"Gawat, Pak, Bu," ucap Bibi Ningsih.
"Ada apa, Bi?" tanya Pak Johan.
"Non Alexa nggak ada di kamar rias," sahut Bibi Ningsih.
"Apa!" teriak Pak Johan.
"Mas, kenapa?" tanya Bu Davia.
"Alexa, Dav," sahut Pak Johan.
"Kenapa dengan Alexa?" tanya Bu Davia.
"Kata Bibi Ningsih, Alexa nggak ada di ruang rias."
"Ya ampun, bagaimana bisa Mas?"
"Aku juga nggak tahu."
"Kita harus cari dia, sebelum pengantin laki-laki datang."
"Iya."
Pak Johan dan Bu Davia pun mengerahkan anak buahnya untuk mencari Alexa, sedangkan Anjani belum tahu jika sang adik menghilang.
"Anjani," panggil Bu Davia.
"Iya, Ma," sahut Anjani.
"Alexa menghilang, kamu bisa bantu cari."
"Hah, ee ... baik Ma." Anjani pun ikut mencari.
Pengantin laki-laki sudah datang bersama keluarganya, Pak Johan dan Bu Davia panik.
"Selamat datang, Pak Romi, Bu Tania, dan Nak Gavin." Ada perasaan gelisah yang dirasakan Pak Johan.
( "Bagaimana ini?" batin Pak Johan. )
"Pak Johan, penghulu sudah datang. Sebaiknya kita mulai acaranya," ucap Pak Romi.
Pak Johan pun meminta waktunya sebentar untuk bicara dengan pihak laki-laki secara pribadi.
"Mohon maaf, Pak Romi. Dengan berat hati kami mengatakan dengan jujur, saat ini Alexa menghilang."
"Menghilang," ucap Gavin terkejut.
"Benar Nak Gavin, kami sudah mencarinya kemana-mana."
"Pak Johan, bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Pak Romi.
"Maafkan saya," sahut Pak Johan.
"Semua kolega bisnis akan datang ke acara pernikahan ini, akan sangat malu jika batal!" ucap Pak Romi.
"Benar Pak Romi," sahut Bu Tania.
"Kami minta maaf," ucap Pak Johan dengan sedih.
"Alexa benar-benar menghilang," sahut Bu Davia juga.
Tiba-tiba Anjani datang bersama anak buah Pak Johan.
"Pa, Maaf. Kami sudah mencari ke sekeliling rumah, tapi Alexa tetap nggak ada!" ucap Anjani yang tidak peduli dengan keluarga Gavin.
Pak Romi dan Bu Tania saling tatap lalu bertanya.
"Siapa dia, Pak Johan?" tanya Pak Romi.
"Dia Anjani, anak sulung saya. Kakaknya Alexa," sahut Pak Johan.
"Saya nggak tahu kalau Pak Johan punya anak selain Alexa," tutur Bu Tania, "saya pikir hanya Alexa."
"Maaf, Bu Tania. Anjani anaknya nggak pernah dipublish," sahut Bu Davia, "jadi nggak ada yang tahu."
"Owh ...." Bu Tania hanya ber oh ria saja.
"Bagaimana kalau Anjani yang menggantikan Alexa," ungkap Pak Romi. Pak Johan dan Bu Davia terkejut, sudah pasti mereka akan menolak.
"Enggak!" ucap Pak Johan dan Bu Davia bersamaan.
"Loh kenapa?" tanya Pak Romi heran.
"Maaf Pak Romi, Nak Gavin dan Anjani nggak cocok. Mereka juga beda usia cukup jauh," sahut Pak Johan.
"Benar Pak Romi," sambung Bu Davia.
"Emang umur Anjani berapa?" tanya Bu Tania.
"30 tahun," sahut Bu Davia.
"Buset," ucap Gavin, "yang bener aja saya nikah sama Anjani, Pa!"
"30 puluh masih belum tua banget, Gavin," sahut Pak Romi.
"Pokoknya saya nggak mau!" tolak Gavin dengan mentah-mentah.
