NovelToon NovelToon

Asmara Jajar Genjang

PROLOG

Jika diharuskan untuk memilih terlahir dari keluarga kaya atau miskin, bagi Art Tara Biancasandra lebih memilih terlahir dari sebuah timun.

Kaya tidak selamanya membuahkan kebahagiaan, miskinpun tidak menjamin sengsara. Namun, baginya kaya ataupun miskin sama saja seperti hidup di neraka, terbukti dari keadaannya selama dua tahun ke belakang ini setelah ia memiliki seorang ibu tiri.

Sang ibu tiri selalu berlaku kejam terhadapnya meski tidak pernah bermain tangan sedikitpun. Namun, seluruh siasat busuknya selalu saja membuat hidupnya menderita.

Demi menjaga harta warisan dari sang ayah yang tidak pernah di inginkannya sama sekali, ia rela menukar kebebasannya kepada sang ibu tiri kejamnya. Ia melakukannya bukan hanya untuk kepentingan pribadi sahaja, melainkan demi kedua adik perempuannya yang jua memiliki nasib nahas serupa.

Sesungguhnya ia ingin memilih hidup seorang diri tanpa adanya orang tua. Sebab sedari dulu ibu kandungnya pun tak ayal memperlakukan dirinya bagai anak pungut.

Tiada pilihan yang lebih meyakinkan untuknya jika saja hidup bersama mereka. Maka setiap detik di hadapannya adalah penantian dari bara api neraka. Sebuah tempat yang dibangun oleh seluruh orang tuanya sendiri.

Kini pintu neraka itu terbuka, semuanya berawal dari malam ini. Wajah langit yang terlihat lebih cerah dari bisanya, terhias indah dari taburan bintang di atas sana.

Sang rembulan bersinar terang mengiringi hati riangnya, saat menerima tawaran dari sang ibu tiri untuk melepas kebebasannya, melepas rasa bahagianya di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas.

Tara kini tengah merayakan pesta ulang tahunnya yang ke tujuh belas bersama dua sahabat wanitanya di dalam sebuah tempat hiburan malam. Sengaja ia memilih tempat tersebut hanya untuk aksi pemberontakan terhadap ibu tirinya semata.

Sang ibu tiri biasanya selalu mencegah dirinya menginjak tempat ramai pada malam hari. Tapi kini, entah mengapa dia mengizinkannya untuk mengunjungi tempat tersebut, bahkan memaksanya dengan memberikan bekal yang lebih dari cukup.

Mendapatkan persetujuan ibu tiri kejinya, tanpa berpikir lebih ataupun curiga, Tara menerima keputusannya.

Tepat pada pukul 21:57, seorang wanita berpakaian minim bahan menghampirinya dan duduk di sampingnya.

"Ra lo cuma punya waktu sampe jam sepuluh aja," ujar Vira merajuk, tatkala melihat adik tirinya telah tertunduk menumpukan kepalanya di atas meja, seolah wanita itu merasa lelah tiada terkira.

Tara mengangkat wajahnya, menatap wajah adik tirinya dengan matanya yang tinggal separuhnya terbuka. "Gue tau itu."

Ia sudah berada di ruang bising itu hampir dua jam lamanya, dan selama itu pula ia berhasil meneguk minuman beralkohol dengan jumlah yang tak sedikit. Hingga separuh dari keadaanya sedikit memudar.

"Balik aja yuk Ra," ajak Fiona kepada sahabatnya.

Fiona mengetahui jika sang sahabat melanggar perintah ibu tirinya, maka suatu bencana besar akan menimpanya, maka dari itu ia memastikan semua tidak akan terjadi lagi jika dirinya mampu mencegahnya.

Biasanya, sang ibu tiri selalu mengekangnya di dalam rumah agar dirinya dapat berpusat pada pelajaran saja, tidak di perbolehkan bermain dengan kawanannya, bahkan tidak di perbolehkan keluar rumah jika waktu telah menunjukkan pukul enam sore.

"Udah jam sepuluh ya?" tanya Tara memastikan.

Ia tidak mempercayai jika waktu dua jam begitu singkat dirasanya, kala perasaan bahagia membuncah dari dalam angannya.

Fiona mengangguk membalas pertanyaan sahabatnya yang telah menatapnya penuh picingan.

Sedangkan Vira segera meraih gelas berisikan minuman milik kakak tirinya yang terletak di atas meja bundar di hadapannya, kemudian ia memberikan gelas itu kepada kakak tirinya.

