NovelToon NovelToon

RomeoRize

You Broke Me First

Jika benar cinta datang karena terbiasa,

tapi kenapa saat aku mencoba membuat ‘dia’

terbiasa dengan kehadiranku ia malah membuat

aku patah hati sebelum waktunya?

--Rize--

“Kak” Rize yang sedari tadi menatap bekal yang ia buat untuk Romeo terbuang percuma, kini beralih pada punggung Romeo yang semakin menjauh. Ia memanggil seniornya itu.

“Apa lagi sih?” Kesal Romeo, ia benar-benar ingin menjauh dari Rize.

“Emang salah ya Kak, kalau aku suka sama kakak? Salah kalau aku minta deket sama Kakak?”

“Salah banget”

“Salahnya dimana Kak? Bagus dong kalau aku suka sama Kakak artinya kan aku normal” Balas Rize, untuk saat ini ia ingin mengungkapkan tentang isi hatinya. Masa bodolah jika ia dikatakan bucin.

Ia hanya tak ingin membuang-buang waktu untuk mengatakan apa yang ia rasa pada senior bad boy-nya itu.

“Tapi nggak sama gue juga Rize” Geram Romeo. Ia menatap tajam pada Rize yang sudah kelewatan batas.

“Terus sama siapa? Sama Kak Eza, Kak Sandy. Kak Arga, atau Kak Izzky?” Ucapan itu membuat sahabat-sahabat Romeo tersenyum. Jika Romeo tak menginginkan gadis itu, empat sahabatnya siap untuk mengulurkan tangan pada gadis yang kelewat baik itu.

“Sama siapa aja asalkan bukan sama gue” Balas Romeo.

“Kenapa? Kakak normal kan? Tetap suka sama cewek kan?”

“Iya, dan gue nggak suka sama cewek bawel kayak lo”

“Setahun lho Kak, udah setahun aku ngejar Kakak. Dan belum luluh juga? Hati kakak itu es atau batu sih?” Rize memberi keterangan waktu pada seniornya yang terus menajamkan tatapannya.

“Besi” Ucapnya sambil berlalu pergi.

“Kalau gitu aku bakal jadi api yang akan ngelelehin hati besi kakak itu”

“Bodo amat, gue nggak peduli” Seru Romeo saat mendengar ucapan dari Rize.

“Ternyata jarak kita terlalu renggang” Gumamnya.

Kelas XI IPS 1......

Jika benar cinta datang karena terbiasa, tapi kenapa saat aku mencoba membuat ‘dia’ terbiasa dengan kehadiranku ia malah membuat aku patah hati sebelum waktunya?

Kira-kira seperti itulah kata-kata yang dituliskan Rize pada buku diary-nya. Sekolahnya membuat seluruh kelas mendapatnya free class karena rapat para dewan guru.

“Ze, lo kenapa sih? Cemberut gitu?” Angel datang dan merengkuh bahu teman se-asramanya itu di susul oleh yang lain dan memenuhi meja Rize.

“Nggak usah buat mood gue tambah hancur deh Ngel. Gue lagi malas bercanda nih” Rize memilih untuk memainkan ponselnya.

“Ya, lo sih udah tahu Kak Romeo itu gimana, masih juga dikejar” Balas Nana yang kini duduk di sebelah Rize.

“Ah tahu ah, gue udah patah hati” Rize memilih untuk menelungkupkan kepalanya.

“Banyak kok cowok lain Ze, atau lo balikan aja sama Devano” Angel menggoda Rize. Devano adalah mantan pacar dari Rize.

“Devano? Ish ogah banget, gak ada rasa lagi gue sama dia” Ucap Rize dengan posisi yang masih sama.

“Emm, yang katanya udah gak ada rasa. Tapi masih juga chat-an tiap malam” Naomi ikut-ikutan menggoda Rize.

“Kan cuma chat-an Naomi, nggak usah lebay deh”

Drrt-drrt

“Eh bentar, Bunda gue nelpon nih” Rize bangkit berdiri dan menjauh untuk menjawab telpon dari Bundanya. Di tangannya terdapat ponsel dan juga buku diary-nya.

