Klang! “Huft! Dinginnya! Harus kemana lagi aku melangkah!? Kakiku sudah benar-benar sakit!” keluh seorang perempuan yang baru menginjak usia dewasa, setelah menendang kaleng minuman kosong yang tergeletak di sembarang tempat.
Sudah cukup lama ia berjalan ditengah dinginnya malam gelap, sembari memikul ransel berat dibahunya, seorang diri. Hanya kilau bintang yang menemaninya, dikala deburan angin terasa bagai beribu panah yang menghunus setiap inci sel kulitnya.
Tubuhnya memang sudah terlapis jaket, namun itu tak cukup tebal untuk menjadi tameng pelindung dari hunusan angin. Perempuan dengan perawakan tinggi langsing ini, tetap menggigil sembari menggosokan kedua tangannya agar terasa hangat.
“Sepertinya aku salah pakai kostum? Tak biasanya kota ini begitu dingin! Ah, aku lupa bahwa ini sudah cukup larut!” gumamnya, berbicara sendiri sembari terus melangkah tanpa arah.
Ia terus melangkah dengan tertatih, sembari menjalarkan bola mata cokelat indah pada setiap hal yang ada di lingkungan sekitar. Berharap ada sebuah tempat, yang bersedia menampungnya.
Beribu bintang bertabur di angkasa hitam, ditemani oleh rembulan yang memantulkan cahaya mentari dari seberang belahan dunia. Gemerlap lampu kota yang tak pernah tidur juga, menambah indahnya suasana jalan.
Bibir manisnya yang dihiasi tahi lalat, atau bisa disebut sebagai choco chips pemanis, menunjukkan sebuah senyum simpul setelah merekam suasana kota dengan retina.
“Setidaknya ditengah kesengsaraanku, masih ada hal indah untuk dinikmati,” pikirnya.
Meski suhu udara teramat dingin, sekunjur tubuh perempuan itu tetap dibasahi peluh. Sebab sedari pagi, ia sudah berjalan tanpa tujuan. Wajahnya juga mulai memerah akibat rasa lelah, kepalanya pening, dan perutnya berdering meminta diisi.
Andai saja membawa uang yang cukup banyak, ia bisa singgah di sebuah kedai nyaman untuk beristirahat sambil mengisi perut. Namun sayangnya, yang ia bawa saat ini hanyalah badannya sendiri dan berbagai pakaian ganti dalam ransel. Bahkan perhiasan yang bisa dijual pun, ia tak punya. Sisa uang di dompet sederhananya, tinggal 17.000.
“Bisa makan apa dengan uang segini!?” keluhnya, mulai kehabisan asa.
Hingga langkahnya terhenti dihadapan sebuah kedai yang cukup besar, dengan tulisan besar yang tertera di dindingnya. [Makan Sepuasnya, Bayar Seikhlasnya]. Ia sedikit tertegun melihat tulisan menggiurkan tersebut, merasa ragu apakah benar bisa makan sepuasnya di kedai itu?
Namun lambungnya yang sudah terasa perih, menarik paksa kakinya untuk memasuki kedai tersebut. Tak peduli dengan uang yang ia miliki, jika kurang untuk membayar bisa bantu cuci piring saja disana sebagai gantinya.
“Selamat datang di kedai Lecho’s The Best Friend! Ada yang bisa kami bantu?” sambut dua pria berparas manis dan sinis bersamaan, dengan khas cara bicara mereka masing-masing.
Perempuan itu ragu sebelum bertanya. “Maaf, menu yang dibawah 17.000 apa ya?” ia mengoprek dompetnya sendiri, tepat dihadapan dua pria yang kemungkinan adalah pelayan kedai.
Jelas keduanya bisa melihat isi dompet pelanggan perempuan yang tampak lesu dan kelelahan. Mereka hanya saling melempar tatapan khawatir satu sama lain, seolah berdiskusi tanpa suara. Lalu keduanya menghela napas secara bersamaan.
“Anda mau makan apa, nona manis?” tanya pria berambut cukup panjang dengan hangat, sembari tersenyum manis pada perempuan dihadapannya.
“Eh?” perempuan itu kembali bertanya dengan polos, tak mengerti akan apa yang sedang terjadi saat ini.
“Sebut saja, apa yang kau inginkan!” tegas pria berbando dengan ketus dan sinis.