"Gavin, kolega bisnis Papa datang semua. Kamu jangan egois, nggak ada cara lain lagi. Pak Johan, tolong suruh MUA merias Anjani, cepat!" desak Pak Romi.
"Tapi Pak Romi," ucap Pak Johan lagi ingin protes tetapi Pak Romi sudah pergi bersama istrinya. Sedangkan Gavin, ia menatap Anjani dengan penuh permusuhan.
"Gimana ini Mas?" tanya Bu Davia.
"Kita nggak punya pilihan," sahut Pak Johan lalu membawa Anjani ke ruang rias.
Didalam ruang rias, Pak Johan dan Bu Davia menekan Anjani.
"Kamu jangan senang dulu, Anjani!" ucap Pak Johan.
"Iya," sahut Bu Davia.
"Kalau Alexa ditemukan, kamu harus pisah sama Nak Gavin!" tekan Pak Johan.
"Nak Gavin hanya milik Alexa, adik kamu!" ucap Bu Davia.
"Jangan sampai kamu melakukan malam pertama sama Gavin," sambung Pak Johan, "kalau sampai itu terjadi, Papa habisi kamu!"
Anjani hanya diam, ia sudah biasa diperlakukan seperti ini. Berbeda dengan adiknya yang sangat dimanja, bukankah ini tidak adil.
Selesai dirias, Anjani langsung ke depan dan duduk disamping Gavin.
Penghulu kemudian memulainya, semua berjalan dengan lancar.
Sekarang Anjani resmi menjadi istri Gavin.
"Kamu jangan senang dulu," bisik Gavin, "saya nggak akan pernah anggap kamu sebagai istri!'
"Iya," ucap Anjani singkat.
"Cihh!" decih Gavin.
Setelah acara selesai, Gavin dan Anjani pergi ke rumah mereka yang sudah disiapkan
Gavin langsung keluar dari mobil tanpa mengajak Anjani. Baru juga masuk, Anjani sudah kena sasaran kemarahannya.
"Anjani, wanita tua!" maki Gavin, "kamu jangan senang dulu bisa nikah sama saya!"
"Saya tahu," ucap Anjani dengan tenang.
"Kita bikin perjanjian," sahut Gavin.
"Silahkan," ucap Anjani lagi.
"Pertama kita nggak akan tidur sekamar atau seranjang, kedua jangan ikut campur masalah masing-masing, dan ketiga Alexa ditemukan saya akan ceraikan kamu!"
"Dimengerti," ucap Anjani.
"Kamu bisa pilih kamar di rumah ini," sahut Gavin lalu masuk ke dalam kamar.
Anjani juga masuk ke dalam kamar belakang, ia juga mengunci pintunya.
( "Pa, Ma, doa kalian kabul lagi." Anjani membatin. )
Anjani mengganti bajunya, ia kemudian ke dapur karena lapar.
"Masak apa yah?" gumam Anjani, "nasi goreng kayaknya enak."
Anjani memutuskan untuk membuat nasi goreng, aroma wanginya menusuk lubang hidung Gavin.
"Siapa yang masak malam-malam begini," ucap Gavin sambil menuruni anak tangga.
Sampai di dapur, Gavin melihat Anjani makan.
"Kamu mau makan malam," ucap Anjani menawarkan diri.
"Jadi yang harum tadi masakan kamu?" tanya Gavin.
"Mungkin," sahut Anjani.
"Oke, saya bisa masak sendiri." Gavin tidak mau makan yang dimasak Anjani.
"Silahkan," sahut Anjani yang tidak mau memaksa orang.
Gavin memutuskan untuk memasak telur, tetapi rasanya sangat sulit. Sedangkan, Anjani sudah selesai makan.
"Cih, kenapa jadi susah begini!" kesal Gavin. Lalu dia tidak sengaja melihat sisa nasi goreng milik Anjani yang ada di wajan. Karena penasaran, ia mengambil sendok dan memakannya. "Hemm ... enak juga masakannya, nggak kalah dari mama."
