"

"Gadis itu diculik sama dua orang laki-laki."

"Apa!?" Kedua mata Adam melebar.

"Iya. Sempat dianiaya juga. Aku melihatnya."

"Cepat, ikuti mereka!!" Adam tampak emosional karena panik.

"Iya, Pak."

Mobil mewah itu mengikuti mobil sedan berwarna coklat yang tampak sudah tua itu hingga ke sebuah perumahan padat penduduk, di mana mobil itu berhenti di depan sebuah gang. Eva diturunkan ayah dan kakaknya.

"Pak, mereka turun." Sopir Adam kembali menelepon.

"Coba kirim alamatnya. Kalo mereka masuk gang, buntuti sampai ketemu tempatnya."

"Baik, Pak."

Sementara itu, Eva dipaksa masuk ke sebuah rumah.

"Sudah lama kamu tidak pulang, 'kan? Cepat ganti bajumu dan berdandan! Kita datangi Pak Bajuri biar dia lihat calon istrinya sudah datang." Sang ayah tersenyum senang.

"Ayah ...."

"Sudah, masuk sana!" Sang kakak mendorong Eva masuk ke kamar dan menguncinya.

Berulang kali Eva berusaha membuka pintu dengan paksa tapi tak berguna. "Kakak ...!" Kakinya lemas hingga jatuh terduduk di lantai. Bagaimana ini?

Setahun yang lalu ia kabur dari rumah karena ayahnya menerima lamaran Pak Bajuri dan juga ingin mengadakan pesta untuk pernikahan sang kakak. Padahal mereka bukan orang mampu dan sang ayah sering berjudi. Sejak ibunya meninggal, tak ada seorang pun yang sungguh-sungguh menyayanginya.

Dulu ibu yang bekerja dan semua biaya di rumah ibu yang tanggung, tapi sejak sang ibu meninggal setahun lalu, dirinyalah yang dijadikan sapi perah untuk memenuhi kebutuhan di rumah. Kakaknya, Aldo sebenarnya sudah bekerja, tapi ayah memanjakannya hingga hanya Eva yang harus menanggung semuanya. Bahkan seharusnya dia bisa kuliah lewat jalur beasiswa tapi ayahnya melarang karena menurutnya pendidikan untuk anak perempuan tidaklah penting.

Sekarang selain sudah tidak bisa sekolah, kebebasannya juga akan direnggut dengan harus menikahi pria kaya yang sudah tua dan banyak istri. Ia tidak mau, tapi bagaimana caranya ia lari dari tempat ini?

***

Eva tengah menghias wajahnya dengan raut muram. Sebentar lagi ia akan dipinang Pak Bajuri entah jadi istri ke berapa, ia tidak tahu.

Pintu dibuka. Aldo masuk dengan bertelak pinggang. "Sudah belum, lama sekali sih, dandan begitu aja ...." Ia menatap adiknya yang sudah berkebaya. "Ayo cepat!" Pria berbadan kurus itu menarik adiknya keluar dari kamar.

Sang ayah melihat penampilan Eva. "Nah, begini dong! Ayo, kita pergi."

Ia membuka pintu, dan terkejut melihat seorang pria bertubuh jangkung dengan stelan jas, berdiri di depan pintu. "Siapa kamu?" Mengangkat satu alisnya.

Bersambung ....

____________

Halo, bertemu lagi dengan author ingflora di sini. ini novelku yang ke 12. Jangan lupa subscribe ya, biar gak ketinggalan update terbarunya. Salam, ingflora.

Bab 3. Penyelesaian

"Pak Adam?"

Sang ayah menoleh pada putrinya. "Kau kenal dia?"

"Dia pemilik pabrik tempat aku bekerja, Yah."

"Assalamualaikum." Adam tersenyum ramah, tapi dengan dagu terangkat. Terasa sekali aura kekuasaannya begitu dominan. "Boleh aku masuk?"

"Eh, tapi kami ingin pergi." Ayah Eva terlihat bingung. Untuk apa laki-laki ini datang ke sini saat mereka hendak keluar? Apa ini ada hubungannya dengan Eva?

"Eva tidak datang beberapa kali ke pabrik karena itu aku datang ke sini mencari tahu. Ini rumah Eva, 'kan?"

Kedua mata Eva membola. Gadis itu tak merasa membolos kerja, kenapa pria ini bicara begitu?

"Benar, tapi ...." Sang ayah melirik putrinya. "Dia akan berhenti bekerja, Pak."

"Ayah ...," protes Eva.

"Dia akan menikah."

"Dengan siapa?" Adam mengerut dahi.

