NovelToon NovelToon

Pasutri Bobrok

Perjodohan

"Raja!" teriak Chilla, suaranya menggema di sekitar parkiran. Beberapa siswa lain yang ada di sana sempat menoleh ke arahnya, tapi Chilla tidak peduli. Fokusnya hanya pada satu orang. Raja Mahespati, seseorang yang selama ini Chilla kejar-kejar.

Raja berhenti dan menoleh malas ke arah suara itu. "Apa lagi sih?" tanyanya, suaranya dingin seperti biasa.

Chilla mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Setelah merasa cukup tenang, ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan dari ibunya. "Ini serius nggak sih?" tanyanya dengan nada panik.

Raja mengerutkan kening dan melirik layar ponsel Chilla. "Apaan?"

"Ini," Chilla menunjuk pesan itu. "Beneran? Kita dijodohin? Dan bakal nikah?" tanyanya bertubi-tubi tanpa memberi Raja kesempatan menjawab.

Raja mendesah panjang, wajahnya menunjukkan kejengahan yang sangat jelas. "Lo cuma mimpi," jawabnya santai, seperti tidak peduli.

Chilla mendengus kesal. "Ih, kok gitu? Ini serius tau!"

"Karena gue nggak bakal biarin itu terjadi," ucap Raja tegas. Nada suaranya dingin, tapi tegas. Chilla tahu dia tidak main-main.

Raja kemudian melanjutkan langkahnya menuju motor, tapi Chilla buru-buru menahannya. "Ih! Mau ke mana?" tanyanya sambil menarik lengan Raja.

"Mau ketemu orang tua gue," jawab Raja datar.

"Mau ngapain?" tanya Chilla lagi, penasaran.

"Mau berhentiin rencana gila mereka, dan lo pastinya," jawab Raja dengan nada tajam.

Chilla mengangkat kedua tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak tahu-menahu soal ini. "Gue nggak pernah rencanain ini, sumpah! Gue aja baru tahu pas Bunda kabarin gue tadi!"

Raja hanya mengangkat bahu, wajahnya penuh ketidakpedulian. "Terserah lo. Yang pasti sekarang gue mau menghentikan mereka."

Chilla panik. Ia melangkah cepat untuk menghalangi jalan Raja. "Jangan... jangan, Raja. Nggak boleh nolak!" ucapnya dengan nada memohon.

Raja menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Sinting! Gue nggak mau nikah sama cewek gila kayak lo," ucapnya tajam.

Kata-kata itu menusuk hati Chilla, tapi ia tidak menyerah. "Tapi... tapi gue serius! Mungkin aja ini takdir kita, Ja!" katanya penuh harap.

Raja menggeleng frustrasi. "Denger ya, Chilla. Gue nggak pernah suka sama lo. Apalagi nikah? Jangan mimpi."

Setelah mengatakan itu, Raja naik ke motornya dan pergi meninggalkan Chilla yang berdiri mematung di tempat. Air mata mulai menggenang di mata Chilla, tapi ia menahannya. Bagaimanapun, ini adalah peluang yang sudah ia tunggu-tunggu selama ini. Ia tidak akan membiarkan Raja menghentikan perjodohan mereka begitu saja.

"Kalau dia nggak mau, gue yang bakal meyakinkan orang tua kami," gumam Chilla dengan tekad bulat. "Cinta gue nggak akan kalah semudah ini."

*****

Raja memasuki rumah dengan langkah cepat. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang sangat jelas. Di ruang tamu, telah berkumpul Mama Cantika dan Papa Arthur, orang tua Raja, serta Ayah Bumi dan Bunda Mila, orang tua Chilla. Kehadiran mereka membuat suasana semakin tegang.

"Ma, Pa, aku nggak mau nikah sama cewek itu," ujar Raja dengan suara tegas sambil menunjuk Chilla, yang duduk tenang di sofa. Wajahnya mencerminkan tekad untuk menolak perjodohan ini.

Namun, Papa Arthur hanya menggelengkan kepala. "Keputusan ini tidak bisa diganggu gugat, Raja. Kamu dan Chilla akan menikah secepatnya," ucapnya dengan nada yang tidak terbantahkan.

