💌 MUST GET MARRIED 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
"Hanna....!!!!" teriak seorang wanita berusia 48 tahun. Dengan rambut yang keriting melingkar-lingkar, persis seperti tokoh Laura dalam film "Litle House on The Prairie". Wanita itu berkacak pinggang dengan tatapan garang sambil menunggu kedatangan Hanna.
Hanna reflek bangun dan merapikan rambutnya dengan terburu-buru. "Astaga sudah jam berapa ini? Apakah aku terlambat bangun?" Batin Hanna merutuki dirinya.
Ini baru pagi, tapi jantungnya sudah terpompa cepat seperti habis lari maraton. Suara bibi Renata itu menggelegar seperti suara petir di pagi hari. Hanna keluar dari kamar dan melangkah ketakutan. Bukan karena takut di pukul atau apapun itu. Hanna hanya takut di ancam tidak bisa sekolah lagi. Iya, dengan sekolah Hanna bisa mendapatkan ilmu. Dengan ilmu itulah, Hanna bisa mencari kerja.
Hanna berlari ke halaman rumah dan menghadap bibi Renata . "Ada apa bi?" tanya Hanna dengan nada gugup dan wajahnya langsung menunduk.
"Kau masih berani bertanya, kenapa aku berteriak memanggilmu? Dasar!" Bibi Renata langsung menampar pipi Hanna sampai membuat Hanna tersungkur. Ia bangkit lagi sambil memegang pipinya yang meninggalkan ruam merah di sekitar pipinya. Ia mengelap darah di sudut bibirnya. Luka sobek di sudut bibirnya mulai terasa perih.
Hanna hanya bisa diam dalam posisi berdiri di hadapan wanita itu. Ia tidak bisa menyela pembicaraan apalagi melawan. Itu akan menjadi nasib buruk untuknya. Ia sudah tahu betul bagaimana kekejaman bibi Renata. Semua orang yang tinggal di komplek ini mengetahuinya. Selama tinggal bersama bibi Renata, ia melakukan pekerjaan rumah dengan sangat baik, kesalahan sedikit pun tidak boleh terjadi. Begitulah caranya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sudah satu tahun ia tinggal dengan bibi Renata dan Nara. Nara adalah putri kesayangan bibi Renata. Ia tidak pernah dilibatkan dalam pekerjaan rumah. Nara hanya keluar dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Hanna tidak pernah protes. Syukur-syukur saja ia bisa tinggal dengan bibi Renata. Hanya bibi Renata yang menerimanya setelah ibunya meninggal. Inilah jalan hidupnya, agar Hanna tidak diusir dari rumah ini.
"Apa yang kau lakukan, ini sudah pukul berapa?" Wanita itu mengangkat dagunya, menatap tajam ke arah Hanna. "Kau sudah tahukah apa konsekuensinya jika kau bermalas-malasan? Hari ini, aku bisa mengusir mu dari rumah ini dan aku pastikan kau akan menderita dan menjadi anak gelandangan. Kau mau?" wanita itu menatap angkuh dengan seringai tipis.
"Aku tidak pernah bermalas-malasan, bi." Hanna menggeleng cepat, ia berusaha membela dirinya. Karena dia hanya terlelap sebentar setelah tadi malam ia tidak bisa tidur.
"Jangan menyela pembicaraan,dasar anak brengsek. Seharusnya kau bersyukur tinggal di rumah ini. Dasar, anak yang tidak tahu berterima kasih." Satu tendangan mengenai tulang kering Hanna. Dengan cepat Hanna mengadu kesakitan sambil memegang kakinya. Rasa sakit yang luar biasa membuat matanya berkaca-kaca.
"Kau sudah tahu siapa aku, anak ingusan sepertimu tidak pantas menyela pembicaraan orang tua." Suara wanita itu seirama dengan sumpah serapah yang tidak pernah absen diucapkannya setiap hari. Tidak hanya sekali, namun berulang-ulang kali sampai amarah wanita berambut keriting itu berubah kembali normal.
"Aku tahu bi." jawab Hanna pelan sambil menelan menyeka air matanya.