“Anu.. tapi,” sang perempuan mulai canggung dan gugup, merasa kehadirannya mengganggu mereka.
“Jangan bersikap kasar pada pelanggan, Leo! Terutama pada perempuan!” tegur pria berparas manis, sambil sedikit memukul pelan bahu kawan di sebelahnya.
“Baiklah. Silahkan sebut apapun yang anda inginkan, nona.” pria dingin itu, mulai mencoba bersikap sedikit lembut, sembari tersenyum kaku. Terlihat jelas bahwa ia sedang memaksakan senyumannya.
Kawan gondrongnya sempat memutar kedua bola mata malas, melihat aksi kaku tembok es itu. Lalu kembali menunjukan senyuman termanisnya.
“Kami akan membuatkan apapun yang anda mau.” ucapnya hangat.
“Tapi.. bagaimana saya bisa membayarnya?” tanya perempuan yang masih diselimuti rasa canggung bercampur ragu.
“Tak perlu hiraukan terkait bayaran. Anda bebas makan dan minum apapun yang anda mau di sini.” jawab pria manis dengan penuh kehangatan.
“Lagipula, kedai ini sudah teramat ramai pembeli sedari pagi. Hanya memberikan makanan secara gratis pada satu orang, takkan membuat kami jatuh miskin.” sambung pria dingin, masih berusaha bersikap ramah.
“Leo!” tegur kawannya lagi, entah apa kesalahan pria dingin itu kali ini.
Yang ditegur menatap sinis kawannya, mulai jengkel. “Apa lagi salahku, Picho!?”
“Bahasamu itu! Tajam dan angkuh sekali! Bisakah kau sedikit merendah!?” jawab kawan manisnya, lebih jengkel dari sang pangeran tembok es.
“Baiklah, baiklah! Maafkan aku! Namun jika kita terus berdebat seperti ini, hanya akan membuat perempuan itu mati kedinginan! Lakukanlah sesuatu, agar ia segera mengungkap keinginannya!” geram pria yang terus ditegur, mulai bosan menanti jawaban dari sang pelanggan.
“Ah, benar juga!” ucap pria manis, menyadari kesalahannya.
“Apa yang anda inginkan, nona manis? Perlu dibuatkan minuman hangat?” lanjutnya, kembali menawarkan hal sama entah sudah yang keberapa kalinya.
Perempuan yang kulitnya mulai membiru, akhirnya menangguk meski masih ragu. “Apa ada Hot Lechy Tea di sini? Saya butuh sesuatu yang hangat.” jawabnya.
Lagi, kedua pria itu saling melempar tatapan untuk beberapa saat, lalu kembali fokus pada sikap manis dan ramah mereka dalam melayani pelanggan.
“Tentu!” jawab pria manis dengan ramah dan hangat.
“Untuk menu makanannya?” tanya pria dingin yang dipaksa ramah.
“Mie kuah!” jawab perempuan itu, akhirnya bisa tersenyum manis juga dengan yakinnya.
“Baik, satu Hot Lecy Tea, juga satu mie kuah. Ada lagi tambahan?” tanya pria gondrong manis, memastikan ulang pesanan. Hanya dijawab oleh gelengan kepala dari sang pelanggan.
“Baiklah, terimakasih sudah memesan. Mohon ditunggu sebentar, ya.” pinta pria dingin datar, masih memaksakan sikap ramahnya.
Kedua pria itupun kembali ke dapur, setelah memastikan pelanggannya duduk dengan nyaman dan aman. Tak perlu waktu lama untuk menanti, makanan yang dipesan sudah tersaji. Membuat sang perempuan bertanya dalam hati, apa benar mereka hanya berdua memasak di kedai ini?
Namun itu tidaklah penting. Yang ia butuhkan saat ini hanyalah makan demi keberlangsungan hidupnya, barang hanya sampai satu malam. Tidak! Sejujurnya, ia sangat ingin hidup seterusnya. Namun dengan sisa uang yang ia miliki, apakah cukup untuk bertahan hingga esok hari?
Ia beruntung malam ini, karena mendapat perlakuan baik dari para pelayan kedai. Namun, apakah ia akan terus memanfaatkan kebaikan mereka? Jangan bercanda! Itu hanya akan menjadi hal yang memalukan, juga menjatuhkan harga dirinya.