Raja mendesah keras, matanya menatap tajam ke arah ayahnya, namun tidak ada celah untuk berdiskusi. Ia merasa seperti burung yang terperangkap dalam sangkar. Di sisi lain, Mama Cantika mengarahkan pandangannya ke Chilla, yang terlihat lebih tenang meskipun situasinya penuh tekanan.

"Kamu juga mau menolak perjodohan ini, Chilla?" tanya Mama Cantika lembut, mencoba memahami posisi calon menantunya.

Chilla, yang sejak tadi berusaha menjaga wajah dramatis, segera menggeleng pelan. "Nggak, Tante. Mana mungkin aku membantah keputusan orang tua aku? Aku sayang banget sama mereka, jadi aku nggak bisa menolak permintaan Ayah dan Bunda," jawabnya dengan suara sedikit bergetar, seolah-olah sedang menahan emosi.

Di dalam hati, Chilla justru melonjak kegirangan. Nikah sama Raja? Ini impian terbesar dalam hidupku! pikirnya, meskipun ia berusaha keras menyembunyikan perasaan senangnya di depan semua orang.

Raja memalingkan wajah, menatap ke arah lain dengan ekspresi putus asa. Dapat cewek sinting, hidup gue pasti bakal ikutan sinting kalau nikah sama dia, gerutunya dalam hati.

Sementara itu, Papa Arthur melanjutkan dengan nada tegas, seolah-olah tidak ingin memberi ruang bagi Raja untuk bernegosiasi. "Raja, kami sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Kamu mungkin masih sekolah, tapi itu bukan masalah. Papa adalah salah satu donatur utama di sekolahmu. Jadi, meskipun kamu sudah menikah, sekolah tidak akan mengeluarkanmu."

"Ma, Pa, aku masih muda! Aku masih mau fokus sekolah dulu," protes Raja lagi, mencoba mencari celah untuk membatalkan rencana ini.

Namun, Papa Arthur hanya tersenyum tipis. "Usiamu sudah cukup, Raja. Menikah tidak akan menghalangi pendidikanmu. Justru ini kesempatan bagus untuk belajar tanggung jawab."

Raja menggeram pelan, merasa semua argumennya tidak digubris. Ia melirik ke arah Chilla yang masih duduk dengan sikap seolah pasrah. Gadis itu tampak tenang, tapi Raja tahu, di balik wajah itu, pasti ada niat tersembunyi. Dia pasti bahagia banget dengan ini semua, pikirnya dengan kesal.

"Ma, tolong pikirkan lagi," bujuk Raja, kali ini mencoba meminta belas kasih dari ibunya.

Namun, Mama Cantika menggeleng pelan. "Raja, ini sudah keputusan bersama. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu."

Raja mendesah keras. Ia merasa tidak ada gunanya lagi berbicara. Semua sudah diputuskan. Sementara itu, Ayah Bumi dan Bunda Mila hanya tersenyum kecil, merasa lega karena putri mereka akhirnya mendapatkan pria yang ia idamkan.

"Chilla, apa kamu benar-benar siap menikah di usia muda seperti ini?" tanya Bunda Mila, mencoba memastikan.

Chilla mengangguk mantap. "Aku siap, Bunda. Kalau ini memang jalan terbaik yang dipilihkan untukku, aku akan menjalaninya dengan sebaik mungkin."

Jawaban itu membuat Ayah Bumi tersenyum bangga. Namun, di sisi lain, Raja semakin merasa terpojok. Ia tahu bahwa semua ini bukan hanya tentang keluarganya, tapi juga keluarga Chilla. Dan ia sadar, melawan keputusan ini sama saja dengan melawan semua orang di ruangan itu.

Raja akhirnya bangkit dari duduknya dengan wajah masam. "Baiklah, terserah kalian. Tapi jangan harap aku akan menjalani pernikahan ini dengan senang hati," ucapnya sebelum melangkah keluar.

Chilla hanya tersenyum kecil, menatap punggung Raja yang menjauh. Dalam hatinya, ia bertekad untuk membuat Raja menerima dirinya suatu hari nanti. Suka atau tidak, Raja, kita sudah ditakdirkan bersama. Dan aku akan memastikan kamu melihatku lebih dari sekadar cewek gila.

Akad

Chilla keluar dari masjid dengan senyum yang tak pernah pudar. Langkah kakinya ringan, dan wajahnya berseri-seri, seolah dunia ini hanya miliknya. Baru saja, dalam waktu kurang dari satu jam, statusnya telah berubah.

