"Setelah rasa lelah yang begitu lama, akhirnya aku kembali."
****
Kembali dengan rutinitas yang sama dan terus berulang. Rasanya membosankan tapi juga tidak bisa dihindari. Begitulah perasaan Senja ketika ia melihat para siswa yang berlalu lalang di jendela kamarnya.
Siswa-siswa itu kini menggunakan seragam yang berbeda serta tanda yang melekat di bahu kirinya. Tanda itu membuktikan seberapa tinggi pangkat siswa tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk Senja dan ke empat sahabatnya yang lain.
Saat ini Senja kembali pada dirinya di depan cermin. Setelan pakaian yang berbeda dari sebelumnya serta pin yang menunjukkan kelasnya. Tentu saja itu tidak sebanding dengan apa yang telah ia lalui selama ini. Namun ini sudah cukup untuk menutupi segalanya.
"Saya kesal ketika hanya anda yang mendapatkan itu."
Dian yang sedang merapikan pakaian nona nya itu tampak marah dan siap meledak kapan saja.
"Bagaimana bisa mereka memberikan ini, padahal perjuangan Nona lebih besar dari yang lain," gerutunya dingin.
Senja hanya acuh melihat pin di dada kirinya itu. Memang benar saat ini posisinya tidak terlalu tinggi, karena yang ia dapat hanya level 4 sedangkan pin yang dimiliki Luna dan Muna berada di level 5.
Berbeda dengan si kembar yang juga memiliki pin yang berbeda satu sama lain. Zakila mendapatkan pin level 4, sedangkan Maya mendapatkan pin level 5. Hal ini terjadi karena kontribusi kami di ujian tingkat yang berbeda.
Zakila yang hanya seorang Guardian, tidak banyak meningkatkan poin karena dirinya hanya membantu Luna di pertarungan. Meski saat itu posisinya juga penting. Untuk Senja, meski hanya dia yang bertarung dengan Sarah, tapi karena bantuan dari Kun, sehingga poinnya berkurang banyak.
Dalam ujian tingkat, yang di nilai adalah bakat perorangan dari siswa tersebut tanpa bantuan dari siapa pun bahkan hewan magic. Sehingga kontribusi Senja sedikit berkurang dengan adanya Kun saat itu.
"Ini lebih baik, karena jika kekuatan ku terlihat begitu banyak. Maka akulah yang akan rugi."
Senja mengatakan yang sebenarnya. Karena jika potensinya diketahui banyak orang. Maka dirinyalah yang akan mengalami kerugian paling besar disini.
"Tapi Nona...,"
Perkataan Dian terhenti karena Senja terlihat tidak senang dengan itu.
"Baiklah, saya mengerti."
Senja memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah Dian selesai membereskan perkakasnya.
"Senja!" panggil Zakila dengan penuh semangat.
"Maaf sudah menunggu lama," lirih Senja ketika jarak diantara mereka mulai mendekat.
"Tidak masalah, kami baru saja tiba."
Mereka tampak begitu semangat dengan petualangan baru yang akan datang.
"Aku sedih karena kita harus berpisah seperti ini," lirih Zakila saat mereka hendak berpisah.
"Kenapa hanya aku dan Senja yang berada di level 4, sedangkan kalian..."
Senja hanya tersenyum lembut dengan reaksi Zakila yang sudah bisa mereka tebak.
"Masih ada kesempatan untuk tumbuh," balas Luna seperti biasanya.
"Bukannya kita memang selalu berpisah? Gedung yang kita masuki saja juga berbeda?"
Muna terlihat bingung dengan reaksi Zakila saat ini.
"Dasar batu!" teriak Zakila kesal lalu pergi meninggalkan kelompok. Muna hanya mengangkat bahunya, ia sama sekali tidak peka dengan perasaan Zakila.
"Kau memang persis seperti batu," timpal Maya sebelum meninggalkan kelompok.
"Dasar kembar aneh."
Muna yang dikatakan batu oleh keduanya terlihat acuh tak acuh sambil meninggalkan Senja dan Luna.
"Hah, mereka tidak berubah."
Luna terlihat lelah kali ini, entah karena situasi ketiganya atau karena masalah yang lain. Senja tidak mau ambil pusing dan hanya membiarkannya saja.
Senja merasa tidak perlu ikut campur mengenai urusan personal sahabatnya itu dan lebih memilih untuk fokus pada urusannya sendiri.
"Sampai sini," lirih Luna pelan.
"Aku akan pergi ke atas, jadi selama aku tidak ada, pastikan kau baik-baik saja. Jangan tinggal diam jika mereka membicarakan mu atau semacamnya dan..."
Perkataan Luna dihentikan oleh Senja. Ia dengan sengaja menaruh jarinya di depan bibir Luna sambil tersenyum hangat.
"Aku mengerti."