“Halo Bun...Apa?...Ta-tapi kenapa?....Ng-nggak Bunda pasti bohong kan? Bunda sama Ayah nggak bakal pisah kan?...Bunda bohong aku nggak percaya”

Tut-tut-tut

Karena tak ingin mendengar penjelasan yang lebih runtut, Rize mematikan sambungan secara sepihak. Air matanya sudah membasahi pelupuk matanya, ia memilih untuk berlari menuju taman belakang sekolah.

. . .

Perpisahan ini sudah mengakhiri pertemuan kita, cerita, suka-duka, pengalaman, kekeluargaan, dan derai tawa sudah berada pada masa berakhir dalam bentuk pernyataan bukan kenangan.

Di tengah air mata Rize yang menetes ia kembali menuliskan kaliamat di buku diarynya, ia menangis sesunggukan di bawah rindangnya pohon. Perceraian? Apakah keluarga hancur? Padahal saat terakhir kali ia berada disitu semua nampak baik-baik saja.

“Ck, berisik banget sih?” suara laki-laki itu membuat Rize tertegun ia menoleh pada asal suara, di balik pohon.

“Kalau mau nangis itu sama ke pemakaman, jangan nangis disini. Ganggu aja” Ucap laki-laki yang kini bangkit berdiri.

“Kak Romeo?” Sejak kapan laki-laki itu berada di pohon yang sama dengannya? Dan saling membelakangi?

Romeo menatap air mata Rize yang masih tersisa, “Lo kenapa nangis? Kesinggung sama ucapan gue? Bagus deh, kalau gitu gue minta lo untuk secepatnya menjauh dari kehidupan gue”

Rize ikut bangkit berdiri, ia menghapus mutiara cair itu, “Nggak Kak, aku nggak bakal ngejauh karena ada hal yang harus aku tuntaskan sebelum..sebelum” kata-kata tersendat karena kalimat yang seharusnya ia lontarkan terasa sangat kelu.

“Sebelum lo mati?”

Deg.

Mata Rize membulat mendengar tiga kata itu serta empat kata selanjutnya.

“Gue tetap nggak peduli” Romeo meninggalkan Rize yang kini kembali menangis.

Tak lama kemudian teman-temannya menyusul dan memeluk tubuh Rize, gadis itu sangat butuh perhatian. “Rize...”

Asrama....

Sejak tadi Rize hanya menutup matanya tetapi tidak tidur, berita tentang perceraian orang tuanya dan ucapan dari Romeo, semuanya terus terngiang-ngiang di telinganya. Apakah hidupnya harus serapuh ini.

“Ze, makan yuk” bujuk Angel yang sedari tadi menatap iba pada temannya itu. ia sudah mendengar semuanya tentang apa yang terjadi pada gadis wibu itu.

“Gue nggak lapar, kalian makan aja”

“Ayolah Ze”

“Kami ambilin makanan buat lo ya, gimana pun lo harus tetap makan suapaya gak sakit” Sakit? Ya dia harus makan agar ia tak jatuh sakit.

“Iya” Ucap Rize akhirnya. Bagaimana pun ia harus merawat tubuhnya walaupun keadaan hanya berpihak lima puluh persen padanya.

Teman-temannya menghela nafas lega setelah mendapat persetujuan dari gadis mungil itu. Lalu mereka keluar untuk mengambil makanan untuk Rize.

~Devano~

Devano : Ada waktu gak?

Me : Maaf Van, aku lagi gak enak badan

Devano : Kamu sakit?

Me : Gak enak badan itu artinya sakit kan?

Udah ya, aku mau istirahat

Devano : Gws ya

Rize menatap datar pada pesan terakhir yang Devano kirimkan padanya. Ia benar-benar tak semangat untuk bercanda. Dengan siapa pun. Hidupnya benar-benar hambar, mungkin ia benar-benar harus serius menjalani kehidupannya.

Tapi jangan terlalu serius juga. Ia menatap pada poster-poster anime yang tertempel di dinding. Ia menghela nafasnya lalu memainkan ponselnya ralat maksudnya menonton anime yang mungkin akan membuatnya melupakan realita yang terlalu pahit untuk di rasakan.

“Mungkin gue harus pindah” Gumamnya.

