Ruang operasi dipenuhi dengan ketegangan. Seorang pasien dengan berbagai alat dibadannya, lampu besar fokus menyinari tubuh pasien. Seorang wanita muda, Dr Linlin, seorang ahli bedah dan di Beijing, Tiongkok, sedang melakukan operasi sekian kalinya.
"Bagaimana tekanan darah pasien?" tanya Dr Linlin dengan serius.
"Stabil dokter." jawab Dr Zhao Wei, dokter anestesi yang sedang memantau dan melihat monitor.
"Bagaimana dengan kantong darah nya, apakah sudah siap semua?"tanya Dr Linlin dengan serius.
"Siap dokter!" ucap perawat Fu Ni.
"Aku mulai anestesinya!" ucap Dr Zhao Wei sambil menyuntikkan obat anestesi ke pasien.
Setelah beberapa menit kemudian.
"Pisau bedah!" perintah Dr Linlin sambil menjulurkan tangannya.
Xu Mei, perawat disamping nya dengan sigap memberikan pisau bedah kepada Dr Linlin.
Dokter Linlin menerima pisau bedah dan segera membuat sayatan pertama nya. Darah merembes keluar, asisten dokternya, Dr Song Jing, dengan sigap menyedotnya dengan menggunakan alat hisap.
"Retraktor!" pintanya sambil tangannya dijulurkan kembali.
Xu Mei segera mengambil dan memberikan alat yang diminta.
“Gunting,” perintah lagi dokter Linlin dengan cepat.
Xu Mei dengan cekatan menyerahkan gunting bedah ke tangan dr Linlin yang bersarung lateks.
“Tekanan darah?” tanya dokter Linlin.
“Tekanan darah stabil, dokter,” kata Dr Zhao Wei.
"Suction!" suaranya naik sedikit lebih tinggi.
Seorang perawat lain bertugas mengelap keringat di dahi dokter Linlin dengan sigap mengelap keringat di dahi sang dokter.
Setelah darah di sedot, Dr Linlin dengan fokus melihat ke area yang sedang di perbaiki, pembuluh darah yang robek. Dr Linlin melihat jika pembuluh darah itu sangat mudah diatasi.
"Jahitan mikro!" perintah Dr Linlin dengan tangan di julurkan tanpa mengalihkan pandangannya.
Dr Linlin mengambil jahitan itu dengan cepat, lalu mulai melakukan menjahit pembuluh darah yang hampir putus itu.
"Gunting!" perintahnya.
Dr Song menjulurkan tangannya, menerima gunting dari perawat disampingnya, lalu tangannya siap menggunting benang itu.
"Gunting" ucapnya.
Dr Linlin memasukan jahitan lagi, lalu "Gunting!" setelah benang itu di lilit simpul.
Dr Song menggunting benang itu lagi, "Gunting!"
Hingga beberapa jahitan telah selesai.
"Bagaimana kondisi pasien?" tanya Dr Linlin.
"Stabil dokter!"
"Kerja bagus semua nya!" ucap Dr Linlin singkat dan menyunggingkan senyumnya dibalik masker.
Semua timnya membungkuk kan badannya.
"Dr Song, kamu lanjutkan menjahit kulit luarnya!" perintah Dr Linlin dengan tegas.
"Baik, dok!" jawab Dr Song dengan penuh percaya diri.
Dr Linlin lalu berlalu dari ruang operasi. Sesampainya diluar, ia membuka masker di wajah, sarung tangan nya dan membuangnya di tempat sampah.
Kemudian, melepaskan pakaian luar bedah dan topi bedah yang berwarna hijau itu kedalam tempat pakaian bedah yang disediakan di sana.
Dr Linlin meregangkan otot dan leher nya setelah tiga jam operasi pasien.
Tak berselang lama, Xu Mei dan Dr Zhao juga baru keluar.
"Sudah selesai?" tanya dokter Linlin.
Mereka berdua saling berpandangan dan kemudian menganggukkan kepalanya.
"Ah... Aku lapar sekalim Ayo kita ke kantin!" ucap Xu Mei dengan memegang perutnya. "Katanya ada menu baru di kantin, ayo buruan sebelum yang lain pada datang,"
"Benarkah? Kalau begitu... ayo cepat cepat pergi!" ucap Dr Zhao dengan sangat antusias sekali.
