Cahaya matahari pagi menembus jendela dapur, menerangi sosok Sofia Amara yang tengah sibuk memasak. Meski usianya sudah menginjak 48 tahun, wajahnya tetap cantik, dengan kulit yang masih terlihat kencang dan bercahaya.
Ada sesuatu yang membuatnya tetap terlihat muda—mungkin karena hatinya yang selalu penuh cinta, meski tidak selalu mendapat balasan yang sama.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia sudah bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Padahal, rumah ini memiliki beberapa pembantu, tapi Sofia tetap memilih memasak sendiri.
Bukan karena tidak percaya dengan kemampuan mereka, tetapi karena ia tahu betapa rewel suaminya, anak-anaknya, dan bahkan mertuanya dalam urusan makanan. Jika ada sedikit saja yang kurang sesuai dengan selera mereka, keluhan akan datang tanpa henti.
Namun, pagi ini terasa lebih istimewa bagi Sofia. Ini adalah hari anniversary pernikahannya yang ke-22 bersama Robin, suaminya.
Dengan penuh semangat, Sofia menyusun berbagai hidangan favorit mereka—nasi hangat, sup ayam herbal kesukaan suaminya, omelet keju yang biasa diminta Reno, pancake stroberi yang dulu sangat disukai Mikaila, dan jus detoksifikasi yang selalu diminum oleh mertuanya.
Sofia tersenyum bangga melihat hasil masakannya. Ia berharap, setidaknya hari ini, ada sedikit kehangatan di meja makan. Mungkin Robin akan mengingat hari ini dan mengucapkan sesuatu yang manis. Mungkin anak-anaknya akan lebih perhatian.
Tak lama, suara langkah kaki terdengar. Robin muncul lebih dulu, mengenakan jas kerjanya dengan wajah datar seperti biasa. Mikaila, yang berusia 17 tahun, turun dengan rambut sedikit berantakan dan tangan sibuk menggulir layar ponselnya.
Reno, 20 tahun, datang sambil menguap lebar, tampak masih mengantuk. Tak ketinggalan, ibu mertuanya juga tiba, membawa aura kaku yang sudah biasa Sofia rasakan selama bertahun-tahun.
Sofia tersenyum hangat. "Selamat pagi, semua! Sarapannya sudah siap," ucapnya riang, berharap mendapat respons yang lebih baik kali ini.
Namun, seperti biasa, yang ia dapatkan hanyalah anggukan singkat dari Robin, gumaman samar dari Reno, dan tatapan sekilas dari Mikaila sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.
Mertuanya bahkan langsung duduk tanpa berkata apa-apa, hanya meneliti makanan di meja dengan ekspresi kritis.
Sofia menarik napas, mencoba menahan rasa kecewa yang mulai mengendap di hatinya. Ia ingin sekali berkata, Hari ini anniversary kita, Robin. Namun, ia menahan diri, memilih menunggu suaminya menyadarinya sendiri.
Dengan harapan kecil yang masih ia genggam, Sofia duduk dan mulai menuangkan teh untuk mereka. Ia hanya ingin hari ini berjalan baik.
Saat suapan pertama masuk ke mulut mereka, keluhan pun mulai berdatangan seperti pagi-pagi sebelumnya.
Robin meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar. "Nasimu terlalu lembek, Sofia. Berapa kali aku bilang aku tidak suka nasi seperti ini?" suaranya datar, tetapi nada ketidaksabarannya jelas terasa.
Reno mengernyit sambil menusuk omelet di piringnya. "Ma, omeletnya kurang bumbu. Terasa hambar," komentarnya tanpa sedikit pun menatap ibunya.
Sementara itu, Mikaila yang duduk dengan kaki terlipat di kursinya, mencicipi pancake dan langsung memutar bola matanya. "Ugh, ini terlalu manis. Aku kan sudah bilang, aku tidak suka yang terlalu manis," keluhnya sebelum mendorong piringnya menjauh.
Sofia menelan ludah, menekan perasaan kecewa yang mulai muncul di hatinya. Namun, seperti biasa, ia hanya tersenyum tipis dan berkata, "Maaf, lain kali Mama akan lebih memperhatikan."