"Buat perpisahan kita," ujar Vira di sertai senyum manisnya.

Tara tidak berkata, ia segera meraih gelas yang masih tersodor dari tangan adik tirinya. Namun, Fiona segera mencegahnya dengan merebut paksa gelas itu, hingga isinya hanya menyisakan separuh saja.

"Udah ga usah minum lagi, liat muka lo udah kaya kepiting rebus," ujar Fiona.

Tara berdecak sebal, ia tidak terima akan pencegahan sahabatnya, sehingga ia berusaha merebut kembali gelas yang berada pada genggaman sahabatnya itu.

Namun, sangat disayangkan, ketika serangan alkohol menjalar ke setiap urat nadinya, gerakan tubuhnya semakin melemah hingga kesulitan untuk meraih gelas itu.

“Sekali lagi please.” Tara merajuk hingga membuat kedua telapak tangan saling bersentuhan di depan dadanya.

Fiona menggelengkan kepalanya, ia tidak dapat menolak keinginan dari pintanya yang merajuk dengan menunjukkan wajah gemas. Namun, tetap saja ia menjauhkan gelas itu dari arah tangan sahabatnya yang kini kembali ingin merebut gelas itu.

“Kasih aja Fi, kapan lagi dia bisa kaya gini,” ucap Vira seolah membantu kakak tirinya untuk mendapat keinginannya, nyatanya di balik itu ia menyimpan siasat busuk yang telah diaturnya sejak sore tadi.

“Iya Fi kapan lagi gue bisa kaya gini,” sambung Tara kembali merajuk.

Fiona mengabaikan permintaan itu, pikirannya berpusat pada wajah Vira yang terlihat gelisah itu. Fiona bukan gadis bodoh, ia dapat mencerna isi di balik senyuman penutup rasa cemas itu.

Sementara Fiona berpusat pada pikirannya, dengan mudahnya Tara merebut gelas minuman dari tangan sahabatnya, hingga dengan tergesa ia menegak seluruh isi dari gelas itu.

Sudah terlambat bagi Fiona mencegahnya, sebab tara sudah berhasil meneguk habis minumannya. Tak ada lagi daya selain mengajaknya keluar dari tempat itu.

Hingga pada akhirnya, tiga wanita berparas jelita itu hilang dari kerumunan para insan yang masih asik menikmati suasana malam.

Sepuluh menit berlalu dari kepergian tiga gadis itu, dua orang pria menggantikan posisi mereka yang duduk di atas kursi bekas penampung tubuh para gadis itu.

Jackson Jor dan Charington, salah satu dari pria itu telah memesan tempat tersebut sebelum kedatangannya ke sana, karna mereka mengetahui bahwa pada sabtu malam tempat tersebut akan ramai oleh para pengunjung.

Seolah sudah ada dalam skenario hidupnya, tepat saat ia akan memanggil seorang pelayan setempat, sang pelayan telah menghampirinya terlebih dahulu membawakan segelas minuman beralkohol ringan yang tertata rapih di atas nampan.

Jackson menjanggal akan hal itu hingga ia menatap sang pelayan dengan sorotan tajamnya.

“Buat siapa itu?” tanya Jackson.

“Seseorang memberikannya untuk anda tuan,” sahut sang pelayan pria itu.

“Siapa seseorang itu?” Kembali Jackson bertanya sebelum mendapat kepuasan untuk jawabannya.

Sang pelayan tidak menjawab dengan perkataannya, ia hanya memberikan secarik kertas berisikan pesan di dalamnya kepada Jackson.

Jackson pun bungkam kala ia meraih kertas itu, tanpa bicara ia membaca pesan di baliknya. Rupanya sudut bibirnya terangkat jauh menyiratkan senyuman nakalnya kala melihat nama ayahnya tertera di sana.

“Buat dia ternyata,” ujar Jackson dengan maksud bermonolog sahaja. Namun, rupa-rupanya sang sahabat yang duduk di sampingnya sudah bisa mendengar dengan jelas.

“Siapa dia?” tanya Kelvin begitu penasaran hingga merebut kertas itu dari tangan sahabatnya.

Kelvin pun tersenyum simpul setelah melihat isi di balik kertas itu, tak heran baginya melihat pemandangan itu, tatkala mengingat jika ayah dari sahabatnya bekas pria yang gemar mempermainkan hati wanita.