Pingsan

Kadang aku berpikir, disaat aku memikirkanmu

Apakah kamu juga melakukan hal yang sama?

--Rize--

“Bunda, aku pindah aja ya dari asrama....nggak apa-apa kok, aku nggak mau terlalu nyusahin Bunda....Nggak apa-apa Bun...Iya Bun”

Beberapa hari setelah pemberitahuan Rize.....

“Halo Bun....Anak teman Bunda?...Apa nggak ngerepotin Bun, kalau aku tinggal sama anak temannya Bunda?....Ya udah Bun, makasih ya....Hah?! Besok? I-iya aku mau beres-beres ya Bun, makasih Bunda” Setelah menutup telepon, Rize beralih untuk mengambil koper-kopernya dan mulai berkemas.

“Lho, lo jadi pindahan Ze?” Nana bertanya.

“Iya jadi Na”

“Emang harus banget ya pindah?”

“Ya mau gimana lagi Ngel, biaya asrama disini itu mahal. Bokap kan cuma membiayai sekolah sama uang saku gue aja.”

“Asrama nggak dibiayai?”

Uangnya bakal gue pake buat nabung dan check up.

“Kayaknya nggak deh. Sedangkan bunda gue kan ngurusin restoran, gue nggak mau dia harus tambah capek buat nambahin uang saku” Sangkal Rize, ia menampilkan senyum kecil.

“Kan udah tugas orang tua buat membiayai anaknya Ze” Ucap Naomi.

“Tapi gue nggak mau mereka susah lagi gara-gara gue. Lagian ada anak temannya Bunda gue yang mau tinggal satu atap”

“Cewek atau cowok Ze?”

“Nggak tahu”

“Kami bakal rindu sama lo” Nana, Naomi, dan Angel memeluk erat tubuh mungil Rize.

“Yaelah nggak usah lebay juga kali”

Keesokan harinya, sekolah......

“Lo mau pesan apa Ze?” Naomi bertanya pada Rize yang sedari tadi menatap ke arah depan, lebih tepatnya di bangku yang terdapat Romeo dan sahabat-sahabatnya.

“Gue nggak mau pesan apa-apa, gue mau nyamperin Kak Romeo dulu” Ucapnya seraya bangkit berdiri.

Namun sebelum Rize melangkah pergi, tiga temannya mencegat gadis itu, “Eiit Rize tunggu dulu, lo nggak ingat kalau dia udah buat lo nangis kemaren?”

“Ingat kok, tapi gue harus bisa dapetin hatinya Kak--Aisssh” Tiba-tiba pusing melanda kepalanya sehingga gadis itu meringis kesakitan.

“Rize lo kenapa?” Tanya Nana yang kini merengkuh tubuh Rize.

“Nggak, gue nggak apa-apa kok” Ucap Rize berusaha bersikap baik-baik saja.

Ini pasti gara-gara aku belum minum obat.

Ia menenangkan diri untuk beberapa saat lalu melangkah pergi, “Udah dulu ya, bye” ia berjalan mendekati Romeo.

“Hai Kak” Sapanya.

Romeo, Eza, Izzky, dan Arga menatap pada gadis itu. Siapa dirinya sehingga berani duduk di jejeran senior laki-laki.

“Hai Rize” Sapa Eza, Izzky, dan Arga. Sedangkan Romeo menatapnya tajam.

“Kenapa Kak? Mau sulap ngeluarin bola mata ya? Ku video-in ya biar viral” Ucap Rize dengan candaan garingnya.

“Bacot, pergi lo” Ketus Romeo tak suka.

“Rom, jangan kasar-kasar sama adik kelas” Eza memperingati.

“Bodo amat, mau adik kelas kek, adik tiri, sampe adik kandung. Gue nggak peduli, siapa suruh ngebacot dihadapan gue”

Sesak. Bukan karena ucapan Romeo namun tubuh Rize benar-benar sesak inilah resikonya jika ia tak minum obat. Dengan nekad, Rize menahan dadanya yang sesak. Ia menghembuskan nafasnya perlahan lalu menatap pada Romeo.

“Ka-kak le-bih gan-teng ka-lau se-nyum” Ucapnya gak tersendat karena dadanya yang sesak. Kini bukan hanya dadanya namun pusingnya ikut melanda.