Paginya Anjani sudah mandi dan merapikan kamarnya kembali, ia juga siap ke tokonya sendiri. Dengan pakaian rapi juga tidak terlalu menunjukkan keseksian, malah sangat elegan dan terhormat.
Anjani tidak biasa sarapan pagi, jadi ia langsung pergi.
Sedangkan Gavin belum bangun, padahal sudah ada janji meeting pagi ini di kantor.
Sampai di toko Anjani Galleri, itulah nama toko lukis Anjani yang tidak diketahui oleh keluarganya. Karena, ia menyembunyikan bakat lukis ini.
Baru saja duduk di ruang kerja sudah ada yang datang.
"Bu Anjani," ucap pelanggan.
"Pak Ciko," sahut Anjani.
"Saya mau Bu Anjani melukis almarhum ayah, apa bisa?"
"Bisa."
"Saya kirim fotonya."
"Oke."
"Kalau begitu saya permisi dulu," ucap Pak Ciko.
"Iya Pak Ciko," sahut Anjani.
Seni lukis Anjani itu 3 demensi, jadi sangat nyata. Harga jualnya juga mahal, sudah banyak penghargaan yang ia dapatkan. Bahkan, sering juara event lukis.
Di kantor Pak Romi sangat geram dengan Gavin, "Kemana anak itu!"
BERSAMBUNG
Pak Romi menelpon istrinya, [ "Hallo, Tan. Kamu dimana?" ]
[ "Di rumah Mas," sahut Tania. ]
[ "Bisa ke rumah Gavin nggak kamu, ini anak belum datang ke kantor." ]
[ "Ya udah, aku ke rumah Gavin sekarang." ]
[ "Oke." ]
Tania pun pergi keluar menuju rumah Gavin.
"Gavin," panggil Tania mengetuk pintu rumah, "nggak dikunci."
Tania pun masuk ke dalam, ia terus memanggil Gavin.
"Gavin, kamu dimana sih? Apa di kamar yah? Yang mana sih, kamarnya?" Tania membuka satu persatu pintu, "ini orangnya."
Tania pun menyingkap selimut Gavin, "Bangun, Gavin."
"Engh ... Mama," ucap Gavin terkejut.
"Kamu masih tidur," sahut Tania tidak percaya.
"Emang jam berapa sih, Ma?" tanya Gavin, "masih pagi juga."
Tania langsung menarik telinga Gavin, "Pagi kamu bilang, ini sudah jam 9."
"Aduh, sakit." Gavin meringis kesakitan, "masa jam 9."
"Coba kamu lihat jam," ucap Tania dan Gavin menatap jam di dinding, "hah, ya ampun!" Gavin langsung berdiri dan mengambil handuk lalu ke kamar mandi.
"Dasar anak itu!" kesal Tania lalu pergi ke dapur, "kok nggak ada makanan, Anjani ini gimana sih!"
Gavin pun ke dapur, "Ma, saya lapar."
"Ya udah kamu tunggu disini," ucap Tania membuka kulkas dan membuat makanan untuk Gavin.
( "Ini Anjani kemana yah?" batin Gavin bertanya-tanya. )
"Ini makan," ucap Tania.
"Makasih, Ma," sahut Gavin langsung makan.
"Emang Anjani nggak masak?" tanya Tania.
"Mana bisa dia masak, Ma. Umurnya aja yang tua," sahut Gavin.
"Masa sih."
"Iya."
"Terus sekarang Anjani kemana?"
"Mana saya tahu."
"Ya ampun Gavin ...."
"Ma ... saya sama Anjani itu nggak cocok."
"Iya Mama tahu."
"Jadi istri aja dia nggak becus."
Tania menatap Gavin dengan curiga, "Kamu nggak ganggu Anjani kan?"
"Apa sih, Ma, curigaan mulu sama anak."
"Ya Mama harus curiga dong, masa Anjani nggak bangunin kamu."
Gavin hanya diam ia dan Tania bersedekap dada menatap anaknya ini.
