Brak!
Suara benturan terdengar nyaring saat seorang gadis muda yang baru pulang kuliah menabrak sebuah mobil mewah yang sedang terparkir di depan restoran. Wajahnya pucat. Sepeda motornya oleng, dan ia terhuyung turun, panik menatap lampu depan mobil yang kini pecah.
“Matilah aku... gimana ini?” bisiknya panik, menoleh kiri dan kanan, berharap tak ada yang melihat.
Ia mencoba memundurkan motornya, berniat kabur. Namun belum sempat melarikan diri, sebuah tangan kokoh mencengkeram kerah bajunya dari belakang.
“Ke mana kau mau pergi?”
Suara berat dan dingin itu membuat jantung Clara hampir berhenti berdetak.
Seorang pria dewasa turun dari mobil. Posturnya tegap, wajahnya dingin dan karismatik. Usianya sekitar 38 tahun. Tatapannya tajam menusuk, nyaris membuat Clara kehilangan suara.
Arsenio Wickley. Seorang pengusaha sukses di siang hari, penguasa dunia gelap di balik bayang-bayang malam. Ia memandang gadis di hadapannya, sejenak tertegun. Wajah itu... sangat familiar. Tapi tidak, ia menggeleng pelan. Hanya mirip.
"Maaf, Tuan... saya tidak sengaja," ucap Clara nyaris berbisik, tubuhnya gemetar.
“Tidak sengaja?” Arsen mengangkat alis. “Dan setelah merusak mobilku, kau berniat kabur begitu saja?”
Clara menggigit bibir, keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Ampun, Tuan... jangan bunuh saya,” katanya memejamkan mata, ketakutan setengah mati.
Bastian, asisten pribadi Arsenio, yang berdiri di samping, tertawa kecil. “Tuan hanya ingin minta ganti rugi, bukan nyawa Anda, Nona.”
“Tapi saya tidak punya uang,” Clara menunduk makin dalam. Tatapan pria di depannya terlalu mengintimidasi.
Arsen memberi kode halus. Bastian langsung bergerak memeriksa isi tas Clara. Gadis itu hanya bisa diam pasrah. Ia hanyalah mahasiswa semester pertama, hidup pas-pasan meski berasal dari keluarga berada yang tak pernah benar-benar peduli padanya.
Setelah memeriksa tas, Bastian menggeleng. “Tidak ada uang, Tuan.”
“Ambil kartu identitasnya,” ucap Arsen pendek sebelum melangkah masuk ke restoran, meninggalkan Clara yang masih berdiri membeku.
Bastian mengambil kartu mahasiswa dari dompet Clara dan melemparkan tas itu kembali padanya.
“Huft... sial banget nasibku hari ini,” gumam Clara sambil menyalakan motornya dan melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjanya di sebuah kafe.
Arsen yang baru membuka pintu restoran, sempat melirik ke arah Clara yang menjauh. Tatapannya lama. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang mengusik memorinya.
“Apakah Tuan tertarik pada gadis itu?” tanya Bastian heran.
“Kau gila,” dengus Arsen singkat. Ia lalu masuk tanpa menoleh lagi.
Di Kafe Tempat Clara Bekerja...
"TERLAMBAT LAGI!" bentak seorang wanita bertubuh besar saat melihat Clara memasuki ruang ganti dengan tergesa.
Clara tersentak. “Maaf, Bu. Tadi ada insiden di jalan…”
"Aku tak butuh alasan. Ganti bajumu, dan mulai bekerja. Setelah shift, kau dihukum."
Clara menunduk dalam, menahan amarah dan rasa lelahnya.
Saat ia hendak masuk ke ruang ganti, seorang wanita lain bersandar di pintu dengan tangan dilipat, menyeringai sinis. “Pak Dion tak akan selamanya melindungimu, Clara.”
Clara melirik sekilas. “Ayu, aku capek. Jangan cari ribut.”
Ia menyenggol bahu Ayu dan masuk ke dalam.
“Dasar wanita penggoda! Tunggu saja. Aku akan buat Pak Dion muak padamu,” gerutu Ayu, menatap penuh dendam.
Sementara Itu, di Restoran Mewah...
Arsenio duduk bersama sahabatnya, Liam—pria berusia 37 tahun yang baru datang dari Nevada.
“Dari tadi kau melamun. Bahkan ucapanku tak kau dengar,” ucap Liam, menyesap kopinya.
“Memangnya kau bicara apa?” sela Bastian.
“Aku bicara kepada Arsen, bukan padamu!” semprot Liam.