Pikirannya pun kembali frustasi. Sembari menikmati makanan lezat, ia terus merasa khawatir akan hari esok. Menggerutu dalam hati, mengapa hal buruk ini harus terjadi?
Semua menjadi sangat berantakan, sejak tragedi itu terjadi. Sebuah tragedi pilu yang menyisakan elegi dihati. Andai tragedi ini tak terjadi, ia hanya bisa berharap cemas sembari menagis.
Dengan mata basahnya yang terpejam, terus berusaha menikmati makanan untuk menghangatkan diri. Membiarkan sel otaknya mengenang sebuah tragedi yang menimpanya tiga bulan lalu.
[Tiga bulan lalu]
Langit menghiasi bumi dengan beribu air yang ia tumpahkan dari kegelapan. Tanpa mengenakan pelindung apapun, seorang perempuan berpakaian serba hitam berlutut sembari memeluk batu yang tertanam di tanah basah. Membiarkan langit menghapus jejak elegi di mata sembabnya.
Hari itu, adalah hari yang paling menyedihkan dan berat baginya. Hari dimana ia harus menerima kenyataan bahwa, kedua orang yang ia cinta sudah tertidur lelap dibawah tanah juga tak mungkin bisa terbangun lagi.
Ia terus berteriak tanpa suara, mempertanyakan mengapa ini harus terjadi. Sedikit berharap, bahwa dibalik tanah tersebut ada ruang khusus juga untuknya menemani mereka.
Namun harapan hanyalah sebuah harapan, tak ada keajaiban apapun yang terjadi padanya sekeras apapun ia mengeluh pada langit gelap.
Dirinya masih saja enggan menjauh dari kedua batu tempat orang tuanya tertanam, hingga rasa lelah menghipnotisnya melangkah pulang untuk rehat.
Langkah tertatih, membawa raga tanpa gairah itu menyusuri derasnya hujan, yang sedari tadi membasahi tubuh dan pakaiannya. Tatapannya begitu kosong, bagai tak memiliki lagi tujuan untuk melanjutkan kehidupan.
Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Kesedihan, kehilangan, ketakutan, kebencian, bahkan dendam yang mendalam masih bersarang dalam dirinya.
Teringat jelas, tragedi yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tragedi mengerikan, yang terjadi akibat orang tak bertanggung jawab yang hilang setelah melakukan aksi cerobohnya.
Sungguh tak termaafkan, siapapun yang telah berani merenggut nyawa kedua orang tuanya. Dan ketika mengingatnya, amarah kembali membuncah dalam jiwa.
Ia bahkan bersumpah, akan membunuh pelaku dibalik wafatnya kedua orang tercinta. Tidak! Membunuh bukanlah cara mainnya. Ia tak mau melewatkan keseruan dari dendam ini.
Iya! Akan membosankan dan terasa tidak adil, jika pelakunya mati begitu saja meninggalkan dirinya yang terus hidup menderita di dunia.
Itulah yang membuat perempuan penuh dendam ini bertekad, akan membuat hidup si pelaku menderita selamanya. Baginya itu adil, karena ia juga menderita akibat perilaku orang tersebut.
Sesampainya pada rumah yang dulu orang tuanya sewa, ia terlelap bersama segala kepedihan dan suara berisik dalam kepalanya.
Ia tak mengerti lagi, bagaimana cara melanjutkan kehidupan setelahnya. Ia tak mampu melakukan semuanya sendiri. Lebih tepatnya, ia belum terbiasa sendiri. Namun takdir seolah memberinya pelatihan untuk mandiri.
Airi Miru, atau lebih akrab dipanggil Airi. Adalah anak perempuan tunggal yang terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan kehangatan yang nyaman.
Sedari kecil, setiap kebutuhannya selalu terpenuhi oleh kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka selalu memberikan apapun yang Airi minta, meski itu harganya tak seberapa.
Hal itu membuatnya tumbuh menjadi anak yang manja dan merasa cukup dengan kasih orang tua, hingga belum sempat terbesit dalam pikiran, niat untuk bekerja atau hanya sekedar mendewasakan diri.
Ketika Airi berusia 24 tahun, hidupnya berubah. Takdir ingin melatihnya dewasa, dengan cara mengambil kedua orang tuanya.
Ia kini harus mencari cara agar bisa bekerja demi menghasilkan uang untuk hidup. Orang tuanya wafat tanpa meninggalkan harta warisan apapun. Itulah yang membuatnya merasa terbebani.