Ah, betapa bahagianya hatinya! Chilla merasa seperti seorang pemenang yang baru saja mendapatkan apa yang ia inginkan selama ini. Pikirannya melayang, membayangkan masa depan yang penuh kebahagiaan bersama Raja. Pasti bakal jadi rumah tangga yang penuh warna, pikirnya. Meskipun Raja sering bersikap dingin, bahkan terkadang sinis, Chilla yakin ia bisa membuat segalanya berubah. Semua yang dilakukan, semua perjuangannya, pasti akan berbuah manis.

Namun, begitu dia memutar tubuh dan beranjak keluar dari halaman masjid, langkahnya terhenti. Di ujung jalan, berdiri Raja dengan wajah yang tidak kalah masam. "Puas lo?" ujar Raja dengan nada sinis.

Chilla tidak terpengaruh. Senyumannya semakin lebar, bahkan sedikit dipertegas. "Puas banget dong!" sahutnya ceria, seolah ingin menunjukkan betapa bahagianya dirinya.

Raja mendengus kesal. "Gue bakal bikin kehidupan lo kaya dineraka, Chilla," ucapnya pelan, namun cukup terdengar oleh telinga Chilla. Wajah Raja mendekat ke arahnya, dan Chilla hanya memandangnya dengan mata berbinar, seakan tidak takut dengan apa pun yang akan datang.

Chilla tersenyum, dan tanpa ragu ia mengangguk. "Iya, nggak apa-apa," jawabnya, penuh keyakinan. "Yang penting kita berdua akan berjalan bersama, kan?"

Raja hanya menatapnya, sesaat terdiam. Ada kekesalan di wajahnya, tetapi ada juga rasa bingung. Ia tidak bisa mengerti, bagaimana mungkin Chilla, gadis yang ia anggap hanya sebagai beban, bisa tetap tenang dan bahkan lebih bahagia dari dirinya. Ia mengatur nafasnya, mencoba menenangkan diri, tetapi semakin lama, semakin banyak hal yang tidak bisa dipahaminya tentang gadis itu.

"Kan gue nerakanya lo," jawab Raja, masih dengan nada yang tidak terlalu serius, meskipun kata-katanya terkesan penuh kecemasan.

Chilla menatap Raja, dan untuk sesaat ia merasa seperti dunia ini hanya miliknya. "Iya, kita bareng-bareng, Raja. Nggak ada yang bisa pisahin kita."

Raja menghela napas panjang, seolah tak tahu lagi apa yang harus dipikirkan. "Stress!" ujarnya kesal, hampir tidak bisa menahan amarah yang mulai muncul. Ia merasa tak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah situasi ini. Semuanya sudah terlambat, dan ia sudah terjebak dalam permainan yang telah dimulai.

Chilla hanya tertawa kecil, tidak terpengaruh dengan nada kesal Raja. "Tenang aja, Raja. Nanti juga lo akan terbiasa," ucapnya dengan percaya diri, meskipun ia tahu bahwa jalan yang akan mereka lalui tidak akan semudah yang ia bayangkan. Namun, baginya, ini adalah langkah pertama menuju kebahagiaan yang selama ini ia impikan.

Raja menatap Chilla dengan mata penuh kebingungan. "Gue nggak tahu kenapa lo bisa setegar ini," ujarnya pelan. Namun, Chilla hanya tersenyum lebar dan kembali melangkah, meninggalkan Raja yang tampak semakin cemas.

Chilla tahu, meskipun banyak rintangan yang akan datang, ia siap menghadapinya. Kini, hidupnya sudah berubah, dan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kebahagiaan yang sudah lama ia impikan, bersama Raja.

Chilla menatap Raja dengan tatapan yang sulit dimengerti. Raja berdiri di depannya, wajahnya penuh dengan kemarahan yang terpendam. Ia baru saja mengancam Chilla dengan perkataan yang mungkin dimaksudkan untuk menakut-nakutinya. "Awas aja kalau sampe temen-temen di sekolah tau, gue bakal bikin perhitungan sama lo," ancam Raja dengan suara yang cukup keras.

Namun, Chilla hanya tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh dengan ancaman tersebut. "Ya bagus dong kalo mereka semua tau, jadi nggak ada yang harus disembunyikan," jawabnya santai, merasa tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Setelah menikah siri dengan Raja, rasanya Chilla sudah tidak peduli dengan apapun lagi, terutama apa kata orang lain.