Setelah mengatakan hal itu, mereka pun berpisah. Di dalam ruang kelas tampak begitu tenang sampai Senja datang. Mereka terlihat mencibirnya dengan kejadian yang membuat Akademik menjadi sulit untuk di akses.
Bahkan untuk keluar saja, mereka membutuhkan izin yang begitu rumit.
Senja hanya mengabaikan mereka dan berjalan menuju kursinya. Ia tidak mau membuang tenaga hanya untuk meladeni orang yang tidak penting seperti mereka itu.
Dari kejauhan, Kira yang melihat Senja duduk sendiri berinisiatif untuk mendekatinya. Ia dengan jelas mengatakan pada mereka untuk diam karena Prof akan segera datang. lalu setelah para siswa diam, ia kemudian mendekati Senja dengan senyum sendunya.
Wajahnya terlihat sedih dan tangannya sedikit bergetar.
"Maaf," hanya itu yang ia ucapkan sebelum Prof datang dan mengambil tempatnya. Senja sedikit bingung dengan tindakan aneh Kira, namun ia mencoba untuk mengabaikannya sekali lagi.
Setelah jam istirahat diumumkan, Senja berniat untuk pergi namun dicegah oleh Kira. Ia dengan hati-hati hendak mengatakan sesuatu pada Senja.
"Senja, aku. Aku..."
"Ada apa? Katakan saja."
Senja tampak acuh karena ia tahu bahwa Kira adalah sahabat Sarah dan mungkin saja, ia juga kaki tangannya.
"Aku, aku min..."
Perkataan Kira terhenti saat Zakila memanggil nama Senja. Tentu saja Zakila sengaja melakukan itu agar Kira bisa menjauh dari sahabatnya.
"Senja, sudah waktunya makan siang."
Zakila lalu menarik Senja keluar sebelum menatap tajam ke arah Kira.
"Sebentar Zakila," lirih Senja saat ia hendak ditarik keluar kelas.
"Apa yang ingin kau sampaikan padaku tadi?" tanya Senja pada Kira yang masih diam di tempatnya.
"Itu, aku ingin. Ingin..."
"Jika kau hanya ingin membuang waktu kami, sebaiknya hentikan itu."
Zakila membentak Kira yang sejak tadi terus berputar hanya pada kalimat itu-itu saja.
"Huh," gerutu Zakila sambil menarik Senja pergi dari tempat tersebut. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Luna yang baru saja hendak menjemput Senja.
"Ada apa ini?" Kenapa kau terlihat kesal?"
Zakila lalu melirik ke arah Kira yang masih diam di tempatnya sambil berkata, " Ada hama kecil."
Luna langsung tahu maksud dari perkataan Zakila. Ia juga tidak suka dengan Kira dan segala macam tentangnya.
Mereka kemudian pergi meninggalkan Kira yang masih terpaku di tempatnya. Tidak seorang pun bisa melihat wajah kesal Kira yang hendak marah. Ia ingin sekali menghancurkan meja di depannya itu. Namun ia mencoba sabar karena tidak ada gunanya jika semuanya hancur nanti.
"Aku harus sabar, aku yakin pasti nanti dia akan datang padaku," gumam Kira sambil meninggalkan ruang kelas.
****
"Apa yang ia lakukan?" teriak Muna kesal saat Zakila menceritakan kejadian tadi.
"Sudahlah, tidak ada yang terjadi juga."
Senja berusaha menenangkan Muna. Saat ini mereka sedang berada di taman untuk makan siang bersama seperti biasanya.
"Kau sangat berlebihan," lirih Maya kesal. Ia terlihat tidak peduli karena ia tahu jika Kira tidak akan mengatakan apapun selama masih ada Zakila disana.
"Dari pada adu kekuatan dengannya, lebih baik kita awasi saja dia."
Perkataan Maya ada benarnya. Dari pada langsung menghajar musuh, lebih baik cari tahu maksud kedatangannya terlebih dahulu.
"Itu ide yang bagus."
Kali ini mereka setuju untuk mengawasi Kira. Mereka jelas tahu bahwa tindakan Kira harus diwaspadai. Jelas saat ini hubungan Kira dengan Sarah masih ambigu namun tidak ada salahnya untuk curiga.
****
Di kelas, Senja yang sudah selesai makan siang dikagetkan dengan sekotak jus yang entah dari mana asalnya. Ia tidak tahu siapa yang memberikan jus ini padanya. Namun setelah melihat tulisan di bawahnya, Senja sadar siapa yang memberikan ini.
"Maaf," hanya satu kata itu yang tertera di kertas tersebut. Jelas jika dilihat bahwa si pemberi tidak ingin namanya diketahui. Namun bukan Senja namanya jika ia tidak tahu siapa itu.
"Ristia, tahukah kau?" tanya Senja sambil menggoyangkan kotak jus tersebut.
"Saya tahu, dan saya yakin anda juga tahu," balas Ristia dengan yakin. Jelas Senja tahu karena mana yang tersisa di kotak itu hanya menunjuk ke satu orang di kelas ini.