“Jika tidak kerja hari ini, besok makan apa?” pikirnya yang terus bergema dalam kepala setiap harinya.
Berdasarkan tekad dan rasa takutnya akan masa depan, Airi berani keluar dari kesedihannya untuk mencari kerjaan apapun yang bisa ia kerjakan.
Segala hal sudah ia coba. Mulai dari menjadi tukang cuci piring di kedai atau restoran, tukang sapu jalanan, membersihkan gorong-gorong got yang bau, hingga menjadi asisten rumah tangga harian.
Namun hasil yang ia dapatkan, hanyalah cukup untuk kebutuhan hariannya yang sederhana. Ya, minimal bisa makan tiga kali sehari saja adalah hal yang paling ia syukuri.
“Setidaknya, aku tidak mati kelaparan untuk sementara waktu ini.” pikirnya, sedikit bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Yang ia inginkan hanyalah hidup.
Hingga ia melupakan hal terpenting dalam hidupnya. Ya, rumah yang saat ini ia tinggali adalah rumah sewaan. Ia harus memikirkan biaya sewa bulanan pada rumah itu.
Dengan penghasilannya yang hanya cukup untuk membeli makan, mau menabung berapa tahun pun takkan cukup untuk membayar sewa rumah tersebut.
Pemilik rumah sudah cukup sering mengingatkan terkait biaya sewa yang harus ia bayar, namun perempuan yang hidupnya belum stabil selalu meminta kelonggaran agar bisa membayarnya lain waktu.
Terus seperti itu, hingga tiga bulan berlalu. Airi yang masih kerja serabutan, tak pernah mampu membayar sewa rumah yang harganya selalu bertambah setiap bulan.
Merasa bosan dan geram menanti, sang pemilik rumah akhirnya terpaksa mengusirnya dari tempat itu. Dan dengan berat hati, Airi harus angkat kaki pagi itu juga.
Berbekal uang seadanya, perempuan malang itu mulai berani melangkahkan kakinya mencari tempat tinggal baru. Mengarungi cuaca panas dan kadang dingin, memikul beratnya ransel berisi pakaian di bahu, hingga secara memalukannya ia rela tidur atau hanya sekedar berteduh di kolong jembatan.
Namun ia tersadar, bahwa tak bisa terus menerus beristirahat seperti ini. Perempuan penuh tekad itu, harus bisa menemukan tempat tinggal hari ini juga.
Hingga malam menjelang, langkahnya mengajak singgah di sebuah kedai yang nyaman dan hangat. Kedai yang dengan sukarela memberinya makanan dan minuman hangat, dengan cita rasa khas dan pelayanan terbaik.
Sungguh beruntungnya ia malam ini, namun itu tidak bisa dijadikan alasan untuk bernyaman dan memanjakan diri terlalu lama pada kedai tersebut. Ia harus segera mencari tempat tinggal untuk sementara waktu, sambil mengumpulkan uang agar mampu membeli rumah pribadi.
“Anu, kak.. Saya harus bayar berapa ya, untuk menu yang saya pesan tadi?” tanya Airi dengan nada ragu, merasa takut tak mampu membayarnya.
“Sudah kubilang, tak perlu memikirkan harga! Kau punya telinga, kan? Atau itu hanya hiasan!?” jawab salah satu pria yang bisa dibilang pemilik kedai itu, dengan intonasi merendahkan dan tatapan sinis.
“Leo! Jaga sikapmu pada pelanggan kita!” tegur kawannya yang sudah terbiasa bersikap manis.
“Aku mulai geram dengan sikap ragu-ragunya, Picho! Seakan dia tak percaya bahwa kita telah berbaik hati, mengisi perut kosongnya itu secara gratis!” amuk pria yang dipanggil dengan nama Leo, meluapkan isi pikirannya.
“Anu.. maaf, tapi.. saya hanya..” ucap Airi malu-malu, cemas dan tak mengerti dengan apa yang harus ia lakukan saat ini.
“Tak masalah, nona.. hmmm.. Bagaimana saya bisa memanggilmu?” ucap pria yang dipanggil dengan nama Picho, menanyakan nama pelanggannya agar bisa lebih akrab.
“Airi. Nama saya Airi Miru.” jawab perempuan pemalu itu, dengan suara yang teramat kecil.