"Eh, ada. Tetangga kami. Dia juragan kambing. Sudah setahun dia menunggu Eva, jadi sekarang Eva tidak perlu lagi bekerja."

"Setahun? Perut Eva masih rata, jadi bukan dengan dia Eva hamil," batin Adam. "Apa Bapak tahu Eva hamil?"

"Apa?" Bola mata ayah Eva melebar. "Bagaimana Bapak tahu?"

"Eh, tentang kehamilan Eva, sudah tersebar di pabrik karena pacarnya juga pegawai pabrik."

Bola mata Eva membulat sempurna. Bagaimana Adam tahu tentang hal ini?

"Oh, tidak apa-apa. Juragan kambing itu punya lima istri dan dia tidak akan sadar kalau istri barunya sudah hamil duluan. Dia, 'kan sudah tua." Ayah Eva tertawa. "Lagipula, dia berani memberi mahar Eva sebesar 500 juta dan mau menunggu sedemikian lama. Berarti, dia pasti mau menerima Eva apa adanya, 'kan?"

"Benar ternyata ... Eva hamil bukan karena dia. Tapi kakek-kakek ... apa Eva mau?" Dahi Adam berkerut. "Untuk mahar 500 juta, pastinya dia berharap mendapatkan gadis yang masih suci, iya 'kan?"

"Masa sih?" Ayah Eva kembali tertawa, tapi tawanya tak lagi semulus tadi. Ada raut kekhawatiran di wajahnya.

"Orang kaya itu membayar mahal untuk barang bagus. Kalau dia tahu Bapak membohonginya ...." Mata Adam menangkap gelagat bingung dari ayah Eva.

"Aku akan coba ...."

"Bagaimana kalau Eva menikah denganku?"

Ketiga orang itu menatap Adam dengan terbelalak.

"Eh, karena aku menginginkan bayinya. Aku jujur, 'kan? Pria mana yang mau menikahi dia karena bayinya?" Adam mengangkat dagunya dengan angkuh.

"Bapak memang benar-benar ingin menikahi putri Saya?" Ayah Eva masih tak percaya. Dengan bola mata yang dibuka lebar-lebar ia memperhatikan lagi pria di depannya. Pria ini cukup tampan dan bisa mendapatkan wanita paling cantik yang ia mau, tapi kenapa Eva? "Bapak menyukai Eva?"

"'Kan sudah aku bilang, aku hanya menginginkan bayinya. Mungkin setelah itu kami bercerai." Adam melirik Eva. "Kecuali dia mau mengurusi bayinya."

Eva merengut kesal.

Ayah Eva melirik putrinya dan kemudian melirik Adam lewat sudut matanya dengan licik. "Apa mungkin dia tertarik dengan putriku? Tak mungkin seorang bos mau dengan orang miskin yang jelek seperti Eva kecuali memang dia mencintai Eva, iya 'kan?" "Tapi aku minta maharnya dua miliar." Pria itu mengangkat dua jarinya.

Eva dan Aldo melongo.

"Apa!? Kamu mau merampokku ya!?" Adam menatap ayah Eva tajam. "Aku hanya bisa memberikanmu satu miliar. Itu pun sudah cukup besar. Lebih besar dua kali lipat dari mahar yang ditawarkan juragan kambing itu!"

"Ho-ho-ho." Ayah Eva mengangguk-angguk sambil melipat tangan di dadda. "Kamu suka pada putriku, 'kan? Ayo, bilang saja ...."

Wajah Adam terlihat kesal. "Oke, lupakan!! Aku cari orang lain saja yang lebih mudah diajak bicara!!" Ia berbalik dan pergi.

Ayah Eva terkejut mengetahui reaksi Adam yang malah pergi meninggalkan mereka. Ia panik dan mengejar Adam. Tak mungkin ia melepaskan tangkapan yang lebih besar dan pasti ini, begitu saja. "Eh, tunggu!!"

Adam berhenti melangkah. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan ayah Eva. Ia memutar tubuhnya ke arah pria paruh baya itu. "Apa?" katanya sedikit merengut.

"Baiklah, satu miliar. Tapi bisakah uangnya diberikan sekarang?" tanya ayah Eva dengan wajah riang.

"Berarti, aku harus menikah dengannya hari ini juga," jawab Adam tegas. Pandangannya terlihat dingin.

"Tak masalah."

***

Eva dan Adam keluar dari kantor KUA dengan buku nikah masing-masing. Di belakang mengekor Aldo dan ayah Eva yang tampak berseri-seri.

"Terima kasih sekali lagi dengan maharnya," sahut ayah Eva dengan gembira.