"Baiklah, ayo pergi!" ucap Dr Linlin sambil melangkah menuju ke kantin rumah sakit.
Mereka bertiga berjalan menuju kantin rumah sakit beriringan. Sesekali sambil mengobrol disepanjang jalan.
"Dokter Linlin, kau tahu gosip hari ini?" ucap Xu Mei dengan semangat.
"Kamu ini, masih pagi sudah bergosip. Tapi... Ada gosip apa hari ini?" tanya Dr Linlin penasaran.
"Yaelah dok, tadi sok sok an, tapi penasaran juga!" ucap Xu Mei mendengus.
"Hahaha,, basa basi perawat Xu, kau ini.. Gitu saja gak tau!" ucap Dr Linlin sambil tertawa kecil.
"Jadi... Gosip apa yang hari ini kau bawa, perawat Xu?" tanya Dr Zhao yang mengikuti langkah kedua nya.
"Dr Wang dan perawat Lin ternyata menjalin kekasih!" ucap Xu Mei antusias.
"Wow!" ucap Dr Linlin dengan penuh kaget, namun setelahnya mengubah mimik wajahnya.
"Itu juga kami sudah tau!" lanjutnya.
"Hah? Kalian sudah tau?"
"Tentu saja, sudah lama mereka bersama!" ucap Dr Zhao.
"Yah, ternyata aku yang baru tau!" ucap Xu Mei sedih.
"Ya sudah,,... Ayo cepat kita makan, keburu menu baru nya habis!" ucap Linlin buru buru.
Mereka berjalan, hingga sampailah di Kantin Rumah Sakit.
Linlin mengambil nampan dan mulai memilih makanan. Menu hari ini cukup menggoda: bubur ayam, pangsit kukus, dan susu kedelai hangat. Ia mengambil beberapa pangsit dan semangkuk bubur.
Saat mereka duduk di salah satu meja dekat jendela, Xu Mei langsung menyeruput susu kedelainya.
“Ahh, ini yang kubutuhkan. Setelah beberapa jam di ruang operasi, rasanya energiku terkuras habis.” ucap perawat Xu Mei puas
Dokter Zhao Wei menggigit pangsitnya dan mengangguk. “Setuju. Pasien bisa tidur selama operasi, tapi kita? Kita harus tetap sadar dan fokus.”
Dokter Linlin mengangkat alis. “Itulah gunanya pelatihan bertahun-tahun. Kalau mudah lelah, kau pasti salah memilih profesi.”
Xu Mei tertawa. “Hanya kau yang bisa berbicara seperti itu, dokter Linlin. Serius, aku kadang bertanya-tanya apakah kau benar-benar manusia atau robot bedah yang diciptakan untuk menyelamatkan nyawa.”
Dokter Zhao Wei menyetujui. “Benar. Kau hampir tidak pernah terlihat lelah.”
Linlin mengangkat bahu. “Aku hanya melakukan tugasku.”
Saat mereka menikmati sarapan mereka, pembicaraan beralih ke topik lain.
Xu Mei menatap Linlin dengan pandangan penasaran. “Ngomong-ngomong, Linlin, apa kau pernah berpikir untuk mengambil cuti?”
Linlin mengerutkan kening. “Cuti? Untuk apa?”
“Untuk liburan, tentu saja! Kau tahu, hidup tidak hanya tentang operasi dan penelitian.”
Zhao Wei ikut menimpali. “Xu Mei ada benarnya. Kau selalu bekerja tanpa henti. Setidaknya sekali saja, pergilah ke suatu tempat, nikmati hidup.”
Linlin mendengus pelan. “Aku tidak tahu bagaimana caranya ‘menikmati hidup’ seperti yang kalian maksud.”
Xu Mei mendesah. “Linlin, aku serius. Kau tidak bisa terus hidup seperti ini. Lihatlah dirimu, bahkan saat sarapan pun masih berpikir tentang pekerjaan.”
Dokter Linlin diam sejenak, lalu berkata, “Aku hanya merasa bahwa jika aku mengambil cuti, akan ada pasien yang kehilangan kesempatan untuk diselamatkan.”
Dokter Zhao Wei tersenyum tipis. “Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Ada banyak dokter hebat di sini, dokter Linlin. Rumah sakit tidak akan runtuh hanya karena kau libur sebentar.”
