NovelToon NovelToon

Caramel

Episode 1

Apakah kata cinta harus selalu di utarakan?

Bagaimana kalau ia memilih tidak?

Apakah dua insan yang saling mencinta harus mempunyai hubungan?

Bagaimana kalau lagi-lagi ia memilih tidak?

Jadi-apa yang harus ku lakukan?

 

--

“Jadi fog itu sama aja maksudnya f(g(x)) nanti lo tinggal ganti x dari f(x) ke faktor g(x) yang udah di ketahuin.” aku menjelaskan panjang lebar.

Kulihat Azrafa Arzier—laki-laki yang harus ku bimbing dalam hal belajar terkantuk-kantuk di sampingku.

“Lo dengerin gue ga sih?” kataku mulai kesal.

Rafa—panggilannya mengerjap-ngerjapkan matanya dan menoleh tidak minat padaku.

“Gue minta soal.” katanya tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut.

“Jelasin dulu ke gue barusan yang gue jelasin.”

“Kasih gue soal apa susahnya sih?” Rafa melipat kedua tangannya dan mulai tertidur lagi. “Bangunin gue kalo lo udah selesai bikin soal.” tambahnya.

Aku hanya mendengus kesal mendengarnya. Suatu kesialan memang di tugasi oleh kepala sekolah sebagai mentor orang yang bisa di bilang siswa paling bodoh di dalam kelasnya. Azrafa Arzier—playboy kelas kakap yang kerjaannya hanya cabut-cabutan dan bermain dengan wanita.

Dia tampan, kaya, berkuasa, dan tentunya penuh pesona. Cih! Itu bukan kataku—kata teman-temanku—oh tidak itu kata wanita seluruh penghuni sekolah SMA Nusa Bangsa. Jika bukan karena paksaan Pak Darmawan aku tidak akan mau mengajarinya. Tidak sudi.

“Woy udah selesai nih.”

Dia tidak bergeming sama sekali.

“LO MAU BELAJAR APA TIDUR SIH.” aku berteriak di depan wajahnya membuat Rafa terbelalak dan refleks membuka matanya.

“Bisa ga sih gausah teriak-teriak?” Rafa mengatur posisi duduknya tegak kembali. “Mana soalnya?” pintanya.

Dengan kasar aku memberikan kertas hvs berisikan soal-soal tentang komposisi dua fungsi kepadanya. Rafa megerutkan keningnya sebentar saat melihat soal yang ku beri. Yah, tidak heran jika ia tidak bisa mengerjakannya. Mendengarkanku saja ia tidak.

Tapi—apa itu yang kulihat? Ia mengerjakan soal yang ku beri dengan lancar selancar jalan tol. Sialan! Bagaimana bisa? gumamku. Oh tidak tidak—masih ada jawabannya, belum tentu jawabannya benar. Iya kan?

Rafa memberikan soal itu kepadaku kembali setelah ia selesai. “Soal kaya ginian lo kasih ke gue.” kemudian ia berdiri dan berjalan keluar.

Buru-buru aku mengecek jawabannya.

Dan—

Sialan!

Benar semua.

Bagaimana bisa?

Dia kan tadi hanya tidur-tidur jelek tanpa mendengarkanku.

Seperti biasa pulang sekolah aku menunggu di dalam kelas untuk menunggu muridku—Rafa maksudnya. Lebih dari setengah jam aku menunggunya tapi ia tak kunjung datang. Kalau sampai setengah jam lagi ia tidak datang juga lebih baik aku pulang.

Hening.

SIALAN!

Beneran tidak datang!

Dengan gerakan kasar aku menarik tasku dan menyeretnya seperti layaknya karung beras. Sekolah sudah sepi sedari tadi.

“Bego banget sih! Kalo ga dateng seengganya bilang ke gue dulu kek apa kek alay banget.” sepanjang perjalanan sampai ke parkiran motor aku terus mendumel.

“Ato ngga sms kek! Masih mending gue mau ngajar si Rafa kurangajar! Ga di bayar pula! Sialan sialan sialaaaan bodo amat.” kuambil helm yang tergelatak di spion lalu memakainya.