"Sinting, kita masih sekolah dasar, cewek gila," desis Raja, dengan nada yang kasar. "Lo itu gak ada harga diri banget ya, dasar cewek gatel." Kata-kata itu terlontar begitu saja, tanpa ada perasaan yang berusaha disembunyikan. Raja memang terkenal dengan sikap dinginnya, terutama pada Chilla yang tak pernah berhenti mengejarnya. Meski pernikahan mereka hanya sah menurut agama dan belum tercatat secara resmi di negara, namun bagi Chilla, ini sudah cukup. Raja adalah suaminya, dan tidak ada yang bisa mengubahnya.

Namun, Chilla tidak merasakan sakit hati seperti yang mungkin diinginkan Raja. Ia sudah terbiasa dengan kata-kata kasar dari pria itu. Sejak mereka mulai saling mengenal, Raja memang selalu berkata-kata keras dan merendahkan dirinya. Chilla sudah terbiasa mendengar ucapan-ucapan yang tidak mengenakkan. Semua itu, bagi Chilla, hanyalah kata-kata kosong yang tidak perlu ditanggapi terlalu serius. Bahkan, Chilla merasa semakin tegar karena setiap hinaan yang keluar dari mulut Raja hanya semakin menegaskan bahwa dia akan tetap berjuang untuk hubungan ini.

"Terserah, gue gila juga karena lo," jawab Chilla dengan santai, mengabaikan kata-kata pedas Raja. Ia tidak peduli dengan apapun yang dikatakan pria itu, karena yang ia tahu adalah Raja sudah menjadi suaminya. Sejak tadi, Chilla semakin merasa yakin, meski Raja selalu berusaha menghindarinya, ia tidak akan menyerah. Setiap kata-kata kasar, setiap perlakuan dingin, tidak akan mengubah niatnya. Chilla tahu bahwa ini adalah jalan yang ia pilih, dan ia sudah siap menghadapi segala konsekuensinya.

Namun, ada satu hal yang tidak bisa dia hindari—takut. Ya, Chilla takut kalau-kalau tiba-tiba Raja melontarkan kata-kata yang lebih menghancurkan lagi, atau bahkan jika suatu saat nanti, Raja mentalak dirinya. Semua yang sudah terjadi, semua keputusan yang diambil, kadang membuatnya merasa cemas. Bagaimana kalau semua ini berakhir dengan kegagalan?

"Jangan sampai nanti tiba-tiba Raja mentalak gue," pikirnya dalam hati, sedikit ketakutan. Ia tahu, jika itu terjadi, dia bisa menjadi janda muda yang tak punya apa-apa. Chilla tahu, dunia tidak akan memaafkannya jika itu sampai terjadi. Dan meskipun ia berusaha untuk tidak berpikir negatif, ketakutan itu tetap saja menghantuinya.

Namun, dia berusaha keras untuk mengusir pikiran itu. "Gue nggak akan biarin itu terjadi," pikirnya, mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri. Chilla tahu, jalan yang ia pilih bukanlah jalan yang mudah. Namun, satu hal yang ia yakini, ia tidak akan menyerah begitu saja. Jika harus berjuang untuk mendapatkan perhatian Raja, maka Chilla akan melakukannya, meskipun harus melewati banyak rintangan dan cacian.

Karena baginya, Raja adalah satu-satunya lelaki yang ia inginkan, tak peduli seberapa keras ia harus berusaha.

Bukan Cegil lagi

Pagi-pagi sekali, Chilla memasuki gerbang sekolah dengan langkah ringan dan hati yang berbunga-bunga. Udara pagi yang masih segar menambah semangatnya, seolah dunia sedang berpihak padanya. Hari ini, segalanya terasa berbeda.

Jika dulu orang-orang menyebutnya sebagai "cewek gila" karena kegigihannya mengejar Raja, sekarang sebutan itu harus diubah. "Istri gila Raja" lebih cocok, pikirnya sambil tersenyum geli. Apakah ada yang bisa membayangkan bahwa akhirnya ia berhasil mendapatkan Raja, meskipun dalam keadaan yang mungkin sulit diterima oleh banyak orang? Biarlah. Bagi Chilla, yang terpenting adalah bahwa impiannya telah menjadi kenyataan.