"Mama yakin, Anjani itu perempuan yang baik!" ucap Tania.
"Perasaan Mama aja," sahut Gavin.
"Perasaan Mama itu nggak pernah salah, beda waktu Mama lihat Alexa."
"Alexa itu cantik, muda, pinter, putih, model lagi. Daripada Anjani, udah tua, jawabnya singkat, ngebosenin!"
Tania langsung menarik kembali telinga Gavin.
"Aduh sakit, Ma!" rengek Gavin.
Di Anjani Galleri, ia sudah menyelesaikan Lisa Pak Ciko.
"Telpon Pak Ciko deh," gumam Anjani, [ "hallo, Pak Ciko, ini lukisannya sudah jadi." ]
Tidak lama Pak Ciko datang dengan mobil mewahnya.
"Mana Bu Anjani?" tanya Pak Ciko.
"Ini, Pak. Bisa dilihat dulu," sahut Anjani.
"Ya ampun, ini nyata banget. Bu Anjani emang hebat."
"Makasih Pak Ciko."
"Jadi ini berapa?"
"Untuk harganya sekitar 2.500.000."
"Bisa bayar pake qris."
"Oh, bisa banget Pak." Anjani langsung membuka ponselnya.
"Sudah saya bayar," ucap Pak Ciko.
"Iya, Pak. Sudah masuk uangnya," sahut Anjani, "saya bungkus dulu."
"Oke."
Setelah selesai membungkus, Pak Ciko pergi. Lalu seseorang datang, "Bagus banget lukisannya."
Anjani yang melihat hanya diam dan lanjut melukis, orang tadi kemudian mengambil lukisan itu dan mendekati Anjani.
"Saya mau beli ini," ucapnya.
"Baik, Mas," sahut Anjani kemudian membungkusnya.
Anjani akan memanggil Mas jika masih muda untuk laki-laki, kalau perempuan biasanya kakak atau adik.
"Bisa melukis ditempat?" tanya orang itu.
"Iya," sahut Anjani, "apa Mas tertarik."
"Nggak, ini saya mau bayar."
"Oh, ya udah."
Orang itu langsung pergi, ia membeli lukisan ini seharga 700.000.
Anjani kembali melukis, ia sangat bahagia menjalani ini semua tanpa ada hambatan.
Sedangkan Pak Johan lagi sibuk mencari Alexa.
"Bagaimana?" tanya Pak Johan.
"Nggak ada tanda-tanda, Pak," sahut mereka.
"Cari lagi."
"Baik, Pak."
"Kamu dimana Alexa?" gumam Pak Johan.
Sedangkan Gavin sudah sampai ke kantor, Pak Romi sangat marah.
"Gavin!" panggil Pak Romi.
"Iya, Pak," sahut Gavin.
"Ikut saya ke kantor."
"Baik, Pak."
Untuk di kantor, Gavin dan Pak Romi sangat formal.
"Kenapa terlambat?"
"Kesiangan, Pak."
"Kok bisa?" tanya Pak Romi.
"Lagi sial, Pak," sahut Gavin.
"Kamu tahu kan hari ini ada meeting penting."
"Saya tahu, Pak."
"Ya sudah, lain kali jangan terlambat lagi."
"Terima kasih, Pak."
Pak Romi di PT. Anderson memiliki jabatan CEO juga sekaligus owner, sedangkan Gavin hanya direktur utama saja.
"Huh ...." Gavin memejamkan matanya saat duduk di ruang kerjanya.
( "Ini semua karena Anjani, kenapa nggak bangunin saya!" kesal Gavin dalam hatinya. )
Anjani membuka gallerinya hanya sampai jam 5 sore, ia akan pulang.
Kali ini ia tidak langsung ke rumah, Anjani memutuskan untuk ke rumah kedua orang tuanya.
"Anjani," ucap Bu Davia.
"Ma," sahut Anjani.
"Ngapain kamu kesini?"
"Mau ambil kunci motor aja."