“Apaansih nih helm segala talinya susah.”

Permasalahan helm akhirnya beres. Aku menaiki motorku dan mencoba menstaternya. Tunggu dulu tunggu dulu—apa-apaan ini? Kenapa tidak bisa?

“Yah mampus jangan bilang motor gue mogok.” aku mencoba sekali lagi. Tetap tidak bisa. “Yah yah yah jalan kaki dah gua ini pulang. Eh ngga deng naik ojek aje kale.” terpaksa aku turun dari motor dan berjalan menuju pos satpam di dekat gerbang utama.

“Kenapa neng?” tanya pak satpam yang melihat raut wajahku yang melas-melas kesel.

“Motor saya mogok pak—tolongin dong tolong.”

“Yang mana neng motornya?”

“Noh vario ijo di sono.” aku menunjuk motorku yang tergeletak rapuh tak berdaya.

Pak satpam yang aku lupa namanya berjalan ke arah motorku. Lalu ia mengamatinya sebentar dan mencoba menstaternya. Tidak bisa. Kemudian ia menyetandar dua motorku dan mencobanya lagi. Tetap tidak bisa.

“Neng belom ganti oli ya?”

“Ganti oli? Udah belom ya—kayanya udah deh. Tapi gatau juga sih—eh udah kok.” aku mencoba mengingat-ngingat.

“Kapan terakhir kali?”

“Gatau lupa.”

“Ini olinya abis kayanya—neng ganti oli 4 bulan yang lalu kali.”

“Iya kali—terus gimana dong?”

“Di bawa ke bengkel lah buat ganti.”

“Tapi kan ga ada bengkel di deket sini pak. Masa iya saya bawa-bawa motor ampe bengkel. Ga lazim banget yekali saya cewek pak.”

“Tinggal aja disini neng—saya aja yang bawa. Besok pasti beres.”

“Benaran pak? Serius? Sumpah? Demi apa?”

“Iyaa neng serius. sumpah. demi. ”

“Ok saya balik dulu ya pak. Jagain motor saya baik-baik. Awas aja kenapa-kenapa!” seketika aku senang sekali. “Makasih pak i love you—eh apaansih i love you mah buat pacar gue ntar.” lalu aku mencari tukang ojek dekat sekolah dan sampai rumah dengan selamat.

Rafa baru saja masuk ke kantin bersama teman-temannya. Semua mata tertuju padanya—tidak semua sih sebenarnya  karena aku tidak. Melihatnya masuk saja aku langsung melengos dan lebih memilih memakan mie ayam pesananku.

“Murid lo tuh.” kata Kika.

“Murid gue yang goblok.”

“Hahahaha gila lo—masih kesel soal kemaren?” Kika tau kejadian kemarin karena malamnya aku skype-ing dengannya dan menceritakan semua kejadian yang menimpaku kemarin.

“Dia kan gatau nomer hp lo. Lagian liat sendiri kan lo berdua kalo di jam sekolah gini kek stranger. Gimana coba caranya bilang ke lo?”

“Bodo.”

Bel pulang berdering kencang. Semua murid bersorak-sorai menyambutnya. Hari ini aku tidak mau capek-capek menunggu Rafa lagi. Jadi kuputuskan untuk langsung merapihkan tasku dan beranjak bersama Kika untuk pulang.

Ketika kulihat tubuh berperawakan tinggi tegap sedang besender di tembok samping pintu kelas. Aku yang baru keluar kelas sedikit kaget juga melihat dia sudah nangkring disini. Tidak seperti biasanya ia datang saat kelasku baru selsesai.

“Lah dia disini.” Kika berbisik ke arahku.

“Ngapain lo disini?” tanyaku ke Rafa.

“Belajar lah—ngapain lagi.” dan dengan seenak jidatnya Rafa berjalan mengabaikanku dan masuk ke dalam kelas. Tak memedulikanku dan Kika yang melihatnya terbengong-bengong.