Romeo mengernyitkan dahinya mendengar gaya bicara dari Rize.

Karena rasa sakit yang tidak tertahankan lagi, Rize bangkit berdiri dan sedikit menggebrak meja itu hingga membuat Romeo terkejut dan juga heran, “Permisi Kak”

Bruk.

Baru saja keluar dan mengambil tiga langkah. Rize sudah terkapar tak sadarkan diri.

“Rize!” Beberapa orang yang mengenal gadis itu meneriakkan nama Rize. Mereka mengelilingi tubuh gadis yang terlihat lemah itu.

Di saat mereka sibuk memanggil nama gadis itu, “Minggir lo” seorang laki-laki dengan tubuh atletisnya menerobos kerumunan dan mengangkat tubuh mungil gadis yang pingsan dengan wajah pucatnya.

Menghiraukan tatapan bingung dan terkejut orang-orang pada dirinya.

UKS......

Seorang laki-laki tengah menemani seorang gadis yang masih tak sadarkan diri di brankar UKS. Ia menatap cemas pada gadis itu. “Ayolah Ze, bangun. Lama-lama gue ciprat juga lo pake air” Laki-laki itu bermonolog menatap pada Rize yang tak kunjung membuka matanya.

Ia tetap setia memijat batang hidung gadis itu dengan minyak kayu putih.

Tak lama kemudian terdapat pergerakan dari kelopak mata gadis itu, ia mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk pada indera penglihatannya. Lalu beralih mata orang yang setia menemaninya.

“Devano?” Ya, laki-laki itu adalah Devano. Mantan kekasih dari Rize, gadis pendek namun imut.

“Iya Ze, ini aku”

“Kok aku ada disini? Jangan-jangan aku pingsan lagi ya?”

Devano mengangguk.

“Kamu ya yang bawa aku ke sini?”

“Em itu...”

“Makasih ya Dev, kamu selalu ada buat aku. Bahkan saat kita cuma sebatas teman” Rize memamerkan senyum manisnya.

Devano menatap Rize penuh harap, “Ze, aku itu sayang banget sama kamu. Memangnya kamu nggak mau maafin aku?”

“Aku udah maafin kamu Dev, tapi..”

“Tapi apa?”

“Tapi aku udah gak ada rasa lagi sama kamu”

“Kamu marah?”

“Aku kecewa, kamu ngeduain aku. aku tahu Dev kamu itu tampan, tapi kamu harus liat aku yang saat itu pacar kamu” Rize menjelaskan mengenai masa lalu yang tak pantas untuk dirinya ingat. Itu menyakitkan.

“Aku mau ngulang semuanya Ze”

“Nggak Dev, kebahagiaan kamu kamu bukan di aku” Ucap Rize dengan nada perhatiannya.

Sebuah tirai di samping brankar Rize tersibak, menampilkan wajah orang dengan ekspresi asam, “Alah bacot lo berdua. Berisik banget, terlalu banyak drama”

“K-Kak Romeo? Kakak sejak kapan di situ?” Rize menoleh dan kaget dengan keberadaan Romeo yang ia tak ketahui.

“Bukan urusan lo, mending lo diam karena gue mau tidur” Lagi-lagi Romeo berkata dengan ketus.

Mendadak dada Rize kembali sesak ia menatap pada Devano, “Dev, kamu anterin aku ke kelas ya?”

“I-iya Ze, ayo” Devano membantu Rize turun dari brankar dan keluar dari UKS itu.

Romeo menatap intens pada dua orang yang pergi begitu saja. “Drama lo itu udah basi” Gumamnya lalu memilih untuk bermain game di ponselnya. Namun sebelum itu terjadi sebuah panggilan masuk ke ponselnya, segera ia mengangkat panggilan itu.

“Halo Ma...Ya masih di sekolah, mama kenapa? Tumben nelpon....Hah?! kok mama nggak bilang-bilang dulu sih ke aku?...Telat ma, mama bilangnya telat....Cewek apa cowok?...yaelah ma, pake rahasia-rahasiaan....iya, kirim alamatnya, supaya aku bisa jemput langsung...iya ma iya”

Tut-tut-tut.