Baru saja ia hendak duduk untuk menikmati sarapannya sendiri, suara dingin Saskia—ibu mertua Sofia—terdengar, membuatnya kembali menegakkan tubuh.
"Sofia, jus detoksifikasiku mana?" tanya Saskia tanpa menoleh, tangannya masih sibuk merapikan serbet di pangkuannya.
Sofia terdiam sejenak, menyadari bahwa ia lupa membuat jus itu. Tapi ia segera bangkit dengan cepat, menutupi kesalahannya dengan senyum. "Maaf, Ibu. Aku akan segera membuatkannya."
Tanpa menunggu jawaban, Sofia bergegas ke dapur. Ia bahkan belum menyentuh makanannya sendiri, tetapi itu bukan hal baru baginya. Bertahun-tahun, ia selalu menempatkan mereka sebagai prioritas utama.
*****
Sofia menghela napas panjang setelah selesai merapikan meja makan.
Setelah membersihkan dapur, akhirnya Sofia masuk ke kamarnya, berharap bisa beristirahat sejenak sebelum menjalani sisa harinya.
Namun, saat wanita itu duduk di tepi ranjang, rasa nyeri kembali menyerang perutnya. Kali ini lebih tajam, menusuk hingga membuat keningnya berkerut. Sofia menekan perutnya, berharap rasa sakit itu segera mereda, tetapi justru semakin menjadi.
Robin, suaminya, sudah rapi dengan pakaian santai, tampaknya bersiap untuk pergi ke suatu tempat. Melihatnya, Sofia berusaha berbicara meski suaranya sedikit lemah.
"Suamiku … perutku sakit sekali. Bisa tolong antar aku ke rumah sakit?"
Namun, sebelum Sofia bisa menyelesaikan ucapannya, Robin langsung memotong. "Hari ini ulang tahun Vanessa. Dia sendirian, dan aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," katanya tanpa sedikit pun menatap Sofia, seolah-olah permintaan istrinya tidak ada artinya dibandingkan rencana yang telah ia buat.
Sofia terdiam. Hatinya mencelos mendengar nama itu. Vanessa. Sahabat suaminya.
Sebelum Sofia bisa berkata apa-apa lagi, pintu kamar terbuka. Reno dan Mikaila masuk dengan pakaian kasual, tampaknya siap untuk pergi.
"Pa, kami sudah siap," ujar Reno sambil memasukkan ponselnya ke saku celana.
Sofia menatap kedua anaknya dengan penuh harap. "Mikaila, Reno … perut Mama sakit. Bisa antar Mama ke rumah sakit?" suaranya terdengar lemah, tetapi masih penuh harapan.
Mikaila mendesah panjang, lalu menggeleng dengan ekspresi jengkel. "Mama terlalu berlebihan. Mungkin juga itu cuma sakit perut biasa."
"Iya, lagi pula kita udah janji mau ke tempat Tante Vanessa," tambah Reno tanpa sedikit pun menunjukkan kepedulian.
Sofia menatap mereka satu per satu, berharap ada sedikit belas kasihan di mata mereka. Namun, tidak ada.
Robin meraih kunci mobilnya, lalu menatap Sofia dengan tatapan bosan. "Kalau memang sakit, panggil saja supir. Jangan buat suasana jadi dramatis," katanya sebelum berjalan keluar bersama anak-anak mereka.
Sofia masih duduk di tempatnya, rasa sakit di perutnya kini terasa tak seberapa dibandingkan luka di hatinya. Air matanya menggenang, tetapi ia menahannya. Ia sudah terlalu sering merasa kecewa.
Cukup lama Sofia merenung sambil menahan sakit perutnya seperti biasa, setelah merasa perutnya sudah tidak terlalu sakit. Akhirnya dia beranjak dari ranjang dan melanjutkan aktivitasnya.
Kali ini Sofia masuk ke ruang kerja sang suami, untuk membersihkan ruangan itu. Sang suami Robin sangat tidak suka jika barang-barangnya disentuh oleh orang lain.
Makanya hanya Sofia yang diizinkan untuk membersihkan ruangan tersebut. Terlihat kini Sofia sibuk membersihkan dengan mengelap beberapa buku-buku karena Robin merupakan salah satu Dosen di universitas ternama.