“Gue ngajar murid goblok dulu ya—eh tapi sebenernya dia ga goblok sih. Tar malem gue cerita sesuatu deh.” aku pamit pada Kika.

“Hahahaha Serah lu dah. Good luck ya!”

Rafa sedang mengotak-ngatik ponselnya. Aku duduk di sampingnya dan menaruh tasku kembali ke atas meja.

“Dasar lo playboy alay.” tiba-tiba aku berkata seperti itu.

“Dih apa.”

“Kenapa lo kemarin ga dateng?”

“Latihan basket.”

Aku menggebrak meja. “Heh lo gatau apa gue nungguin lo kemarin satu jam! Brengsek lo sialan playboy cap kampung! Motor gue tuh juga mogok tau! Bilang kek makanya kalo ga dateng elah lo bikin emosi aja sih!” terbakar amarah soal kemarin. Aku melampiaskan semua.

“Terus lo curhat gitu ceritanya sama gue.”

KAMMMPPPRRREEETTTT!

Aku menarik tasku lagi dan pulang dengan perasaan kesal dan terbakar. Sumpah! Benar-benar kesal dan terbakar.

Persetan dengan Azrafa Arzier.

 

 

 

 

Episode 2

Suasana hatiku sangat tidak enak saat ini. Siapa lagi kalau bukan gara-gara Azrafa Arzier. Sepanjang jalan menuju parkiran aku mulai mendumel-dumel sendiri seperti kemarin. Beberapa langkah lagi aku sampai pada motorku. Dengan gerakan cepat aku langsung menaikinya tanpa memedulikan sekitar.

Saat sedang santai-santainya mengendarai motor, sebuah mobil sport berwarna merah melintas di sampingku dengan kecepatan yang menurutku di luar batas wajar jika di jalan-jalan biasa. Aku yang terlonjak kaget saat mobil itu pas sekali menyalip ke samping motorku refleks langsung oleng seketika. Kutarik pedal rem kencang-kencang dan menurunkan kedua kaki.

Sialan! Mobil Merah! Mobilnya Rafa!

“HEH GUE BENCI BANGET TAU SAMA LO!” tenggorokanku hampir sakit karena saking kencangnya suara yang ku keluarkan.

Yang di teriaki hanya menjulurkan tangan keluar dan melambaikan tangannya keluar dengan cara yang menurutku sangat menyebalkan. Sialan! Makin kurang ajar orang ini.

“Dasar anak setan! Waktu kecil di kasih makan apasih lo ngeselinnya udah ampe tingkat emaknya para dewa *****!” aku menghentak-hentakkan kakiku ke aspal dan membuat motorku sedikit bergoyang.

“Alay! Jelek lo! Gua sumpahin nyungsep tuh ke got ato ngga sungai ih mampus gua tawain banget tuh hih!”

“Neng, kenapa neng?” tukang bakso sukses menghentikan langkah kakinya dan gerobaknya untuk sekedar bertanya kenapa aku. Mungkin aneh melihat seorang wanita yang marah-marah tidak jelas dengan siapa. Karena yang membuat marahnya sudah sukses melewati tikungan di ujung jalan.

“Diem lu!”

Malamnya aku skype-ing seperti biasa dengan Kika—sahabat sekaligus teman sebangkuku. Teman seperjuanganku. Teman ke kantinku. Teman berbagi kesedihan. Teman berbagi kebahagiaan. Teman satu tanah air. Teman sebangsa dan sedarah. Teman berbagi pacar.

Yang terakhir, sumpah itu fitnah!

“Heh lo tau gasih sumpah si Rafa demi tuhan yaolo kurangajar banget! Bikin gua mau mati, bikin gua jantungan, bikin gua—“

“Jatuh cinta?”

“HEH!!!!”

“Kenapa lagi sih dia? Lu bawaannya ketemu dia naik darah mulu dah Mel.”

“Masa ya gua lagi enak-enak naek motor sambil nyanyi-nyanyi kek biasa. Eeeh dengan super gobloknya dia nyalip paaass banget di samping gue! Ya gimana gue ga kaget!”