Langkah kakinya semakin cepat saat ia memasuki area kelas 12. Beberapa siswa sudah mulai berdatangan, duduk di bangku mereka, sibuk dengan obrolan pagi atau sekadar mengulang pelajaran sebelum jam pertama dimulai. Chilla tidak terlalu peduli dengan mereka. Matanya langsung mencari satu sosok yang selalu bisa membuatnya nyaman di sekolah—Peti.

Peti, sahabatnya sejak SMP, sudah duduk di bangkunya sambil membaca buku. Gadis berkacamata itu selalu terlihat tenang dan cerdas, menjadi tempat Chilla berbagi cerita dan rahasia. Namun, kali ini ada satu rahasia besar yang bahkan Peti pun belum tahu.

Chilla menghampiri meja Peti dan langsung menjatuhkan tasnya di bangku sebelahnya. "Selamat pagi, sahabatku yang paling pintar dan paling beruntung karena punya temen secantik aku!" ucapnya dengan suara ceria.

Peti melirik Chilla dari balik bukunya dan mendesah. "Pagi, Ratu Drama. Tumben banget lo keliatan happy pagi-pagi gini. Biasanya kan lo ngeluh dulu sebelum masuk kelas."

Chilla terkikik. "Gimana nggak happy? Hari ini adalah hari bersejarah dalam hidup gue! "

Peti menutup bukunya dan memandang Chilla dengan tatapan penasaran. "Hah? Bersejarah gimana? Lo menang undian jalan-jalan ke Eropa? Atau akhirnya lo sadar kalau Raja nggak akan pernah suka sama lo?"

Chilla pura-pura memasang ekspresi terkejut dan langsung menepuk bahu Peti pelan. "Astaga, Peti! Mulut lo tuh ya, nggak ada saringannya! Tapi tenang aja, kali ini kabar baik."

Peti menautkan alis. "Kabar baik apaan?"

Chilla menggigit bibirnya, hampir tidak bisa menahan kegembiraan yang meledak-ledak dalam dirinya. Ia ingin sekali memberitahu Peti, ingin melihat bagaimana sahabatnya bereaksi terhadap berita luar biasa ini. Namun, ia sadar bahwa kabar ini bukan sesuatu yang bisa diumbar begitu saja.

"Rahasia dulu, deh. Tapi nanti kalau waktunya tepat, gue bakal cerita sama lo," katanya akhirnya.

Peti menatapnya curiga. "Lo aneh banget, sumpah. Biasanya lo nggak bisa diem kalau ada hal seru. Ini pasti sesuatu yang gede banget, kan?"

Chilla hanya tersenyum misterius. "Yang jelas, gue nggak akan jadi cewek gila lagi. Sekarang, gue punya titel baru."

Peti makin bingung. "Titel apa?"

Chilla tertawa pelan sambil mengeluarkan buku dari tasnya. "Nanti juga lo bakal tau, Peti. Sabar aja."

Peti mendesah dan akhirnya kembali membaca bukunya, meskipun sesekali ia masih melirik Chilla dengan rasa penasaran. Sementara itu, Chilla hanya bisa tersenyum sendiri, menikmati rahasianya yang masih tersimpan rapi.

Raja memasuki kelas bersama kedua temannya yaitu Regastama Adhiyaksa atau kerap di panggil Regas dan Gustian Brawijaya yang sering dipanggil Tian.

Chilla masih terus tersenyum sendiri, sesekali melirik ke arah Raja yang duduk tak jauh darinya. Peti yang duduk di sampingnya hanya bisa menghela napas, sudah biasa melihat sahabatnya seperti ini. Seisi kelas pun sudah tahu kalau Chilla menyukai Raja, meskipun Raja sendiri tampaknya tidak terlalu peduli.

Saat guru Bahasa Indonesia sedang menjelaskan materi tentang teks eksposisi, Chilla mulai beraksi. Ia mengambil selembar kertas dan menuliskan sesuatu, lalu melipatnya kecil-kecil sebelum diam-diam menyelipkannya di atas meja Raja.

Raja yang sedang fokus membaca materi tiba-tiba menemukan secarik kertas di mejanya. Ia melirik sekilas, lalu membuka lipatannya dengan ekspresi datar.