"Bagus jika kau tahu." Wanita itu mendekat dan memberikan pukulan tepat di bagian punggung Hanna. "Jadi selagi aku baik, jangan bertingkah, selesaikan pekerjaan rumah dengan benar." Geram Renata mengumpat lalu meludah di samping Hanna.
"Maafkan saya bi," jawab Hanna pelan sambil menunduk.
"Sudah berapa kali kau bekerja dengan Teresa?" tanya Renata sambil mengangkat alisnya.
"Heuh?" Hanna terkejut dengan mengangkat kepalanya.
Renata menyentuh kepala Hanna dengan jarinya. "Kau juga mengabaikan pekerjaanmu di rumah ini. Hanya untuk membantu wanita sialan itu. Kau pergi mengantar pesanannya demi mendapatkan makan siang kan? Apa kau juga bekerja dengannya, Heuh?"
Ekspresi terkejut Hanna tidak bisa di sembunyikan. Sampai wanita itu tersenyum dengan seringai iblis.
Wajah Hanna mengerut takut. Ia sangat takut diusir dari rumah dan mengancam ibu Teresa agar memecatnya. Walau gaji tidak seberapa namun ia sangat membutuhkan uang untuk membayar uang sekolahnya. Sudah lima bulan bibi Renata tidak membayar uang sekolahnya.
"Bibi, maafkan Aku. Tapi aku harus bekerja, aku sangat membutuhkan uang untuk membayar uang sekolahku. Aku berjanji menyelesaikan pekerjaan rumah. Aku janji bi." Ucap Hanna menundukkan kepalanya dan kemudian mengucapkan permintaan maafnya berulang kali.
Orang-orang di sekitar mereka hanya memandang iba pada Hanna, namun tidak ada satu pun yang berani menyela apalagi sampai memberi komentar kepada aksi wanita berambut keriting itu. Karena jika mereka ikut campur bisa panjang ceritanya. Renata akan mengajak ribut dan mempermalukannya.
"Aku akan tetap mengizinkanmu bekerja dengan Teresa, tapi setengah gajimu serahkan kepadaku. Ingat, jika kau bekerja dengan Teresa, selesaikan pekerjaan rumah sampai selesai. Jika tidak, tamat hidupmu. Kau mengerti?" ucap Renata dengan sorot mata tajam.
"Baik bi,"
"Bagus, sekarang kau beresin rumah, nyuci, masak dan ngepel. Aku tidak mau tahu semua harus bersih hari ini. kau paham?"
"Paham bi," ucap Hanna dengan suara terendahnya.
"Jangan sampai Nara bangun karena mendengar suara ribut. Biarkan Nara bangun sendiri."
"Baik bi," Sahut Hanna lagi.
Renata pun berlalu pergi. Entah pergi kemana dia. Hanna pun tidak berani untuk bertanya. Hanna hanya bisa membuang napas lega. Setidaknya ia bersyukur tidak di disuruh berhenti bekerja. Hanna tersenyum sendu sambil menatap ke atas. Bagi Hanna kehidupannya sekarang tetap harus ia syukuri. Semenjak ibunya meninggal, Ia menjadi gadis yang kuat untuk menghadapi tantangan hidup. Hanna yakin suatu saat nanti, akan ada kebahagiaan untuknya. Karena Hanna percaya, Rancangan Tuhan Lebih Indah Dari Rancangannya. Hanna tersenyum mendongak ke atas sambil menatap gulungan awan putih yang indah.
Tidak ingin berlama-lama, Hanna langsung melakukan tugasnya. Ia mengabaikan rasa sakit pada bagian pipinya. Hanna hanya memikirkan bagaimana pekerjaan ini harus selesai dikerjakannya hari ini juga. Dengan cepat ia menyapu dan membersihkan lantai teras. Ia kembali ke dapur lagi. Tadi malam ia tidak sempat mencuci pakaian. Hari ini Hanna mencuci pakaian bibi dan Nara. Ia lebih dahulu dan memisahkan pakaiannya agar tidak bercampur. Setelah membilasnya dengan bersih. Ia lalu bisa menggunakan sisa air pembilasan dari bibi untuk pakaiannya. Seperti itulah setiap hari dilakukannya.