Dokter Linlin menatap mangkuk buburnya, berpikir. Ia tidak bisa membantah kata-kata mereka. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang selalu mengatakan bahwa jika ia berhenti, ia akan kehilangan sesuatu yang penting.
Sebelum ia sempat memasukkan suapan pertama ke mulutnya, ponselnya bergetar di atas meja. Dalam waktu yang bersamaan, ponsel Xu Mei juga berbunyi.
Linlin segera meraih ponselnya dan melihat nama di layar. Itu dari ruang gawat darurat.
Ia segera mengangkatnya. “Dr. Linlin bicara.”
Dari seberang telepon, suara panik terdengar. “Dokter! Kami butuh bantuan Anda segera di ruang gawat darurat! Pasien kritis akibat kecelakaan lalu lintas! Cedera parah di kepala dan perut! Kami akan mengirimkan hasil CT scan dalam beberapa menit!”
Di sisi lain, Xu Mei juga menerima telepon dengan isi yang sama. Mereka saling berpandangan, tahu bahwa ini bukan sesuatu yang bisa ditunda.
Linlin langsung bangkit dari kursinya. “Kami segera ke sana!”
Tanpa ragu, ia dan Xu Mei berlari keluar.
“Hei! HEI! Setidaknya habiskan dulu makanan kalian!” teriak Zhao Wei dengan mulut masih penuh pangsit.
Linlin dan Xu Mei terus berlari, tidak menoleh ke belakang.
Zhao Wei mendesah, meletakkan sumpitnya, lalu berteriak lagi. “DOKTER LINLIN! PERAWAT XU! KALIAN GILA! KALIAN BARU SAJA MULAI MAKAN!”
Tak ada jawaban. Mereka sudah menghilang di balik pintu kantin.
Zhao Wei menghela napas, melempar sumpitnya ke meja. “Astaga… mereka ini tidak tahu cara menikmati hidup.”
Lalu, setelah beberapa detik hening, ia mengambil pangsit Linlin yang masih utuh di atas nampannya.“Yah… sayang kalau dibiarkan.”
Dengan santai, ia memasukkan pangsit itu ke mulutnya.
Namun, baru saja ia mengunyah dengan nikmat, ponselnya ikut berdering.
Zhao Wei terdiam sejenak, lalu melirik layar ponselnya. Begitu melihat nomor dari ruang gawat darurat, ia langsung mendesah keras.
“SIALAN! AKU BARU MAU MENIKMATI HIDUP SEDIKIT!”
Ia menekan tombol jawab dengan kesal. “APA?! Kenapa harus aku juga?!”
Dari seberang, suara perawat terdengar tegang. “Dr. Zhao, kami butuh Anda segera, dokter anestesi lainnya sedang ada di ruang operasi lainnya!”
Zhao Wei menutup matanya, mendongak ke langit-langit, lalu mengerang panjang. “Ughhhh… baiklah! Aku datang!”
Ia menutup teleponnya dengan kasar, lalu menatap pangsitnya yang masih tersisa setengah.
Dengan penuh kepasrahan, ia berdiri, menunjuk pangsit itu dengan ekspresi penuh penderitaan. “Aku akan kembali untukmu, pangsit. Tunggu aku.”
Dokter Linlin dan Xu Mei berlari melewati lorong rumah sakit yang masih cukup lengang di pagi hari. Sepatu mereka berdecit saat menyentuh lantai, sementara beberapa perawat dan dokter yang sedang berjalan terpaksa menyingkir ke samping untuk memberi jalan.
“Kenapa harus saat kita baru mulai makan?” gerutu Xu Mei sambil berlari di samping Linlin.
“Kalau kecelakaan bisa memilih waktu, kita semua tidak perlu bekerja,” jawab Linlin tanpa mengurangi kecepatannya.
Begitu tiba di depan pintu ruang gawat darurat, mereka langsung mendorongnya dengan keras. Pemandangan yang menyambut mereka adalah kekacauan. Beberapa dokter dan perawat berlarian, alat-alat medis dipindahkan dengan cepat, dan suara monitor pasien berbunyi tanpa henti.