“Baiklah. Tak masalah, nona Airi. Anda bebas makan gratis di kedai kami, kapanpun itu. Kami bahkan ingin menambah uang sakumu. Kami sangat khawatir, melihat kondisi anda yang sepertinya sedang sangat membutuhkan biaya.” ucap Picho dengan ramah dan santun, sembari tersenyum manis.
“Apa?” Airi masih tak mengerti dengan apa yang pria manis itu maksud.
“Tak perlu banyak tanya, dan ambil saja uang ini jika kau masih ingin bertahan hidup!” ketus Leo dengan sinis, sembari menyodorkan setumpuk tebal kertas yang biasa mereka sebut sebagai uang.
“Leo!” lagi, Picho menegur kawan esnya yang telah bersikap kurang sopan pada pelanggan mereka.
“Apa!?” balas Leo, tak kalah garang.
Picho menghela napas pasrah. “Sudahlah. Maafkan kawan saya ini ya, nona Airi. Dia memang seperti itu sikapnya.” ucapnya ramah.
“Apa? Eh? Oh..! Ah, tak masalah.. saya sudah terbiasa diperlakukan seperti itu. Tapi maaf, sepertinya saya tak bisa menerima kebaikan kalian lebih dari ini.”
“Lihat? Dia bahkan tidak menghargai kita!” kesal Leo, mendengar penolakan halus dari Airi.
Picho yang muak dengan tingkah kawan sinisnya, memberi tatapan sinis pada Leo. Namun kali ini, pria manis itu tersenyum iblis, memiliki ide nakal dalam kepalanya.
Senyuman iblis itu membuat Leo merasa merinding, namun belum sempat ia mengungkap rasa takutnya, Picho sudah lebih dulu mengambil tindakan.
Dengan cekatan, Picho mengambil tali dan lakban, lalu mengikat Leo di kursi juga melakban mulut tajamnya. Kali ini Leo hanya bisa terbelalak sembari meronta, berusaha lepas dari ikatan yang sahabatnya berikan.
“Jangan banyak bergerak, jika kau tak mau tali itu melukai dirimu sendiri!” tegas Picho pada Leo, sedikit mengancam. Pria yang lelah meronta akhirnya terdiam, menyerah untuk memberi perlawanan.
Atensi Picho kembali teralihkan pada Airi. Ia menatapnya dengan hangat, sembari berkata. “Maafkan mulut tajam kawanku ini ya, Airi. Namun, aku masih khawatir. Apa kau benar akan baik-baik saja, hidup dengan sisa uang segitu?”
Airi membalas kehangatan Picho dengan senyuman yang teramat manis. “Tak apa. Saya bisa mencoba cari cara sendiri untuk bertahan. Terimakasih atas bantuannya.”
Mendengar penolakan yang berulang kali terucap, Picho akhirnya menghela napas pasrah. “Baiklah, jika kau sebegitunya menolak. Jaga diri baik-baik ya. Jika kau perlu bantuan, kami akan selalu di sini.”
“Hu-um! Terimakasih atas tawarannya!” balas Airi sembari tersenyum manis, sebelum akhirnya berpamitan dengan para pria yang berada di kedai tersebut.
Perempuan itu, melangkah berat membawa berbagai rasa bimbangnya menuju pagar keluar dari kedai Lecho’s. Sedikit berpikir, akan kemana lagi kaki membawanya kali ini.
Sebenarnya, Airi masih ingin berada di kedai nyaman itu. Dan jujur, ia sangat ingin menerima tawaran uang dari mereka. Namun ia merasa malu. Diizinkan makan gratis saja, ia sudah bersyukur.
Jika menerima bantuan mereka lebih dari ini, ia merasa tak memiliki lagi harga diri. Jadi perempuan malang itu hanya bisa terdiam didepan pagar kedai, merenungi apa lagi yang sebaiknya ia lakukan setelah ini.
Dari kejauhan, Leo dan Picho masih memperhatikan gerak gerik Airi yang tampak seperti orang tersesat. Mereka saling melempar tatapan cemas satu sama lain.
Leo yang entah sejak kapan sudah bisa lepas dari tali dan lakban hasil ulah usil Picho, bertanya dengan penuh kekhawatiran. “Apa kau yakin, dia akan baik-baik saja?”