"Owh, tunggu bentar." Davia menutup pintu rumahnya, padahal Anjani ingin masuk.
Pintu kembali dibuka, "Nih, bawa motor butut kamu itu bikin pemandangan rusak aja di garasi."
"Iya, Ma." Anjani masih berdiri di depan.
"Kenapa masih disini, ayo pergi!" desak Davia.
"Ya," ucap Anjani tidak akan memaksa untuk masuk ke dalam rumah.
Anjani kemudian sampai di rumah, ia memasukkan motor ke garasi.
"Aku harus mandi, lengket banget." Anjani masuk ke dalam kamar dan menguncinya lagi, itu ia lakukan karena tidak pernah percaya dengan Gavin.
Setelah mandi, Anjani merasa segar dan kemudian ke dapur untuk masak.
"Aku makan apa ya sore ini," gumam Anjani sambil berpikir, "kayaknya masak lalapan enak deh."
Lagi asyik makan, tiba-tiba Gavin datang dan langsung menggebrak meja makan sampai Anjani terkejut.
"Kamu itu nggak becus banget sih!" marah Gavin.
"Apa sih," sahut Anjani.
"Kenapa nggak bangunin saya!"
"Mending kamu ingat lagi sama syarat yang diajukan."
"Apa maksud kamu?"
"Saya yakin kamu pintar, Pak Gavin."
"Owh, Pak Gavin yah."
"Iya, bukannya Pak Gavin nggak cinta sama saya."
"Iya, saya nggak cinta sama kamu. Nikah sama kamu itu cuma terpaksa, nanti kalo Alexa balik saya ceraikan kamu!" ucap Gavin dengan amarah yang meluap-luap.
"Kalau begitu bukan tugas saya membangunkan Pak Gavin," sahut Anjani, "apa Pak Gavin mau makan?"
"Enggak!" ketus Gavin langsung pergi.
"Aneh," gumam Anjani.
Pak Romi baru saja selesai mandi, ia langsung ke meja makan.
"Masak apa hari ini, Tan?" tanya Pak Romi sambil menarik kursi untuk dirinya duduk.
"Makanan kesukaan kamu, Mas," sahut Tania.
"Pasti enak." Pak Romi langsung melahap sop ayam buatan istrinya itu.
"Mas, Gavin itu ternyata masih tidur saat aku sampai kesana."
"Kok bisa?"
"Aku juga enggak tahu, kata Gavin Anjani nggak bangunin dia. Tapi masa sih, Anjani kayak gitu."
"Kita kan belum tahu sifat Anjani, yang selama ini kan kita tahunya cuma Alexa."
"Iya sih, Pa. Tapi ...."
BERSAMBUNG
"Tapi apa?" tanya Pak Romi.
"Nggak papa," sahut Tania.
Paginya Tania sudah masak lengkap untuk suaminya.
"Mas, aku keluar dulu yah."
"Emang kamu mau kemana sepagi ini, aku aja belum berangkat ke kantor."
"Iya, ada urusan bentar Mas. Nggak lama kok," ucap Tania.
"Ya udah," sahut Pak Romi.
Tania pergi pakai supir pribadi, maklum sudah mau berumur.
"Pak Lana, kita antar saya ke rumah Gavin yah."
"Baik, Bu," sahut Pak Lana.
Pak Lana ini sudah lama bekerja di rumah Pak Romi, sejak Gavin masih kecil mungkin sudah 25 tahun.
Sampai di rumah Gavin, Tania mengetuk pintunya.
"Gavin, Anjani," panggil Tania. Dan pintu pun dibuka.
"Mama," sahut Anjani yang sudah mandi dan rapi.
"Boleh Mama masuk," ucap Tania.
"Iya," sahut Anjani.
Di ruang tamu Anjani mempersilahkan duduk, "Duduk, Ma."
"Iya makasih," ucap Tania melihat Anjani yang sudah rapi, "kamu mau kemana?"
"Kerja," sahut Anjani seadanya.
"Apa! Kamu kerja!" ucap Tania terkejut.