Seorang perawat langsung menghampiri mereka. “Dr. Linlin! Pasien pria, 35 tahun, kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala terbuka dan kemungkinan pendarahan dalam di perut. Kami baru saja menerima hasil CT scan-nya.”
Linlin segera mengambil hasil CT scan yang diberikan perawat itu, sementara Xu Mei mengenakan sarung tangannya dengan cepat.
“Di mana pasiennya?” tanya Linlin tanpa mengalihkan pandangannya dari hasil scan.
“Di ruang 3!”
Tanpa membuang waktu, Linlin dan Xu Mei melesat ke ruang tersebut.
Di dalam, seorang pria terbaring di ranjang, wajahnya penuh darah dengan luka menganga di pelipis kiri. Nafasnya tersengal-sengal, dan dadanya naik turun dengan tidak beraturan.
“Tekanan darah?” Linlin bertanya sambil meletakkan hasil CT scan di meja.
“90/60 dan terus menurun!” jawab seorang perawat.
Xu Mei segera memeriksa kondisi pasien, sementara Linlin menatap layar CT scan dengan tajam. Ia hanya butuh beberapa detik untuk menganalisisnya sebelum mendongak dan berkata tegas, “Ada pendarahan di rongga perut. Kita harus segera membawanya ke ruang operasi.”
“Jalan napasnya mulai tidak stabil, dokter!” seru perawat Xu Mei.
Dokter Linlin langsung mengambil keputusan. “Intubasi sekarang! Kita tidak bisa menunggu lebih lama.”
Xu Mei dan seorang perawat segera mengambil peralatan intubasi. Sementara itu, seorang dokter junior masuk dengan napas terengah-engah. “Dr. Linlin, perlu saya panggil Dr. Zhao?”
Belum sempat Linlin menjawab, pintu tiba-tiba terbuka lebar, dan Zhao Wei muncul dengan wajah penuh frustrasi.
“SIALAN! AKU TAHU INI AKAN TERJADI!” ia berteriak sambil menunjuk Linlin dan Xu Mei. “Kalian kabur dari sarapan dan menyeretku ke dalam neraka ini juga!”
Xu Mei meliriknya sekilas. “Cepat pakai sarung tangan, Dr. Zhao. Ini bukan waktunya mengeluh.”
Zhao Wei mengerang keras, tetapi tetap mengambil sarung tangan. “Tahu tidak? Aku sudah siap untuk menikmati sarapanku, lalu—BRAK!—telepon darurat datang! Kalian berdua benar-benar membawa sial untukku pagi ini!”
Linlin tidak menanggapinya. Fokusnya hanya pada pasien. “Siapkan ruang operasi sekarang. Kita hanya punya waktu singkat.”
Zhao Wei mendesah panjang sebelum akhirnya menyerah dan berjalan mendekat. “Baiklah, baiklah. Tapi setelah ini, AKU AKAN MAKAN!”
Tanpa menunggu lebih lama, mereka bertiga bersiap untuk menyelamatkan nyawa pasien itu.
Setelah beberapa jam yang melelahkan di ruang operasi, akhirnya prosedur selesai. Linlin menarik napas panjang, melepas sarung tangannya yang kini penuh noda darah, lalu membuangnya ke tempat sampah medis. Xu Mei melakukan hal yang sama, sementara Zhao Wei langsung bersandar ke dinding, mengusap wajahnya dengan kasar.
“Astaga… operasi ini benar-benar menghabiskan tenagaku,” keluh Zhao Wei, suaranya serak karena kelelahan. “Aku bahkan merasa tulang punggungku menjerit minta dipijat.”
Xu Mei meregangkan lehernya. “Kalau kau lelah, bayangkan bagaimana rasanya jadi pasien yang baru saja kita bedah.”
Zhao Wei mendengus.
Linlin, yang sudah terbiasa dengan keluhan Zhao Wei, hanya melepas masker bedahnya dan berkata dengan tenang, “Ayo ke ruang istirahat. Kita butuh tidur, meskipun hanya sebentar.”
Tanpa banyak protes, mereka bertiga berjalan keluar dari ruang operasi. Lorong rumah sakit sudah jauh lebih sibuk dibandingkan pagi tadi. Beberapa perawat menyapa mereka, tetapi mereka terlalu lelah untuk merespons lebih dari sekadar anggukan kecil.