Arsen masih memandang layar ponselnya. Raut wajahnya suram. “Setelah ini, kau urus pengiriman senjata dari Hong Kong. Aku tak ada mood.”
Liam mendengus. “Datang jauh-jauh ke sini cuma jadi pesuruh…”
Kembali ke Kafe
Clara berdiri di belakang dapur, di tengah tumpukan piring kotor. Hukuman dari Bu Mira. Tangannya merah, busa menempel di pergelangan.
“Aku muak. Rasanya ingin kulempar piring ini ke wajah si gendut itu!” gerutunya.
“Memangnya kau berani?” suara seorang gadis menyahut. Hana, sahabatnya, muncul dengan senyum jahil.
“Ya.. tentu saja tidak,” jawab Clara cepat.
“Mau kubantu?” ucap Hana sambil menggulung lengan bajunya ,bersiap meraih piring kotor.
“Jangan, nanti kau juga dihukum.”
“ Baiklah, Kalau sudah tidak kuat, lambaikan tangan”
“Ini bukan acara uji nyali!” balas Clara kesal, membuat Hana tergelak sebelum pergi.
Clara menghela napas panjang. Hari yang buruk… dan itu baru awal.
Clara berjalan lunglai menuju parkiran. Tubuhnya nyaris remuk karena kelelahan, pikirannya pun tak kalah kacau. Kejadian siang tadi terus berputar di kepalanya. Tak mungkin dua pria itu membiarkannya begitu saja. Mereka pasti akan mencarinya, menuntut ganti rugi. Tapi dari mana dia harus mencari uang?
Saat waktu pulang tiba, para karyawan berbondong-bondong meninggalkan kafe. Clara ikut melangkah pelan ke arah sepeda motornya. Ia mengaduk isi tas, mencari kunci, saat suara klakson membuyarkan konsentrasinya.
Sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya. Jendelanya perlahan turun, memperlihatkan sosok pria tampan yang tersenyum hangat.
“Clara,” sapanya dengan suara ramah dan nada akrab.
Clara mengangkat wajah. “Selamat malam, Pak Dion,” jawabnya sopan.
“Ayo, aku antar,” ucap Dion seraya turun dan membukakan pintu mobilnya.
Clara menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Terima kasih. Saya naik motor saja.”
Sambil tergesa, ia menyalakan motor. “Maaf, saya pamit dulu,” katanya singkat, lalu langsung tancap gas—begitu cepat hingga helmnya tertinggal.
Dion hanya bisa menatap punggung Clara yang menjauh, hatinya diliputi rasa kecewa yang disembunyikan. Ia tahu Clara sengaja menjaga jarak. Bukan karena malu pada rekan kerja, tapi karena gadis itu memang tak menaruh hati padanya.
Dari kejauhan, Hana yang baru keluar menahan tawa melihat Clara kabur seperti dikejar setan. Ia tahu betul betapa Dion menyukai gadis itu, dan betapa Clara tak peduli.
“Lihat perempuan itu,” cibir Ayu dari samping Hana. “Sok jual mahal. Padahal jelas-jelas menikmati perhatian Pak Dion.”
Hana melirik sekilas, lalu mendesis dingin, “Sebaiknya diam, kalau tak tahu apa-apa.”
Tanpa menunggu balasan, Hana melangkah menuju motor jemputannya. Ayu menatap punggung Hana dengan mata menyala. Clara mungkin musuhnya, tapi Hana… adalah duri yang akan ia cabut segera.
---
Setengah Jam Kemudian
Clara akhirnya tiba di depan sebuah rumah besar nan mewah. Rumah itu tak pernah benar-benar jadi rumah baginya. Tempat itu hanya bangunan kosong yang dipenuhi kenangan pahit dan luka lama. Di dalamnya, tinggal ayah kandungnya bersama ibu dan saudara tiri yang bagai musuh dalam selimut.
Ia menarik napas panjang, mengumpulkan sisa-sisa keteguhan hati sebelum melangkah ke dalam pekarangan. Tapi sebelum sempat membuka pintu, suara nyaring menyambutnya.
“Ja lang baru pulang.”
Clara menoleh. Di ambang pintu, Sera berdiri dengan tangan terlipat dan senyum mengejek di wajahnya. Clara hanya melirik sekilas, lalu berlalu tanpa sepatah kata pun. Ia sudah terlalu sering mendengar makian semacam itu.
Namun Sera tak pernah bisa tenang jika tak menyulut api.
“Kau tuli, hah?” ejeknya sambil mengulurkan kaki tepat saat Clara melintas.