"Aku tidak menyangka dia menggunakan ini."
Senja kemudian memasukan kotak jus tersebut ke dalam lacinya.
"Tidak ada yang tahu jika jumlahnya sekecil itu, namun aku tidak bodoh sampai tidak menyadarinya," gumam Senja sambil melihat bintik hitam di telapak tangannya.
"Menjadi dekat tidaklah buruk, namun ketahuilah bahwa kedekatan bisa membuat mu lupa."
******************#####****************
"Nona, apa ini?" tanya Dian saat nona nya meletakan sekotak jus di atas meja. Senja sendiri hanya diam, ia terlalu malas untuk menjawab pertanyaan bawahannya itu.
Dian yang penasaran lalu menyentuh kotak jus tersebut. Namun belum sempat ia menyentuhnya, kotak jus itu sudah jatuh dan pecah. Wajah Dian tampak bingung namun ia mencoba untuk tetap tenang.
"Nona, jika anda memang tidak ingin membaginya. Kenapa anda letakan di sini?"
Dian kembali bertanya, wajahnya sedikit kesal namun karena ia tahu bagaimana sifat nona nya itu, ia mencoba untuk diam.
"Jangan menyentuhnya!" lirih Senja saat Dian hendak mengambil kotak jus untuk di bersihkan.
Dian hanya mengerutkan kening dengan perkataan Senja. Ia merasa bingung sekaligus tidak mengerti mengapa nona nya bersikap aneh seperti itu.
"Hah."
Helaan napas panjang pun keluar dari bibir Dian. Ia merasa bahwa saat ini nona nya sedang dalam keadaan gila sampai berbuat aneh seperti ini.
"Nona, jus ini harus segera di bersih..."
"Maka lakukanlah," potong Senja dengan tampang acuh tak acuhnya.
"Tapi jangan disentuh," lanjut Senja sebelum meneguk teh hijau miliknya.
"Astaga Nona, bagaimana bisa saya membersihkannya tanpa di sentuh?"
Dian terlihat siap meledak dengan emosi yang sudah tidak terbendung lagi.
"Kotak jus itu ada racunnya, karena itu Nona menyuruhmu untuk jangan menyentuhnya."
Link Ristia saat Dian sudah siap meledakan amarahnya. Dian diam sesaat menatap kotak jus tersebut. Ia sama sekali tidak menyangka jika kotak jus itu ada racunnya.
"Hmm...," Dian menatap kembali kotak jus itu sambil menggaruk pelan lehernya yang sama sekali tidak gatal. Ia terlihat mengamati kotak jus dengan matanya yang menyipit.
"Nona, Bagaimana bisa ada racun di kotak ini? Saya sama sekali tidak bisa menemukannya."
"Jika orang bodoh seperti mu memang tidak bisa melihatnya, tapi berbeda dengan ku yang pintar ini."
Dian hanya mendengus kesal mendengar jawaban nona nya itu. Bagaimana bisa nona nya se-narsis itu, padahal yang ia hadapi adalah racun. Meski racun itu hanya berjumlah kecil namun penyebarannya sangat cepat dan mematikan.
Jika tidak ditangani secara langsung, maka si penderita akan mengalami rasa sakit yang akan menggerogoti tubuhnya hingga kering. Racun ini disebut juga dengan racun Gu dalam budaya China racun ini memiliki efek penyerangan secara perlahan namun mematikan.
"Buang saja itu, tapi jangan disentuh. Bagaimana caranya? Ya itu urusan mu bukan urusan ku."
Dian hanya bisa menghela napas panjang dengan perintah tegas nona nya itu. Ia merasa dianiaya oleh nona nya saat ini.
"Dian, apakah ada surat untuk ku?" tanya Senja saat Dian sedang membersihkan lantai dengan kain pel.
"Ah iya, hampir saja lupa."
Dian menaruh kain pelnya dan bergegas mengambil surat yang ada di atas meja belajar Senja.
"Satu surat dari Nindia dan satunya lagi dari Prof Edward."
Dian menyerahkan surat tersebut dan kemudian melanjutkan kembali aktivitasnya. Senja yang menerima kedua surat itu kemudian membuka salah satunya. Ia terlebih dahulu mengambil surat yang di kirim oleh Nindia.
Dear Nona Senja
Nona, bagaimana kabar anda?
Saya harap anda baik-baik saja disana. Selain itu sesuai dengan perintah anda, saat ini kami sedang menyelidiki lebih lanjut mengenai lencana itu. Hasil yang kami dapat cukup mencengangkan. Kami baru mengetahui jika lencana itu dibuat oleh sisa-sisa tulang hewan magic, sehingga untuk menghancurkannya sangatlah sulit.
