NovelToon NovelToon

Masa Lalu Tanpa Aku

Tempat Kenangan Pahit

"Hah! Tempat ini udah jauh lebih baik setelah direnovasi!" Gita berseru bangga memandangi roof top bangunan SMA Pelita.

Tempat yang tadinya tampak gersang dan tak terawat itu kini menjadi enak dipandang mata, karena kehadiran roof garden rancangannya, sebagai salah staff desain sebuah kontraktor yang disewa pihak sekolahnya dulu ini.

Ia mendekat ke tepi roof top, menyentuh tepian dinding pembatas di sana.

"Pencegah kematian," gumam Gita, lalu tersenyum miring.

Ia menatap nanar gurat-gurat kasar pada dinding setinggi dada itu dengan perasaan sesak.

"Jejak-jejak putus asa udah gak ada, semua bersih. Ini bakalan jadi tempat yang benar-benar baru," gumamnya lagi seraya menyusut air mata yang hampir jatuh.

"Bu Gita, tolong ke bawah sebentar!" panggil seorang kepala tukang dengan safety helmet tersemat di kepalanya.

Gita mengangguk, ia merapikan rambutnya yang panjang tergerai, mengikatnya dengan ringkas, lalu ikut menuruni tangga bersama rekannya tersebut.

"Tolong cek detail yang di sebelah sana, saya khawatir kerjaan anak buah saya kurang rapi," tunjuk pria itu menunjuk ke bagian luar sebuah ruangan.

"Oke!" ujar Gita ruang, menapak masuk ke sebuah ruangan yang dulu sempat ia takuti.

Wanita itu berdehem mengusir rasa tidak nyaman akan kenangan yang tiba-tiba muncul. Sambil menahan napas secara tak sadar, ia pun kemudian keluar dari sebuah pintu kaca di seberang ruangan.

"Udah rapi kok ini," ucapnya sambil meneliti detail ornamen pada balkon di lantai empat tersebut.

"Tadi ada yang kurang pas bentuk ornamen di sebelah sana, Bu!" seru kepala tukang tanpa ikut masuk ke ruangan.

Gita menatap langit semakin gelap, dan angin bertiup kencang dan bulir gerimis mulai turun, beriringan bagai berlari dari kejauhan.

Sejenak wanita 37 tahun itu merasa ragu. Rok panjangnya meski tak menghalangi gerak, namun tampaknya akan bertarung dengan angin ketika meneliti railing balkon.

'Alamat nyangkut ini rok, meski gue pake legging, tapi tetep aja ... melambai-lambai kena angin? Ah tapi resiko pekerjaan, palingan robek kalau nyangkut,' batinnya.

Gita kemudian memantapkan hati dan memegang tepian railing dari GRC krawangan berbingkai besi tersebut.

Ia berusaha berjanjit untuk melihat detail ornamen di sisi luar balkon tersebut.

'Aish, ga keliatan jelas. Masa gue naik tangga panjat dulu dari lantai satu? Lama! Dahlah coba gue jinjit lagi.'

Gita mendorong tubuh kurusnya hingga merapat pada railing tersebut.

Lalu...

KLANG!

"Eh?" Gita terperangah.

Railing yang ia jadikan sandaran, berderak, terlepas dari sisi kanan dan kiri.

Semakin miring ke luar.

KRIEEETTT.

Gita tak sanggp bersuara karena takut, sedangkan orang-orang di sana menjerit ngeri melihat wanita itu bersandar pada railing yang terlepas, hingga akhirnya....

BRUGH!

"Bu Gita!" teriak orang-orang hampir serentak.

Gita jatuh bersama railing besi dengan detail krawangan geometris yang indah. Hasil rancangan dirinya, dan kini terwarnai oleh merah darahnya.

Orang-orang berlarian mendekat, dengan aneka ekspresi kengerian di wajah-wajah mereka.

Gerimis semakin rapat, menghujani tubuh Gita yang tak berdaya di halaman sekolah, tempat ia dulu pernah menjalani hari-hari yang tak bisa dibilang indah.

Sementara kepala tukang menuruni tangga tergesa, mengikuti para tukang bawahannya yang sudah hampir tiba di lantai bawah.

"Haaah bu Gita, tadi saya lupa bilang kalau railing itu kendor baut-nya," gumam lelaki bertato itu, dengan seringai di wajahnya.

Jerawat!

Rasa nyeri yang teramat sangat menyerbu kepala Gita, membuatnya meringis dengan mata terpejam.

'Dingin. Apa gue udah mati? Kayaknya belum. Kalau mati, gak bisa ngerasain sakit kan? Terus cairan di muka gue ini, apa darah gue? Tapi kok-'

Gita mengendus cairan kental yang melekat di cuping hidungnya. 

'Aromanya kok kayak kenal—"

Hidung Gita berkedut-kedut berusaha menganalisis.