Tiba-tiba Sofia menemukan sesuatu, sebuah flashdisk di balik sebuah buku. Karena penasaran yang tinggi, Sofia merogoh kantong baju dasternya dan mengambil ponselnya.
Sofia kemudian mencolokkan flashdisk tersebut ke ponsel miliknya. Hanya ada satu folder di flashdisk itu yang bernama "My Love" Sofia akhirnya membuka folder itu.
Deg!
Sofia duduk di lantai dengan tubuh bergetar hebat. Ponsel di tangannya masih menampilkan video yang baru saja ia tonton, namun pandangannya sudah kabur oleh air mata. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak, seolah-olah ada sesuatu yang meremukkan jiwanya dari dalam.
Wanita itu masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Tangannya gemetar saat menekan layar, memutar ulang salah satu video, berharap ia hanya berhalusinasi. Namun, tidak.
Robin dan Vanessa. Sahabat sang suami.
Di layar, keduanya begitu intim, seolah-olah Sofia tidak pernah ada di antara mereka. Bahkan, video-video itu berasal dari bertahun-tahun lalu, menunjukkan bahwa perselingkuhan ini bukan sekadar kejadian sesaat—ini telah berlangsung sejak lama.
Dan yang paling menyakitkan adalah video terakhir.
"Sampai kapan hubungan kita seperti ini, Mas?" suara Vanessa terdengar jelas di kamar mewah yang Sofia kenali sebagai hotel langganan Robin. "Sudah puluhan tahun kita harus bersembunyi. Aku lelah jadi yang kedua."
Robin yang duduk di tepi ranjang, masih dengan tubuh yang belum sepenuhnya tertutup, menghela napas panjang. "Bersabarlah, Van. Kau tahu ibu dan ayahku tidak menyukaimu. Dia selalu menginginkan keturunan, dan kau ...."
Sofia menahan napas.
"Aku mandul." Vanessa melanjutkan dengan suara penuh kepahitan.
Robin mengangguk, ekspresinya dingin seperti yang selalu Sofia lihat setiap kali mereka berdua berada di rumah. "Mama ingin pewaris, itulah satu-satunya alasan aku menikahi Sofia. Kalau bukan karena itu, aku tidak akan pernah menyentuhnya. Percayalah cintaku hanya untukmu seorang dan aku pastikan selamanya akan tetap seperti itu.
Sofia menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya semakin bergetar.
Jadi, selama 22 tahun ini … ia hanya alat? Ia tidak pernah dicintai?
Semua kebekuan Robin, semua sikap dinginnya, semua tatapan kosongnya setelah mereka berhubungan … semuanya masuk akal sekarang.
Ia hanya sebuah alat untuk meneruskan garis keturunan keluarga Robin.
Sofia akhirnya tak sanggup lagi. Ponselnya terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan bunyi pelan.
Air matanya jatuh semakin deras, tangisnya pecah tanpa bisa ia tahan.
Sakit.
Sakit sekali.
Sakit yang selama ini ia pendam, yang ia abaikan, yang ia anggap hanya perasaannya saja—semuanya kini meledak dalam sekejap.
Ia memeluk tubuhnya sendiri di lantai, menangis tanpa suara.
Ternyata, ia tidak hanya kehilangan suaminya. Ia telah kehilangan 22 tahun hidupnya … untuk sebuah kebohongan.
****
Sofia duduk di lantai dengan tubuh lemas. Air matanya telah mengering, tetapi hatinya masih terasa hancur. Untuk waktu yang entah berapa lama, ia hanya menatap kosong ke depan, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kenyataan pahit yang baru saja ia temukan.
Setelah menarik napas panjang, ia mengusap wajahnya, menghapus jejak air mata yang masih tersisa. Ia harus menenangkan diri. Ia tidak boleh terlihat lemah. Dengan langkah gontai, Sofia bangkit dan masuk ke kamar mandi yang ada di ruangan kerja Robin.
Di dalam, Sofia menyalakan keran dan membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia menatap bayangannya di cermin—wajah cantik yang tetap terawat meski usianya hampir setengah abad. Namun, di balik itu, ada mata yang terlihat kosong dan lelah.
Setelah merasa sedikit lebih baik, Sofia keluar dari kamar mandi dan melihat ponselnya yang masih tergeletak di lantai. Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya dan membuka layar.