Kami juga menemukan simbol tulisan aneh yang mengikat lencana tersebut. Kami menduga jika simbol ini adalah Rune yang dibuat oleh si ilusionis untuk mengontrol lawannya dengan mudah. Saat ini, kami sedang meneliti bagaimana caranya untuk menghancurkan sihir Rune tersebut.
Jika ada perkembangan lanjutan, akan saya informasikan segera pada anda, dan mengenai tentang sumber pencegahannya, saat ini kami sedang mengembangkannya. Mungkin dalam kurun waktu 6 bulan, sihir pencegahan sudah bisa digunakan.
Untuk saat ini, hanya ini yang bisa saya sampaikan pada Nona. Sampai jumpa dan terima kasih.
Salam Manis Nindia.
****
Seperti biasa, setelah selesai membaca surat, Senja langsung membakarnya tanpa sisa. Selain menghilangkan bukti, itu juga cara cepat agar seseorang tidak mengetahui aktivitasnya. Memang cara yang kuno namun juga efektif untuk menghilangkan jejak.
Setelahnya, Senja mengambil surat Prof Edward dan membacanya. Tidak banyak hal yang dibahas oleh Prof Edward dalam suratnya. ia hanya mengatakan jika jadwalnya sangat padat sehingga sulit untuk mengajari Senja, terlebih lagi karena urusan Akademik yang masih berantakan.
"Hah."
Senja hanya bisa menghela napas saat membaca salah satu paragraf yang di tulis di surat itu. Dalam paragraf itu, Prof Edward menyebutkan jika dirinya akan digantikan oleh seseorang. Orang itu akan menjadi guru baru Senja yang akan mengajarkan hal baru untuknya.
Guru itu tidak dipilih secara sembarangan, mengingat apa yang telah terjadi pada Senja sebelumnya. Prof Edward juga menjelaskan jika guru tersebut juga memiliki dua elemen sama seperti Senja. Hanya saja elemen yang ia miliki sedikit berbeda dari Senja, namun tetap memiliki satu hal kesamaan.
Di akhir tulisan, Prof Edward menyarankan Senja untuk tidak bertindak gegabah selama pelatihan. Beliau takut jika Senja akan melakukan hal yang sama padanya ke guru tersebut. Intinya, guru itu bukanlah sembarang guru, sehingga Senja bisa berbuat sesukanya.
Pelajaran dengan guru tersebut juga akan dimulai pada Minggu berikutnya. Dengan ini Prof berharap agar Senja bisa bersiap terlebih dahulu sebelum memulainya kembali.
"Pria tua sialan," gerutu Senja kesal.
Senja tidak terlalu suka perubahan apalagi mengenai tentang elemennya yang sangat ia rahasiakan dari publik. Jika guru itu tidak bisa di kontrol oleh Senja sama seperti ia mengontrol Prof Edward, maka kacaulah sudah.
"Dian, siapkan segala keperluan untuk latihan minggu depan di Hutan Kegelapan."
Dian hanya mengangguk tanda mengerti. Senja kemudian membakar kembali surat tersebut dan memilih untuk mengistirahatkan pikirannya.
****
"Ini lagi," gumam Senja saat melihat mejanya yang penuh dengan minuman dan makanan ringan. Ia melihat ke sekeliling kelas untuk mengamati sikap siswa-siswa lainnya, namun mereka hanya diam dan acuh.
"Hah."
Senja hanya bisa menghela napas kesal saat ia hendak duduk di kursinya. Pasalnya sudah dua hari ini, ia mendapatkan hadiah aneh seperti ini. Pelakunya bahkan tidak menunjukan nama atau apapun. Ia hanya menuliskan kata maaf setiap kali meninggalkan ini semua.
Jujur saja Senja merasa bosan dengan ini semua, namun ia juga penasaran akhir seperti apa yang akan diberikan oleh si pelaku padanya.
"Menarik," lirihnya sambil meminum air jus tersebut.
"Hmm, lumayan," lanjut Senja saat air jus sudah mengalir di tenggorokannya.
Siang harinya sama seperti biasa. Senja dan keempat temannya yang lain berkumpul di taman untuk makan siang bersama. Namun disini ada yang aneh. Entah mengapa wajah Luna tampak begitu kusam dan penuh dengan kerutan.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Senja khawatir.
"Aku baik," balas Luna sama seperti sebelumnya. Ia hanya tersenyum manis seolah-olah tidak ada yang terjadi padanya akhir-akhir ini.
Selain Luna, wajah Maya juga kusut. Ia seperti sedang menyelesaikan banyak essai sampai-sampai kantong matanya menghitam dengan jelas.
"Ada yang tidak beres disini," gumam Senja dingin. Ia memang tidak suka ikut campur mengenai urusan mereka, namun ini sudah diluar batas normal.
Hanya Zakila yang masih terlihat biasa-biasa saja sama seperti sebelumnya. Ia juga mengajukan bukti-bukti mengenai Kira yang selama ini sering membeli hal-hal aneh secara berlebihan. Ia tidak tahu itu digunakan untuk apa, namun yang pasti itu sangat mencurigakan.