Pekerjaan rumah tangga bagi Hanna seperti kewajiban yang harus ia laksanakan. Membuat Hanna terbiasa. Hanna menikmati setiap detail pekerjaan yang dilakukannya. Walau sesungguhnya dalam hati kecilnya, ia ingin seperti anak-anak lain pada umumnya. Bisa bermain dan bercengkrama dengan teman-temannya.
Huuuuffft... " Akhirnya selesai juga." Hanna menarik napas panjang dan mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Ia bangga pada dirinya sendiri, melihat rumah sudah rapi dan bersih. Bibirnya mengulas senyum bahagia. Dia yakin bibi akan bangga padanya. Heeh... Hanna membuang napas lesu. Baginya itu hanya harapan mustahil, bibinya tidak akan pernah bangga padanya. Semua yang ia kerjakan hanyalah sia-sia di mata mereka. Tiba-tiba kejadian satu tahun yang lalu kembali mencuat. Wajah Hanna berkerut saat mengingat detik-detik ibunya mengembuskan napas terakhir.
FLASH BACK ON
.
.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini novel ke sebelas aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
💌 MUST GET MARRIED 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Wajah Hanna berkerut saat mengingat detik-detik ibunya mengembuskan napas terakhir.
FLASH BACK ON
Hanna mendapat kabar bahwa ibunya kecelakaan. Jantungnya tidak bisa diam sepanjang jalan. Mobil taksi yang di tumpanginya berhenti jauh karena padatnya antrian mobil. Dengan terburu-buru, Hanna langsung keluar dari taksi. Setelah memberikan uang taksinya. Ia langsung turun dari mobil.
"Nona, kembaliannya???" Teriak supir taksi memanggil Hanna.
Namun Hanna tak perduli, ia hanya terus berlari menuju pintu utama rumah sakit. Jantungnya memukul kencang, sangat kencang. Mata Hanna langsung berkaca-kaca. Napasnya naik turun karena kecepatan berlarinya.
Heeekkkksss.....Heeeekkksss...
Hanna terus berlari, bibirnya gemetar, tak tahan dengan segala gejolak yang timbul di dadanya. Ia mulai menangis, wajahnya mengerucut, mengerut.
"Ibu...."
Aaahhhhhh.....Aaahhhhhhh.... Ringis Hanna semakin terdengar. Ia hanya terus berlari agar sampai di pintu rumah sakit. Hanna mengusap air matanya saat tiba di depan meja resepsionis.
"Pasien bernama Marta dimana suter?" Tanya Hanna dengan cepat.
"Tunggu sebentar ya, saya periksa dulu." kata perawat dengan cepat. Ia langsung melihat daftar pasien. "Pasien baru saja di bawa ke ruang ICU."
"Ha...." wajah Hanna menegang. "Ibu dibawa ke ruang ICU? Apa yang terjadi dengan ibuku?"
"Pasien tiba-tiba kejang."
"Dimana ruangan itu?" potong Hanna dengan cepat. Ia ingin memastikan sendiri kondisi ibunya.
"Sebelah kanan, lurus terus sampai dapat ujung." Jelas perawat yang berjaga.
"Terima kasih suster." Sahut Hanna beranjak meninggalkan lobby rumah sakit. Ia langsung bergegas menuju ruang ICU seperti yang dijelaskan perawat.
Hanna berdiri di depan pintu kamar itu. Ia menahan sekejap tangannya di kenop pintu. Matanya ketika berkaca-kaca. Ia melihat ke arah tangannya dan meremas kenop pintu itu, namun tak kunjung membukanya. Hanna melakukan ritualnya, menarik napas dalam-dalam dan
CEKLEK!
Hanna membuka kenop pintu, hingga membuat daun pintu terdorong ke dalam. Hanna melangkah dengan perlahan. Semaksimal mungkin meminimalisasi suara dari derap langkah kakinya. Mata Hanna langsung berkaca-kaca. Mulutnya terbuka dan gemetar. Hidung dan matanya mulai memerah. Ia menarik napasnya lagi. Mencoba menahan perih yang mulai terasa di hidungnya. Hanna semakin mendekat dan memandang wajah wanita berhati lembut itu dari dekat. Ibunya berbaring lemah dengan perban yang melilit di kepala dan selang infus tertancap di tangannya. Suara dari monitor terdengar jelas di telinganya. Menampilkan grafis detak jantung dan tekanan darah ibunya. Ventilator yang dihubungkan dengan selang melalui hidung, mulut dan tenggorokan untuk membantunya bernapas. Tubuh Hana tiba-tiba tidak bertulang, lemas dan tak berdaya.