“Iya? Wow.”

“Dan super duper total gobloknya dia bukannya berenti minta maap kek apa kek eh malah Cuma dadah-dadah ganjen ke gua sialaaaan!”

“Hahahah ngakak dadah-dadah ganjen. Apa banget sih bahasa lo—terus apaan yang mau lu ceritain ke gua tadi pulang sekolah.”

“Hah? Apaan?”

“Itu yang tentang si Rafa yang katanya tadi mau lo ceritain ke gue.”

“Yang man—OH! IYA! Iya tau masa ya kan gue waktu hari apa gitu lagi ngajarin dia ya ampe bibir gue serasa doer gitu. Terus ternyata tuh ya dia tuh lagi ngantuk-ngantuk gitu. Gue yakin banget superjuta persen kalo dia gangerti—terus dengan nada ngeselinnya dia minta soal ke gue—terus gue kasih—terus dia bisa ngerjain—terus gue kaget—terus gue galau—eh ngga deng ga galau. Ya pokonya gitu deh aneh.”

“Yaelah Mel daridulu gue bilang juga apa. Sebenernya dia pinter kali, Cuma paling dia males aja gitu. Kalo dia goblok kenapa coba bokapnya sukses berat jadi pengusaha terkaya di Indonesia. Nyokapnya kan juga desainer terkenal.”

“Lah bodo amat bukan urusan gua. Ngapain lu cerita-cerita ke gue.”

“Ah males gua ngomong sama elu—udah yak gua mau tidur dadah.”

Kemudian Kika off—dia temen apa bukan sih ahelah! Lagi curhat malah off.

Terus aku harus cerita ke siapa?

Aku dan Kika makan mie ayam kesukaan kami di kantin sekolah pada jam istirahat. Kemudian Rafa dan segerombolannya masuk dan sudah pastinya semua mata memandang ke arah nya. Yang di pandang hanya jalan cuek tanpa sedikit pun merasa terusik di tatap oleh khayalak orang.

Aku sebenarnya bingung—orang ngeselin kaya Rafa kok cewek-cewek pada mau-mau an ya sama dia? Karena cakep doang? Yaelah di pasar cowok cakep banyak kok, tinggal pilih aja.

“Mel, mel, lo harus tau di belakang lo ada siapa!” Kika menggoyang-goyangkan tangan kananku yang sedang menyentuh sedotan.

“Siapa?”

“Bagi nomor sama pin lo cepet.”

Suara laki-laki! Siapa?

“Cepet gue ga punya banyak waktu nih.”

Rafa!

“Belagu banget lo gapunya banyak waktu palalo peyang!” seakan sadar bahwa yang berbicara denganku sekarang adalah Rafa, aku merasa naik darah.

“Elah lama.” keberuntungan ada di pihak Rafa. Ponselku yang tergeletak di samping mangkok mie ayam di ambil oleh tangannya.

“Balikin hp guee!” aku mencoba-mencoba mengambil ponselku yang berada di tangannya.

“Diem.” dan dengan gampangnya dia menyingkirkan tanganku. “Nih—nomor lo udah gue save di kontak gue—kita juga udah temenan di bbm. Tenang aja, kalo gue gabisa belajar gue bakal ngabarin lo biar lo ga marah-marah lagi.” setelah berbicara seperti itu ia langsung berbalik pergi dan menuju ke lapangan bersama teman-temannya.

Sedikit pertikaian antara aku dan Rafa tadi sukses menarik perhatian seisi kantin. Kebanyakan para wanita menatap iri dan sinis padaku. Ya jelaslah! Siapa coba yang tidak mau di kasih nomor Rafa dan pin-nya secara Cuma-Cuma oleh Rafa sendiri? Aku hanya merengut kesal dan tak memedulikan sekitar.

“Care juga dia sama lo.” Kika nyeletuk sembari menyantap mie ayamnya.

“Maksud lo?”

“Berarti dia tau kalo lo lagi marah sama dia.”