Muna juga ikut campur di dalamnya. Meski ia terlihat lelah, namun Muna juga sangat bersemangat dalam mengatakan apa saja yang di beli oleh Kira dua hari terakhir ini. Senja hanya menarik napas panjang dan melepaskannya dengan reaksi berlebihan sahabatnya ini.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Namun kalian harus tahu, Kira tidak akan pernah menyakiti ku. Jadi hentikan ini dan urusi saja urusan kalian masing-masing."
Muna dan Zakila terlihat kaget dengan perkataan Senja, begitu pun dengan Maya dan Luna. Mereka tidak menyangka jika Senja bisa berkata seperti itu saat ini.
"Aku tahu kalian sedang sibuk dalam urusan masing-masing. Aku juga bisa mengurusi urusan ku sendiri. Lihat diri kalian saat ini, mengatakan baik-baik saja, tapi apa ini?"
Senja tampak kesal namun apa yang ia katakan adalah kebenarannya. Mereka cukup sibuk akhir-akhir ini. Namun mereka masih bisa menyempatkan waktu untuk bertemu dan makan siang bersama itu sudah sebuah keajaiban.
Bukan rahasia umum lagi jika pelatihan di level 5 sangatlah sulit. Mereka harus berlatih lebih keras daripada sebelumnya. Mereka juga harus mengumpulkan poin yang banyak untuk bisa melakukan pertukaran pelajar nantinya. Jika mereka hanya berlatih itu-itu sama, maka apa bedanya mereka dengan level di bawahnya.
Mereka juga harus mengikuti sesi ujian setiap harinya. Mungkin ini juga yang membuat Maya dan Muna yang seorang ksatria menjadi begitu pusing dengan banyaknya essai yang harus mereka hafal.
Tentu saja, bagi Luna essai bukanlah apa-apa, tapi bagi seorang ksatria yang hanya menggunakan otot dalam segala urusan. Hal ini sangatlah merepotkan dan menyebalkan. Sehingga banyak dari mereka harus belajar ekstra dari pada sebelumnya.
"Kami mengerti, tapi..."
"Tidak perlu takut, kan ada aku disini," potong Zakila dengan bangganya. Tentu saja ini hanyalah sebuah asumsi jika Zakila mampu melakukannya. Faktanya, level 4 juga bukan level yang mudah bagi sebagian orang.
Level 4 adalah level yang rumit dimana mereka harus mempertahankan kondisi awal agar formasi kelompok tidak berantakan. Untuk Senja yang merupakan seorang penyihir, itu sangatlah mudah. Ia hanya belajar mengenai teori lingkaran dan mantra untuk membuat sihirnya bekerja dengan baik.
Berbanding terbalik dengan Guardian yang harus menggunakan sihir mereka untuk membuat pertahanan agar anggotanya tidak terluka. Jika saat ini Senja banyak menghabiskan waktu di kelas. Maka Zakila banyak menghabiskan waktu di lapangan.
Mereka bahkan sering pergi ke hutan buatan di Akademik untuk menguji seberapa kuat penghalang yang mereka ciptakan.
"Aku bisa menjaga diri baik-baik. Jadi tenanglah."
Itu adalah kata terakhir Senja sebelum mereka berpisah. Setelahnya mereka kembali ke kelas masing-masing. Akhir dari makan siang diselesaikan dengan keputusan mereka untuk saling percaya satu sama lain.
"Jika kau mencoba sesuatu dengan kebohongan, maka ilusi yang kau dapatkan."
*****************#####****************
Malam harinya Senja memutuskan untuk memeriksa keseluruhan informasi yang telah di kumpulkan oleh Muna dan Zakila. Hasilnya cukup mencengangkan dan sedikit membingungkan juga. Pasalnya, apa yang di beli Kira adalah tumbuhan obat-obatan herbal.
Senja kembali memfokuskan matanya pada salah satu tumbuhan herbal yang di beli oleh Kira. Itu bukan tumbuhan yang aneh tapi masalahnya adalah, kenapa ia membeli begitu banyak tumbuhan daun mint.
Daun mint merupakan tumbuhan yang bisa di padukan dengan apapun, termasuk juga teh. Hal ini dilakukan untuk menambah kesan segar pada teh tersebut.
"Tidak ada indikasi pembelian makanan ataupun minuman disini," gumam Senja setelah memeriksa keseluruhan informasi tersebut. Ia jadi penasaran siapa sebenarnya yang membelikannya itu semua.
Aneh rasanya menerima sesuatu yang kamu tidak tahu dari mana asalnya. Tapi jika dilihat dari sisa mananya, makanan itu berasal dari Kira.
"Apa jangan-jangan...!" Senja memikirkan satu orang yang mungkin saja terindikasi dengan itu semua.