Kali ini mereka tidak mengetahui siasat di balik minuman itu, hingga tanpa ragu Jackson menegak minuman itu hingga habis tak bersisa.

Sementara Kelvin memesan minuman kepada pelayan yang masih berdiri di tempat.

Hingga sepuluh menit berlalu, tubuh Jackson mulai terasa lain dari biasanya. Dahinya mulai berpeluh kecil serta rasa panas dari hawa yang menyebar perlahan ke seluruh tubuh.

Kelopak matanya terasa berat untuknya tetap terbuka, bahkan kini tubuhnya gemetar samar seolah menahan rasa lemasnya.

Kala sebuah rasa bergejolak menembus ubun-ubunnya menginginkan sentuhan dari seorang wanita, ia baru tersadar jika minuman yang telah di tegaknya mengandung secercah racun di dalamnya.

Sudah tidak dapat di tahannya lagi, ia bergegas meninggalkan waktu setempat tanpa berpamit kepada sahabatnya.

Sementara Kelvin telah menyadari tingkah lain dari sahabatnya itu, hingga ia membiarkan kepergiannya tanpa ingin menyusul.

Keadaan tubuh Jackson telah mencapai batas kekacauan tertinggi, hatinya merancu mencari jalan keluar yang akan di lakukannya selanjutnya.

Setelah berpikir keras, ia pun mengingat bahwa tempat yang kini menjadi pijakan kakinya memiliki ruang untuk mengistirahatkan sejenak tubuhnya.

Ia sudah tidak dapat melihat situasi lain lagi, di pikirkannya kini hanya sesegera mungkin untuk memesan sebuah kamar pada hotel yang tersedia di sana.

Tidak pernah terpikirkan olehnya, jika gagasan tujuannya kali ini akan membuahkan suatu kenikmatan. Yang mana itu akan menyeret batinnya pada kesengsaraan di lain waktu.

Tbc

AJG 01

Secercah cahaya menyelinap masuk di sela gorden kamar hotel berbintang empat di pagi itu, menerobos menusuk penglihatan Tara yang baru saja melepas rekatan kelopak matanya.

Jiwanya terkumpul tanpa jeda kala melihat seorang pria tampan terbaring di sampingnya, membuat kerancuan bergejolak dalam kalbunya kala melekatkan pandangannya yang tertuju pada tubuhnya di balik selimut tipis putih itu, jiwanya seolah melayang dari raganya saat ia menyingkap selimut itu menampakkan tubuhnya serta tubuh sang pria yang tidak terbalut satu helai benangpun.

Semuanya telah terjadi!

Kejadian tragis ini tak membuatnya menyesal sekalipun bayangannya begitu nyata membekas dalam ingatan. Ia hanya memikirkan jalan keluar untuk menghadapi hal selanjutnya.

Wajah kusut selepas bangun tidur, ia tambah dengan ekspresi bringsut. Posisinya belum berubah, ia masih duduk di atas kasur sambil merenung. Tempat ini telah menjadi saksi akan kegairahannya semalam.

Noda merah melekat pada sprei berwarna putih, sebagai tanda bahwa sesuatu memang telah terjadi kepadanya tadi malam.

Perasaannya kalut tak dapat dijelaskan, bersamaan angan melayang dan harapan sirna. Ia ingin melampiaskan kemarahannya pada siapapun. Entah itu nasib sialnya ataupun perlakuan kedua orang tuanya.

Sayangnya, ia hanya melampiaskan semuanya kepada lelaki yang berada di sampingnya kini.

Plak!

Tanpa perasaan ia menampar lelaki yang memiliki lesung di pipinya. Batas kekuatan tenaganya membuat pria itu terkejut, hingga terperanjat dari alam bawah sadarnya.

"Hei–" ujar Sang pria terpenggal sambil mengusap pipinya lembut, ia harus meresapi rasa sakit dari sarapan paginya hari ini.

"Kamu bren*sek!" umpat Tara memekik menyayat telinga sang pria, hingga pria itu melenguh mencari cara untuk menepis emosi yang tergambar jelas dari wajah kemerahannya.

"Kamu lupa sama kejadian semalem?" tanya sang pria penuh waspada, hingga ia berucap penuh kelembutan hati dengan gerakan tangannya yang mengusap lengan sang wanita, setelah ia bringsut untuk duduk di samping wanita itu.