Sambungan terputus begitu saja. “Teman se-atap? Semoga nggak ngerepotin” Romeo bergumam sebelum melanjutkan permainannya.

Kelas XI IPS 1....

Rize dengan wajah yang lebih baik dari sebelumnya terlihat sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tasnya. Devano masuk ke dalam kelas Rize yang tidak terlalu sepi karena Rize tengah berbincang dengan Angel, Nana, dan Naomi.

“Kamu nggak apa-apa kan Ze?” Tanya Devano melihat sikap Rize yang dari tadi diam.

“Iya Devano, aku nggak apa-apa” Ucapnya sambil menunjukkan senyum kecilnya.

“Ya udah. Kami tinggal dulu” Nana mengode agar Naomi dan Angel tak mengganggu Devano dan Rize. Mereka keluar dari kelas.

Devano beralih duduk di samping Rize, “Pulang nanti mau aku antar?”

“Nggak usah, aku bisa naik bis” Tolak Rize dengan halus.

“Nggak apa-apa Ze, aku bisa kok antar kamu”

“Tap---”

“Nggak ada penolakan” Potong Devano langsung. Ia khawatir pada Rize kalau-kalau gadisnya itu tidak mendapatkan kursi duduk dalam bis yang ditumpanginya.

Rize menghembuskan nafasnya pelan, “Yaudah deh”

. . .

Romeo dan teman-temannya sedang berjalan menuju parkiran, “Rom, gue sama yang lain mau ke apart lo nanti” Ucap Eza pada Romeo yang tengah merokok di sampingnya.

“Emm, jangan deh. Gue mau jemput orang hari ini” Ucapnya sesudah menyemburkan asap nikotin itu.

“Wihh, ada apa nih? Cewek apa cowok Rom?” Tanya Izzky dengan heboh.

“Ya mana gue tahu. Gue itu disuruh jemput. Nyokap gue kan nggak bilang yang lebih detailnya” Sewot Romeo atas pertanyaan dari Izzky.

“Oh gitu ya”

“Kapan-kapan aja kalau gitu kita ke apartnya Romeo” Usul Eza dan dibalas anggukan oleh yang lain.

Pengusiran

Ekspetasi memang tak sesuai dengan realita

Disaat aku mengharapkan mu untuk mengulurkan tangan

Untuk membantuku.

Kamu malah memasukkan tangan ke saku dan mengabaikan ku.

--Rize--

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 Rize langsung membawa semua barang-barangnya dari dalam asrama dan menunggu kehadiran ‘seseorang’ yang katanya adalah anak teman Bundanya. Untuk beberapa saat ia menatap langit yang kini dipenuhi awan hitam.

“Kata Bunda anak temennya bakal jemput, tapi mana?” Rize yang tengah memegang dua buah koper besar tengah celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang. Tatapannya kemudian jatuh pada seorang laki-laki yang bersandar di mobil jaguar yang terlihat mewah. Dengan sebatang rokok yang tengah ia isap.

“Kak Romeo? Samperin ah” Ia menarik koper-kopernya menuju tempat Romeo berada.

“Hai Kak” Sapanya sambil tersenyum manis pada kakak kelasnya itu.

“Aduh nggak cukup apa gue ngeliat lo di sekolah, di sini gue juga harus ketemu sama lo” Ucap Romeo dengan kesal pada Rize yang sudah berdiri di hadapannya.

“Kakak ngapain disini?” Berusaha bersikap seperti biasa tanpa harus terlihat tersinggung dengan ucapan laki-laki itu.

“Bukan urusan lo” Ketusnya dengan wajah yang ia buat seasam mungkin saat bertatapan dengan Rize. Ia membuang puntung rokoknya itu lalu menginjaknya.

“Ketus amat”

Romeo dengan wajah jenuhnya menatap pada layar ponselnya lalu meletakkannya di telinga kiri, “Halo Ma.....Aku udah nunggu lama nih....kok orangnya nggak ada sih?....Iya ma, pegel tahu gak sih....iya kirim nomor kontaknya....hm” Romeo menutup sambungan secara sepihak dan kembali menatap pada Rize.