Jemarinya secara refleks membuka media sosial, entah mencari pelarian atau hanya ingin melihat sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.
Namun, yang pertama kali muncul di layar justru sesuatu yang semakin menghancurkan hatinya.
Status terbaru Robin.
Sofia menahan napas saat melihat foto-foto dan video yang diposting suaminya.
Robin sedang duduk di meja makan, di sebuah taman indah yang tampak seperti salah satu tempat viral yang baru-baru ini sering dibicarakan.
Di sekelilingnya, ada Vanessa—wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya. Dan di sana juga ada Reno dan Mikaila, dua anak yang ia besarkan dengan seluruh cinta dan pengorbanannya.
Mereka semua tersenyum.
Tertawa.
Bahagia.
Dalam foto berikutnya, terlihat Vanessa meniup lilin ulang tahun dengan ekspresi penuh kegembiraan. Robin duduk di sebelahnya, menatapnya dengan senyum yang lembut—senyum yang tidak pernah Sofia lihat sepanjang pernikahan mereka.
Sofia menggeser ke video selanjutnya, dan rasa sakit di hatinya semakin bertambah.
Reno.
Putra sulungnya yang selalu menolak membantu hal-hal kecil di rumah, kini memanjat pohon hanya untuk mengambil topi Vanessa yang tersangkut.
Sofia ingat betul, beberapa waktu lalu, ia pernah meminta Reno membantunya membersihkan atap depan rumah karena gentingnya kotor. Saat itu, Reno langsung menolak dan berkata, "Ma, aku takut ketinggian. Lagipula, itu tugas tukang, bukan aku."
Namun, sekarang?
Demi Vanessa, ia bahkan rela mengambil risiko memanjat pohon tanpa ragu sedikit pun.
Sofia menggigit bibirnya, menahan emosi yang kembali mendesak. Ia kembali menggeser layar, dan kini yang muncul adalah Mikaila.
Gadis itu terlihat begitu perhatian dan cekatan saat Vanessa menyuruhnya mengambil piring kecil.
Lagi-lagi, hati Sofia terasa perih.
Dulu, saat ia meminta Mikaila melakukan hal yang sama—hanya mengambilkan piring dari dapur—putrinya bahkan tidak mau bergerak dan hanya menjawab dengan malas, "Mama aja yang ambil. Aku lagi sibuk."
Sofia menatap layar ponselnya tanpa berkedip, matanya semakin panas.
Tapi yang paling menusuk adalah slide terakhir.
Robin dan Vanessa duduk berdampingan, begitu dekat. Vanessa menyuapkan kue ulang tahun ke mulut Robin, dan pria itu menerimanya dengan senyum hangat.
Sofia nyaris tidak mengenali ekspresi itu.
Senyuman yang begitu tulus. Tatapan penuh kasih sayang.
Matanya tidak bisa berbohong—Robin benar-benar mencintai Vanessa.
Sofia menatap layar ponselnya dengan perasaan hampa. Tangannya perlahan melemah, hampir saja ia menjatuhkan ponsel itu lagi.
Air matanya tidak keluar.
Tidak ada tangisan, tidak ada suara.
Hanya ada perasaan kosong yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Perlahan, Sofia meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu, ia bangkit berdiri dengan tatapan datar.
Semua sudah jelas.
Tidak ada tempat untuknya dalam kehidupan mereka. Robin, Reno, Mikaila—mereka hanya membutuhkannya sebagai alat, seseorang yang ada hanya untuk melayani dan memenuhi kewajiban.
Sofia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tidak, dia tidak akan menangis lagi. Tidak ada gunanya menangisi orang-orang yang bahkan tidak pernah menganggapnya ada.
Jika selama ini mereka sudah menghapus keberadaannya dari hidup mereka … maka sekarang, Sofia akan melakukan hal yang sama.
Sebelum meninggalkan ruang kerja sang suami, Sofia menyalin beberapa video yang ada di flashdisk untuk dijadikan bukti.
Ada untungnya Robin memiliki kebiasaan yang suka mengoleksi video sehari-harinya. Sofia pikir hanya video biasa yang sering di simpan suaminya, ternyata video tak senonoh juga di koleksi Robin.