Tara merenung, memutar ingatannya menuju semalam lalu, saat terakhir kalinya ia masih memiliki kesadaran. Bibirnya menyeringai keji mengingat suatu perbuatan sadis saat malam kemarin.

Saat perjalanan pulang menuju kediaman orang tuanya malam tadi, tiba-tiba seluruh kesadarannya menghilang begitu saja di tengah perjalanan.

Dari sanalah ia mulai menerka jika adik tiri serta ibu tirinya telah melakukan perbuatan keji terhadap dirinya kini.

"Apa udah inget?" sapa sang pria mencabik lamunan sang wanita.

Seketika Tara diam membeku, lidahnya terasa kelu, dendam mulai merasuk ke dalam asmanya, akan tetapi bukan kepada pria itu. Kemudian ia mengangguk menjawab pertanyaan itu meski tidak sepenuhnya benar bahwa masih ada sesuatu yang tidak di ingatnya.

"Aku pasti tanggung ja–"

"Aku ga butuh itu!" potong Tara secepat angin topan melalap isi dunia. Mengingat tidak mungkin ia dapat membalaskan dendamnya kepada inu tiri serta adik tirinya untuk kejadian memilukan semalam tadi, jika ia di haruskan menikah dengan seseorang.

Sang pria merasa lega setelah mendengar pernyataan itu. Namun, rasa iba menyeruak dari dalam benaknya, jika membiarkan wanita berwajah lugu itu menanggung akibat atas perbuatannya.

"Kamu ga mau terima niat baik aku?" Pria ini memandang heran sekaligus tidak percaya akan penolakan dari wanita yang kini berada di sampingnya.

"Bukan, aku punya alasan sendiri," sahut Tara menyerukan lirihannya. Wajahnya menggambarkan pesona cantik terbalut nasib memilukan.

Seharusnya, ia menerima saja penawaran dari pria itu. Sebab, tak ada lagi tempat untuknya bernaung kini, mengingat jika ibu kandungnya telah memiliki tambatan hati.

Nasib sial ini telah menimpa dirinya sejak pengkhianatan sang ibu terhadap sang ayah. Sehingga ia harus mempertimbangkan pilihan satu di antaranya.

Dering alat panggilan jarak jauh dari dalam tas slempangnya sesaat melerai suasana tegang. Tangannya segera meraih benda itu dari atas nakas si samping kirinya.

Tanpa ragu ia menjawab panggilan setelah mengetahui siapa yang menyambut awal harinya.

"Ya pah?"

"Kembali kamu sekarang juga, atau papa akan membunuhmu!" ancam sang ayah di sebrang sana membuat gerakan tangan Tara reflek menjauhkan benda itu dari telinganya. Ia tak mampu mendengar suara penuh emosi memekik pendengarannya itu.

Sang pria sadar betul dengan tindakannya semalam, ia kemudian beranjak menuju kamar mandi meninggalkan wanita yang kini tercoreng olehnya. Berharap tetesan air mampu meredam semua rasa penyesalan.

Tara mengabaikan kepergian sang pria yang tengah hilang sepenuhnya dari hadapannya itu kala jawaban darinya di nanti sang ayah di sebrang sana.

Dan saat ini, terbersit rasa ingin membalaskan dendam terhadap ayahnya sesegera mungkin.

Inilah saatnya!

Ia kemudian melepas semua emosi yang selama ini diredamnya. Waktu pada akhirnya mendorong dirinya untuk melakukan tindakan ini.

"Kenapa aku harus pulang, biar kalian bisa nindas aku lagi?" sahut Tara berseru keji dengan nada bicara penuh emosi.

Baru kali ini ia berani menimpali ucapan sarkas terhadap ayahnya. Suara dan perkataan yang selalu di dapatinya setiap hari selama dua tahun ke belakang ini.

"Anak durhaka kamu Tara, kamu tau kalau kamu ga pulang maka kamu akan kehilangan seluruh warisan dari papa?" ancam sang ayah kembali berseru murka, akan tetapi terbengkalai tatkala sang anak tak acuh mengabaikannya.

"Aku ga perduli!" putus Tara pekat di iringi helaan napas dalamnya mewakili rasa lega.

Setelah dua tahun ia memendam amarah pada ayahnya, kini terlepas sudah walaupun hanya sekadar ucapan sadis yang terlontar, tanpa berpikir panjang bahwa ayahnya akan tersinggung.

"Aku juga akan bawa adik-adik aku," imbuh Tara di kala ingatannya terlintas sebuah bayang dari nasib kedua adiknya kelak, jika ia meninggalkannya.