Jelas Senja tahu jika taktik seperti itu sering digunakan dalam membunuh lawan secara perlahan. Dan ini juga yang pernah terjadi pada Permaisuri Mawar, ibunya. Ia yakin bahwa hal yang sama juga akan terjadi padanya kali ini.
Senja mulai tersenyum nakal mengingat hal tersebut. Ia merasa jika saat ini ada yang sedang bermain dengannya. Tapi bukannya merasa takut, Senja malah ingin tahu akhir dari permainan itu sendiri.
****
"Anak-anak, kali ini kita akan mempraktikkan teori mantra yang sebelumnya sudah di pelajari."
Para siswa saling memandang satu sama lain. Mereka sama sekali tidak menyangka dengan ujian mendadak ini.
"Prof, apakah sekarang kita sedang melakukan ujian?" tanya salah satu siswa yang merasa tidak terima.
"Tidak, ini hanya uji coba saja. Saya hanya ingin mengetahui seberapa jauh pemahaman kalian di pelajaran saya ini."
Para siswa hanya menghela napas panjang sebelum mengikuti Prof Amy menuju hutan. Hutan yang akan mereka datangi adalah Hutan buatan yang sering digunakan untuk melatih ataupun meneliti bagi sebagian siswa di Akademik Adeline.
Di hutan itu, kini ada beberapa siswa yang tengah berlatih mantra serta ada beberapa yang sedang melakukan penelitian. Mereka semua terlihat sibuk dengan bisnis masing-masing.
"Masuklah ke dalam dan bawakan sebuah pita yang sudah saya sembunyikan untuk kalian. Kalian bisa melakukannya secara berkelompok ataupun sendiri, itu tidak masalah. Yang terpenting adalah, waktu kalian hanya 30 menit dalam mencarinya. Jika terlambat, maka poin kalian akan dikurangi."
Selesai memberikan instruksi, para siswa lalu melangkah masuk ke dalam hutan. Wajah mereka tampak kesal karena mengetahui bahwa poin mereka akan berkurang jika tidak menemukan pita tersebut. Beberapa diantara mereka langsung membentuk kelompok dan berpisah dengan yang lain.
Senja sendiri hanya berjalan sesuai dengan panduan yang diberikan oleh Ristia. Dengan begitu, ia tidak perlu lagi mencari dengan susah payah. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama, karena Prof Amy baru saja menambahkan instruksi baru.
Ia mengatakan jika segala bentuk kecurangan akan membuat mereka langsung kehilangan poin tanpa adanya pengurangan. Maka dari itu, mereka harus mencari dengan kekuatan sendiri bukan dengan alat bantu seperti hewan magic ataupun artefak.
"Ini sangat mudah," gumam Senja sambil melafalkan mantra sihir lokasi pada tongkat sihirnya. Tongkat itu mulai bergetar ringan menandakan bahwa ada pita di sekitarnya.
Senja lalu mengikuti arah getar dari tongkat sihirnya. Perlahan tongkat itu mulai bergetar lebih kencang dari pada sebelumnya. Ini menandakan jika pita sudah semakin dekat dengannya. Dan saat ia sudah sampai di lokasi tersebut. Pita itu sudah berada di tangan salah satu siswa yang sebelumnya membentuk kelompok.
Mereka lalu memandang Senja dengan ekspresi benci dan kemudian pergi dari tempat itu. Sebelum pergi, salah satu dari mereka sempat mencibir Senja dengan kata 'Penggangu' sebelum menghilang dengan temannya yang lain.
Senja hanya menghela napas, ia tidak kesal ataupun marah. Ia merasa tidak perlu melakukan itu karena itu akan membuang tenaganya dengan cuma-cuma. Senja pun melanjutkan kembali pencariannya.
Sudah 20 menit Senja mencari pita namun mereka semua sudah di rebut tepat di depan matanya. Senja merasa jika mereka sengaja melakukan itu untuk membuatnya kesal. Jujur saja ia tidak suka berlari seperti orang gila hanya untuk mendapatkan sebuah pita.
Bahkan saat pita itu sudah hampir berada di genggamannya, ia diambil paksa oleh siswa lain dengan senyum sinisnya.
"Ini milik ku."
Siswa itu mengambil paksa pita yang hendak di genggam oleh Senja.
"Selama pita ini belum kau sentuh, maka ia bisa menjadi milik siapa pun."
Siswa itu lalu pergi meninggalkan Senja dengan tawa mengejek yang khas, dan siapa pun yang mendengar tawa itu. Mereka pasti ingin sekali memukul kepalanya.
"Hah, sial."
Senja hanya bisa memaki tapi ia sama sekali tidak melakukan tindakan apapun. Jujur saja Senja juga merasa kesal dengan mereka, namun saat ini Senja sedang di awasi oleh berbagai macam mata, baik itu dari kelasnya sendiri ataupun mereka yang sedang berlatih di hutan tersebut.