“Ya iyalah orang gua bilang ke dia waktu marah.”

“Apansih ga nyambung.”

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring sekali—yang mendengarnya pasti senang sekali karena sekarang waktunya bersantai dan tidur-tiduran ayam dirumah. Namun tidak untukku—aku kan harus mengajar Rafa.

“Duluan ya Caramel bawel.” Kika pamit pulang.

“Bacot, sono lo pulang.”

“Galak amat—gadapet jodoh baru tau rasa lu! Hahaha.”

“Bodo.”

Aku menunggu Rafa—

5 menit—

10 menit—

Awas aja kalo dia ga—

Rafa datang dengan sebagian bajunya basah oleh keringat.

“Gue gamau ngajar orang yang keringetan sumpah—mandi dulu sana lu ah.” sebelum Rafa duduk tepat di sampingku aku sudah mencerocos memperingatkan.

“Ga bau ini.” dia melempar tasnya ke atas meja dan duduk di sampingku.

“Lagian emangnya tadi di kelas lo ga ada gurunya apa? Maen basket sampe jam segini.”

“Ada ga ada guru sama aja kali.”

“Terserah lo—gue sih Cuma ngingetin aja sih—“

“Ga marah-marah lagi? Tumben bilangnya ngingetin.”

“HEH!”

“Iya maap lanjut.”

“Lo kan cowok—cowok tuh kerjanya nyari nafkah otomatis dia harus kerja, harus sukses, kalo dari SMA lo udah males-malesan gini gimana nanti? Lo mau kerja apa? Iya sih gue tau lo orang kaya tapi kan ga selamanya kekayaan itu bakal ada buat lo. Anak istri lo mau di kasih apa? Emang ada cewek yang mau sama lo gitu? Hari ini juga ga modal tampang doang kali.”

“Secara ga langsung lo bilang gue cakep dong ya.” kata Rafa tiba-tiba.

“Ngga!”

“Ngga salah lagi.”

Tolong. Gue. Mau. Pulang. Sekarang.

 

 

Episode 3

Led marah berkedap-kedip minta di berhentikan. Kulihat 5 bbm masuk.

Dita RY: Mel..

Arga Pangestu: Gue mau deh 1 kalo lo yang jual haha

Radit Julian: Belajar Mel, besok ulangan biologi

Syarza Riani: HAHAHA PASTI KIKA

Semua bbm itu kubaca dengan kening berkerut-kerut. Hah pasti Kika abis bajak tadi. Pasti!

Bbm terakhir yang kudapat dari..

Jeng jeng!

Rafa!

Azrara Arzier: Brisik! Nyesel gue invite lo

Kika disebelahku pura-pura tidak tahu dan sibuk dengan novel yang baru di belinya. Melihatku yang menatapnya sambil menyipitkan mata. Ia menoleh dengan wajah matadosnya.

“Apa?” katanya.

“Bajak apalu tadi hah!”

“Lah lah emang gua? Emang gua?”

“Iyalah elu pasti dodol! Bodo! Males gua sama elu.”

“Ngambek mulu lu.”

“Bodo.”

“Mau gua kasi tau ga tadi gua bajak apaaa?” tadinya aku sudah ingin mengacangkan Kika. Namun tawarannya tadi membuatku goyah iman.

“Paan.”

“Sini hp lu.”

Kuberikan ponselku yang sudah ternodai oleh bajakan Kika yang tidak ku ketahui isinya. Tangannya menari-nari diatas keypad.

“Nih nih baca.”

Kuraih ponselku di tangannya dengan cepat dan memainkan bibirku ke samping pada Kika. Kika malah terkik-kikik geli. Hih tambah ngeseiln aja sih tu anak!

Jual Ayam bakar kriuk enak segar montok! Hanya 5 ribu rupiah satu potongnya. Minat? Call me or PING me, okay?

“NAJIIIIISSSSSS BAJAK MACEM APAAN SIH LO MONYEEETT!”

Perang dunia ke-100 pun dimulai.