“Apa lo liat-liat?” Ucapnya dengan ketus pada Rize yang sedari tadi terus menatapnya.

“Iya Kak nggak”

Ia menatap pada koper-koper Rize, ia diam mematung. Jangan bilang kalau orang itu cewek bawel ini, ah rasanya nggak mungkin masa iya mama nyuruh gue tinggal berdua sama cewek, asumsi Romeo dalam hati. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain tak lama kemudian teleponnya bergetar.

Mama

08xx-xxxx-xxxx

Ia segera menghubungi nomor yang dikirimkan oleh Mamanya. Matanya terbelalak ketika yang berdering adalah ponsel milik gadis di hadapannya.

Tidak mungkin.

Apartement.....

Romeo dan Rize tengah sibuk menelepon orang tua mereka. Meminta penjelasan satu sama lain akan situasi yang terjadi.

“Mama kok nggak bilang kalau anaknya teman mama itu cewek?...Tapi Ma---”

Tut tut tut

“Bunda kenapa nggak ngasih tahu aku kalau anak yang bunda maksud itu cowok?....Lho Bun, nggak bisa gitu dong---”

Tut tut tut

Dua remaja yang saling berlainan jenis itu menundukkan kepalanya, kecewa? Tentu saja. Karena harus dipertemukan oleh orang yang menyebalkan. Karena harus dipertemukan oleh orang yang disukai namun selalu menganggapnya sebagai seorang parasit.

“Hhhh” Romeo yang saat ini berdiri tampak membuang nafasnya gusar lalu menatap pada Rize yang duduk di sofanya. “Beresin barang-barang lo, terus keluar dari ruangan ini” Terdengar mengusir kan? Romeo kasar? Mungkin.

“Tapi Kak, aku nggak tahu harus kemana” Ucap Rize memelas.

“Dan lo pikir gue peduli? Nggak Ze, gue sama sekali nggak peduli. Sekarang lo pergi dari apartement gue sekarang juga” Romeo menunjuk pintu yang digunakan untuk masuk dan keluar.

“Kak...”

“Lo pergi sendiri atau harus gue yang ngusir” Ucapnya lagi.

“Kak aku mohon kak, biarin aku tinggal disini. Aku nggak tahu lagi harus cari tempat tinggal dimana, soalnya aku nggak punya uang untuk nyewa kost” Pinta Rize dengan sangat.

“Lo butuh uang? Tunggu bentar” Romeo berbalik dan memasuki suatu ruangan meninggalkan Rize yang masih menatap kepadanya.

“Kak...”

Tak lama kemudian Romeo datang dengan lembaran uang di tangannya, “Punya masalah sama ekonomi kan? Nih ambil aja semuanya terus pergi dari hadapan gue kalau bisa sekalian aja lo pergi dari dunia ini” Dengan nada yang sudah membuat hati Rize, tangannya melempar uang yang ia pegang pada wajah Rize.

Air mata Rize mulai memenuhi pelupuk matanya, ia menatap nanar pada uang kertas yang berhamburan karena dilempar oleh Romeo. Kenapa ia bisa mencintai laki-laki sekasar Romeo? Ternyata benar jika cinta itu buta.

“Makasih Kak, untuk waktu yang sudah kakak luangkan untuk aku. Aku nggak perlu uang kakak karena aku bukan pengemis, kalau gitu aku permisi” Rize menarik dua kopernya dan berjalan meninggalkan Romeo yang menatapnya intens dan uang-uang yang berhamburan begitu saja.

Pintu itu tertutup tepat saat Rize keluar dari apartement Romeo. Air matanya mengalir secara perlahan. Apakah harus sekasar itu? Apakah sebegitu menyusahkan dirinya sehingga Romeo enggan membukakan pintu untuk dirinya tinggal.

Di luar hujan, rintik hujan menyamarkan air mata gadis yang berjalan dengan menarik koper di tengah keadaan sepi itu. Keluarga hancur, cintanya pergi, harapannya pupus, ia hancur.

Apakah salah jika ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari tempat yang membuat pengalaman pahit? Apakah salah jika ia minta untuk di cintai? Tidak kan?

. . .