Setetes cairan kental itu menetas dan singgah di bibirnya, lalu mengenai lidahnya lewat celah mulut yang terbuka.

'I-ini kan—'

"Jus alpukat!" Ia memekik sambil menegakkan punggung dan membuka mata.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Gita seiring pekikan gembiranya.

"Berisik!" bentak sebuah suara.

Gita memegangi pipi kirinya yang berkedut. Matanya nanar memandang sekeliling. Kursi-kursi yang kayu di atas lantai berdebu.

Sejajar dengan matanya, ia melihat beberapa pasang kaos kaki sebetis dan sepatu pantofel hitam dipayungi rok abu-abu sejengkal dari lutut yang mulus.

'Gue ditemenin anak-anak sekolah? Apa gue ditolong mereka waktu jatuh tadi? Tapi masa abis ditolongin gue digampar sih?' batinnya mencerna.

Ia menggeleng, belum bisa mencerna situasi. Tapi ia bersyukur bisa selamat setelah jatuh dari ketinggian empat lantai bersama railing berbingkai besi dan menghantam lantai batu halaman sekolah.

"Kalau dipikir-pikir keajaiban banget gue masih hidup," gumam Gita seraya bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pakaiannya.

'Eh kayak ada yang salah?'

"Permisi, apa tadi ada yang mengganti pakaian saya?" tanya Gita pada sekelopok gadis SMA yang ada di hadapannya.

Seorang gadis berambut pendek yang berjarak paling dekat dengan Gita menautkan alisnya dan menoleh pada tiga kawannya.

"Udah gila dia, Gaes!" serunya lalu mereka semua tertawa mencemooh.

Gita mendecih. Gak sopan sama orang tua malah ngetawain!

"Lo kekencengan kali tadi nampar dia," sambut si gadis berkuncir kuda.

Sementara seorang gadis bertubuh gemuk di sana geleng-geleng kepala, melirik jam tangannya, "Eh udah mau jam matematika nih! Cabut yuk!" 

"Hah gini nih kalau ngajak Risa si murid teladan, nongkrong tapi gak boleh telat masuk kelas" ujar gadis berambut ikal berwajah ceria.

Kemudian mereka berdua menyusul gadis gemuk bernama Risa, ke luar ruangan.

"Selamet lo kali ini, dasar tukan ngadu!" sinis si rambut pendek yang paling cantik di antara mereka sambil mendorong bahu Gita hingga terhuyung.

Gita hanya terdiam karena shock atas perlakuan anak-anak sekolah tadi.

"Wah ... anak remaja sekarang, gak ada adabnya. Mubazir banget gue rasanya bikin desain renovasi bangunan sekolah jadi cakep dan elegan, eh yang pake kelakuannya kampungan."

Gita tiba-tiba kembali merasa pusing dan berpegangan pada meja di belakangnya, kepalanya nyeri. Namun rasa lengket cairan sepert jus alpukat itulah yang justru terasa paling mengganggunya.

Ia kemudian mecari-cari tas miliknya untuk mengambil tisue atau sapu tangan untuk membersihkan diri. Namun di ruangan seperti kelas kosong itu, tak ia temukan benda yang dicari.

"Hah, kemana itu tas? HP gue di situ juga."

Sedang otaknya bagai teraduk-aduk, ia belum bisa terlalu banyak berpikir. Gita lalu berjalan keluar ruangan dan menemukan toilet yang nampak sepi, lalu membersihkan diri di washtafle.

Usai mencuci tangan, wajah, serta membersihkan rambutnya. Gita merasa lebih segar dan sedikit mendapat secercah kewarasan meski belum sepenuhnya.

Ia mematut dirinya di cermin besar dinding washtafle, dan tercenung.

Gita sadar jika orang-orang sering mengatakan jika dirinya terlihat baby face, namun di kaca toilet siswa itu, ia terlihat benar-benar muda.

"Mereka pake efek lighting apa ya? Gue jadi kayak dedek gemes gini, gak kala sama efek cakepnya toilet mall. Hihihi," gumam Gita melihat-lihat wajahnya di cermin.

Dirinya yang mengenakan seragam siswa SMA, dan wajahnya yang terlihat muda, sukses membuat Gita serasa menjadi remaja

Lalu ia meraba dagunya, "Bekas luka gue ilang ... kapan ilangnya ya? Kok bisa tiba-tiba gak ada. Terus ... eh, bukannya ini ... oh tidak! Jerawat!"

Gita kaget menyadari keberadaan beberapa jerawat di pipinya, yang ia rasa sedikit lebih tembam dari biasanya.

"Permisi, ini—" seorang cowok bewajah tampan tiba-tiba sudah berada di samping Gita, menyodorkan sebuah sapu tangan.

Dada Gita berdebar, "Lo bukannya si—"

***

Tolong!