Tubuh Clara oleng, nyaris terjerembap, tapi ia berhasil menyeimbangkan diri tepat waktu. “Awww—”
“Ups. Maaf,” kata Sera manis, tertawa kecil seperti anak kecil yang tak sengaja menjatuhkan mainan.
Clara mendengus. Matanya menyala. Ia berbalik cepat dan mengangkat tangan—nyaris menampar.
Tapi sebelum tangan itu mendarat, suara keras dari lantai atas menghentikan segalanya.
“Clara! Apa-apaan kau ini?!”
Anton, ayahnya, berdiri di anak tangga atas, menatap dengan wajah marah. Sera langsung berlindung di balik tubuh ayahnya, tangis pura-pura mengalir deras.
“Papa…” suaranya lirih namun licik. “Aku cuma khawatir karena Clara pulang malam… tapi dia malah mau memukulku…”
Anton membelalak, kemarahan mengaburkan akalnya. “Kau ini benar-benar anak tak tahu diri!”
Tangannya terangkat, siap menampar.
Clara berdiri tegak, matanya berkilat. “Pukul saja! Bunuh sekalian! Aku lelah, Pa. Aku ingin mati saja… biar bisa bertemu Mama! Lebih baik mati daripada hidup di neraka seperti ini!”
Air matanya meledak bersama kata-kata. Ia memegangi dadanya yang terasa seperti diremuk perlahan, luka yang selama ini ia kubur kini meledak dalam satu letupan emosi.
Anton terdiam. Tangan yang siap menghantam itu menggantung di udara. Sorot matanya kosong. Jauh di dalam hatinya, ia mencintai Clara—tapi bisikan Elisa dan Sera selama bertahun-tahun telah mengubah perasaannya, menciptakan kebencian yang tak beralasan.
Clara tak menunggu jawaban. Ia berjalan menjauh, naik ke kamar, meninggalkan ketegangan dan luka yang menggantung di udara.
Baginya, rumah bukanlah tempat untuk pulang. Rumah ini adalah penjara tanpa dinding, penuh luka dan dusta.
---
Di Dalam Kamar
Clara menjatuhkan diri di atas kasur. Isak tangisnya pecah, membasahi bantal yang dingin dan sunyi. Tubuhnya lelah, hatinya hancur. Ia ingin menyerah. Ingin pergi jauh. Ingin... hilang.
Bi Yati sempat mengetuk pintu, membawakan makan malam, tapi tak ada sahutan. Clara sudah terlelap, terperangkap dalam mimpi buruk yang terasa lebih nyata dari hidupnya sendiri.
Di luar kamar, Anton melangkah pergi. Ia tak berkata sepatah pun pada Elisa dan Sera yang masih berdiri menunggu drama selanjutnya. Anton butuh sendiri. Butuh keheningan untuk mengingat wajah almarhum istrinya yang mulai memudar dalam ingatan.
“Anak itu harus diberi pelajaran,” gumam Elisa, penuh geram. Sera mengangguk mantap. Drama ini baru saja dimulai.
---
Malam Hari, di Dermaga Terpencil
Tiga pria berdiri di bawah cahaya lampu dermaga. Suara ombak mengiringi transaksi gelap yang berlangsung.
“Senang berbisnis dengan Anda, Tuan Arsenio,” ucap Carlos sambil menjabat tangan Arsen.
Arsen hanya mengangguk datar. “Terima kasih, Tuan Carlos.”
Di belakangnya, Liam menambahkan dengan nada sopan, “Kalau butuh pengiriman lagi, tinggal hubungi kami.”
Carlos tertawa kecil. “Tentu, tentu.”
Setelah urusan selesai, Carlos kembali ke kapalnya, membawa ratusan senjata ilegal yang baru ia beli.
Namun belum jauh kapal itu bergerak, sekelompok pria bertopeng muncul dari kegelapan. Dalam hitungan menit, semua anak buah Carlos dibantai tanpa ampun. Senjata disita. Darah membasahi dek kapal.
Carlos menjadi yang terakhir.
“Kau tidak pantas menyentuh barang ini,” ucap pemimpin kelompok itu dingin. Ia menjatuhkan sebuah benda kecil ke dekat tubuh Carlos—sebuah benda milik Arsen.
“Benda ini akan mengarah pada si raja senjata itu.”
Dengan tawa dingin, mereka menghilang dalam gelap malam, meninggalkan jebakan sempurna untuk menjatuhkan nama besar Arsenio Wickley.