"Aaahhhhhh..." Hanna melepas napas panjang. Air matanya dengan cepat tergelincir bebas di pipinya.
"Ibu?" Suara Hanna gemetar.
Renata langsung mendekat dan memeluk Hanna dari samping dan ikut menangis.
"Ibumu akan baik-baik saja."
"Apa yang terjadi dengan ibu bi, kenapa ibu bisa sampai seperti ini?" ucap Hanna begitu sedih. Hanna baru saja mengetahui bahwa ibunya kecelakaan. Hanna sedang studi tour dan untuk kembali ia membutuhkan waktu satu hari agar tiba di kota A. Ibunya menggunakan selang-selang dan alat-alat medis untuk menopang hidupnya.
Hanna semakin mendekat ke ranjang dimana ibunya sedang berbaring tak berdaya.
"Ibu... Ibu...hiks...hikss..." Lirih Hanna sambil memegang tangan ibunya dengan hati-hati. Takut akan mengganggu selang infus yang tertancap di tangan ibunya itu. Hanna menatap Marta dengan tatapan nanar. Penuh dengan kekhawatiran.
"Ibu kenapa bisa jadi seperti ini? Bukannya Sebelumnya ibu baik-baik saja. Kenapa begitu tiba-tiba ibu. Lihat Hanna, bangunlah! Hanna sudah ada di sini, aku tidak akan pergi meninggalkan ibu lagi. Aku akan di sini menemani ibu. Tolong bangun ibu, aku tidak kuat melihat ibu seperti ini. Hati Selena hancur ibu. Bukankah ibu menyayangi Hanna. ibu paling tidak suka melihat Hanna menangis, kan? jadi bangunlah!"
Renata ikut menangis di sana. Ia menutup mata singkat karena tak kuasa menahan kesedihan keponakannya. Dia sangat mengerti perasaan Hanna. Dia begitu sayang kepada Marta.
Saat mendengar tangisan putrinya, jari-jari tangan Marta berkedut.
"Ha...ha...anna putriku!" Suara Marta pelan dan parau. Samar-samar hampir tidak terdengar. Namun Hanna bisa mendengarnya. Ia terjengkit dari duduknya.
"Ibu..."
"Marta?" Renata pun terkejut dan langsung bangun dari duduknya, melihat ke arah Marta. Ia memegang pipi Marta dengan lembut. Hanna bahagia saat melihat ibunya sudah sadar.
"Ibu, kau sudah sadar. Lihat aku!" pinta Hanna dengan penuh harapan.
Suara dari monitor terdengar jelas di telinganya, menampilkan grafis detak jantung dan tekanan darah. Maria masih menggunakan oksigen yang menutup mulutnya.
"Ibu." Hanna tak kuasa membendung air matanya.
"Kau datang sayang... mendekatkan...!" Suara terbata-bata dari Maria masih bisa di dengar Hanna walau ada oksigen masih menempel di mulutnya. "Ayahmu...."
"Kenapa dengan ayah ibu?" Hanna mendekatkan telinganya ke arah Marta, agar bisa mendengar ibunya bicara.
"Aaaa....ayahhhhh ...mu...."
Hanna menggeleng. "Kalau ibu tidak kuat, jangan dipaksa ibu...." Air mata Hanna kembali mengkristal penuh di kelopak matanya. Hanya dalam satu kedipan saja, air mata itu akan terjatuh. Ia semakin tidak kuasa menahan kesedihannya, ia melihat jelas bagaimana ibunya berusaha mengatur napasnya yang begitu berat.
Maria menggeleng, ia tidak sanggup bicara.
"Ibu, jangan tinggalkan Hanna." Tangisan Hanna kembali pecah lagi. Ia memeluk ibunya. Hanna benar-benar tidak siap di tinggal orang yang sangat dicintainya. Bahunya bergetar dibalik pelukannya.