Malam itu, Robin, Reno, dan Mikaila akhirnya tiba di rumah setelah seharian bersenang-senang bersama Vanessa. Mereka memasuki ruang tamu dengan tawa kecil, masih terbawa suasana bahagia dari perjalanan mereka.
Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Biasanya, setiap kali mereka pulang, Sofia akan duduk di sofa ruang tamu, menunggu mereka meskipun sudah larut malam. Wanita itu selalu siap dengan segelas air hangat untuk Robin, memastikan anak-anaknya pulang dengan selamat, dan menanyakan bagaimana hari mereka.
Tapi malam ini, Sofia tidak ada.
Ruangan terasa lebih sepi, lebih dingin.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar peduli.
Reno melepas jaketnya dengan santai, lalu berjalan ke kamarnya tanpa berpikir lebih jauh. Mikaila hanya mendengus kecil, mungkin mengira ibunya akhirnya mulai tahu diri untuk tidak terlalu mengurusi mereka.
Robin pun sama.
Tanpa menghiraukan apa pun, ia langsung masuk ke kamar mereka. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung tertuju pada sosok Sofia yang sudah berbaring di ranjang.
Terlelap.
Robin mengerutkan kening. Ini aneh.
Selama 22 tahun pernikahan mereka, Sofia tidak pernah tidur lebih dulu darinya. Tidak peduli seberapa lelah atau sibuknya Sofia, wanita itu akan selalu menunggu, akan selalu melayaninya.
Biasanya, saat Robin pulang, Sofia akan sigap menyiapkan air hangat untuk mandi, memastikan baju tidurnya sudah siap, dan bahkan menawarkan diri untuk memijit kakinya meski ia tidak pernah memintanya.
Tapi malam ini, Sofia tidak melakukan semua itu.
Dia hanya tidur.
Robin berdiri di ambang pintu, menatap istrinya dengan ekspresi heran. Ada sedikit rasa tidak nyaman yang menggelitik hatinya, tapi ia mengabaikannya dengan cepat.
Mungkin Sofia lelah.
Mungkin akhirnya wanita itu sadar bahwa tidak ada gunanya terus mengurus seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar memperhatikannya.
Robin menghela napas, lalu berjalan ke kamar mandi. Lagi pula, apa pedulinya?
Tanpa pikir panjang, ia pun kembali ke kebiasaannya—hidup seolah-olah Sofia hanyalah bayangan di sudut rumah ini.
****
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda.
Mikaila turun dari kamar dengan seragam SMA-nya yang rapi, sementara Reno sudah siap dengan pakaian kuliahnya. Robin, seperti biasa, mengenakan pakaian khas dosennya, dan Saskia, ibu mertua Sofia, berjalan dengan ekspresi angkuhnya.
Namun, mereka semua berhenti sejenak di ambang ruang makan.
Biasanya, pada jam seperti ini, Sofia akan sibuk di dapur dengan pakaian rumahnya yang lusuh, memastikan sarapan mereka siap dan sesuai selera. Namun, pagi ini, yang mereka lihat justru sesuatu yang tidak biasa.
Sofia duduk santai di meja makan, mengenakan pakaian yang rapi dan elegan. Rambutnya yang biasanya diikat seadanya kini tertata rapi. Di tangannya, ia memegang segelas jus segar sambil dengan tenang membaca majalah, seolah tidak ada beban yang perlu ia pikirkan.
Dan yang lebih mengejutkan—hanya pembantu yang sibuk menyiapkan sarapan.
Mikaila yang pertama kali angkat bicara. "Mama, kok Mama nggak masak?" tanyanya dengan dahi berkerut.
Sofia tetap fokus pada majalah di tangannya, tidak segera menjawab. Setelah beberapa detik, tanpa menoleh, ia menjawab dengan nada datar, "Buat apa? Ujung-ujungnya tetap diprotes."
Ruangan seketika sunyi.
Robin menatap istrinya dengan tatapan tajam. Nada suara Sofia terdengar berbeda. Tidak ada kelembutan. Tidak ada usaha untuk menyenangkan mereka seperti biasanya.
"Kamu kenapa, Sofia?" suara Robin terdengar dingin, seperti biasa.
Sofia akhirnya menoleh, menatap suaminya dengan ekspresi tenang, tanpa emosi. "Aku hanya lelah," katanya ringan. "Aku ingin bersantai."