Begitu sampai di ruang istirahat dokter, Zhao Wei langsung menjatuhkan diri ke sofa, mendesah panjang.
“Akhirnya…” ia bergumam. “Kasur atau sofa, aku tidak peduli. Aku hanya ingin tidur.”
Xu Mei mengambil botol air dari kulkas kecil di sudut ruangan dan meneguknya dengan rakus. “Aku juga. Tapi jujur saja, aku masih lapar. Kita belum sempat menyelesaikan sarapan tadi.”
Zhao Wei membuka sebelah matanya dan mendengus. “Lupakan sarapan. Aku butuh tidur lebih dari makanan saat ini.”
Linlin duduk di kursi dekat meja, menghela napas pelan. Matanya mulai terasa berat.
Xu Mei menatapnya. “Kau tidak tidur, dokter Linlin?”
Linlin hanya tersenyum kecil. “Iya sebentar, aku mau periksa sesuatu dulu.”
Zhao Wei mendengus pelan. “Terserah kau. Aku tidak akan menunggu.”
Dengan itu, ia menutup matanya dan dalam hitungan detik, suara napasnya sudah mulai teratur, menandakan bahwa ia sudah tertidur.
Xu Mei menguap dan akhirnya menyerah juga. Ia mengambil selimut tipis dari lemari kecil, lalu merebahkan diri di sofa lain. “Aku ikut tidur. Jangan lupa bangunkan aku kalau ada panggilan darurat lagi.”
Linlin hanya mengangguk sambil menatap jam di dinding.
Akhirnya, setelah semua selesai, Linlin bersandar ke kursinya dan memejamkan mata.
Suara nyaring telepon menggema di ruang istirahat, membuat Linlin terbangun. Dengan mata yang masih terasa berat, ia meraba-raba ponselnya dan menjawab panggilan itu.
“Halo?” suaranya terdengar serak karena baru bangun tidur.
“Dr. Linlin, jam praktik Anda segera dimulai. Ada beberapa pasien yang sudah menunggu di poli,” suara seorang perawat di seberang terdengar jelas.
Linlin melirik jam di dinding. Tidurnya baru sekitar satu jam, tetapi ia tidak punya pilihan. “Baik, aku segera ke sana,” jawabnya sebelum menutup telepon.
Ia menghela napas pelan, lalu bangkit dari kursinya. Xu Mei masih terlelap di sofa, tubuhnya meringkuk di bawah selimut tipis. Sementara itu, Zhao Wei tidur dengan posisi berantakan, satu tangan menutupi wajahnya, dan napasnya terdengar pelan.
Linlin tidak ingin membangunkan mereka. “Biar mereka tidur sebentar lagi,” gumamnya pelan.
Sebelum pergi, ia berjalan ke kamar mandi kecil di dalam ruang istirahat. Ia menyalakan keran, lalu membiarkan air dingin membasahi wajahnya. Sensasi dingin itu sedikit menghilangkan kantuknya.
Menatap bayangannya di cermin, Linlin menarik napas dalam. “Baiklah, saatnya kembali bekerja.”
Setelah mengeringkan wajahnya, ia merapikan jas dokternya, lalu melangkah keluar dari ruang istirahat. Hari masih panjang, dan tugasnya sebagai dokter belum selesai.
Pagi itu, ruang istirahat dokter dipenuhi suara obrolan santai. Linlin duduk di salah satu kursi dengan secangkir kopi di tangannya, menikmati momen langka ketika tidak ada panggilan darurat. Di sekelilingnya, beberapa dokter lain juga tengah bersantai sejenak sebelum hari kerja yang sibuk dimulai.
“Hei, kalian dengar gosip terbaru?” tanya Dr. Zhang, salah satu dokter bedah, dengan nada penuh semangat.
Zhao Wei, yang sedang mengunyah roti, melirik malas. “Gosip apa lagi? Kalau soal kenaikan gaji, aku tertarik. Kalau bukan, jangan ganggu sarapanku.”
Linlin terkekeh, menyeruput kopinya. “Kau selalu berpikir soal makanan, Zhao Wei.”
Dr. Zhang mengabaikan komentar itu dan mencondongkan tubuhnya ke depan, menurunkan suaranya seolah hendak membocorkan rahasia besar. “Aku dengar Dr. Li dari departemen ortopedi berpacaran dengan perawat Wang.”