"Merepotkan sekali," gerutu Senja tetap dengan wajah polosnya. Ia harus tetap terlihat lugu meski kini perasaanya sangat kesal. Ia tidak ingin mereka melihat sisi buruk dirinya di tempat terbuka ini.
Senja lalu kembali mencari pita tersebut dengan senyum ringan di bibirnya. Mereka yang dengan Sengaja memperhatikan Senja, hanya bisa mengatakan bahwa Senja adalah gadis bodoh yang begitu polos.
Mereka berpikir jika hal itu terjadi pada mereka, maka mereka akan memukul siswa tersebut dengan keras, dan memakinya yang mencoba untuk merebut apa yang sudah ada di depan mata mereka. Atau bahkan mereka akan membanting siswa tersebut dengan kuat hingga tulang-tulangnya patah.
"Dia bodoh sekali," bisik salah seorang siswa pada temannya saat melihat Senja yang tersenyum polos pada pria yang telah mengambil miliknya.
"Apa kau ingin membantunya?"
"Tidak juga."
Mereka kemudian kembali melakukan pekerjaan mereka sebelum memandang rendah ke arah Senja.
Senja hanya bisa tertawa internal dengan percakapan mereka tadi. Apakah ia memang sebodoh itu untuk membiarkan lawannya pergi dengan mudah. Oh, tentu saja tidak.
Pada kenyataannya, pita yang diambil oleh lawannya itu akan terbakar saat jaraknya 100 meter dari Senja. Memang tidak terbakar keseluruhan namun jika pita itu semakin jauh dengannya, maka pita tersebut akan benar-benar terbakar habis.
"Waktu kalian tinggal lima menit lagi untuk bisa sampai di sini."
Prof Amy memberikan alarm waktu untuk para siswa. Jika dalam waktu lima menit mereka belum keluar dari hutan, maka mereka akan kehilangan seluruh poin nya
Senja yang mendengar alarm tersebut hanya bisa mencibir dengan tajam. Ia tidak takut karena bisa berteleportasi dengan cepat, namun masalahnya adalah ia sama sekali belum memiliki pita itu.
"2 menit lagi."
Senja terlihat kesal dengan penghitung mundur waktu tersebut. Ia lalu mempercepat langkahnya dalam mencari pita di seluruh bagian hutan.
"10, 9, 8."
Prof Amy terus menghitung mundur dengan cepat, yang bisa dilakukan oleh Senja hanyalah mengutuk dan memaki. Ia sama sekali tidak bisa menemukan satu pun pita di area tersebut.
"Sial," maki Senja sebelum melafalkan sihir teleportasi.
"4, 3, 2."
Dalam hitung mundur kedua, Senja sudah berada di hadapan Prof Amy. Memang waktunya tinggal sedikit, namun ia berhasil sampai sebelum waktu hitung berakhir.
Prof Amy lalu meminta mereka yang berada di sana untuk menyerahkan pita yang mereka dapat. Beberapa diantara mereka terkejut karena pita yang mereka dapat menghilang dan hanya menyisakan debu saja.
"Apa ini?" tanya Prof Amy dengan dahi yang berkerut.
"Apa kalian sedang bermain dengan ku?" tanyanya kembali sambil menghempaskan debu pita tersebut.
"Yang lain!"
Prof Amy tampak marah dan itu membuat para siswa menjadi takut sekaligus bingung. Mereka tidak mengerti mengapa pita mereka bisa berubah menjadi debu seperti itu. Hanya beberapa siswa saja yang dapat memberikan pita tanpa terbakar.
"Senja!" panggil Prof Amy saat Senja masih berdiri di tempatnya. Mereka yang melihat Senja hanya bisa mencibir dengan kesal.
"Dia akan mendapatkan hal yang sama dengan kita," gumam mereka dalam hati masing-masing.
Jelas sekali itu terpampang di wajah mereka. Senja sendiri hanya tersenyum kaku saat dirinya hendak menjelaskan tentang situasinya.
"Prof itu..., saya..."
"Mana pitanya?"
Potong Prof Amy tidak sabaran. Senja hanya bisa menghela napas panjang sebelum memantapkan hatinya untuk mengatakan yang sejujurnya.
"Pitanya, pitanya..."
"Pitanya ada sama saya Prof," Kira memotong perkataan Senja sambil melambaikan dua buah pita di tangannya.
"Saya dan Senja satu kelompok. Maaf saya lupa memberikan ini padanya," lanjut Kira sambil memberikan kedua Pita itu pada Prof Amy.
"Baiklah, tidak masalah. Yang lain mana?"
Prof Amy tampak acuh dengan hal tersebut. Bukannya ia tidak tahu, hanya saja ia mencoba untuk pura-pura tidak tahu dengan masalah siswanya.
Jujur saja ia tahu jika pita yang terbakar itu adalah pita yang mereka rebut dari Senja. Sedangkan Kira, memang sejak awal tidak pernah berkelompok dengan siapa pun bahkan dengan Senja.