Picho dengan tenang menjawab. “Entahlah. Satu hal yang ku tahu pasti. Cepat atau lambat, dia akan kembali lagi kemari.”
“Ah..! Akhirnya, tutup toko juga! Aku sudah tak sabar, ingin bercumbu dengan bantal tercinta!”
Seorang pria yang bekerja di toko penggadaian, bergumam sembari melakukan sedikit perenggangan tangan, untuk melemaskan otot-ototnya yang telah lelah bekerja seharian.
Namun, sepertinya harapan sang pria untuk segera pulang itu harus diundur. Sebab baru saja ia ingin menutup rolling door tokonya, ia sudah dikejutkan oleh seorang wanita yang tiba-tiba hadir dihadapannya.
“Maaf mengganggu waktunya sebentar. Sebelum tokonya benar-benar tutup, mohon izinkan saya menggadaikan sesuatu.”
Perempuan itu meminta dengan santun, menatap pria dihadapannya penuh harap.
Pria yang berpakaian juga masker hitam, memindai secara menyeluruh perempuan dihadapannya dari ujung rambut, hingga ujung kaki.
Rambut sebahunya yang mulai lepek, wajah cantiknya yang berkeringat dan berwarna merah, ransel berat yang ia pikul dibahu, kaus tipis yang dibasahi keringat dan hanya dibalut jaket tipis, celananya yang cukup pendenk, juga sepatunya yang sudah terdapat banyak sobekan.
“Dia ingin menggadaikan sesuatu?” pikirnya dalam hati.
Ragu perempuan dihadapannya tak memiliki hal berharga apapun, ketika melihat sepatunya yang sudah rusak.
“Tapi, ransel yang ia kenakan sepertinya berat. Apa ia menyimpan banyak barang berharga didalamnya?” pikirnya lagi, sedikit mempertimbangkan.
Pria itu menghela napas berat. “Baiklah, apa yang ingin anda gadaikan, nona?”
Ia sedikit terpaksa bertanya, berharap bisa menemukan sesuatu dari dalam ransel perempuan tersebut.
“Anu.. maaf sebelumnya.. tapi, saya tak memiliki apapun selain..” ucap perempuan lusuh bertele-tele, sedikit ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Iya, iya.. saya tahu. Ransel itu pasti berat, kan? Anda bisa mengosongkan isinya dan menukarnya dengan uang di sini. Berapa yang anda butuhkan?”
Sang pria penjaga toko gadai, sedikit salah paham oleh harapannya sendiri.
Sontak membuat wajah perempuan penggadai kian merah akibat malu.
“A-ah..! Bu-bukan begitu! Maaf, tapi anda salah paham. Tak ada apapun dalam ransel ini, selain baju salin saya juga da-da.. da.. dalemannya.”
Ia mencoba memberikan penjelasan dengan gugup, merasa malu harus mengatakan hal yang bersifat privasi.
Pria yang mendengarnya, sempat terkejut lalu menatap dengan heran penuh tanya.
“Lalu.. apa yang ingin anda gadaikan?”
“Ini mungkin akan terdengar aneh atau gila, tapi.. tapi saya.. tak punya pilihan selain menggadaikan..”
“Bicaralah yang jelas, nona!”
“Saya ingin menggadaikan diri saya sendiri!”
Suara si perempuan, dengan lantang menjawab sembari memejamkan matanya, malu.
“Hah!” pria penjaga toko gadai kian dibuat terkejut olehnya.
“Maaf, tapi hanya itu yang saya miliki. Saya butuh uang untuk menyewa tempat tinggal sementara sembari saya mencari kerja lagi. Saya benar-benar tak tahu harus kemana lagi mencari tempat tinggal. Sejak kepergian kedua orang tua saya, begitu sulit untuk mencari kerja. Bahkan saya diusir dari rumah yang mereka sewa semasa hidup, karena saya tak mampu melanjutkan bayar sewa. Jadi, saya mohon izinkan untuk..”
“Kau gila, ya! Ini toko penggadaian barang, bukan manusia!”
“Karena itulah, tadi saya ingatkan diawal bahwa ini akan terdengar gila. Tapi saya tak tahu lagi bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup esok hari.”
“Lupakan! Aku tetap tak akan menerima tawaranmu.”
Sang pria ketus, menutup rolling door pada tokonya.