Itulah alasan ia bertahan selama dua tahun menjual kebebasannya pada harta warisan, yang selalu menjadi ancaman hidup dari ayahnya.

"Kamu, apa tidak terlalu kurang ajar bicara begitu pada papa kamu?" seru sang ayah melembut, akan tetapi pedas kalimatnya masih tersirat keji. Sehingga membuat sang anak membisu dalam senyuman miris penuh lukanya.

Siapakah yang lebih kurang ajar, apakah ayahnya mengetahui penderitaannya selama dua tahun ini? Akibat dari keegoisan untuk membalaskan dendam pada ibu kandungnya. Wanita yang sudah mengkhianatinya dengan menyanding seorang pria yang lebih kaya darinya.

Apakah ayahnya peduli dengan jeritan batin dirinya yang selalu mendapat penghinaan dari ibu tiri?

Untuk kali ini, ia pastikan jika nasib sial itu akan menimpanya untuk yang terakhir kalinya dari ibu tirinya yang selalu berulah itu.

Kejadian tragis kali ini sudah tidak dapat termaafkan lagi olehnya hingga ia menaruh dendam laknat yang pekat tidak mampu di hindarkan di baliknya.

"TARA!" bentakan sang ayah itu malah kian menyulut api emosinya, hingga tanpa ragu Tara menyerukan keinginan yang akan membuat sang ayah murka di sana.

"Kembalikan adik-adikku sama mamaku," seru Tara berteguh diri mengambil keputusan tanpa menimang resiko yang akan di dapati di kemudian hari, yang ia pikirkan saat ini hanyalah segera menjauh dari pasangan kejam itu.

"Kalau kamu mau kehilangan harta warisanmu, kamu jangan mengajak adik-adikmu Tara," balas sang ayah meronta tidak terima jika anak sulung yang biasanya paling penakut itu kini berani menimpalinya.

"Aku mampu!" sahut Tara berteguh hati terpampang dari nada bicaranya yang tegas. "Aku akan membahagiakan mereka dengan kedua tanganku sendiri!" ikrarnya seolah tidak mempedulikan kesulitan di kemudian hari.

Sunyi hingga beberapa menit ke depan Tara tidak lagi mendengar bentakan serta ucapan sarkas ayahnya, sepihak ia pun mengakhiri panggilannya.

Tepat kala alat media itu tergeletak di atas tempat tidur, pria tadi kembali menampakkan diri di hadapannya.

"Berapa yang kamu minta?" tanya sang pria tanpa basa-basi saat ia tengah kembali dengan tubuhnya yang sudah terbalut pakaiannya.

"Aku ga jual diri!" tepis Tara sebagai balasan pada pria yang telah menatapnya penuh kejut itu, membuatnya mendongkakan kepalanya, menatap pria yang sudah berdiri gagah di sampingnya. "Kamu tau di mana baju aku?"

Sang pria menghela napas dalamnya, ia menemukan wanita ini tadi malam dalam kondisi mengenaskan. Dimana ia tahu jika wanita ini telah kehilangan busana yang tengah dikenakannya.

"Tunggu di sini, aku bantu cari baju kamu," putus sang pria berniat akan membelikan busana baru untuk Tara.

"Siapa yang sudi keliaran tanpa baju?" Tara meruntuk dalam delikan matanya, akan tetapi membuat sang pria terkekeh gemas.

Tanpa menunggu jawaban, sang pria bergegas meninggalkan Tara seorang.

Beberapa jam kemudian, sang pria telah kembali dengan apa yang di butuhkan sang wanita. Tanpa menunggu ia menyerahkan bungkusan plastik yang di bawanya kepada Tara.

Bukan hanya itu, iapun memberinya obat untuk lukanya di sana. Meski tak terlihat, akan tetapi sang pria yakin bahwa wanita itu mendapat luka akibat kegairahannya semalam tadi.

Tanpa bertanya, Tarapun bukan wanita bodoh yang tidak tau apa yang di berikan sang pria, ia hanya menganggukkan kepala kemudian bergegas menuju kamar mandi, meski bersusah payah dalam langkah goyahnya atas luka yang di dapatinya.

Sang pria beranjak cemas pada langkah kaki yang terlihatnya begitu menyakitkan itu, hingga ia meraih pergelangan tangan wanita itu. "Saki–"

"Diem di sana atau aku teriak?" ancam Tara dalam ringisan menahan perih. Sang pria lantas melepaskan genggaman tangan itu usai mendengar ancaman dari wanita di hadapannya seraya mengembalikan napas kasarnya.