H-14 sebelum Ujian Akhir Sekolah semester 2 dimulai. Pak Darmawan sudah mewanti-wanti kepadaku agar membimbing Rafa—minimal hasil yang ia dapat di rapot pas dengan KKM per mata pelajaran. Tentu saja hal itu membuatku kelabakan. Jangankan pas KKM, untuk mencapai angka 5 saja aku sudah sujud sukur.

“Ih Raf gamau tau ya gua pokonya lo harus minimal KKM nilainya!”

Rafa masih asyik baca buku biologinya. Ia kelihatan serius. Namun aku tidak yakin ia bisa meresapi bab-bab yang akan diujikan dengan baik dan benar. Rafa tidak menggubrisku sama sekali.

“Pak Darmawan ngarep banget biar nilai lo ya paling ngga pas KKM—gue ga enak sama dia.”

Rafa masih tidak menggubris—bahkan menoleh pun tidak.

“RAFAAAAA GUA LAGI NGOMONG SAMA LO!”

“Lo tau ga sih suara cempreng lo itu tuh yang bikin nilai gue jeblok.”

“Yeee kurangajar!”

Ia hanya mengangkat sebelah alisnya dan melanjutkan membaca. Sepertinya ia memang sedang serius. Kuputuskan untuk pergi ke kantin karena rasa lapar yang menyerang.

“Gue kantin dulu ya.”

“Hmm.”

Sekolah sepi sedari tadi—wajar sih karena jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Bu Iroh, penjaga kantin sekolah sedang mengelap-elap meja tanda kantin benar-benar akan di tutup.

“Eeeh nak Caramel.. masih ngajar nak Rafa ya?” Bu Iroh yang sudah kenal denganku langsung menyapa saat melihatku duduk di salah satu bangku.

“Iya bu.”

“Gimana perkembangannya?”

“Lumayan sih—tapi saya masih agak waswas gitu sama dia. Dia agak-agak geblek sih, semau-mauannya dia—susah dibilangin.”

“Yaa wajarlah anak orang kaya kebanyakan kaya gitu.”

“Iya kali bu, doain aja deh ya bu semoga saya berhasil ngajar dia selama satu semester ini. Semoga hasilnya ga buat saya kejang-kejang.”

“Aaamin..eh iya sampe lupa—mau beli apa?”

“Gorengan aja deh bu sama teh kotaknya—terserah gorengannya apa aja asal jangan cireng.”

Ternyata sudah 15 menit aku meninggalkan Rafa di kelas sendirian. Kudapati Rafa tertidur diatas mejanya serta buku biologi yang terbuka disamping.

Perlahan aku berjalan mendekatinya.

Eh kok cakep sih pas tidur? Cakep banget yaolo—polos gitu. EH! Ngomong apasih gue.

“Akuin aja kalo gue emang cakep.” tak kusangka! Rafa sudah bangun! Yah yah yah semoga saja dia tidak terlalu memperhatikanku. Rafa berkata dengan suara bangun tidurnya yang serak-serak basah.

“Pansih! Nih gorengan mau gak? Kalo gak mau yaudah.”

“Dih apansi orang gua belom jawab juga.”

“Emang lo mau? Mau banget? Banget-bangetan? Banget aja?”

“Bawel.” Rafa mengambil bakwan dari kertas tempat gorengan yang kubawa. Suara kunyahan memenuhi ke penjuru kelas.

“Jorok banget lo cewek ngelapnya pake rok sekolah.”

“Yaelah ntar di cuci ini.”

“Tetep aja jorok geblek—nih lap pake saputangan gua.” ia memberikan sehelai kain berwarna biru laut kepadaku. Diujungnya ada inisial ‘R’.

“Ini bukan beli ya? Kok ada inisialnya?”

“Banyak nanya.”

“Baru sekali monyet.”

“Bawel! Tinggal lo pake apa susahnya sih elah cewek banyak bacot banget.”

“Ah gamau.” kuberikan lagi sapu tangan itu pada empunya.

“Rese lo ya! Sukur-sukur di pinjemin.”