Xu Mei, yang baru saja masuk sambil membawa roti bakar, mengangkat alisnya. “Serius? Bukannya Dr. Li sudah punya pacar?”
Dr. Zhang mengangguk dramatis. “Nah, itu dia masalahnya! Pacarnya masih di luar negeri. Tapi dia sering terlihat makan malam dengan perawat Wang akhir-akhir ini.”
Zhao Wei mendecak. “Tsk, tsk… dokter zaman sekarang. Aku tidak habis pikir bagaimana mereka punya waktu untuk pacaran di tengah kesibukan kerja.”
Linlin hanya tersenyum tipis. “Mungkin mereka pintar mengatur waktu. Tidak seperti kita yang bahkan harus lari-larian saat makan pagi.”
Semua orang tertawa kecil, mengingat kejadian kemarin ketika Linlin dan Xu Mei harus meninggalkan sarapan karena panggilan darurat, diikuti Zhao Wei yang akhirnya juga kena imbasnya.
Xu Mei menggeleng. “Aku masih tidak percaya kalau kau benar-benar mengutuk kami saat itu, Dr. Zhao.”
Zhao Wei mendesah dramatis. “Aku tidak mengutuk, aku hanya menyuarakan penderitaanku. Dan lihat? Hari ini aku akhirnya bisa makan dengan tenang!”
Dr. Zhang menatap Linlin dengan penasaran. “Ngomong-ngomong, Linlin, kau ada jadwal operasi hari ini?”
Linlin menggeleng pelan, meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Belum ada. Hari ini aku hanya memeriksa pasien pasca operasi dan, yah… praktik di poli seperti biasa.”
Xu Mei yang duduk di sebelahnya menghela napas lega. “Syukurlah. Setidaknya hari ini tidak terlalu berat. Setelah hari kemarin yang penuh operasi darurat, kupikir kau akan langsung masuk ruang operasi lagi.”
Zhao Wei mendecak, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Tsk, aku malah berharap ada operasi. Setidaknya lebih menarik daripada hanya memeriksa pasien di poli.”
Linlin terkekeh. “Kalau kau bosan, tukar saja denganku. Kau bisa menangani pasien di poli, dan aku yang operasi.”
Zhao Wei buru-buru mengangkat tangannya. “Hei, aku tidak bosan sampai segitunya! Menangani pasien poli itu tetap lebih santai daripada berdiri berjam-jam di ruang operasi.”
Semua dokter di ruangan itu tertawa. Percakapan mereka terputus ketika salah satu perawat masuk membawa daftar tugas pagi. Linlin melirik jam di dinding dan tahu bahwa waktu santai mereka hampir habis.
“Baiklah, saatnya bekerja.” Linlin berdiri, meregangkan tubuhnya sebentar sebelum mengambil jas dokternya.
Zhao Wei mendesah panjang. “Selamat bertugas, Dr. Linlin. Jangan lupa mengajak kami bergosip lagi nanti.”
Linlin hanya tersenyum sambil melangkah keluar ruangan. Linlin berjalan menyusuri koridor rumah sakit menuju bangsal pasien pasca operasi.
Papan nama di pintu-pintu ruangan menunjukkan berbagai departemen, tetapi tujuannya jelas, memeriksa kondisi pasien yang baru saja menjalani operasi dalam 24 jam terakhir.
Diikuti oleh seorang perawat yang membawa rekam medis, Linlin membuka pintu ruangan pertama. Seorang pria paruh baya terbaring di ranjang, wajahnya masih tampak pucat, tetapi matanya sudah terbuka.
“Selamat pagi, Pak Liu. Bagaimana perasaan Anda?” tanya Linlin dengan senyum profesional.
Pria itu mencoba tersenyum meskipun masih lemah. “Sedikit pusing, tapi jauh lebih baik dari kemarin, Dok.”
Linlin mengangguk, lalu dengan cekatan memeriksa tekanan darah dan denyut nadi pasien. “Itu wajar. Operasi Anda berjalan lancar, dan tubuh Anda masih beradaptasi dengan pemulihan.”
Setelah memberikan beberapa instruksi kepada perawat, Linlin melanjutkan ke ruangan berikutnya.