Hingga pada akhirnya mereka saling merenung pada tempat yang terpisah di mana Tara melamunkan keluhannya di bawah guyuran air, sang pria duduk gelisah di atas kursi yang tersedia di sana.

Beberapa menit kemudian Tara kembali, tubuhnya telah terbungkus busana yang di berikan lelaki itu, hingga ia percaya diri untuk menghadap sang pemberi kenikmatan yang membuatnya mendapat nasib buruknya.

"Kamu bisa cari aku seandainya butuh sesuatu," tawar sang pria mengulurkan tangan memberikan sebuah kartu tanda pengenal. Hal itu di sambut wanita di hadapannya dengan segera meraih dan melirik isi di baliknya.

"Jackson Jordan Charington," tutur Tara membaca dengan lantang, sebuah nama tertulis di atas secarik kertas itu membuatnya menyerukan tawa kecilnya kala ia menilik wajah yang bergaris asia.

Batinnya berseru konyol tentang nama barat yang tercantum di kartu pengenal itu, tak layak disandang oleh wajah bergaris asia ini.

"Hmm." Sang pria hanya mendeham membenarkan ucapan itu kala Tara menyebut namanya.

"Kamu ga usah tau siapa aku," balas Tara percaya diri kemudian menyerahkan kembali kartu tanda pengenal itu pada pemiliknya. "Bisa ga aku minta uang buat ongkos taxi?" Pesonanya tampak merah setelah mengatakan kalimatnya dengan malu-malu.

"Aku anter aja," tepis sang pria tat kala rasa cemas yang tersulut dari penyesalan yang masih terpendam dalam ingatannya.

"Ga!" Tara menolak tegas sebab ia sendiri belum mengetahui arah tujuannya. Hal tersebut membuat sang pria mendengus kesal tidak mempercayai bahwa wanita ini menolak segala yang dia tawarkan.

Namun, sang pria memutuskan untuk mengabulkan keinginan wanita itu demi menebus dosa besar yang telah di perbuatnya pada wanita yang telah menatap harap di hadapannya.

Ia pun merogoh saku celananya, meraih dompet lantas menyerahkan selembaran kertas berwarna merah pada wanita yang telah tersenyum menyambut uluran tangannya.

"Terimakasih," ujar Tara dalam senyuman manis dan pergi tanpa pamit. Ia berlalu begitu saja dari hadapan pria itu.

Senyuman itu adalah senyuman manis untuk pertama dan terakhir kali Jackson melihatnya, membuatnya kian mendengus meresapi penyesalan yang di rasa tidak akan kunjung berakhir.

Kepergian wanita itu menjadi sebuah kehilangan bagi dirinya, penyesalannya kian mendalam, ia menyerukan siasatnya dalam benaknya.

Berniat akan mencari tau siapa wanita itu suatu hari nanti. Tepatnya jika ia sudah memiliki sebuah kedudukan tinggi yang di janjikan ayahnya.

Kini waktu belum mengizinkannya memiliki takhta yang akan mempermudahnya memiliki kekuasaan dalam negeri.

Ia berjanji, suatu saat nanti ia akan menemukan wanitanya kembali, bagaimanapun caranya, apapun alasannya ia harus menemukannya.

Namun, ia mendengus kembali memikirkan bahwa wanita itu tidak akan sanggup menunggunya dalam waktu tiga tahun ke depan.

Bukan!

Seharusnya ia mengatakan itu pada dirinya sendiri, ia berharap jika dirinya yang dapat bertahan selama tiga tahun ke depan untuk mendapat takhtanya pada waktu yang telah di tentukan ayahnya.

Namun, ia tersenyum pekat saat ia mempercayai dirinya sendiri, dengan otak cerdik serta sosoknya yang menarik itu akan mampu dengan mudah memiliki kedudukannya secepat mungkin.

Tbc

AJG 02

Tak jauh berbeda dengan Jackson, Tara mengatur rencana untuk mengatasi masalah kehidupan kelak. Dia yang berada di dalam kendaraan umum, duduk bersama kedua adiknya. Sedangkan si bungsu terpejam dalam pangkuannya, adik pertamanya hanya terdiam membisu duduk di sampingnya.