“Yee ga ada yang minta di pinjemin sih.”

“Lo tuh ya—“

“Apa? Apa?”

“Udah dah nih pake aja tuh bibir lo berminyak banget kek cemong hahahaha.” Rafa mengambil tas nya dan berdiri dari tempatnya.

Selesai Rafa berkata seperti itu, aku refleks menyentuh bibirku untuk memastikan apakah benar ada minyak disana. Dan..saat baru sedetik menyentuhnya, Rafa yang sudah berada di depan pintu tertawa terbahak-bahak.

“HAHAHAHA KETIPUUUU! SATU ORANG KENA KETIPU MERASA MALU KASIAN DEH LOOO.”

“RAFA MONYET SETAN NAJIS GUE BENCI BANGET SAMA LO POKONYA TITIK!”

“HAHAHAHA.” kemudian ia berjalan dengan riang menuju parkiran. Tinggallah aku merana sendiri di kelas. Sial! Kenapa aku bisa dengan gampangnya ketipu? Malu-maluin aja sih!

Ahelah lo Rafa gua bunuh juga lu lama-lama! Untung lu ganteng kalo kag—LAH LAH LAH NGOMONG PAAN TUH GUE TADI!

Hari ini adalah hari terakhir Ujian Akhir Sekolah. Dan sepanjang ujian aku selalu berdoa agar Rafa bisa mengerjakan soal dengan baik. Semoga saja. Semoga..

TIN! TIN!

“Alay banget si yang nge—“ kalimatku terhenti melihat mobil sport merah telah bertengger tepat di sampingku yang sedang berdiri di depan gerbang sekolah. “Suka banget sih lo bikin gua jantungan!”

“Masuk.” katanya tanpa mengalihkan pandangan lurusnya.

“Masuk masuk mbah lo gondrong! Mau ngapain lu nyuruh-nyuruh gua masuk hah?”

“Bawel banget timbang masuk doang si.”

“Terus kalo gua masuk lo mau ngapain?”

“Ngapain kek terserah.”

“Gajelas.” aku berjalan meninggalkan mobilnya. Padahal aku berniat ingin bertanya padanya bagaimana hasil ujiannya jika bertemu. Tapi melihat Rafa yang seperti itu—jangan harap aku akan menanyakannya!

TIN! TIN! TIN!

Aku menoleh. Ternyata Rafa lagi! Apasih maunya!

“Apaansih lo!”

“Masuk.”

“Gak!”

TIN! TIN! TIIIIN! TIIIIIIIIIIINNN!

Suara klaksonnya sukses membuat semua mata menoleh pada kami, termasuk satpam-satpam dan OB sekolah. Seketika mukaku merah padam menahan malu.

TIIIIIIIIIN! TIIINNNNN!

“IYA IYA GUE MASUK!” terpaksa berteriak agar suaraku terdengar di sela-sela bunyi klaksonnya. Aku berjalan memutar dan membuka pintu depan mobil, sekarang aku telah berada di sampingnya. Berdua. Rafa mengangkat sebelah bibirnya membentuk sebuah senyuman kemenangan.

“Emang ya lo tuh semacam anak iblis banget sumpah.”

“Yang penting cakep.”

“Serahlo.” Rafa mengemudikan mobilnya keluar dari gerbang sekolah. “Eh eh eh mau di bawa kemana gue?”

“Bisa ga sih lo sedetiiiik aja diem?”

“Gak kalo deket lo.” Rafa hanya diam mendengar jawaban terakhirku, mobilnya semakin menjauh dari sekolah. “Ish mau kemana sih? Awas lo macem-macem sama gua! Gua tabok lu!”

“Yaelah siapa si yang mau macem-macem sama lo. Bukan tipe gue banget kali.”

“Serah.”

Iyakali bukan tipe lo, lo mah mau nya yang seksi-seksi sama cantik ya, yang kerjaannya dandan ampe gabisa bedain mana muka mana tembok HAHA jayus banget nih gua HAHA

 

 

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!