"Iya, Ma," sahut Anjani.
"Kamu sudah jadi istri, Anjani. Sudah sepantasnya di rumah," ucap Tania.
"Iya, saya tahu itu."
"Kalau kamu tahu kenapa masih kerja?" tanya Tania.
"Buat biaya hidup saya," sahut Anjani.
"Anjani! Mama serius yah, kamu ini sudah jadi istri Gavin. Seharusnya di rumah aja," ucap Tania.
Anjani hanya tersenyum, ia pun berdiri.
"Mama tunggu disini," ucap Anjani.
"Kamu mau kemana?" tanya Tania.
"Tunggu saja, Ma," sahut Anjani. Ia pergi ke kamar untuk mengambil surat perjanjian antara dirinya dengan Gavin, biar tidak disalahkan.
"Anjani kenapa sih? Kerja? Dia itu udah jadi istri Gavin Anderson," gumam Tania. Kemudian Anjani datang, ia menyerahkan surat itu.
"Silahkan Mama baca," ucap Anjani.
"Ini apa?" tanya Tania.
"Baca aja," sahut Anjani dengan singkat.
Tania pun membaca surat perjanjian itu, matanya langsung melotot.
"Ini ...."
"Jadi sekarang sudah jelas kan, jadi sebaiknya Mama jangan menyalahkan saya."
"Anjani, kalian itu sah menikah!" ucap Tania.
"Saya tahu, tapi Gavin nggak mencintai saya karena jarak umur. Begitu juga dengan saya, Gavin masih belum dewasa."
"Saya akan beri nasehat Gavin," ucap Tania.
"Nggak usah," sahut Anjani.
"Kenapa?" tanya Tania heran.
"Saya nggak mau ribut, jalani aja dulu sampai Alexa ditemukan."
"Anjani, Mama mohon kamu jangan begini."
"Saya emang begini."
"Anjani, Mama nggak suka sama Alexa!" ungkap Tania dengan jujur.
"Itu urusan Mama bukan saya," ucap Anjani.
"Anjani kamu ini!" ucap Tania tidak habis pikir.
"Mama," panggil Gavin tiba-tiba muncul.
"Gavin," ucap Tania. Sedangkan, Anjani hanya diam.
Gavin melihat surat perjanjian itu ada di tangan mamanya.
"Ma itu ..." Gavin menunjuk tangan sang mama. Tiba-tiba, Tania menampar anaknya.
"Laki-laki bodoh kamu!" ucap Tania, "kamu itu suami apa, ha!"
"Ma, saya nggak cinta sama Anjani!"
"Iya Mama tahu, tapi seharusnya kamu kasih dia uang nafkah!" kesal Tania.
Gavin menatap Anjani, "Ini semua gara-gara kamu!"
"Maaf, saya nggak disalahkan oleh Mama jadi kasih tahu aja yang sebenarnya."
"Halah, ini rencana licik kamu kan!" tuduh Gavin.
"Terserah, saya pergi dulu." Anjani mencium tangan Tania lalu pergi.
Tania menatap Gavin, "Kamu akan menyesal, Gavin!"
"Saya nggak akan menyesal, Alexa yang paling berharga!"
"Lalu sekarang dia kemana?" tanya Tania.
"Mungkin dia ada disuatu tempat," sahut Gavin.
"Bodoh!" maki Tania.
"Terserah Mama, mau ngatain saya bodoh atau gimana. Yang pasti, jangan paksa saya mencintai wanita itu!" tekan Gavin, "ah, satu lagi. Jangan sampai papa tahu, jadi Mama harus merahasiakan ini."
Tania kembali menampar Gavin, "Kamu emang dibutakan sama perempuan ular itu!"
Gavin hanya tersenyum saja dan itu membuat Tania muak.
Sedangkan Anjani sudah sampai di toko gallerinya. Ia tidak menyangka, ada pelanggan sepagi ini.
"Hay," sapa orang itu.
"Kamu bukannya yang kemarin," sahut Anjani.
"Iya."