Perjalanan yang mereka tuju memang cukup jauh. Tara bermaksud untuk menyerahkan kedua adiknya pada sang ibu, yang keberadaannya di luar kota.

Akan lebih baik demikian, kedua adiknya biar tinggal bersama ibu kandungnya saja. Dengan harta kekayaan, Tara bisa membujuk agar dia berlaku baik pada kedua adiknya.

Bagaimanapun juga ia telah mengucap ikrar pada ibu dan ayahnya untuk memberikan kehidupan layak kepada kedua adiknya.

"Kak, apa mama udah terima kita?" tanya Keyla pada kakaknya untuk emastikan nasib dirinya tidak akan sama seperti sebelumnya, dimana ia pun menerima perlakuan memilukan dari ibu tirinya.

Tara tersenyum membalas tatapan lirih itu, kemudian ia mengusap puncak kepala adik bungsunya yang berada dalam pangkuannya. Dengan percaya diri ia berkata, "Kakak janji buat itu! Membeli seluruh kebahagiaan kalian."

Gadis berusia dua belas tahun dengan nama Keyla itu tersenyum, bahwasannya dia sangat bahagia mendengar ucapan kakaknya.

Keyla menggantungkan hidupnya pada Tara. Selama empat tahun ini memang seperti demikian, akan tetapi yang diinginkan kini hanya keluar dari sarang macan kediaman ayahnya itu.

Getar ponsel milik Tara memotong pembicaraan mereka. Sesegera mungkin ia menjawab panggilannya, hingga untuk sejenak tak menyahut dulu wajah cantik terbalut lirih di sampingnya itu.

"Ra, apa benar kamu bawa adik-adik kamu ke sini?" tanya sang ibu, tanpa berbasa-basi setelah panggilannya terangkat.

"Ya mah, aku udah di perjalanan, mungkin bentar lagi sampai."

"Tara! Kamu mau kehilangan warisan–"

"Tenang aja lah mah, aku pasti tanggung jawab buat itu," penggal Tara tanpa dosa, tatkala batinnya sudah menerka jika sang ibu mengkhawatirkan harta kekayaannya.

"Itu kamu yang bilang, mama ga–"

"Udahlah mah, mama lihat aja nanti." Kembali Tara menginterupsi, membuat sebuah dengusan terdengar di balik panggilannya.

"Apa yang kamu pikirkan Tara?" Sang ibu frustasi, terdengar dari nada bicaranya yang emosi, sehingga membuat sang anak menyeringai jijik tanpa bisa dilihatnya.

"Aku mau tinggal sama Kak Jasmeen di Jakarta, kalian hidup dengan damai aja di sana." keputusan Tara agaknya ragu-ragu, ada sebuah dilema yang tiba-tiba merangkak masuk menggoyahkan keyakinan. Sejujurnya ia pun tidak tahu apakah ini keputusan benar atau tidak.

"Kamu mau kerja?"

"Ya!" singkat Tara penuh lirihan dalam otaknya yang masih berputar memikirkan cara untuk menjalani kehidupan tragisnya mulai detik itu.

"Di mana? Berapa penghasilannya?" tanya sang ibu tak acuh dan mengabaikan keadaan anak yang seharusnya di khawatirkan olehnya.

"Belum tau!" sahut Tara mulai emosi hingga nada memekik tertutur darinya. "Mama bisa ga mama cukup urus anak-anak mama aja?" imbuhnya kian melenting membuat telinganya kembali mendengar dengusan kasar dari pada panggilan yang masih tersambung itu.

"Baiklah, kamu sudah janji Tara!" sang ibu menerima keputusannya meskipun sedikit melenguh frustasi.

Sebenarnya, ia menginginkan sang anak menjadi aset kekayaannya. Namun, jika sang anak hanya bekerja di tempat orang lain, ia akan kehilangan secuil harapan.

"Aku tau itu." Tara sudah tidak mampu lagi berucap, hingga ia berkata asal saja dalam menyahut sampai memutuskan panggilan sepihak.

Selalu demikian, ibu kandungpun tak ayal memperlakukannya seolah ia bukan anaknya, karena sipat tamak ibunya lah yang membuahkan petaka bagi seluruh anaknya.

Tara merenung kembali setelah panggilan terputus. Batinnya murka saat mengingat sipat serakah ibunya. Ia akan semakin kesulitan, jika sang ibu enggan memberikan sedikit saja harta dari kehidupan mewahnya yang didapat dari kekasih barunya itu.