Suasana menjadi haru, Renata ikut menangis di sana.
"Ibu harus kuat dan sehat kembali. Bukankah ibu ingin melihat aku menyelesaikan sekolah dengan baik? Aku mohon bertahanlah." Hanna tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia kembali memeluk wanita tak berdaya itu.
Maria menggeleng lemah, ia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Tangannya tiba-tiba terjatuh dari tubuh Hanna. Hanna panik, ia histeris menangis.
"Jangan ibu. Aku mohon!" Jerit Hanna semakin histeris.
"Panggil dokter, bi" seru Hanna kepada bibinya.
Tapi Renata tidak bergerak. Ia masih terdiam seperti orang bodoh di sana. Hanna langsung menekan nurse call yang ada di ruangan.
"ibu, aku mohon..." Isak Hanna memegang tangan ibunya. Namun Maria semakin tidak berdaya.
Tanpa menunggu lama dokter langsung datang dan melakukan tindakan untuk menangani Maria. Dengan cepat dokter langsung melakukan pacu jantung.
"Hanna..." Renata menangkap tubuh Hanna yang hampir terjatuh. Hanna langsung menumpahkan tangisannya di pelukan Renata.
Dokter dengan cepat mempersiapkan Alat pacu jantung defibrilator, menempelkan lead ke dada Maria, kabel pacu serta sensor yang akan merekam irama jantung Maria sudah terpasang. Dokter memberikan aliran listrik ke jantung Maria. Mereka kembali menempel ke dada dan melakukannya berulang kali sampai tubuh Maria tersentak ke atas. Untuk memberikan impuls listrik yang dikirim ke otot jantung Maria untuk mengembalikan irama jantung agar kembali normal, namun yang mereka lihat detak jantung Maria tidak ada perubahan. Patient monitor sudah menunjukkan grafis lurus.
Tubuh Hanna lemas dan tidak berdaya. Ketika Dokter menyatakan bahwa pasien sudah meninggal. Hanna langsung menjerit histeris dan mendekati tubuh ibunya. Tangisan kesedihan terdengar di dalam ruangan kamar.
"Aaaah...ibu jahat. Ibu meninggalkan aku sendirian." Jerit Hanna meraung dan menggoncang tubuh ibunya yang terdiam tidak bernyawa lagi.
Renata ikut menjatuhkan air matanya, ia memeluk Hanna dari samping. Hanna terisak menahan segala kesedihannya dan tiba-tiba Hanna terjatuh dan tidak sadarkan diri.
.
.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini novel ke sebelas aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
💌 MUST GET MARRIED 💌
🍀 HAPPY READING 🍀
.
.
Hanna yang ditemani bibinya pulang ke rumahnya untuk bersiap. Mereka mengganti pakaian berwarna hitam. Hanna hanya terus terdiam. Hanya suara isak tangisnya yang terdengar saat ia melakukan aktivitasnya. Hanna juga menggunakan pakaian berkabung. Mewakili hatinya yang juga terasa penuh duka.
Setelah selesai bersiap, mereka kembali masuk ke dalam mobil. Mobil itu sudah disiapkan oleh pelayanan kedukaan. Sepanjang jalan menuju rumah duka. Papan bunga berjejer rapi. Ucapan turut berduka cita dari kerabat dan rekan kerja ibunya sudah berjejer rapi. Termaksud karangan bunga dari Mondelez Internasional. Perusahaan multinasional yang memproduksi berbagai merek cokelat. Ibunya bekerja sebagai manager marketing di sana.
Begitu mereka sampai di pintu rumah duka tangisan Hanna kembali pecah. Renata berusaha menguatkan keponakannya itu. "Sabar sayang. Ingat! bibi masih ada untukmu. Bibi berjanji akan merawatmu dengan baik." Renata mengusap-usap punggung Hanna memberikan kekuatan.
Hanna hanya mencurahkan kesedihannya lewat air bening yang keluar dari mata. Kini air matanya benar-benar tercurah. Ia semakin menangis di sana. Hanya ingin melepaskan pilu yang teramat dalam. Cukup banyak orang-orang yang datang berpakaian hitam, menunjukkan bahwa mereka ikut berduka. Termaksud itu guru dan teman sekelasnya ikut hadir di sana.