Dada Romeo naik turun tak kala meredakan emosinya terhadap Rize, telinganya yang sedari tadi menuli kini mulai terbuka dan membuat otak merespon akan bunyi derasnya hujan. Mata Romeo menatap derasnya hujan di malam itu—lewat jendela yang ada di hadapannya.

“Cih, dasar”

Ia segera mengambil kunci mobil dan keluar dari apartment itu.

. . .

“Pusing...” Rize yang kini memilih untuk meneduh di halte, mulai memegang kepalanya yang dilanda pusing bertubi-tubi.

“Tuhan, tolong jangan sekarang” Lirihnya. Air matanya yang tadi sempat berhenti mengalir kini sudah berdesak-desakan untuk membasahi pipi mulus Rize.

Entah berapa kali ia harus mengalami semua ini, apakah Tuhan tidak bisa membuat jalan pintas baginya untuk mendapat kebahagiaan? Setelah ia menemukan kebahagiaan itu, Rize rela jika ia harus menutup mata untuk selamanya.

“Bisa nggak sih lo nggak usah nyusahin gue?”

Suara laki-laki itu membuat Rize mengangkat kepalanya ia tertegun melihat wajah itu, “K-kak Romeo?” Rize berusaha bangkit berdiri. “Maaf Kak, aku bakal pergi” Ia kembali memegang dua buah kopernya dan bersiap melangkah pergi.

“Nggak usah sok kuat, mata udah sembab gitu masih aja sok” Cibir Romeo melihat sikap dari Rize.

“Aku bukan Kasukabe You dalam anime Mondaiji-tachi ga isekai kara kuru sou desu yo yang dalam keadaan sakit tetap saja mau ikut membantu” Ucapnya sambil tersenyum manis menghiasi wajahnya yang kini memucat.

“Ish ngomong apaan sih? Gue nggak ngerti wibu” Cibir Romeo dengan ucapan Rize yang terus mengarah pada anime.

“Kakak ngapain disini?”

“Gue nyari lo, jangan berasumsi kalau gue khawatir. Cewek kayak lo itu cuma dapat belas kasihan dari gue nggak lebih”

“Kasihan ya Kak? Aku masih sanggup kok berdiri tanpa perlu bantuan orang lain, aku nggak perlu belas kasihan Kakak” Dengan mati-matian, Rize mencoba untuk tidak menumpahkan air matanya. Rize tersenyum kecil mendengar cibiran itu, sebelum penglihatannya kabur dan akhirnya tak sadarkan diri di pelukan Romeo.

. . .

“Udah sadar? Ganti baju lo terus makan bubur” Baru saja Rize beradaptasi dengan silaunya cahaya siang. Telinganya langsung mendapat perkataan yang lebih terdengar debagai perintah, ia menoleh pada asal suara.

“Kak Romeo?” Ia menatap heran dengan keberadaan Romeo di sebuah kursi. Laki-laki itu tengah fokus pada layar ponselnya. Apa lagi kalau bukan game.

“Setelah ini gue minta lo pergi” Ucap laki-laki itu lagi, membuat harapan Rize untuk tinggal disini pupus seketika.

“Kakak masih berharap kepergian aku ya?” Tanya Rize dengan berusahanya menampilkan senyumnya meski ia tahu kalau ia akan tetap diabaikan. Semanis apapun senyumnya, bagi Romeo ia hanyalah sebuah beban.

“Makasih Kak karena udah ngebiarin aku nginep disini” Rize berusaha bangun dari kasur king size-nya walau pusing kembali melanda. “Koper aku mana?” Tanya Rize.

“Tuh” Dengan telunjuknya Romeo menunjuk dua buah koper yang ada di sisi tempat tidur.

Rize menghela nafasnya ia beralih mengambil baju ganti dan sebuah handuk merah jambu. “Kamar mandinya di mana Kak?”

“Di luar kamar sebelah kanan” Jawab Romeo tanpa mengalihkan pandangannya dari game yang ia mainkan.

Rize mengangguk lalu keluar dari ruangan itu dan membersihkan diri di kamar mandi. Romeo mendengarkan suara air gemercik dari dalam kamar mandinya, ia keluar dari permainan dan beralih pada bubur yang sempat ia buat untuk gadis itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!