"Kamu ingat sama saya?" tanya lelaki berwajah agak oriental dan tampak pintar itu, tampak terkejut.

Gita menutup mulutnya, "Ini gak mungkin. Mirip sih, tapi muka dia gak seputih ini, dan gak sekurus ini juga," gumam Gita sambil mengelilingi pria muda berseragam putih abu-abu itu.

'Gak mungkin juga dia mau cosplay jadi anak sekolahan gini. Atau jangan-jangan—'

"Lo anaknya Gio?" tanya Gita mendekatkan wajahnya pada si lawab bicara yang masih memegang sapu tangan dengan sabar.

"Maksudnya apa? Ya, saya Gio, dan belum punya anak!" Gio mengangkat sebelah alisnya.

"Ini keringin dulu itu rambut sama muka Kamu!" tukas Gio sambil meletakkan sapu tangan itu di telapak tangan Gita yang masih terpana.

"Saya? Hahaha! Baku banget!" Gita terkekeh.

"Oh iya, sebaiknya kamu lekas tolong teman Kamu, sebelum terlambat," ujar Gio lagi, sambil mengarahkan telunjuknya ke arah luar ruangan.

Gita menelengkan kepalanya, "Temen? Maksudnya tukang? Wait! Kenapa ini anak-anak sekolah memperlakukan gue kayak temen sepantaran mereka deh?!"

Dengan menyimpan kebingungan, Gita beralan menelusuri lorong. Ia mengira jika dirinya sudah dicari-cari oleh para tukang untuk mengecek progress pekerjaan mereka.

"Ah jadi inget, gue kudu pasang lagi railing balkon. Rusaknya parah gak ya, kalau parah ... harus pesen ulang ke vendor," gumam Gita.

Kemudian setibanya di mulut lorong yang mengarah ke sebuah ruang terbuka, ia celingukan mencari keberadaan para tukang serta matrial yang tadinya masih menumpuk di sana.

Bahkan tempat ia terjatuh tadi pun terlihat kosong.

"Udah diberesin? Eh ... tunggu! Kenapa halamannya masih rumput? Bukannya udah pakai granit?" tanya Gita pada dirinya sendiri.

Beberapa siswa yang melewatinya berbisik-bisik, mungkin asik bergibah meliahat tampilan Gita yang berantakan, dengan seragam agak kotor dan rambut acak-acakan.

"Gita!" panggil sebuah suara, terdengar agak samar, namun cukup jelas memanggil namanya.

"Gita! Tolong gue!" panggil suara itu lagi.

Gita mengedarkan pandangannya dan matanya terpaku pada sebuah wajah di balik kaca jendela yang berdebu.

'Gudang?'

Gita berjalan menegak ludahnya.

'Bukannya gudang udah dirobohin beberapa bulan sebelum pemugaran halaman ini ... dan bahkan udah berubah jadi area baca? Tapi kenapa yang ada di sini semuanya masih sama seperti sebelum direnovasi?'

"Gita! Cepetan!" seru suara itu lagi, kini terdengar lebih jelas karena ia semakin mendekati gudang.

Sebuah wajah di balik jendela itu tampak familier, ia menggedor-gedor jendela berbingkai kayu di sana dengan kepalanya.

'Ini ... kenapa rasanya gak asing?'

Sakit!

Tolong gue siapa aja!

Gue takut, ya Allah.

Suara-suara dalam kepalanya bergema, membuat langkah Gita terhenti.

Ia membeku. Gita seolah bisa melihat seseorang dengan tengah terikat di kursi, dikurung dalam gudang, setelah bersusah payah ... seseorang itu tiba di tepi jendela.

Berusaha memanggil siapa saja yang melintas di halaman. Namun meski ada yang menoleh, tapi tak seorang pun yang berusaha menghampirinya. Tak ingin terlibat dalam kesulitan yang menimpa gadis dalam gudang tersebut.

Tolong!

Suara itu memohon, Gita tertegun ia mengenali suara dalam kepalanya itu. Karena itu adalah suaranya sendiri.

Bergegas, Gita berlari ke arah gudang, dapat ia lihat gadis di balik jendela sudah bercucuran air mata.

Gita berusaha membuka pintu kayu gudang yang ternyata terkunci rapat.

"Tolong!" Gita berseru memanggil siapa saja yang terjangkau oleh pandangannya, namun seperti yang ia bayangkan tadi, semua yang ia panggil membuang muka.

Gita menjadi geram, ia memukul-mukul pintu denan tangannya dengan wajah panik.

Kemudian ia berlari seperti orang kesetanan menghampiri tiga orang gadis yang tengah membawa setumpuk buku, dengan putus asa Gita memohon pada merka,

"Tolong! Tolong cewek yang ada di gudang itu. Di sana ... di sana ada ular berbisa!"

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!