“Saya mohon..! Saya janji akan melakukan apapun untuk anda. Jadi asisten rumah tangga pun, saya rela!”
Si perempuan malang, terus memohon dengan sedikit paksaan halus.
“Aku takkan tergiur dengan tawaranmu!”
Namun si pria tetap tegas menolaknya, sembari melangkah acuh hendak pulang.
“Saya mohon! Saya sudah lelah berjalan seharian mencari tempat untuk tinggal. Tolong jangan buat saya mati kedinginan di sini!”
Isak si gadis tuna wisma, masih berusaha memohon pada harapan hidupnya.
“Bukankah lebih baik begitu? Kau akan lebih bahagia jika bertemu orang tuamu, kan?”
Namun pria sinis yang sudah semakin lelah, menusukkan lidah tajam dengan nada bicara dingin, sembari menatap jengkel lawan bicaranya lalu pergi begitu saja.
Ia pergi, meninggalkan gadis yang masih terdiam kaku dengan tatapan kosong. Ucapannya, bagai panah yang menembus hati sang gadis, untuk mencabik-cabik isinya. Sungguh luka yang akan membekas.
[Beberapa waktu lalu]
Airi masih terdiam di depan kedai Lecho’s, merenungi bagaimana ia harus melanjutkan hidupnya. Ia ingin mendapatkan uang, dengan usahanya sendiri. Itulah yang membuatnya menolak bantuan dari Leo dan Picho sebelumnya.
Namun, ia tak bisa fokus mencari kerja jika tidak memiliki tempat tinggal. Jika terus kerja serabutan dan tidur dijalanan seperti ini, kesehatannya akan menurun dan itu hanya membuatnya semakin menyedihkan.
Disisi lain, Leo dan Picho masih mengawasi tingkah Airi yang sepertinya belum menemukan arah, dari balik jendela rumahnya.
Jujur saja mereka merasa khawatir dengan gadis itu, namun mereka tak boleh merendahkan harga diri perempuan yang sedang berjuang menjadi mandiri.
Karena saat seusianya pun, mereka juga berjuang tanpa bantuan siapapun. Meskipun ada yang ingin membantu, mereka malu untuk menerimanya.
Sedangkan gadis yang masih tak tahu arah, tanpa sadar menemukan toko penggadaian di seberang kedai tempatnya berdiri.
Dengan berbagai pertimbangan dan ide gila, ia memutuskan untuk melangkah ke toko tersebut. Berharap ia bisa mendapatkan uang dari situ untuk sementara waktu.
Namun tak disangka, keputusan gilanya ini hanya membawa luka yang mendalam. Pria penjaga toko, begitu kejam padanya.
Ia memang sudah terbiasa mendapatkan perkataan dan tindakan tajam dari berbagai tempatnya kerja sebelumnya, namun yang kali ini terasa begitu menyayat hatinya.
“Apa ini karma, karena aku menolak tawaran mereka? Apa seharusnya aku terima saja kebaikan yang tulus itu?”
“Tidak! Aku akan tetap menunggu di sini, hingga pria itu mau menerimaku!”
Airi menyimpan ransel beratnya di tepi rolling door toko, dan duduk di dekat ransel sembari bersandar pada rolling door. Menikmati indahnya langit berbintang, juga mencoba melupakan dinginnya malam.
Sedikit mengenang kedua orang tuanya, tanpa sadar ia menangis penuh rindu yang mendalam. Sungguh pilu suasana hatinya malam ini, ia tak bisa lagi berpura-pura kuat.
Dari seberang toko pegadaian, lebih tepatnya dari kedai Lecho’s… Picho yang kebetulan ingin menutup pagar, tak sengaja melihat Airi yang terduduk kedinginan di seberang jalan. Merasa khawatir, ia pun memutuskan untuk menghampirinya.
“Airi? Apa yang kau lakukan di sini?”
Airi menatap Picho dengan matanya yang masih basah, sedikit memaksakan senyumannya sebelum menjawab dengan suara parau.
“Bukan apa-apa. Aku hanya.. sedang istirahat sejenak.”
Jelas Picho menyadari mata basah gadis malang itu.
“Kau menangis?”
Ia bertanya lembut, penuh rasa khawatir. Lalu berjongkok agar menyamai posisi gadis dihadapannya.
Airi menggelengkan kepalanya lemas.