Hai suamiku, kenapa diam aja? Aku di sini loh~

Raja menghela napas, lalu tanpa ekspresi meremas kertas itu dan membuangnya ke dalam laci meja. Chilla yang melihat reaksi itu malah semakin bersemangat. Ia menahan tawa kecil, lalu menyenggol Peti.

"Lihat deh, dia malu-malu," bisiknya sambil terkikik.

Peti menatapnya tak percaya. "Dia bukan malu, Chilla. Dia emang nggak peduli."

"Nggak mungkin! Dia pasti nahan diri di depan semua orang," balas Chilla santai.

Beberapa teman sekelas yang mendengar percakapan mereka ikut tertawa kecil. Mereka semua tahu bagaimana Chilla selalu berusaha menarik perhatian Raja, tapi lelaki itu tetap bersikap dingin.

Saat guru selesai menjelaskan, ia memberi tugas kepada seluruh siswa untuk menulis sebuah teks eksposisi tentang topik pilihan mereka sendiri. Kelas pun menjadi lebih tenang, hanya suara kertas yang berdesir dan goresan pensil yang terdengar.

Chilla, yang biasanya kesulitan fokus, kali ini tetap sibuk menulis. Namun, bukan tugas yang ia kerjakan, melainkan sebuah pesan lain untuk Raja. Kali ini, ia menulis lebih panjang.

Raja, ayo dong senyum dikit. Masa suami aku jutek banget? Hehe. Kita pulang bareng nanti ya?

Ia menyelipkan kertas itu ke sisi meja Raja, berharap kali ini lelaki itu akan memberikan respons. Namun, Raja hanya menatap sekilas, lalu menaruh kertas itu di bawah buku tanpa membacanya. Chilla mengerucutkan bibirnya, tapi tetap tak menyerah.

"Gue nggak ngerti, Chilla. Lo itu naksir berat, tapi dia nggak pernah nunjukin ketertarikan balik. Lo nggak capek?" tanya seorang teman mereka, Mila, dengan nada bercanda.

Chilla tersenyum lebar. "Cinta itu butuh perjuangan, Mil. Gue yakin suatu hari nanti dia bakal luluh."

Mila dan beberapa teman lain hanya menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. Sementara itu, Raja masih tetap fokus pada bukunya, seolah semua perhatian yang diarahkan padanya tidak berarti apa-apa.

Sesi tugas masih berlangsung, dan guru mulai berkeliling memeriksa pekerjaan siswa. Chilla mulai menulis tugasnya dengan malas-malasan, pikirannya tetap tidak bisa lepas dari Raja. Ia lalu mencoret-coret di bukunya, menggambar nama mereka berdua dengan hati di sekelilingnya.

Peti melirik ke arah coretan itu dan menepuk jidat. "Chilla, plis. Fokus!"

Chilla terkikik pelan. "Dikit lagi, dikit lagi."

Guru akhirnya sampai ke meja Raja, melihat catatannya, lalu mengangguk puas. "Bagus, Raja. Seperti biasa, tulisanmu jelas dan sistematis."

Chilla yang mendengar pujian itu merasa tersaingi. "Bu, coba lihat punya saya!" katanya bersemangat.

Guru pun mengambil buku Chilla dan membacanya sekilas. Namun, ekspresinya langsung berubah. "Chilla, ini bukan teks eksposisi. Ini lebih mirip surat cinta."

Seluruh kelas tertawa. Chilla sendiri ikut tertawa, tidak merasa malu sama sekali. "Maaf, Bu. Tadi saya keasyikan menulis sesuatu yang lebih penting. Saya revisi sekarang, deh."

Guru hanya bisa menggelengkan kepala. "Ayo, fokus. Waktunya tidak banyak lagi."

Chilla mulai menulis ulang, kali ini berusaha lebih serius. Namun, matanya tetap sesekali mencuri pandang ke arah Raja. Lelaki itu masih tetap dengan wajah datarnya, seakan tak terusik oleh apapun yang dilakukan Chilla.

Ketika tugas hampir selesai, Regas salah satu sahabat Raja menoleh ke belakang dan berbisik pada Raja. "Bro, Chilla nggak ada matinya, ya."

Raja hanya mengangkat bahu. "Biarin aja."

Mendengar itu, Chilla makin semangat. Ia tersenyum puas, yakin bahwa suatu hari nanti, meskipun Raja sekarang tetap cuek, hatinya pasti bisa ia rebut juga.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!