"Tidak apa-apa, Pak Basri. Senang berbisnis denganmu." Adam mengantongi buku nikahnya. Tanpa mempedulikan ayah dan kakak Eva, ia menggandeng Eva dan menariknya pergi.

Padahal Basri sudah menyodorkan tangan berharap Adam menccium tangannya. Pria itu merengut melihat Adam dan Eva naik ke mobil mewah dan meninggalkan mereka. "Dasar menantu sombong!"

"Yang penting, aku bisa kawin dengan Wita, 'kan, Yah?" Aldo tampak sumringah.

"Iya, dan yang penting saat uangku habis, ada tempat untuk meminta." Basri tersenyum lebar membayangkan.

***

Suasana canggung terasa di dalam mobil. Kepala Eva penuh dengan pertanyaan, kenapa pria ini malah menikah dengannya? Benarkah karena alasan bayi yang berada dalam kandungannya? Tapi ... bukankah ini benih orang lain, bukan Adam? Kenapa pria ini begitu menginginkan bayi ini? "Pak ...."

"Sekarang kita ke rumah sakit, memastikan kandunganmu. Awas saja kalau ternyata kamu tidak hamil!" Adam melirik Eva dengan pandangan tajam.

Eva mendadak bingung. Ia saat itu menggunakan alat tes kehamilan. "Bukankah itu akurat? Iya, 'kan?" "Eh, aku menggunakan alat tes kehamilan ...."

"Karena itu ... awas saja kalau tidak hamil!" Ada kemarahan di kedua bola mata Adam saat menoleh.

"Lalu, kenapa tidak cek dulu ke rumah sakit sebelum menikah? Aku 'kan gak minta dinikahin!" Eva menghentakkan tubuhnya karena kesal.

"Terakhir kali kita bicara, kamu tidak mengindahkan ucapanku. Lagipula, aku sudah menolongmu, kenapa kamu tidak merasa perlu berterima kasih padaku!?" Dari raut wajah Adam terlihat, kemarahannya belum juga pergi.

Eva tertunduk penuh penyesalan. "Maaf. Maafkan aku dan terima kasih."

Suara Eva yang terdengar sedih membuat perlahan kemarahan Adam reda. Pria itu kembali menatap ke depan. "Alat tes kehamilan jarang meleset. Berdoa saja kamu hamil agar uangku tidak terbuang percuma."

Eva tak berani mengangkat kepalanya. Ia memalingkan wajah ke arah jendela. Adam kembali melirik Eva yang tengah memandang suasana di luar jendela. Ada rasa iba menyelinap di hatinya. Kenapa gadis itu punya keluarga yang bertolak belakang dengan dirinya? Hanya saja, sekarang mereka sudah tak ada.

Kembali bayangan kelam itu membuatnya sakit kepala. Cepat-cepat ia menggelengkan kepala dengan kuat agar ia tak lagi mengingat kejadian itu. Ia harus memulai hidup baru agar trauma itu tak lagi menghantui.

***

Adam terkejut, ada bekas memar di beberapa bagian tubuh Eva saat melakukan USG. Dokter sampai bingung melihatnya. "Bapak yang melakukan ini?" Dokter wanita itu menatap tajam Adam.

"Bukan dok, itu bapak Saya," aku Eva.

Dokter itu masih melirik tajam pada Adam, tak percaya karena wajah Adam yang sedikit galak.

"Dokter dengar sendiri, kan? Aku bukan orang seperti itu!" Adam melakukan pembelaan. "Lagipula, kami baru menikah."

"Kalau begitu, lindungi istrimu dari orang tuanya."

"Ya, sudah," jawab Adam kesal. Ia kemudian melihat USG bayi Eva. Sudah tiga bulan dan dokter menunjukkan posisinya.

"Ini bayinya, masih terlalu kecil untuk dilihat."

Adam takjub. Berarti, tidak sia-sia ia menikahi Eva. Gadis itu memang sedang hamil.

Dalam perjalanan pulang, Adam kembali bicara. "Sekarang kamu akan tinggal di rumahku. Tapi kita tidak tinggal satu kamar, kamu mengerti? Aku tidak tertarik padamu dan jangan pernah menyentuhku."

Dahi Eva berkerut. "Tapi Bapak sering pegang duluan. Apa Bapak tidak ingat? Menarik ke sana ke sini?"

"Itu terserah padaku. Aku sudah membeli kamu dan anakmu, jadi jangan membantah lagi!" Adam tampak kesal. "Di sini aku menikahimu bukan untuk menjadi istriku tapi melahirkan anak itu untukku. Jadi jangan berharap harta apa pun dariku!"

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!