"Kita masuk sayang," ucap Renata begitu lembut kepada Hanna.
Hanna mengusap air matanya yang terus menetes di pipinya. Ia hanya menarik napas dalam-dalam dan melangkah masuk.
"Yohanna ..." Wali kelas Yohanna membuka tangannya dan memeluk Hanna. "Kamu harus kuat nak."
"Ibu Betris.." Hanna kembali melepas tangisannya. Pelukan wali kelasnya benar-benar menghangatkan hatinya. "Aku belum bisa membanggakan Ibu, ibu sudah pergi meninggalkanku, bu." Hanna mengadu dengan suara lirih.
Teman-teman sekelasnya mulai menangis mendengar perkataan Hanna. Hanna dengan cepat menghapus air mata di ujung pelupuk mata. Ibu Betris membuka mulut, menarik napas dan mendongak ke atas. Hatinya begitu sesak melihat muridnya itu.
Ibu Betris semakin mengeratkan pelukannya. "Dokter sudah berusaha semampunya. Tidak ada yang salah di sini. Ibumu sudah bahagia sayang. Dia sudah ada di tempat yang lebih baik." Sang guru mengusap punggung Hanna itu berulang-ulang.
"Sekarang masuklah! Banyak yang ingin menemuimu." Sang guru melepaskan pelukannya.
Hanna hanya mengangguk sambil menahan tangisannya. Ia pun masuk ke dalam ruang duka. Dan benar kata ibu gurunya, sudah banyak orang di sana menantinya untuk bersalaman dan mengucapkan belasungkawa kepada Hanna.
"Hanna, saya turut berduka cita atas meninggalnya ibu tercinta." Ucap salah satu teman ibunya yang bekerja di perusahaan yang sama dengan ibunya.
Hanna tersenyum singkat dan mengangguk. Ia membalas jabatan tangan itu. "Terima kasih aunty."
Hanna menjabat tangan orang-orang yang ada di sana. Mereka mengucapkan kalimat menghibur dan menguatkan. Hanna merespon dengan baik.
Hanna dan bibinya mendekat ke arah peti. Tak terasa air mata Hanna tergelincir bebas membasahi pipinya lagi. Peti berwarna putih yang mengkilat dipadukan dengan warna keemasan. Kayunya di polish begitu rapi. Pihak perusahaan lah yang menyiapkan semua pemakaman ibunya.
Hanna mendekat dan melihat ibunya tertidur damai. Terlihat luka di bagian kepalanya di jahit sangat rapi oleh pihak rumah sakit. Kecelakaan ini yang merenggut nyawa ibunya. Hanna menutup mulutnya dengan erat sambil menitikkan air mata melihatnya. Salah satu temannya merangkul bahu Hanna untuk menguatkan. Lalu mengusap-usap lengan sahabatnya dengan lembut.
"Ibu sangat cantik." Hanna tersenyum sambil menitikkan air mata melihatnya. "Sungguh, ibu sangat cantik sekali."
Hanna menarik napas dalam-dalam. Kematian ibunya benar-benar meninggalkan luka yang mendalam bagi Hanna. Ini hal tersulit yang harus Hanna hadapi dalam hidupnya. Kesedihan dan duka akan muncul saat berpisah dengan orang yang disayanginya. Tak ada yang menginginkan perpisahan ini. Apalagi, jika kondisi memaksa perpisahan itu terjadi. Tak ada yang siap dan tak ada yang rela. Termaksud Hanna sendiri.
"Ibu...." panggilnya kemudian memeluk erat tubuh kaku wanita yang sangat disayanginya. Mustahil kalau tangisan Hanna tidak pecah. Manusia mana yang mampu menahan kerapuhannya. Terlebih lagi ketika ditinggal wanita kuat yang selalu ada untuknya. Sosok wanita yang selama ini selalu dibanggakan di depan teman-temannya. Wanita yang paling kuat diterpa badai apa pun. Yang paling tangguh diterjang ombak mana pun. Yang berarti segalanya bagi Hanna.