Para siswa yang kehilangan poin menatap Senja dengan ekspresi iri dan benci. Mereka bahkan tidak menyangka jika Kira menyelamatkan Senja kali ini.
****
Pada saat makan siang, Senja hanya di temani oleh si kembar dan Luna. Sedangkan Muna sedang dalam masa hukuman karena tidak mampu menghafalkan essai pertahan pedang ganda.
Karena pada dasarnya Muna adalah ksatria yang hanya fokus pada pedang besarnya, sehingga dalam menggunakan pedang ganda, ia selalu gagal. Berbanding terbalik dengan Maya yang selalu menggunakan pedang pendek, sehingga untuk menggunakan pedang ganda, ia bisa lolos dengan mudah.
"Bagaimana hari kalian?" tanya Zakila dengan sandwich di mulutnya.
"Tidak banyak yang berubah," jawab Senja datar.
Maya hanya diam karena terlalu lelah untuk meladeni adiknya itu. Sedangkan Luna hanya mengangguk tanda setuju dengan jawaban Senja.
Di tengah makan siang mereka, Luna sudah di telepon oleh pelayannya. Entah apa yang mereka bicarakan, namun ekspresi Luna berubah dengan drastis. Satu yang pasti, bahwa saat ini Luna tengah dalam masalah yang penting.
"Aku harus pergi, sampai jumpa."
Luna lalu pergi meninggalkan mereka, dan tidak lama kemudian Maya pun menyusul Luna. Ia harus pergi karena masa istirahatnya sudah habis.
"Kenapa cepat sekali?" tanya Zakila bingung.
"Aku harus berlatih kembali karena uji coba akan segera di mulai dalam waktu 20 menit ke depan."
Setelah itu Maya pergi dengan wajah yang pucat. Sepertinya Senja bisa menebak uji coba seperti apa yang akan Maya hadapi kali ini.
"Zakila, rupanya kau di sini," panggil salah satu teman Zakila dengan terburu-buru.
"Sial, kenapa kau kabur saat portalnya belum siap, brengsek."
Teman Zakila tampak siap meledak sebelum Zakila memasukan apel ke dalam mulutnya.
"Aku tahu, jadi jangan berteriak," gerutu Zakila kesal.
"Aku akan pergi, tapi sebelum itu."
Zakila lalu memandang ke arah Senja dengan senyum masamnya.
"Maaf aku harus meninggalkan mu. Sampai jumpa kembali."
Zakila kemudian mencium pipi Senja dan menarik lengan temannya itu. Mereka kemudian pergi meninggalkan Senja dengan meja yang masih penuh dengan makanan.
"Hah."
Senja hanya bisa menghela napas panjang dengan situasi kali ini. Ia lalu menaruh sandwich miliknya dan berniat untuk pergi.
"Mau kemana?" tanya sebuah suara saat Senja hendak berdiri dari duduknya.
"Hah?" tanya Senja kaget saat melihat seorang gadis sudah duduk manis di hadapannya.
"Makanan ini enak, sayang sekali kalau di buang begitu saja," ucap gadis itu sambil menyerobot sandwich di depannya.
"Kira," lirih Senja masih bingung dengan apa yang terjadi. Kira sendiri hanya tersenyum manis sebelum menaruh kembali sandwich miliknya.
"Ada apa? Apa kau tidak suka aku di sini?"
Kira bertanya dengan wajah sedihnya. Berbanding terbalik dengan apa yang ia lakukan barusan.
"Ah, tidak. Bukan itu. Hanya saja..."
"Maaf."
Potong Kira sambil hendak berdiri. Senja yang masih bingung tanpa sadar memegang tangan Kira secara spontan.
"Ah, ini. Duduklah."
Senja merasa panik saat Kira menatapnya saat tangan mereka bersentuhan.
"Sial, kebiasaan lama."
Senja memaki dirinya sendiri karena refleknya yang bodoh. Ia dengan tenang tersenyum kembali pada Kira sambil berkata, "Terima kasih atas pitanya." Kira hanya tersenyum balik dengan penuturan Senja saat ini.
"Tidak masalah, seharusnya aku yang minta maaf karena telah menyakiti mu dulu."
Senja hanya menggelengkan kepala dengan balasan Kira yang mendadak. Ia lalu mengatakan jika itu hanya masa lalu dan kini semua sudah berubah.
Kira hanya mengangguk tanda setuju. Ia lalu menemani Senja menghabiskan makan siangnya sebelum mereka kembali ke kelas. Entah apa yang di pikirkan Kira, namun selama mereka bersama ia selalu tersenyum misterius.
Kira tampak lebih cerah dengan senyum yang begitu lebar. Tidak ada yang tahu bahwa Kira tidak hanya tersenyum puas, ia juga tersenyum licik di saat yang bersamaan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!