Di dalam, seorang pasien wanita yang baru saja menjalani operasi usus buntu masih tertidur. Monitor jantung di sampingnya menunjukkan tanda-tanda stabil. Linlin memeriksa kondisi luka operasi dan kadar oksigen sebelum berbicara dengan perawat.
“Pastikan ia mendapatkan cairan yang cukup. Jika ada tanda-tanda nyeri berlebihan setelah sadar, segera laporkan.”
Perawat mengangguk, mencatat instruksi Linlin dengan sigap.
Begitu seterusnya, Linlin memeriksa satu per satu pasien, baik yang sudah sadar maupun yang masih dalam pengaruh obat bius. Setiap pasien mendapatkan perhatian penuh darinya, memastikan mereka berada dalam kondisi terbaik setelah operasi.
Saat keluar dari ruangan terakhir, Linlin menghela napas lega. “Baiklah, sekarang waktunya ke poli.” Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju ruang praktiknya, bersiap menghadapi pasien berikutnya.
Linlin sudah sampai di ruang prakteknya. Begitu ia masuk, Perawat Chen yang sudah menunggunya di dalam langsung menyambutnya dengan berkas di tangan.
“Selamat pagi, Dr. Linlin,” sapa Perawat Chen dengan ramah.
“Pagi, Chen. Bagaimana pasien hari ini?” tanya Linlin.
Perawat Chen menyerahkan daftar pasien. “Hari ini cukup banyak yang sudah mendaftar. Beberapa pasien kontrol pasca operasi, ada juga yang datang untuk pemeriksaan rutin.”
Linlin mengangguk sambil membaca sekilas daftar tersebut. “Baik, mari kita mulai.”
Perawat Chen membuka pintu dan memanggil pasien pertama. Seorang pria tua masuk dengan langkah perlahan, dibantu oleh putranya.
“Selamat pagi, Dokter,” sapa putranya sambil membantu ayahnya duduk.
“Selamat pagi. Bapak Wang, bagaimana kondisi Anda setelah operasi minggu lalu?” Linlin bertanya dengan lembut.
Pria tua itu tersenyum tipis. “Jauh lebih baik, Dok. Sudah tidak terlalu nyeri, tapi kadang masih terasa sedikit kaku.”
Linlin mengangguk sambil mengambil stetoskopnya. “Itu normal. Mari saya periksa dulu.”
Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan memastikan luka operasi sembuh dengan baik, Linlin memberikan beberapa saran mengenai pola makan dan aktivitas fisik.
“Pastikan tidak mengangkat beban berat dulu, dan perbanyak makanan berserat agar pencernaan tetap lancar,” pesannya sebelum mengembalikan rekam medis kepada Perawat Chen.
Pasien berikutnya masuk, seorang wanita muda yang tampak cemas.
“Dokter, akhir-akhir ini saya sering pusing dan mudah lelah. Apakah ini ada hubungannya dengan operasi saya sebelumnya?” tanyanya khawatir.
Linlin tersenyum menenangkan. “Mari kita periksa dulu, jangan khawatir.”
Hari itu berlalu dengan banyak interaksi antara Linlin dan pasiennya. Perawat Chen dengan sigap membantu mencatat setiap detail, memastikan semua berjalan lancar.
Setelah menyelesaikan pemeriksaan terakhirnya, Linlin melepas sarung tangannya dan menoleh ke Perawat Chen. “Masih ada pasien lagi?” tanyanya dengan harapan kecil bahwa pekerjaannya untuk sesi pagi sudah selesai.
Perawat Chen tersenyum sambil melihat daftar pasiennya sekali lagi. “Tidak, Dok. Semua pasien untuk sesi ini sudah selesai.”
Linlin akhirnya menghela napas lega. “Syukurlah. Aku hampir lupa bagaimana rasanya duduk dan makan dengan tenang.”
Perawat Chen terkekeh. “Kalau begitu, silakan istirahat, Dok. Saya akan merapikan dokumen dulu.”
Tanpa menunggu lama, Linlin melepas jas dokternya, merapikan rambutnya sedikit, lalu segera berjalan keluar. Begitu melewati koridor rumah sakit, perutnya mulai berbunyi pelan.
“Ya Tuhan, aku lapar sekali…” gumamnya pada diri sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!