“Tidak. Ini hanya air mata ngantuk. Tenang saja.”
“Di rumah Leo, ada banyak kamar. Kau beristirahatlah dulu di sana untuk sementara waktu. Disini terlalu dingin dan berbahaya bagi gadis sepertimu.”
Picho menawarkan dengan penuh kehangatan, tak tega jika harus melihat Airi sendirian di pinggir jalan. Khawatir ada pria nakal yang mengganggunya.
“Tak perlu repot-repot. Aku istirahat di sini saja, tak apa.” tolak Airi dengan lembut.
Menyadari wajah gadis dihadapannya kian putih, juga melihat bibir manisnya yang membiru. Dengan sigap Picho melepaskan jaketnya yang cukup tebal, lalu memberinya pada Airi.
“Pakailah! Jaket yang kau kenakan terlalu tipis untuk melindungi tubuhmu dari rasa dingin.”
Airi menatap ragu pada Picho. Merasa akan mendapatkan penolakan lagi, Picho terpaksa memakaikan jaket tersebut tanpa mempedulikan diterima atau tidak.
Beberapa saat setelahnya, Picho menatap cemas pada Airi. Ia ragu, apakah boleh meninggalkan gadis cantik sendirian di pinggir jalan malam hari atau tidak.
Namun dengan penuh inisiatif dan rasa tanggung jawab, ia akhirnya memutuskan duduk di sebelah Airi, untuk menjaga perempuan itu tetap aman malam ini.
Airi menatap heran pada Picho. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya polos.
“Menjagamu.” jawab Picho dengan lebih polos, sejujur mungkin.
“Tak perlu, sebaiknya kau pulang saja. Kawanmu pasti khawatir menanti di rumah.”
Seperti biasa dan sesuai dugaan, Airi terus menolak bantuan dari Picho.
“Jika kau merasa tidak nyaman beristirahat di kedai kami, setidaknya biarkan aku disini untuk menjagamu. Aku hanya tak ingin disalahkan, jika hal buruk terjadi padamu malam ini.” tegas Picho, masih enggan meninggalkan Airi.
“Terserah!” pasrah Airi.
Mereka pun menikmati malam dalam hening, larut akan lamunan masing-masing. Sesaat, Airi kembali teringat akan orang tuanya, juga kalimat tajam yang pria dingin tadi berikan. Sontak hal itu membuatnya menangis lagi.
Picho yang menyadari isak tangis, spontan menatap lembut ke arah gadis di sebelahnya.
“Kau menangis?”
Airi menggelengkan kepalanya lagi.
“Tak apa. Menangis bukan bukti bahwa kita lemah, melainkan cara alami tubuh membuang racun dalam hati yang mungkin akan mengganggu. Kau bisa menangis dan jujur pada dirimu sendiri.”
Picho masih berucap dengan penuh kelembutan, sorot matanya tampak begitu hangat. Detik itu juga, Airi mendekap erat tubuh Picho lalu memecahkan tangis sejadi-jadinya.
“Mengapa kau begitu baik!? Hiks! Selain orang tuaku yang sudah berada di langit, tak ada lagi orang yang berlaku baik padaku. Aku berjuang mati-matian mencari kerja, dan selalu diperlakukan kasar oleh atasan. Hiks! Dan sekarang.. aku di sini untuk mencari kerja, untuk mendapatkan tempat tinggal. Tapi.. dia malah menolakku.. hiks.. hiks..! Rasanya aku ingin menyusul orangtuaku saja!”
Airi menumpahkan setiap beban hidupnya. Picho yang mendengar cerita pilu, tanpa sadar ikut mendekapnya. Membelai rambutnya dengan lembut, memberikan ketenangan.
“Mengapa tak mencoba tinggal sambil bekerja di kedai kami?” tawar Picho dengan hangat.
“Kalian sudah terlalu baik padaku! Aku tak bisa menerimanya lebih dari ini!”
Jujur saja, Picho masih khawatir dan prihatin pada Airi. Namun ia tak bisa memaksakan kehendak gadis penuh tekad untuk menolak bantuannya.
Tak ada lagi yang bisa Picho katakan. Ia hanya mendengarkan tangisan dan setiap keluh kesah Airi, hingga gadis malang yang kelelahan itu terlelap pada pangkuan Picho. Ia pun memutuskan untuk tetap menjaga Airi malam ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!