Robin menyipitkan mata. Ada sesuatu yang terasa aneh, tapi ia tidak ingin membuang waktu untuk mempermasalahkannya lebih jauh.
Saskia, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. "Lalu mana jus detoksifikasiku?" tuntutnya dengan nada tajam.
Sofia tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam senyumnya. "Tunggu. Pembantu yang buat," jawabnya santai sebelum kembali menyesap jusnya.
Lagi-lagi, keheningan menyelimuti ruangan.
Mereka tidak tahu harus berkata apa. Ini bukan Sofia yang biasanya mereka kenal—wanita yang selalu sigap melayani, yang selalu mengutamakan mereka di atas dirinya sendiri.
Namun, karena mereka juga tidak punya waktu untuk mempermasalahkannya lebih jauh, akhirnya mereka hanya duduk di kursi masing-masing dan mulai sarapan.
Tapi di dalam hati mereka, ada satu pertanyaan yang berputar-putar.
Apa yang terjadi dengan Sofia? pikir mereka.
****
Setelah rumah akhirnya sepi, Sofia mengambil tasnya dan pergi. Kali ini, bukan untuk mengurus orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri.
Sofia mengendarai mobilnya menuju rumah sakit, sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak lama. Selama ini, setiap kali sakit, ia selalu menunda pergi ke dokter karena terlalu sibuk mengurus keluarga yang bahkan tidak peduli padanya.
Setelah tiba di rumah sakit, Sofia mengambil nomor antrean dan menunggu dengan sabar. Begitu namanya dipanggil, ia masuk ke ruang pemeriksaan dan menjalani serangkaian tes.
Dokter menatapnya dengan tenang. “Hasil pemeriksaannya akan keluar dalam satu sampai tiga hari, Bu Sofia. Kami akan menghubungi Anda begitu hasilnya siap.”
Sofia mengangguk. “Baik, Dok.”
Setelah keluar dari rumah sakit, wanita dewasa itu memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia merasa perlu menyegarkan pikirannya, jadi ia pergi ke mal.
Berjalan-jalan tanpa beban adalah sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan. Biasanya, ia datang ke mal hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga—membeli pakaian untuk suaminya, perlengkapan kuliah Reno, atau kebutuhan Mikaila. Tapi kali ini, ia berbelanja untuk dirinya sendiri.
Saat melewati sebuah toko alat seni, matanya tertarik pada rak yang penuh dengan perlengkapan menggambar. Jari-jarinya menyentuh pensil dan buku dengan lembut. Dulu, mendesain baju adalah hobi yang ia cintai, tetapi sejak menikah, ia tidak pernah punya waktu untuk itu lagi.
Tanpa ragu, Sofia mengambil beberapa perlengkapan dan membawanya ke kasir.
Namun, saat ia berbalik, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang menabraknya.
Bruk!
Sofia hampir kehilangan keseimbangan, tetapi seseorang dengan sigap menahannya.
Saat Sofia menoleh, ia mendapati seorang gadis remaja berdiri di depannya. Gadis itu memiliki wajah yang sangat familiar—begitu familiar hingga Sofia merasa seolah sedang melihat pantulan dirinya di masa muda.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah ketika gadis itu menatapnya dengan mata berbinar dan berkata dengan suara penuh emosi, “Mommy?”
Sofia tertegun.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Dia tidak mengenal gadis ini. Tidak mungkin ia mengenalnya.
Dengan alis berkerut, Sofia menggeleng pelan. “Mungkin kamu salah orang, Nak."
Gadis itu tampak berkaca-kaca matanya, lalu menoleh ke seorang pemuda yang berdiri di dekatnya. Pemuda itu, yang terlihat lebih dewasa dan memiliki aura tenang, dengan cepat memberi kode pada gadis itu.
Sofia tidak melewatkan isyarat itu.
Seolah memahami kesalahannya, gadis itu langsung menundukkan kepala dan meminta maaf dengan gugup. “Maaf, Tante. Aku salah orang.”
Pemuda di sampingnya ikut membungkuk sedikit. “Maaf atas ketidaksopanan adik kembar saya.”
Sofia menatap mereka berdua dengan rasa penasaran yang semakin besar. Siapa mereka? pikir Sofia
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!