Pagi hari yang cerah, Clara bangun dengan tergesa-gesa. ia langsung berlari menuju dapur untuk sarapan bersama bi Yati. Terlihat wajah Clara yang sudah segar, sepertinya ia melupakan kejadian semalam.
" Bi, Clara pergi dulu, " katanya sambil mencium tangan bi Yati.
Clara langsung berlari menuju garasi melewati pintu lain yang ada di mansion itu. Dia tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang membuat hari-harinya buruk.
" Non, hati-hati! " jerit bi Yati, tapi Clara sudah hilang di balik pintu.
Saat Clara tiba di garasi, ia melihat ban motornya kempes. wajahnya langsung berubah merah karena kesal.
" huft, ini pasti kerjaan wanita itu," Clara menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya.
Tak ingin membuang banyak waktu, Clara dengan cepat berlari keluar gerbang menuju jalan raya, rencananya ia akan mencari taksi agar bisa cepat sampai di kampus. Saat ia berlari, seorang wanita mengangkat sudut bibirnya. Ia merasa puas melihat Clara yang terus menderita.
" aku akan membuat hari-harimu semakin buruk," kata Sera, yang sengaja membuat ban motor Clara kempes. Setelah puas memandangi Clara, Sera langsung menuju mobil dan pergi menuju kampus yang sama dengan Clara.
Hampir sepuluh menit Clara berdiri ditepi jalan, tapi tidak ada satu pun taksi yang kosong. Tak patah semangat, Clara terus berdiri disana, berharap ada salah satu taksi yang berhenti didepannya. tapi tiba-tiba, terlihat sebuah mobil berjalan kencang di depannya. dan sengaja melewati genangan air, membuat air itu terciprat ke pakaian Clara tanpa sempat mengelak, hingga tubuh Clara basah kuyup. Air yang dingin dan kotor membuat Clara merasa muak dan marah.
" aish, sialan!," Clara mengutuk, sambil melihat ke arah mobil yang sudah jauh, ia tidak bisa melihat Siapa yang mengemudi mobil itu, tapi ia yakin bahwa itu seorang yang ia kenal, terlihat dari mobilnya. Clara sangat yakin siapa pelakunya.
Clara menghela nafas panjang, melihat pakaian yang ia kenakan basah. Dengan terpaksa ia berniat kembali tapi sebuah motor berhenti tepat didepannya, membuat Clara tersenyum senang.
" Akhirnya dewa penolongku datang," dengan cepat Clara langsung menaiki motor Jodi.
Jodi adalah sahabat Clara di kampus, karena hanya Jodi yang tahu mengenai kehidupan Clara, makanya Jodi mau berteman dengan gadis itu. Berbeda dengan yang lain, mereka tidak mau berteman dengan Clara yang terlihat dari keluarga miskin. Karena semua orang tidak tahu kalau Clara merupakan putri dari Anton Wijaksono, seorang pengusaha. Yang mereka tahu putri Anton hanya Sera, karena Sera memiliki nama belakang Wijaksono.
Hanya butuh sepuluh menit, Jodi mengendarai motornya hingga sampai kampus.
" Terima kasih sahabatku," Clara hendak pergi ke kelas, tapi Jodi langsung menarik lengannya.
" Apa kau mau pamer gunungmu yang rata itu?," Jodi memperhatikan kaos putih yang dikenakan Clara. terlihat menerawang, bahkan bagian dalamnya terlihat.
" Astaga, bagaimana ini?, " karena ingin cepat sampai, Clara sampai melupakan tentang pakaiannya.
" Pakai ini, " Jodi melepas kemejanya dan melemparnya ke arah Clara. Dengan cepat ia memakainya dan langsung pergi dari sana.
Jodi hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah sang sahabat yang ceroboh.
" Untung hanya aku yang melihat, kalau orang lain kan bahaya," gumam Jodi sambil memarkirkan kendaraannya.
Dia tidak tahu kalau ada seorang pria yang tengah memperhatikan mereka berdua didalam mobil. pria dewasa dengan mengenakan kaca mata hitam itu, memarkirkan kendaraannya agak jauh dari kampus. Entah apa yang ia lakukan disana. Tapi ditangannya memegang sebuah kartu identitas seorang mahasiswi.
" Kenapa kau membawaku kesini?," ucapnya pada sang asisten. Entah kenapa, ia merasa kesal saat melihat Clara berboncengan dengan seorang pria.
Bastian yang ada di balik kemudi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
" Bukankah tuan sendiri yang minta diantar kesini," gerutu Bastian, tapi hanya bisa dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!