"Mau beli lukisan lagi?" tanya Anjani.
"Iya, tapi saya enggak beli lukisan kamu yang di dinding."
"Lalu?"
"Kamu harus melukis saya," ucapnya.
"Baik," sahut Anjani lalu membuka tokonya, "Silahkan Mas duduk disitu."
"Iya," ucapnya.
Anjani melukis pelanggannya ini sangat hati-hati, butuh waktu 2 jam. Selama itu pelanggan mengajak Anjani mengobrol, ia begitu antusias bertanya.
"Owh, jadi kamu sudah menikah."
"Iya."
"Aduh, patah hati dong saya."
"Kenapa?" tanya Anjani dengan muka datarnya.
"Saya berniat ingin menjadi calon kamu," sahutnya.
"Terlalu jujur," puni Anjani.
"Hahaha ..." pelanggan itu tertawa.
Tukang bakso lewat di depan toko Anjani, ia pun memanggilnya.
"Paman," panggil Anjani.
"Mau beli bakso," ucap paman itu.
"Iya," sahut Anjani.
"Tunggu yah ...." ucap tukang bakso itu. Sedangkan Anjani berdiri.
"Mas tunggu sebentar yah, saya beli bakso dulu."
"Sekalian pesenin saya yah," ucapnya.
"Mas mau juga," sahut Anjani.
"Iya, saya belum makan pagi tadi."
"Ya sudah, mana uangnya?" tanya Anjani.
"Saya pikir kamu mau traktir," ucap pelanggan itu malu-malu.
"Kamu bukan orang terdekat saya," sahut Anjani.
"Iya deh, ini uangnya." pelanggan itu memberikan uang 50.000.
Anjani pun ke depan, ia memberitahu tukang bakso itu jika tambah satu porsi lagi.
"Lucu banget dia," ucap pelanggan itu sambil memperhatikan dari dalam.
Lalu tukang bakso itu sudah selesai membungkus baksonya, "Semuanya jadi Rp.40000
"Ini saya bayar bakso sendiri," ucap Anjani dan ini uang pelanggan saya yang di dalam."
Tukang bakso itu mengembalikan uang pelanggan itu Rp.30000.
"Beli ya, paman," ucap Anjani.
"Iya," sahut tukang bakso itu.
Anjani membuat baksonya di mangkok, begitu juga dengan pelanggan itu.
"Em, enak banget. Siapa nama tukang bakso tadi?" tanya pelanggan tadi.
"Pak Budi," sahut Anjani.
"Dia sering lewat yah."
"Iya, setiap hari."
"Wah, bisa kesini lagi dong buat makan bakso."
Bahkan Anjani melihat pelanggannya ini sangat menikmati baksonya.
"Gila, ini bakso paling enak yang pernah aku makan. Harganya juga murah, harus saya bawa nih ke rumah."
"Emang Mas nggak pernah makan bakso jalanan?" tanya Anjani.
"Nggak pernah," sahutnya, "paling juga makan bakso di restoran."
"Owh ...."
"Bu Anjani, jangan lupa yah lukisan saya dikasih nama."
"Emang namanya siapa?" tanya Anjani.
"Nama saya Roy," sahutnya.
"Oke, nanti saya kasih nama."
"Hemm ...."
Selesai makan bakso, Anjani menyisipkan nama pelanggan di bawahnya.
"Udah selesai," ucap Anjani.
"Bagus banget Bu Anjani ngelukis," puji Roy.
"Masih banyak belajar lagi saya," ucap Anjani.
"Jadi ini berapa?" tanya Roy tentang harga.
"Rp.2000.000."
"Bayar pakai Qris yah," ucap Roy."
"Iya," sahut Anjani.
Kemudian Roy pamit, ia langsung ke kantor. Ternyata lukisan itu ia letakkan di ruang kerjanya, sambil terus memandang.
"Sayang banget dia sudah nikah," gumam Roy.
Pintu ada yang mengetuk, Roy menyuruhnya masuk.
"Bagus juga lukisannya," ucap orang itu.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!