Jika demikian, semua akan menjadi lebih merepotkan bahkan menyudutkannya untuk membuktikan kepada sang ayah jika ia mampu menepati janji yang telah terikrar dengan pasti untuk membahagiakan kedua adiknya.

*******

Setelah mengantar kedua adiknya menuju kediaman ibunya, Tara kini berada di balik pintu kediaman seorang saudara yang akan di jadikan sebagai tempat perlindungan untuk sementara.

Sebelum ia mendapat pekerjaan yang layak, ia belum mampu mencari tempat tinggal untuk dirinya sendiri. Hingga saat lalu, ia pun memutuskan untuk menggantungkan diri kepada seorang wanita bernama Jasmeen Shanaya.

"Kamu berantem lagi sama ibu tiri kamu?" tutur Jasmeen menyambut kehadiran sepupunya yang sudah berdiri di balik pintu masuk rumah mewahnya.

"Kak Jas, mulai sekarang aku pasti banyak ngerepotin kakak," balas Tara tidak enak hati jika wanita yang tersenyum di hadapannya akan kembali di recokinya dengan permintaan bantuannya.

"Masuk dulu, aku ga suka ngobrol di depan pintu," ajak Jasmeen memaksa, hingga ia merangkul bahu Tara, membawa masuk ke dalam rumah kediamannya dalam tuntunan langkah kaki.

Kepiluan hatinya kembali terusik dalam langkah kakinya ini. Keputusan yang telah diambil kini sudah dipikirkan dengan matang selama perjalanan tadi. Tidak ada seorang pun mampu membantu dirinya kini, hanya Jasmeen satu-satunya harapan. Mengingat bahwa ia pun tak begitu dekat dengan saudara-saudara yang lain.

Dia, Jasmeen Shanaya anak dari kakak ibu tirinya yang memiliki musuh sama dengannya yaitu Sonia Mareta sang ibu tiri, Jasmeen yatim piatu sejak usia empat belas tahun, kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

"Kamu yakin mau keluar dari rumah itu?" tanya Jasmeen penuh kesungguhan yang terpancar pada sorotan matanya memandang wanita yang telah duduk manis di atas sofa yang terletak di tengah ruang tamunya.

"Seratus persen!" sahut Tara sepenuh hati, tatkala dendam sudah tidak dapat terbungkam lagi. Namun, wanita di sampingnya justru menertawai tindakan bodohnya itu.

"Kamu berhasil bikin dia menang Tara," sahut Jasmeen terhenti kala melihat wanita di sampingnya tertegun memutar isi otaknya di sana.

"Kak Jas aku takut papaku ga akan ngasih adik-adikku tinggal sama aku," tutur Tara mengungkap isi hati yang menjadi renungannya sejak tadi, hingga ia melirih di balas gelengan penolak wanita di sampingnya.

"Kamu tau kalau caramu itu yang dia mau?" ungkap Jasmeen penuh misteri, sehingga membuat wanita di sampingnya menatapnya penuh rasa heran.

"Yang dia mau?" ulang Tara kian terheran-heran tatkala pikirannya sendiri tak mampu menyibaknya.

"Ya, ibu tiri kamu!" sahut Jasmeen di balas anggukan paham oleh wanita di sampingnya mengetahui jika sang ibu tiri ingin sekali menghempas dirinya dari kehidupan ayahnya. "Kamu ga usah cemas, aku yakin dia yang akan bujuk papa kamu, bukannya udah lama dia mau singkirin kamu?" imbuhnya kian membuat wanita di sampingnya mengangguk tegas.

"Kalo gitu, aku ga usah cari biaya buat ke pengadilan bukan?" seru Tara memperjelas maksud lawan bicaranya, lalu ia mendapat anggukan keras sebagai jawaban. "Oke kalau gitu aku ga akan khawatir buat hak asuh adik-adikku," imbuhnya di iringi senyum kemenangannya.

Itulah yang menjadi pertimbangan beratnya saat ini. Jikalau kedua adiknya akan kesulitan mendapatkan hak mereka. Sebab sang Ayah masih bersikeras hati memberikan harta warisannya kepada orang yang tidak memiliki ikatan sedarah.

Namun, batinnya kini mendapatkan firasat baik. Sikap serakah ibu tirinya akan menjadi bomerang tersendiri. Cepat atau lambat keserakahan akan membawanya keluar dari kediaman penuh sengketa milik ayahnya itu.

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!