🔹🔹🔹🔹🔹
Sebelum menutup peti, keluarga kembali diberi kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan. Saat giliran Hanna, tangannya benar-benar gemetar. Begitu juga dengan bibirnya.
"Heeeehhh...."
Tangisan Hanna kembali tercurah. Wajahnya mengerut menahan sakit di hatinya. Ibu yang sangat disayanginya kini sudah menutup mata selamanya. Dia tak akan pernah tersenyum lagi. Wanita kuat yang selalu memberikan semangat untuk Hanna. Ibu yang selalu penuh perhatian kepadanya. Hanna terus memandangnya dan terus menangis. Semua orang melihat Hanna ikut merasakan kesedihan yang mendalam.
"Maafkan Hanna ibu, jika aku belum bisa membahagiakan ibu. Tapi sungguh... sungguh, aku sangat menyayangimu. Sangat, sangat, sangat menyayangimu. Heeekkk....heeekkk...." Perkataan Hanna terhenti karena ia semakin menangis tersedu.
Hanna mendekatkan wajahnya mendekat ke wajah ibunya. Ia mengecupnya beberapa kali sambil menangis. Air matanya jatuh berlinang. Hanna mengangkat wajahnya dan memandang mata yang tak akan terbuka lagi.
Lagi Hanna mencium Ibunya untuk terakhir kali. "Beristirahatlah yang tenang ibu, Hanna semua menyayangimu. Ibu sudah menyelesaikan tugasmu dengan baik di dunia ini. Ibu wanita yang hebat. Yohanna berjanji akan mencari ayah." Hanna tersenyum di sana. Ia kembali berdiri, sahabatnya langsung cepat memeluknya karena Hanna hampir saja terjatuh.
"Hanna kamu harus kuat."
Hanna hanya mengangguk, menatap sahabatnya dengan sendu. Dengan dipapah, manik-manik basah itu seakan melaju lebih deras dari sebelumnya di pipi Hanna, saat raungan suara sirine ambulans serta iring-iringan jenazah akan mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Tepat ketika jingga begitu merona, keharmonian alam yang sangat disukai oleh ibunya itu.
Mereka mengantarkan Maria ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Semua kerabat dan teman satu kantor ibunya ikut datang dan merasakan kesedihan yang terdalam. Dengan hati yang kehilangan, entah percaya atau tidakkah dengan kejadian ini. Entah bisa atau tidaknya untuk merelakan kepergiannya.
Di hari paskah Hanna masih melihat ibunya yang selalu ceria, yang selalu tersenyum, yang selalu menunjukkan perhatian kepadanya. Entah kenapa ibunya bisa pergi ke daerah A, siapa yang akan di temui ibunya di sana. Hingga kecelakaan terjadi dan merenggut nyawa ibunya. Kini Hanna tak bisa merasakan kehangatan itu lagi. Tak terasa air matanya mengalir lagi.
"Untuk kamu Ibu yang sangat luar biasa, ibu yang sangat sempurna. Hanna tidak akan melupakan semua kenangan saat bersamamu." Hanna berusaha kuat menatap gundukan tanah yang ada di depannya.
"Selamat tinggal Ibu. Tuhan titip ibu ya, beri dia tempat yang terbaik di sana." Hanna menunduk dengan luka dan kesedihan yang mendalam. Air matanya terjatuh di gundukan tanah yang masih basah itu.
SATU JAM KEMUDIAN.
Pemakaman Maria telah selesai. Tapi Hanna tidak juga meninggalkan tempat itu. Sementara semua teman ibunya sudah pulang. Hidup Hanna seakan tak berdaya. Kematian ibunya yang tiba-tiba membuatnya benar-benar terpukul. Ia seperti tidak ada harapan hidup saat orang yang dicintainya telah pergi meninggalkan Hanna untuk selamanya. Namun seiring perjalanan waktu, Hanna harus bisa melaluinya. Hanna harus tetap sekolah dan lulus menjadi murid yang berprestasi.
.
.
BERSAMBUNG.....
^_^
Tolong dukung ya my readers tersayang. Ini novel ke sebelas aku 😍
Salam sehat selalu, dari author yang cantik buat my readers yang paling cantik.
^_^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!